IMPLEMENTASI KANAL
BLOCKING
Implementing Canal Blocking
Masimin
Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Unsyiah,
Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh,
Indonesia 23111
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
287
288
maka kajian kanal blocking ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi
secara keseluruhan.
B. Tujuan
1. Mengidentifikasi dan evaluasi potensi lahan Rawa Tripa terhadap sistem tata air
yang tepat sesuai kondisi dan karakter lokasinya dengan produk standar gambar
teknis hasil perencanaan teknis pendukungnya. Hasil dari kajian ini akan
diusulkan sebagai acuan pembangunan dan perbaikan terkait dengan reklamasi
daerah Rawa Tripa.
2. Menyusun desain dan spesifikasi yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
dokumen teknis sebagai acuan dalam pelaksanaan reklamasi dan pembangunan
konstruksi prasarana dasar sistem tata air Rawa Tripa.
3. Lebih jauh pada akhir pembangunannya maka daerah Rawa Tripa tersebut dapat
turut meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya masyarakat dan
korporasi yang memanfaatkan lahan reklamasi Rawa Tripa.
C. Ruang Lingkup Studi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
LAPORAN UTAMA
Jenis Data
Spesifikasi
Keperluan
Sumber
A
1
2
3
Data Sekunder :
Peta Topografi
Foto Udara
Data hujan
1 : 2000
1: 1000
Harian-10 thn
Sistem Perairan
Sistem Saluran
Modulus drain
Dinas Pengairan
Google map
BMKG/Sucofindo
B
1
2
3
Data Primer :
Blok lahan
Saluran
Bangunan air
dimensi
jenis & dimensi
jenis & dimensi
layanan-drain
kapasitas
kapasitas
diukur
diukur
diukur
C. Metodologi
Sesuai dengan maksud dan tujuan kajian Rawa Tripa khususnya mengenai implementasi
kanal blocking, maka perlu disusun metodologi kajian yang terukur agar kajian dapat
dilaksanakan dengan hasil kajian yang mendekati kebenaran. Untuk mendapatkan
informasi yang mendukung kajian maka dirancang metode kajian dan metode
pengumpulan serta analisa data, baik untuk data sekunder yang bersumber dari instansi
terkait ataupun data primer yang diambil dari lapangan dengan melakukan observasi
dan pengukuran.
Rancangan Kajian
Rancangan kajian disusun meliputi hal-hal seperti berikut ini: (1) sistem perairan
kawasan Rawa Tripa, (2) maksud peruntukan reklamasi Rawa Tripa, (3) sistem dan
layout tata saluran yang sudah dibangun, (4) tipe dan dimensi saluran yang sudah
dibangun, (5) jenis bangunan air yang sudah dibangun dan material yang digunakan, (6)
usulan perbaikan sistem saluran dengan mengenalkan kanal blocking, (7) rencana
anggaran biaya perbaikan saluran dan pembangunan struktur bangunan air.
Metode Analisa Data
1. Sistem Perairan
Berdasarkan peta topografi dan foto udara maka dapat ditentukan batasan-batasan
Rawa Tripa ditinjau dari sistem perairannya. Batasan perairan yang digunakan adalah
garis pantai, sungai utama, anak-anak sungai dan permukiman masyarakat. Sistem
perairan ini digunakan untuk menentukan tata cara pembuangan kelebihan air ke badan
air terdekat dan rencana suplai air pada saat terjadi kekeringan di lahan perkebunan
yang merupakan lahan gambut dan perlu dipertahankan drainabilitasnya. Dari informasi
sistem perairan ini, maka dapat diketahui lokasi lahan rawa yang akan direklamasi, jalur
saluran drainasenya, penempatan bangunan air dan sistem saluran suplesi yang dengan
sumber air diambil dari hulu sungai utama.
2. Sistem Saluran
Reklamasi lahan rawa untuk berbagai keperluan termasuk untuk perkebunan kelapa
sawit adalah mengatur tata air yang benar karena kemungkinan adanya dampak negatif
dan kondisi lahan yang memerlukan penanganan khusus sistem pembuangan airnya.
Pengaturan tata air pada lahan reklamasi memerlukan sistem saluran yang dapat
berfungsi untuk pengeringan lahan basah dan membuang kelabihan air hujan untuk
tidak terjadi genangan di lahan reklamasi tersebut.
