SKENARIO
Seorang pasien bayi dibawa orangtuanya datang ke tempat praktek dokter
A, seorang dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter
obsgyn B sewaktu melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter
B maupun C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau
cedera sewaktu lahir dan dirawat disana. Sepuluh hari pasca lahir orangtua bayi
menemukan benjolan di pundak kanan bayi.
Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai
penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah
berbentuk khalus. Kepada dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi
patah tulang klavikula dan kapan kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah
tulang terssebut terjadi sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karena
telah mengakibatkan patah tulang dan dokter C karena lalai tidak dapat
mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompoten
sehingga sebaiknya ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa
yang sebaiknya ia katakan.
PENDAHULUAN
Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris sehingga ketidakpastian merupakan
salah satu ciri khasnya. Iptekdok masih menyisakan kemungkinan adanya bias dan
ketidaktahuan meskipun perkembangan telah sangat cepat sehingga sukar diikuti
oleh standart operasional yang baku dan kaku. Kedokteran tidak menjajikan hasil
pelayananya tetapi menjajikan upayanya. Layanan kedokteran dikenal sebagai
suatu system yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat
khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang intensif. Sistem yang
kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan intrepedensi. Dalam suatu
system yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak
komponen lain, kadang dengan cara yang tidak terduga dan tidak terlihat. Semakin
kompleks dan ketat suatu system akan semakin mudah terjadi kecelakaan. Oleh
karena itu prajtek kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang
tinggi.1
Kedua jenis resiko di atas apabila terjadi maka bukan menjadi tanggungjawab
dokter sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui. Pada saat
inilah manfaat pelaksanaan informed consent.
Suatu resiko atau peristiwa buruk yang tidak diduga atau diperhitungkan
sebelumnya, yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tidak
dapat dipertanggung jawabkan kepada dokter atau pemberi layanan medis. Setiap
cedera yang lebih disebabkan karena manajemen kedokteran daripada akibat
penyakit disebut sebagai adverse events. Sebagian dari adversed event ternyata
disebabkan oleh error sehingga dianggap sebagai preventable adverse events.
Errors sendiri diartikan sebagai kegagalan melakukan suatu rencana atau tindakan
atau penggunaan rencana atau tindakan yang salah dalam mencapai tujuan
tertentu. Didalam kedokteran semua error dianggap penting karena membahayakan
nyawa pasien.
Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medic sebenarnya dapat
disebabkan oleh beberapa kemungkinan yaitu:
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan
tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.
2. Hasil dari suatu resiko yang tak dapat dihindari, yaitu resiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya atau resiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya
tetapi dianggap acceptable.
3. Hasil dari suatu kelalaian medic
4. Hasil dari suatu kesengajaan
Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam sebuah error dan dampaknya
maka perlu diperhatikan perbedaan antara active error dan latent error. Active
errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan,
sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan
seperti desain buruk, instalasi buruk, instalasi tidak tepat, pemeliharaan yang
buruk, kesalahan keputusan manajemen dan struktur organisasi yang buruk.
2
Umumnya kita berespon pada suatu eror deng berfokus pada active errornya
dengan memberikan hukuman pada individu pelakunya yang bertujuan untuk
mencegah berulangnya kembali active errors. Meskipun hukuman seringkali
bermanfaat pada kasus tertentu namun sebenarnya tidak cukup efektif.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus penuntutan terhadap dokter atas
dugaan adanya kelalaian medis maupun malpraktek medis tercatat meningkat
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Seirama dengan itu, tercatat
jumlah kasus pengaduan dugaan pelanggaran etik kedokteran yang diajukan ke
MKEK juga meningkat.
Kalangan dokter umumnya berpendapat bahwa tingginya jumlah penuntutan
hokum tidak berhubungan dengan kualitas layanan kedokteran pada umumnya dan
kompetensi para dokter yang memberikan layanan. Tan Soo Yang menyebutkan 4
alasan yang dapat menjelaskan fenomena peningkatan tuntutan akan kelalaian
medic, yaitu:
1. Pendidikan yang lebih baik dan meningkatnya sikap asertif masyarakat,
terutama di bidang kesadaran tentang system hukum dan kedokeran. Mereka
sadar bahwa dokter juga dapat bertindak lalai dalam menjalankan profesinya
dan bertanggung jawab atas kelalaian yang mengakibatkan cedera atau
kerugian.
