Anda di halaman 1dari 6

NAMA

: AMALIA FAJAR SARI

NIM

: 3401413130

MAKUL

: KAJIAN ETNOGRAFI

MENGENAL SUKU TENGGER


Wilayah Indonesia memiliki berbagai suku bangsa, salah satunya adalah suku Tengger.
Suku Tengger merupakan suatu suku yang berada di daerah sekitar kaki Gunung Bromo Jawa
Timur. Daerah Tengger teletak pada bagian dari empat kabupaten, yakni Probolinggo, Pasuruan,
Malang dan Lumajang di atas ketinggian antara 1000m 3675 m. Tipe permukaan tanahnya
bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Suku Tengger juga merupakan sub dari
suku jawa, dapat dikatakan demikian karena dalam kehidupan sehari-hari tidak jauh berbeda
dengan suku jawa pada umumnya dan letak yang juga dikelilingi oleh suku jawa. Suku Tengger
merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit.
Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam
dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa
terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian orang-orang Majapahit melarikan diri ke
wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di
sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang bernama Tengger.
Nama Tengger sendiri berasal dari mitos atau legenda yang berkembang di masyarakat tersebut,
dan berasal dari nama pimpinan mereka, yaitu Roro Anteng yang merupakan putri dari Raja
Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Dari nama tersebut diambil dari akhiran
nama kedua pimpinannya itu yaitu, Teng dari Roro Anteng dan Ger dari Joko Seger. Suku
tengger memiliki daya tarik yang luar biasa akan tradisi masyarakatnya yang tetap berpegang
teguh pada adat-istiadat dan budaya yang menjadi pedoman kehidupan mereka.

Tradisi dan kebudayaan di masyarakat Tengger sangat unik. Seperti dalam hal religi
mereka. Masyarakat suku tengger mayoritas memeluk agama Hindu. Tetapi Hindu di Tengger
berbeda dengan Hindu di Bali. Jika di Bali menganut

Hindu Dharma, maka di Tengger

menganut Hindu Mahayana yang merupakan perpaduan antara unsur-unsur Hindu dan animisme.
Tempat ibadah keagamaan Pemeluk agama Hindu suku Tengger tidak sama dengan pemeluk
agama Hindu pada umumnya, mereka memiliki candi-candi tempat peribadatan, namun bila
melakukan peribadatan bertempat di Punden, danyang dan Poten. Poten merupakan sebidang
lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara-upacara, Di Tengger tidak terdapat
Kasta yang membedakan status sosial seseorang seperti yang di temukan di Bali, mereka
menganggap semuaya adalah sama dan setara. Orang Hindu Tengger juga berbeda dengan
Hindu Bali dalam hal pemakanman orang yang meningeal. Jika di Bali orang yang meninggal
akan dibakar (Ngaben), di Tengger orang yang meninggal cukup dikubur selayaknya orangorang yang meninggal pada Agama lain.
Di Tengger, orang berpindah Agama sangat sering dijumpai, baik Hindu ke muslim
maupn muslim ke Hindu. Tidak ada ritual khusus bagi seseorang yang ingin berpindah
keyakinan. Perpindahan keyakinan tersebut biasanya didasari pada perkawinan. Pasangan beda
Agama tidak ada larangan untuk menikah. Masalah kedepannya mereka ingin berpindah
keyakinan yang awalnya Hindu ke Muslim atau sebaliknya pun tergantung individu pada
pasangan masing-masing. Banyak orang muslim dan Hindu hidup berdampingan, tetapi tidak
pernah menimbulkan konflik, karena mereka menjunjun tinggi persaudaraan antar umat
beragama. Dalam hal pemakaman pun juga begitu. System pemakaman masyarakat Tengger
antara agama Hindu dengan Muslim tidak dipisah. Melainkan menjadi satu pagar di tempat yang
sama, hanya dibagi makam orang Islam berada di tanah yang agak tinggi (atas), dan makam
orang Hindu berada di tanah yang agak rendah (bawah). Pembagian pemakaman yang seperti itu
bukan berarti orang Islam stratanya diatas dan Hindu di bawah. Tetapi hanya karena struktur
tanahnya saja yang tidak rata, mengingat disana memang pegunungan. Tetapi pembagian tersebut