290
Reklamasi lahan rawa yang begitu luas perlu dibuat blok lahan dengan satu pembuang
tersier. Ukuran maksimum satu blok sebaiknya mempunyai lebar maksimum 600 (180
m) dan panjang blok tidak dibatasi dan sebaiknya maksimum kurang dari 2000 (1200
m). Jadi satu sistem pembuangan drainase untuk saluran tersier dapat melayani lahan
dengan ukuran 180 m x 1200 m. Hierarki atau urut-urutan jenis saluran adalah saluran
pembuang tersier berfungsi untuk pengeringan lahan, saluran pembuang sekunder
sebagai saluran kolektor menampung air dari saluran tersier dan saluran pembuang
utama atau saluran primer yang menampung aliran air dari saluran sekunder dan
mengalirkannya ke tempat pembuangan akhir (outfall). Tempat pembuangan akhir
biasanya merupakan sungai atau danau atau langsung ke laut yang merupakan bagian
dari sistem perairan yang ada (body of water).
Kelengkapan berikutnya dalam sistem saluran tata air reklamasi rawa adalah
tersedianya kolam tampungan air (water storage) dengan posisi di ujung saluran tersier
ataupun di ujung saluran sekunder. Untuk lahan gambut tebal dan dimungkinkannya
kelebihan proses pengeringan (over drained) maka perlu dipasok air untuk
mempertahankan drainabilitasnya dengan aliran suplesi (recharge flow) dari sumber air
lainnya dari sungai di bagian hulu.
Modulus Pembuang/Drainase
Besarnya modulus pembuang digunakan untuk merencanakan kapasitas saluran
pembuang. Perhitungan didasarkan pada hasil analisis distribusi curah hujan 1, 2, 3, 4, 5,
dan 6 harian untuk periode ulang 5 tahun. Rumus yang digunakan untuk menghitung
modul drainase 3 harian adalah sebagai berikut:
Dm = [ R(3)5 + 3 (IR-Eto-P) - s ] / (3 x 8.64) (lt/det/ha)
dimana :
LAPORAN UTAMA
z
y
1
b
292
dengan identifikasi penempatan dan jenis bangunan yang telah dibangun. Data
berikutnya yang perlu didapatkan adalah material pembuatnya dan sistem operasional
serta bagaimana monitoringnya di lapangan. Informasi tindak lanjut apabila terjadi
permasalahan dengan operasional kanal blocking juga perlu dikumpulkan dari para
petugas yang menangani water management pada perusahaan perkebunan kelapa sawit
tersebut.
Perhitungan Rencana Anggaran Biaya
Perhitungan rencana anggaran biaya pembangunan fasilitas kanal blocking didasarkan
pada satuan harga material, peralatan dan tenaga pekerja yang berlaku di Provinsi Aceh
dan Sumatera Utara. Pada prinsipnya adalah menghitung besarnya volume pekerjaan
(bill of quantity) dan besarnya biaya setiap jenis pekerjaan terpasang. Dalam
perhitungan rencana anggaran biaya ini juga dimasukkan besarnya pajak sebesar 10%
(goverment taxes).
Pekerjaan Survei dan Investigasi Lapangan
Secara umum jenis pekerjaan survei dan investigasi lapangan pada pekerjaan kajian ini
adalah terdiri dari:
1. Pengumpulan peta, data hidrologis, sistem saluran drainase dan informasi sistem
sungai pada kawasan Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.
2. Pengumpulan data teknis saluran dan bangunan air yang sudah ada yang
dikelompokkan menurut masing-masing sistem jaringan tata air.
3. Pengukuran dimensi saluran dan bangunan air termasuk didalamnya adalah jenis
saluran, material pembentuknya, lebar dasar, kedalaman saluran, kemiringan
talud dan kedalaman air.
4. Identifikasi bangunan kanal blocking termasuk posisi, jumlah dan material
pembangunannya.
5. Identifikasi bangunan atau alat monitoring kondisi muka air (water level) di
saluran dan posisi muka air tanah (water table) di lahan perkebunan.
Pekerjaan Analisa dan Desain
Pekerjaan analisa dan desain dilakukan berdasarkan teori dan referensi serta
perundang-undangan yang berlaku berdasarkan data lapangan yang didapat di
lapangan. Analisa diarahkan pada penentuan besaran air buangan drainase berdasarkan
tinjauan hidrologisnya dan besaran suplai air (recharge) pada saat musim kemarau yang
menyebabkan menurunnya muka air tanah yang dapat mempengaruhi rencana
drainabilitas kawasan rawa tersebut.
Kajian sistem saluran sebagai usaha implementasi sistem tata air pengembangan daerah
rawa adalah mencakup sistem jaringan dan komponen bangunan air serta material yang
layak digunakan. Secara singkat kegiatan desain adalah terdiri dari:
1. Layout pengembangan daerah rawa dan sistem saluran drainasenya.
2. Konstruksi bangunan dan penempatannya yang diperlukan untuk kanal blocking
dengan maksud mempertahankan drainabilitas lahan rawa gambut.
3. Penentuan jenis bangunan air yang cocok pada sistem tata air dan pemilihan
material dan sumbernya harus diidentifikasikan.
4. Membuat perhitungan besarnya pembangunan bangunan kanal blocking
berdasarkan harga yang berlaku.
LAPORAN UTAMA
294
C.
Permasalahan pengembangan lahan rawa adalah sebagai berikut: (1) Kesuburan fisik
dan kimiawi tanah yang rendah, (2) Tingginya kandungan besi, aluminium dan senyawa
sulfida menyebabkan air menjadi asam, (3) Tata air yang masih belum dapat
dikendalikan karena tidak tersedianya saluran suplesi yang berfungsi sebagai saluran
irigasi untuk mempercepat ameliorisasi tanah, dan sumber air untuk tanaman maupun
karena pengelolaan tata air (water management) pada sistem makro ataupun mikro di
tingkat petani yang belum sempurna, (4) Belum dimilikinya teknologi varietas jenis-jenis
tanaman yang sesuai atau dapat beradaptasi pada setiap tipologi lahan yang toleran
terhadap tanah bermasalah (keasaman tanah, keracunan, Fe dan Al, gambut dan asam
organik, defisiensi Cu dan Zn serta salinitas), (5) Pengembangan tata cara dan ide-ide
untuk pengembangan lahan rawa kurang mendapat prioritas.
Konsep dasar pengembangan lahan rawa adalah dengan mempertimbangkan hal-hal
berikut : (1) Pengelolaan terbatas dengan memperhatikan masalah lingkungan dimana
pada area-area sensitif seperti gambut tebal atau kawasan lindung, (2) Faktor
lingkungan yang harus diperhitungkan pada pengembangan area baru, yaitu: (a) Hanya
mengembangkan area-area yg mengalami kerusakan saja, bukan area yg memilki nilai
keragaman hayati (khususnya kawasan lindung), (b) Hindari gambut tebal, (3) Dekat
pesisir pantai perlu dipastikan adanya jalur hijau yg cukup memadai, (5) Diperlukan
pengembangan terbatas pada area sensitif seperti pada kubah gambut dan kawasan
hutan lindung dan dibutuhkan adaptasi pengembangan kawasan baru.
Pengembangan sistem layout saluran pada pengembangan lahan rawa adalah mengikuti
sistem sisir dengan urutan saluran adalah saluran tersier, sekunder dan primer.
Konstruksi lain yang diperlukan adalah bangunan air dan waduk (polder) serta saluran
suplesi dari sumber air lainnya, seperti diperlihatkan pada kedua Gambar 2 dan 3.
LAPORAN UTAMA
296
pelestarian, (2) Untuk pengembangan potensi secara penuh, lahan dibagi menjadi unitunit satuan kecil, pada tahap akhir ini secara jelas tata air akan terlihat apakah menjadi
sistim irigasi penuh jika potensi air cukup dan ada sumber suplesi tambahan, ataupun
mengarah pada pola tata air polder dengan atau tanpa pompanisasi dengan
memisahkan unit secara hidrologis pada lahan sekitarnya. Ilustrasi tahapan
pengembangan lahan rawa dan jenis kegiatannya diperlihatkan pada Gambar 4.
Kriteria Perencanaan Bangunan pada Lahan Rawa
Kriteria perencanaan bangunan pada pengembangan lahan rawa adalah sebagai berikut:
1. Lajur hijau (green belt) pada anak sungai = 100 m, sungai = 200 m dan pantai = 300
m.
2. Drainabilitas pada lahan basah = 30 cm, lahan kering 30-60 cm dan tanaman keras
= 60 cm.
3. Tinggi jagaan untuk tanggul banjir = 75 cm, saluran primer = 75 cm, saluran
sekunder = 30 cm dan bangunan air = 30 cm.
4. Kemiringan talud untuk kedalaman saluran kurang dari 1 m = 1:1, kedalaman
saluran 1-2 m = 2:3 dan kedalaman saluran > 2 m = 1:2.
5. Kecepatan aliran maksimum pada saluran = 0,70 m/det dan pada bangunan = 2,0
m/det.
6. Lebar berm pada saluran tersier = 2,0 m, saluran sekunder = 3,0 m dan saluran
primer = 5,0 m.
7. Gunakan material yang ringan untuk konstruksi bangunan air dan tanah gambut
tidak diperbolehkan untuk membuat badan tanggul saluran.
LAPORAN UTAMA
Hasil dari analisa peta topografi dan tinjauan lapangan terlihat bahwa arah pembuangan
drainase lahan Rawa Tripa (outfall) sebagian besar adalah menuju Krueng Tripa, Krueng
Seumayam dan Krueng Batee (body of water). Walaupun Rawa Tripa berbatasan dengan
Samudera Indonesia terlihat tidak satu sistem pembuangan yang menuju ke laut,
sehingga tidak terdapat pengaruh pasang surut pada kawasan Rawa Tripa dan rawa ini
dikategorikan sebagai Rawa Lebak.