juga tidak berlaku mengikat. Jika terdapat orang Hindu yang meningga dan ingin di makamkan
di dekat makan orang tuanya yang kebetulan beragama Muslim, maka pembagian atas-bawah
tidak menjadi halangan dan permasalahan.
Dalam bidang mata pencaharian, masyarakat Tengger pada umumnya berprofesi sebagai
petani sayur mayur di ladang. Dikerenakan letaknya yang berada di antara dua gunung aktif,
yaitu Bromo dan Semeru. Jika yang laki-laki bertugas mencangkul ladangnya, maka yang
perampuan hanya bertugas membantu dan menyiapkan makan siang diladang. Hasil tani sayur
dari ladang, mereka jual ke pengepul dan hasil pertanian (kubis, jagung, wortel, tembakau,
kentang, dll) disana sangat terkenal kualitasnya yang tahan lama. Selain menjadi petani,
masyarakat Tengger juga banyak yang berprofesi sampingan menjadi supir jeep, pedagang,
maupun penyewaan kuda. Meskipun, hasil dari penyewaan kuda lebih besar sekitar 700rb
perharinya dari pada berladang yang harus menunggu sampai panen. Tetapi berladanglah profesi
utama mereka. Mereka yang menawarkan penyewaan kuda maupun supir jeep mempunyai
paguyuban-paguyuban sendiri. Paguyuban-paguyuban tersebut ditujukan agar sesama supir
maupun penyewaan kuda tidak berebut penumpang satu sama lain.
Layaknya masyarakat pada umumnya, masyarakat Tenggerpun juga memiliki pimpinan.
Masyarakat Suku Tengger tidak mengenal dualisme kepemimpinan ,walaupun ada yang namanya
Dukun adat. Tetapi secara formal pemerintahan dan adat Suku Tengger dipimpin oleh seorang
Kepala Desa (Petinggi) yang sekaligus adalah Kepala Adat. Sedangkan Dukun diposisikan
sebagai pemimpin Ritual/Upacara Adat. Proses pemilihan seorang Petinggi ,dilakukan dengan
cara

pemilihan

langsung

oleh

masyarakat

melalui

proses

pemilihan

petinggi.

Sedang untuk pemilihan Dukun ,dilakukan melalui beberapa tahapan tahapan (menyangkut diri
pribadi calon Dukun).yang pada akhirnya akan diuji melalui ujian Mulunen (ujian pengucapan
mantra yang tidak boleh terputus ataupun lupa) yang waktunya pada waktu Upacara Kasada
bertempat di Poten Gunung Bromo. Di suku Tengger, terdapat tiga orang Dukun yang memegang
peranannya masing-masing, yaitu Dukun Sepuh, Dukun Legen, dan Dukun Sunat.
Masyarakat suku Tengger mempunyai banyak tradisi-tradisi yang setiap tahunnya rutin
mereka laksanakan bersama. Seperti Tradisi Kasada (bulan ke duabelas), tradisi ini dilaksanakan
dengan menggelar sebuah ritual upacara. Ritual ini dilaksanakan di ponten pure luhur, semua

masyarakat tengger berkumpul menjelang pagi. Upacara dilaksanakan pada saat purnama bulan
kasada (ke dua belas) tahun saka, upacara ini juga disebut dengan hari Raya Kurban. Dikatakan
demikian karena dulunya upacara ini mitologinya adalah Rara Anteng dan Joko Seger yang
sudah lama menikah, tetapi tak juga memiliki keturunan. Maka keduanya naik ke Gunung
Bromo untuk memohon kepada dewa agar dikaruniai anak. Akhirnya, Rara Anteng dan Joko
Seger memiliki 25 anak. Namun, ada satu syarat. Salah satu anak Joko Seger dan Rara Anteng
akan diambil oleh dewa. Raden Kusuma, putra bungsu kedua insan tersebut akhirnya diambil
lewat jilatan api kala Gunung Bromo meletus. Tetapi sekarang sudah diganti menggunakan
kurban berupa hewan. Kisah inilah yang mengawali tradisi labuh sesaji ke Kawah Bromo saat
perayaan Kasada yang juga mengandung nilai kearifan lokal untuk hidup bersandingan dengan
alam. Nilai ini pulalah yang menjadi prinsip hidup masyarakat Tengger dan tersirat dari berbagai
ritual adat yang masih mereka jalani.
Tidak hanya masyarakat Tengger yang beragama Hindu saja, tetapi semua masyarakat
Tengger yang beragama lainnya juga mengikuti upacara tersebut. Setelah upacara dan
melabuhkan sesaji berupa hasil bumi yang sudah dimantrai dukun ke kawah gunung Bromo.
Kemudian dilanjutkan dengan acara