Sistem Saluran Lahan Perkebunan
Sebagian besar lahan Rawa Tripa sudah diusahakan oleh masyarakat dan beberapa
perusahaan perkebunan kelapa sawit, seperti:
1) PT. Kalista Alam (KA),
2) PT. Gelora Sawita Makmur (GSM),
298
3)
4)
5)
6)
Sistem saluran dibuat untuk pengeringan lahan dengan sistem blok lahan dengan ukuran
300 m x 1000 m atau untuk setiap luasan 30 Ha. Untuk setiap blok lahan dikelilingi oleh
saluran-saluran, yaitu pada sisi memanjang (1000 m) dengan saluran kolektor dan pada
sisi melebar (300 m) dengan saluran transport. Fungsi saluran kolektor adalah untuk
pengeringan lahan sedangkan saluran transport menerima air dari saluran kolektor
untuk dibuang atau dialirkan ke sungai. Jadi disini terlihat bahwa saluran kolektor
mempunyai dimensi yang lebih kecil dibandingkan dengan saluran transport.
Saluran kolektor dibuat pada sisi kiri dan kanan jalan blok dengan lebar 2.0 m dan dalam
1.5 m berdinding tanah (non lining) dengan kemiringan talud relatif terjal, yaitu 1H:5V.
Kemiringan dasar saluran relatif kecil mendekati datar sehingga aliran air terjadi
diakibatkan oleh adanya beda potensial muka air. Saluran transport dibuat sama dengan
saluran kolektor hanya lebarnya yang lebih lebar, yaitu sekitar 5.0 m. Saluran yang
memotong jalan adalah saluran transport dan dipasang gorong-gorong ataupun
jembatan. Pada waktu tinjauan lapangan banyak dijumpai tidak ada aliran air pada
saluran kolektor, sedangkan pada saluran transport dijumpai kedalaman aliran setinggi
30 cm dan air mengalir dengan kecepatan relatif lambat, yaitu 0,10 m/det. Skema sistem
saluran pada reklamsi rawa secara umum diperlihatkan pada Gambar 5 dan 6
memperlihatkan tampang melintang kedua saluran.
JALAN UTAMA
SALURAN TRANSPORT
JALAN UTAMA
1000 M
JALAN BLOK
300 M
1000 M
SALURAN KOLEKTOR
1000 M
1000 M
300 M
JALAN BLOK
300 M
SALURAN KOLEKTOR
300 M
JALAN UTAMA
300 M
300 M
300 M
JALAN UTAMA
1000 M
JALAN BLOK
1000 M
SALURAN KOLEKTOR
1000 M
SALURAN KOLEKTOR
JALAN BLOK
1000 M
SALURAN TRANSPORT
300 M
SALURAN TRANSPORT
JALAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
LAHAN
SAWIT
JALAN UTAMA
SALURAN
TRANSPORT
SALURAN
TRANSPORT
LAHAN
SAWIT
JALAN BLOK
SALURAN
KOLEKTOR
LAHAN
SAWIT
SALURAN
KOLEKTOR
LAHAN
SAWIT
Gambar 6. Tampang Melintang (A) Saluran Transport dan (B) Saluran Kolektor
Lahan di kiri dan kanan sepanjang sungai ataupun saluran pembuang utama juga telah
dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat untuk dibuat lahan perkebunan, sehingga
tidak terdapat lajur hijau (green belt) yang seharusnya lahan tersebut merupakan
kawasan sempadan sungai. Hal ini terjadi karena jalan masuk kawasan Rawa Tripa yang
paling memungkinkan adalah melalui sungai.
Modulus Pembuang Drainase
Sistem saluran pada blok lahan dibuat mengitari lahan dengan dua buah saluran
kolektor dan dua buah saluran transport, maka dengan menganggap permukaan lahan
relatif datar menyebabkan arah pembuangan air menuju keempat saluran tersebut.
Dengan demikian setiap saluran kolektor hanya melayani luasan sekitar 12,75 Ha,
sedangkan lahan seluas 2,25 Ha dilayani oleh saluran transport (Gambar 7).
12,75 Ha
2,25 Ha
BLOK LAHAN 30 Ha
2,25 Ha
12,75 Ha
SALURAN KOLEKTOR
SALURAN TRANSPORT
SALURAN TRANSPORT
SALURAN KOLEKTOR
300
Rumus yang digunakan untuk menghitung modul drainase n harian adalah sebagai
berikut:
Dm = [ R(n)5 + n (IR-Eto-P) - s ] / (n x 8.64) (lt/det/ha)
dimana :
Dm = laju drainase (lt/det/ha); IR = pemberian irigasi selama periode drainase (mm/hari); Eto =
evapotranspirasi (mm/hari); P = perkolasi (mm/han) dan s = penyimpanan tambahan (mm).
Dengan pertimbangan bahwa luas layanan relatif kecil, yaitu 12,75 Ha tanpa adanya
pemberian air irigasi dan daerah rawa dimungkinkan tidak terjadinya infiltrasi dan
perkolasi serta tidak adanya storage yang keempatnya dinilai tidak berpengaruh, maka
rumus modulus drainase hanya merupakan fungsi dari curah hujan dan penguapan.
Curah hujan diperhitungkan untuk n = 1 harian, sehingga rumus tersebut menjadi
seperti berikut.
Dm = [ R5 - Eto] / (8.64) (lt/det/ha)
Dalam perhitungan water balance disebutkan bahwa besarnya penguapan dapat
diabaikan apabila memperhitungkan curah hujan pendek dimana waktu hujan lebih kecil
dari waktu konsentrasi, sehingga rumus di atas menjadi seperti berikut ini.
Dm = R5 / (8.64) (lt/det/ha)
Berdasarkan data curah hujan dengan analisa frekuensi ( RT R S D * K ) maka
diperoleh besarnya curah hujan rencana untuk berbagai periode ulang seperti disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Perhitungan Curah Hujan Rencana
T(thn)
2
5
10
20
50
100
(mm)
122.64
122.64
122.64
122.64
122.64
122.64
Sd (mm)
RT (mm)
33.91
33.91
33.91
33.91
33.91
33.91
-0.1644
0.7198
1.3052
1.8668
2.5936
3.1383
117.07
147.05
166.90
185.94
210.58
229.05
Besarnya curah hujan harian untuk periode ulang 5 tahunan (Tabel 2) diperoleh sebesar
R5 = 147,05 mm, sehingga besarnya modulus pembuang didapat; Dm = 147,05 / 8,64 =
17,02 l/det/ha dan untuk luas layanan A = 12,75 Ha, maka diperoleh besarnya debit
pembuangan sebesar Q = 17,02 x 12,75 = 217 l/det = 0,217 m3/det. Jadi setiap saluran
kolektor perlu dibuat untuk mengalirkan air dengan kapasitas mampu melayani debit
buangan sebesar Q = 0,217 m3/det dengan pertimbangan modulus pembuang lahan
tersebut sebesar Dm = 17,02 l/det/Ha.
Jenis dan Dimensi Saluran Pembuang
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwasannya hanya terdapat dua jenis saluran, yaitu
saluran kolektor dan saluran transport. Saluran kolektor berfungsi untuk pengeringan
lahan perkebunan, sedangkan saluran transport menampung aliran dari saluran-saluran
kolektor dan mengalirkannya ke sungai (body of water) terdekat sebagai tempat
buangan akhir (outfall). Baik saluran kolektor maupun saluran transport merupakan
LAPORAN UTAMA
saluran berdinding tanah (non lining). Dimensi saluran kolektor dan saluran transport
adalah seperti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Dimensi Saluran
No
1
2
3
4
5
6
Parameter
Lebar dasar (m)
Tinggi saluran (m)
Kemiringan talud (H:V)
Tinggi aliran (m)
Tinggi jagaan (m)
Lebar berm (m)
Saluran Kolektor
1,50
1,50
1:5
1,0
0,2 - 0,3
2,0 - 3,0
Saluran Transport
5,0
2,0
1:5
1,5
0,3 - 0,5
3,0 - 5,0
302
BLOK LAHAN 30 Ha
PIEZOMETER
PEILSCHAAL
SALURAN TRANSPORT
SALURAN TRANSPORT
SALURAN KOLEKTOR
SALURAN KOLEKTOR
PELIMPAH
SALURAN KOLEKTOR
A
A
ELEVASI LAHAN
TAMPAK ATAS
60 CM
PEILSCHAAL
MUKA AIR
DIA 4
PIEZOMETER
PELIMPAH
POT. A-A
SALURAN TRANSPORT
Penempatan bangunan kanal blocking sebaiknya di bagian hilir saluran kolektor dengan
jarak sekitar 10,0 m dari saluran transport. Adanya bagian lahan dari blok lahan seluas
2,25 Ha yang airnya terbuang ke saluran transport, maka lahan ini perlu di suplai air dari
saluran kolektor dengan membuat saluran suplesi (recharge channel) dengan intake di
depan bangunan kanal blocking. Saluran suplesi ini dapat dibuat dengan ukuran lebar
1,50 m dan dalam cukup 0,50 m dari muka tanah lahan perkebunan dibuat menyerong
dengan sudut 45o mulai dari intake hingga pertengahan lahan. Cara bekerjanya saluran
ini adalah sewaktu muka air di saluran kolektor tinggi maka air akan masuk ke saluran
suplesi memberi water recharge pada lahan yang mengalami pengeringan karena
adanya saluran transport. Untuk menambah informasi tentang penempatan bangunan
kanal blocking dapat dilihat Gambar 9. Gambar 9 ini memperlihatkan skema
penempatan kanal blocking yang dilengkapi dengan saluran suplesi untuk water
recharge.