musyawarah dan silaturrahmi antar dukun dengan

masyarakat Tengger. Biasanya upacara tersebut dilaksanakan lima hari sebelum upacara Yadya
kasada. Upacara Yadya kasada sendiri adalah sebuah upacara yang dilaksanakan saat purnama
pada bulan kasada sesuai penanggalan suku Tengger yang bertujuan untuk untuk meminta berkah
dari Ida Sang Hyang Widi Wasa dan Penguasa Mahameru (Gunung Semeru). Kemudian sekitar
pukul 05.00 pendeta dari masing-masing desa, serta masyarakat tengger mendaki gunung Bromo
untuk melempar kurban atau sesaji yang berupa hewan tersebut ke kawah gunung bromo. Setelah
pendeta melempar ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti oleh masyarakat lainnya.
Selain upacara kasada, terdapat pula upacara Karo atau Hari raya Karo. Upacara ini
dilakukan pada bulan Puso dan merupakan Hari raya di masyarakat Tengger yang terbesar.
Diawali tanggal 15 kalender saka Tengger. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita,
mereka mengenakan pakaian baru, kadang pula membeli pakain hingga 2-5 pasang, perabotan
pun juga baru. Makanan dan minuman pun juga melimpah pada adat ini masyarakat suku tengger
juga melakukan anjang sana (silaturrahmi) kepada semua sanak saudara, tetangga semua
masyarakat Tengger. Uniknya tiap kali berkunjung harus menikamati hidangan yang diberikan

oleh tuan rumah. Tujuan penyelenggaraan upacara karo ini adalah: mengadakan pemujaan
terhadap Sang Hyang Widhi Wasa dan menghormati leluhurnya, memperingati asal-usul
manusia, untuk kembali pada kesucian, dan untuk memusnahkan angkara murka. Selain tradisi
Karo dan Kasada, masih banyak lagi tradisi-tradisi atau upacara-upacara seperti upacara Entasentas, Unan-unan, Barian, dll.
Bahasa, masyarakat suku Tengger awalnya merupakan masyarakat jawa yang kemudian
berdiri sendiri di dataran tinggi yang terisolasi, maka dengan kata lain masyarakat Tengger masih
menggunakan bahasa Jawa yang kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko,
bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk komunikasi terhadap orang yang lebih
tua atau orang tua yang dihormatinya. Logat jawa yang mereka gunakan sedikit mirip dengan
logat Jawa orang ngapak, tetapi ternyata logat tersebut diyakini merupakan logat dam bahasa asli
Majapahit. Bahasa inilah yang paling menarik perhatian di samping tradisi-tradisinya. Karena
bahasa yang digunakan merupakan bahasa orang-orang kerajaan Majapahit yang sangat unik jika
mendengarkannya, logatnya yang cepat membuat pendengarnya merasa terhibur. Selain
bahasanya yang menjadi ciri tersendiri, kain sarung yang selalu dililitkan dileher, dan kupluk
yang menjadi penutup kepala yang merupakan hasil adaptasi dari suhu Gunung Bromo yang
begitu dingin adalah kekhasan lain yang dimiliki masyarakat Tengger.
Selanjutnya yang menarik adalah system perkawinan masyarakat Tengger. Proses
sebelum pernikahan (lamaran) pada suku Tengger sebenarnya tidak jauh berbeda pada
masyarakat Jawa pada umumnya. Setelah proses lamaran diterima dan disetujui oleh kedua belah
pihak, maka upacara perkawinan baru dilaksanakan. Sebelum acara perkawinan biasanya Dukun
memberikan nasehat mengenai kapan hari baik yang tepat, dan tempat perkawinan itu
dilaksanakan. Setelah hari untuk upacara perkawinan ditentukan, maka diawali selamatan kecil
(dengan sajian bubur merah dan bubur putih). Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka
pasangan pengantin diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat jejaka
dengan iringan gamelan. Pada upacara perkawinan pengantin, wanita memberikan hadiah bokor
tembaga berisi sirih lengkap dengan tembakau, rokok dan lain sebagainya. Sedangkan pengantin
pria memberikan hadiah berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.

Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili oleh seorang utusan. Para
wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam perkawinan dengan disaksikan oleh
seoran dukun. Pada upacara pernikahan dibuatkan petara (petara: boneka sebagai tempat roh
nenek moyang) supaya roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan. Biasanya setelah
melakukan perkawinan kemanten pria harus tinggal dirumah (mengikuti) kemanten wanita.
. Masyarakat suku Tengger berkeyakinan bahwa meraka merupakan keturunan dari
Majapahit. Masyarakat Tengger menjunjung tinngi historis asal muasal mereka dan Kebiasaankebiasaan, tradisi-tradisi, serta kehidupan masyarakat Tengger yang sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan masyarakat dari suku-suku lainnya. Yang membedakan hanyalah letak suku
tersebut yang berada di pegunungan hingga mempunyai kesan bahwa suku tersebut terisolasi.
Selain keindahan alamnya, Tradisi dan Kebiasaan masyarakatnya tersebut menjadi daya tarik
yang unik bagi masyarakat suku lainnya Walaupun mayoritas memeluk Agama Hindu, tetapi
seiring perkembangan zaman juga terdapat Agama Islam, Kristen, dan Katolik, Budha pun ada.
Mereka semua hidup berdampingan dengan toleransi yang tinggi antar umat beragama, mereka
juga menjunjung tali persaudaraan satu sama lain, sehingga konflik jarang terjadi dan
menimbulkan keamanan dan ketentraman.

Anda mungkin juga menyukai