JALAN UTAMA
KANAL BLOCKING
SALURAN KOLEKTOR
10 M
JALAN BLOK
SALURAN KOLEKTOR
SALURAN TRANSPORT
KANAL BLOCKING
LAPORAN UTAMA
B. Pembahasan
Pembahasan ditekankan pada tinjauan sistem perairan dalam menujang pengembangan
daerah rawa, sistem saluran yang dibangun sesuai dengan tahapan pengembangan
daerah rawa dan penerapan sistem kanal blocking sebagai usaha mempertahankan
drainabilitas rencana.
Sistem Perairan Rawa Tripa
Posisi kawasan Rawa Tripa yang diapit oleh dua buah sungai besar, yaitu Krueng Tripa di
bagian Barat dan Krueng Batee di bagian Timur serta adanya aliran sungai Krueng
Seumayam di dalam Rawa Tripa merupakan potensi hidrolis dimana Rawa Tripa dapat
direklamasi menjadi lahan perkebunan. Hal ini perlu menjadi pertimbangan utama
apabila melakukan reklamasi terutama pada lahan di sekitar kubah rawa yang lahannya
merupakan gambut tebal, sensitif terhadap perubahan lingkungan dan hanya
memungkinkan untuk dikembangkan secara terbatas dengan metode tata air yang baik.
Secara umum pengembangan daerah rawa adalah membuat sistem tata air berdasarkan
topo-hidrologis dengan kegiatannya membuat sistem saluran berdasarkan drainabilitas
rencana sesuai peruntukannya. Misalnya untuk lahan perkebunan dikehendaki besarnya
drainabilitas setinggi 60 cm dimana pada lahan reklamasi perlu dijaga kedalaman muka
air tanah pada posisi 60 cm dari muka tanah. Untuk menjaga atau menstabilkan
drainabilitas setinggi 60 cm, maka diperlukan bangunan pendukung, yaitu: (a) kanal
blocking, (b) kolam penampungan air (water estorage) dan sumber air suplesi (water
recharge).
Kondisi perairan Rawa Tripa sangat mendukung beberapa persyaratan teknis yang
diperlukan dalam reklamasi rawa menjadi lahan perkebunan dengan pertimbangan
sebagai berikut.
(a) Sebagai tempat buangan akhir (outfall) pada sistem saluran yang dibangun adalah
sungai Krueng Tripa, Krueng Seumayam dan Krueng Batee pada pias bagian hilir
yang mempunyai elevasi lebih rendah dibandingkan elevasi lahan yang perlu
dikeringkan.
(b) Tersedianya tiga buah kubah gambut dimana lahan disekitarnya memungkinkan
untuk dibuat kolam penampung air (water storage) yang digunakan untuk
menampung air dimusim penghujan dan digunakan sebagi suplesi air ke sistem
saluran pada musim kemarau untuk menghindari over drained di lahan reklamasi.
(c) Apabila ketersediaan air di kolam penampung tidak mencukupi maka perlu dicari
sumber air yang baru sebagai suplesi air (water recharge) yang dalam sistem
perairan Rawa Tripa dapat diambil dari sungai Krueng Tripa dan Krueng Batee.
Konstruksinya dapat dibuat sebuah bendung dan pengambilan serta saluran
pembawa hingga lokasi kolam penampungan.
Langkah pengembangan daerah rawa secara teknis setidaknya melalui 3 (tiga) tahapan,
yaitu:
(a) Tahap Awal, yaitu dengan jenis pekerjaannya adalah membangun sistem saluran
drainase/pembuang seperti apa yang dijumpai di lapangan saat ini (2013) karena
untuk kegiatan Tahap Awal ini dapat memerlukan waktu hingga 10 tahun.
304
(b) Tahap Menengah, yaitu sudah mulai memperkenalkan sistem kelola tata air yang
baik khususnya pada lahan gambut tebal yang berada di sekitar kubah gambut.
Jenis kegiatannya adalah dengan memperkenalkan sistem kanal blocking dan
membangun kolam tampungan sebagai sumber suplai air dimusim kering. Hal ini
dilakukan untuk menghindari over drained pada lahan perkebunan dengan jalan
mempertahankan tinggi drainabilitas rencana, yaitu 60 cm untuk lahan rawa
dengan peruntukan perkebunan kelapa sawit.
(c) Tahap Akhir, yaitu tahap penyempurnaan Tahap Menengah dengan
mempersiapkan sumber suplesi air apabila air di kolam penampungan mengalami
penyusutan. Sumber air yang potensial adalah dari hulu sungai Krueng Tripa (bagian
Barat) dan Krueng Batee (bagian Timur). Jadi kegiatan pada tahap Akhir adalah
dengan membangun sebuah bendung pada kedua sungai tersebut dan saluran
pembawa hingga ke lokasi kolam penampungan.
Dengan kondisi di lapangan saat ini maka masih terdapat dua tahapan lagi yang perlu
dilalui dalam proses reklamasi lahan Rawa Tripa, yaitu Tahap Menengah dan tahap
Akhir. Pelaksanaan kegiatan pada setiap tahapan akan berjalan dengan baik dan terarah
kalau tersedia blue print pengembangan yang dituangkan dalam Masterplan
Pengembangan Rawa Tripa. Master plan inilah yang digunakan oleh semua pihak, baik
masyarakat ataupun korporasi yang bermaksud ingin mengeksploitasi Rawa Tripa
sebagai pedoman dan acuan yang perlu dipatuhi dan dilaksanakan.
Sistem Saluran Reklamasi Rawa Tripa
Secara umum pengembangan Rawa Tripa dibangun dengan sistem blok lahan dengan
ukuran 300 m x 1000 m atau untuk luasan 30 Ha setiap blok lahan. Untuk setiap blok
lahan ini dikelilingi oleh saluran pembuang, yaitu saluran kolektor di sepanjang sisi 1000
m dan saluran transport disisi 300 m. Jadi sistem pengeringan terjadi pada keempat arah
tersebut, yaitu dua arah ke saluran kolektor dan dua arah lainnya ke saluran transport.
Ditinjau dari lebar lahan yang dikeringkan terlihat lebih pendek masih jauh di bawah
batas maksimum, yaitu 600 (180 m). Layout sistem saluran yang dibuat di lapangan
adalah sistem blok yang sebaiknya dipilih sistem sisir dengan hierarki saluran mulai dari
saluran tersier yang berfungsi untuk pengeringan, saluran sekunder yang berfungsi
sebagai saluran kolektor dan saluran primer sebagai saluran pembuang utama yang
melayani satu sistem saluran secara keseluruhan.
Penempatan saluran perlu dirancang sentris dimana saluran sekunder ditempatkan
ditengah-tengah beberapa saluran tersier dan hanya terdapat satu saluran primer yang
ditempatkan di tengah diantara saluran sekunder. Saluran primer ini membuang total
volume buangan air ke sungai terdekat (body of water). Karena saluran primer ini tidak
menerima air buangan langsung dari saluran tersier, maka lahan disamping saluran
primer ini selebar 100 m tidak diperuntukkan untuk lahan perkebunan dan hanya
diperuntukkan sebagai lajur hijau (green belt). Penanganan serupa juga dilakukan pada
lahan di kiri dan kanan di sepanjang sungai yang perlu dipertahankan sebagai green belt
dengan lebar 200 m. Apa yang dijumpai di lapangan adalah perkebunan kelapa sawit
dibuka hingga sepanjang kiri dan kanan saluran pembuang utama dan sepanjang sungai.
Hal ini memerlukan perhatian khusus karena merupakan perkebunan masyarakat dan
sebagiannya lagi diusahakan oleh korporasi.
Di lapangan juga dijumpai saluran pembuang utama (saluran transport) yang dibangun
memisahkan lahan perkebunan dan hutan konservasi atau dibangun tidak sentris karena
LAPORAN UTAMA
dibangun dipinggir lahan perkebunan. Dengan kondisi demikian, maka lahan hutan
konservasi juga mengalami penurunan muka air tanah karena adanya saluran pembuang
utama tersebut dan selanjutnya hutan konservasi mengalami kerusakan akibat
menurunnya elevasi muka air tanah di lahan hutan lindung tersebut. Dengan kondisi
demikian maka sebelum melangkah pada Tahap Menengah pengelolaan lahan Rawa
Tripa yaitu penerapan sistem tata air dengan mengenalkan kanal blocking, sebaiknya
semua layout sistem saluran yang ada perlu dilakukan evaluasi dan direview ulang untuk
melihat kelebihan dan kekurangannya demi penyempurnaan.
Sebagian besar saluran yang sudah dibuat merupakan saluran tanah dengan kemiringan
talud 1H:5V yang terlihat terlalu terjal sehingga banyak dijumpai kelongsoran tebing
yang menyebabkan sedimentasi di saluran. Dimensi saluran yang dibuat juga terlihat
over capacity karena dari hasil perhitungan modulus pembuang menujukkan bahwa
debit saluran kolektor hanya sebesar 0,217 m3/det. Dengan tidak dijumpainya bangunan
pengatur debit maka pada saat debit buangan yang besar menyebabkan kecepatan di
saluran juga menjadi besar dan melebihi batas kecepatan aliran yang diijinkan untuk
saluran tanah, yaitu kecepatan maksimum 0,5 m/det. Sebagian pias saluran terlihat
kurang terawat dengan banyaknya tumbuhan air yang dapat mengurangi kapasitas
aliran sehingga dapat mengganggu proses pengeringan lahan. Disamping layout sistem
saluran yang perlu ditinjau ulang, dimensi saluran juga perlu ditinjau kembali dengan
menerapkan kaidah-kaidah hidrolika terapan.
Kemungkinan pengelolaan sistem saluran tidak sentris, blok lahan dikelilingi saluran,
dimensi saluran yang terlalu besar yang dilakukan oleh korporasi adalah menyangkut
pertimbangan produksi kelapa sawit dari gangguan binatang liar atau pencurian oleh
pihak yang tidak bertanggung jawab. Kalau hal demikian memang perlu
dipertimbangkan dan sistem saluran sudah dibangun, maka perlu adanya perbaikan dan
penyesuaian jenis konstruksi hidrolis pada konstruksi yang sudah dibangun. Misalnya
dengan melakukan penyempitan saluran pada bagian tetentu tanpa merubah konstruksi
saluran secara keseluruhan.
Sistem Kanal Blocking pada Reklamasi Rawa Tripa
Pada waktu tinjauan lapangan telah dijumpai dalam jumlah terbatas khususnya pada
lahan yang dikelola oleh PT. SPS sudah dibangun bangunan pelimpah pada hilir saluran
kolektor yang berfungsi sebagai bangunan kanal blocking. Kemungkinan dengan
mengedepankan fungsinya, konstruksi bangunannya dibuat secara sederhana dan
sifatnya darurat dengan material seadanya, yaitu dari tumpukan kayu sisa-sisa
penebangan dan kantong plastik yang diisi tanah. Dengan demikian bangunannya tidak
stabil, sering mengalami kerusakan dan terjadi kebocoran aliran.
Sistem kanal blocking yang dibuat juga dilengkapi dengan peilschaal atau papan duga air
yang dipasang di hulu saluran kolektor dan bangunan piezometer yang dipasang di
tengah blok lahan. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa perusahaan perkebunan
tersebut sudah mengetahui dan memulai program Tahap Menengah yaitu mengatur
sistem tata air dengan membangun sistem kanal blocking. Terbatasnya jumlah kanal
blocking yang sudah dibangun kemungkinan dengan faktor prioritas ketersediaan dana
perusahaan akan tetapi kiat menuju pengelolaan air (water management) sudah dimulai
dan diharapkan dapat diikuti oleh perusahaan perkebunan lainnya.
Rawa Tripa merupakan rawa lebak yaitu rawa yang tidak dipengaruhi oleh aliran akibat
pasang surut air laut yang berarti aliran air hanya bergerak kesatu arah dari hulu ke hilir.
Untuk kondisi yang demikian maka konstruksi bangunan air yang cocok dan layak untuk
306
dibangun adalah bangunan pelimpah baik pelimpah ambang tipis maupun pelimpah
ambang lebar. Pintu apung otomatis dapat juga dibangun pada kondisi ini apabila
memang layak ditinjau dari ketersediaan dana pembangunannya. Material yang baik
digunakan untuk konstruksi adalah yang terbuat dari fiber resin dimana materialnya
ringan dan tahan korosi. Sebagai gambaran konstruksi pelimpah ambang tipis, pelimpah
ambang lebar dan bangunan pintu apung otomatis dapat dilihat pada Gambar 10.
m.a.t
m.a.r
DASAR SALURAN
AMBANG TIPIS
APUNG OTOMATIS
LAPORAN UTAMA
60
100
200
DENAH
SHEETPILE
300
DASAR SALURAN
SHEETPILE
POT. B-B
POT. A-A
300
50
SHEETPILE
308
memenuhi persyaratan untuk digunakan pada tanah dengan kekuatan rendah dan
mudah cara membuatnya serta ringan perawatan konstruksinya.
B. Rekomendasi
1. Perlu adanya masterplan yang disusun berdasarkan kajian dan riset yang mendalam
serta mengadopsi kejadian yang ada di lapangan saat ini sebagai acuan dalam
usaha reklamasi Rawa Tripa untuk tahapan berikutnya.
2. Kajian ini perlu dilanjutkan dengan data yang lebih mendetail dan frekuensi yang
banyak sebagai usaha kerja sama antara Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi
(Lembaga Riset), Korporasi dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Mc Comas S., (2003). Lake and Pond Management Guidebook, Lewis Publishers, New
York.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.27 Tahun 1991 Tentang Rawa
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.38 Tahun 2011 Tentang Sungai
Schilfgaarde, J.V, (1974). Drainage for Agriculture, American Society of Agronomy Inc.,
Madison, Wisconsin USA.
Simandjuntak, T.R.P (2009). Reklamasi Rawa, PUSDIKLAT PU, Jakarta
LAPORAN UTAMA