2. Meningkatnya harapan masyarakat atas hasil tindakan medis. Sosialisai
pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran melalui
media massa ternyata tidak sesuai dengan pencapaian dalam praktek.
3. Komersialisasi upaya pelayanan dokter disertai erosi kualitas hubungan
kepercayaan antar dokter-pasien. Pendidikan kedokteran yang mahal dan
dibayar sendiri, terlupakan pendidikan etik kedokteran dan sikap empati,
Rumah Sakit yang berorientasi terhadap profit dan kompetisi tak sehat antara
pemeberi layanan kedokteran adalah sedikit dari banyak fakta yang
mendukung alas an ini.
4. Peningkatan biaya layanan kedokteran dan masih sedikitnya pembiayaan
kedokteran melalui asuransi adalah suatu fakta bahwa makin tinggi
seseorang harus membayar untuk suatu layanan maka semakin tinggi pula
intoleransi terhadap ketidaksempurnaan layanan tersebut.
PEMBAHASAN
PRINSIP ETIKA KEDOKTERAN
Didalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain
selain mempertimbangkan empat kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan
fisiologis yang dipenuhi dengan makanan dan minuman, kebutuhan psikologis yang
dipenuhi dengan rasa puas, istirahat, santai dll, kemudian kebutuhan social yang
dipenuhi dengan adanya keluarga, teman dan komunitas serta kebutuhan yang
tidak kalah penting yaitu kebutuhan kreatif dan spiritual yang dipenuhi melalui
3
pengetahuan, kebenaran, cinta dll, maka keputusan yang akan diambil oleh dokter
hendaknya mempertimbangkan juga hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak
pasien akan mengakibatkan pelanggaran atas kebutuhan dasar diatas terutama
kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.1,2
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya
suatu sikap dan atau perbuatan seseotang individu atau institusi dilihat dari
moralitas. Penilaian baik buruk dan benar salah dari sisi moral tersebut
menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua
teori etika yang paling banyak dianut oleh orang yaitu teori deontology dan teologi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa deontology mengajarkan bahwa aikburuknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatan itu sendiri, sedangkan
teologi mengajarkan untuk melihat baik-buruknya sesuatu dengan melihat hasil
atau akibatnya. Deontologi lebih mendasar kepada ajaran agama, tradisi dan
budaya, sedangkn teologi lebih berdasar pada arah penalaran dan pembenaran
kepada azas manfaat. 1,3
Beuchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke
suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa aturan
dibawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah:
1. Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi adalah prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan
doktrin informed consent.
2. Prinsip Beneficence
Prinsip Beneficence adalah prinsip moral yng mengutamakan tindakan yang
ditujukan demi kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal
perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya
(manfaat) lebih besar dari sisi buruknya.
3. Prinsip Non-malificence
Prinsip Non-malificence adalah prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini juga dikenal dengan primum non
nocere atau above all, do no harm.
4. Prinsip Justice
Prinsip Justice adalah prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan
dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
Sedangkan aturan turunannya adalah veracity (berbicara jujur, benar dan terbuka),
privacy (menghormat hak pribadi pasien), confidentiality (menjaga kerahasian
pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas, yang harus dijadikan pedoman
dalam mengambil keputusan klinis, profesionalitas kedokteran juga mengenal etika
profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku. Nilai-nilai dalam etika
profesi tercermin dalam sumpah dokter dank ode etik kedokteran. Sumpah berisi
4
kontrak moral antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode
etik kedokteran berisikan kontrak kewajiban moral antara dokter dengan peergroupnya yaitu masyarakat profesinya.Baik sumpah dokter maupun kode etik
kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat pada para dokter.
Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat
dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi
pemimpin dari kewajiban dalam hokum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik
haruslah hukum yang etis.1
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga
dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar
moral diatas. Jonsen, Siegler dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang
menggunakan 4 topik yang essential dalam pelayanan klinik, yaitu:
1. Medical indication
Kedalam topic medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan
terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya.
Penilaian aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama
menggunakan kaidah beneficence dan non-malificence. Pertanyaan etika
pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya
disampaikan kepada pasien pada doktrin informed consent.
2. Patient preferences
Pada topic ini, kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang
manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah
autonomy. Pertanyaan etika meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien,
sifat volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa
pembuat keputusan bila pasien dalam keadaan tidak sadar dan kompeten
serta nilai dan keyakinan yang dianut oleh pasien.
3. Quality of life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa
dan bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan
etik sekitar prognosis yang berkaitan dengan beneficence, non-malificence
dan autonomy.
4. Contextual features
Dalam topic ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang
mendahului keputusan seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaya,
kerahasiaan, alokasi sumber daya dan factor hukum.
KELALAIAN MEDIK
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi bila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnta tidak dilakukan
atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang
5
mempunyanyai kualifikasi yang sama pada keadaan yang sama. Perlu diingat
bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orange r orang bukanlah
merupakan perbuatan yang dapat dihukum kecuali apabila dilakukan oleh orang
yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati dan telah
mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. 1,4
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis
menurut World Medical Association (1992), yaitu: medical malpractice involves the
physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients
condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the
direct cause of an injury to the patient. WMA mengingatkan pula bahwa tidak
semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk
yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan
tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak
termasuk ke dalam pengertian malpraktek. An injury occurring in the course of
medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of
skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which
the physician should not bear any liability.
pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan
yang normal sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat
diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus
diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan What is right (or wrong)
for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in
an identical situation.
3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala
sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur
kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebabakibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel.
Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan
kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah
real cost atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan
penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai
saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk
perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat
hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity).
Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai
akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban
dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.
5. Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya
ke-empat unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat
dibuktikan maka gugatan tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti.
keterangan dari pasien karena memang tidak bisa diperoleh begitu saja. Perlu
dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan
pengertian akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan
terbangunnya hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan yang
benar dan lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit
pasien secara baik dan memberi obat yang tepat bagi pasien. Komunikasi yang baik
dan berlangsung dalam kedudukan setara (tidak superior-inferior) sangat diperlukan
agar pasien mau/dapat menceritakan sakit/keluhan yang dialaminya secara jujur
dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam
pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan
komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah.
TEORI HUBUNGAN DOKTER PASIEN
Teori hubungan dokter dengan pasien dapat dilukiskan dari aspek sifat antara lain: 6
1. Bersifat religious
Pada awal profesi kedokteran, dipercaya bahwa timbulnya penyakit
berasal dari kemarahan dewa. Seorang yang sedang sakit melapor kepada
sang pemimpin agama lalu dibuat upaya keagamaan utuk penyembuhan.
2. Bersifat paternalistis
Pada perkembangan selanjutnya, muncul pembagian pekerjaan
dimana orang orang pandai pada masanya memiliki pemikiran tersendiri.
Salah satunya adalah ada orang orang yang mau menolong orang sakit.
Orang tersebut boleh dikatakan dokter generasi pertama dan tidak lagi
berhubungan dengan upacara keagamaan. Dokter zaman dahulu mempunyai
murid dan menurunkan keahliannya kepada muridnya itu. Profesi kedokteran
seperti ini dimulai pada abad ke -5 SM oleh Hipokrates di Yunani.
Karena pengajaran (pendidikan ) yang bersifat turun temurun
tersebut, para dokter kuno merupakan golongan yang tertutup bagi
komunitas terbatas yang menguasai ilmu pengobatan ilmu kedokteran kuno
tersebut. Masyarakat atau orang awam sangat tidak memahami proses
pengobatan. Akhirnya timbul suatu hubungan yang berat sebelah dan pasien
sangat tergantung pada dokter. Para dokter kuno selain berpendidikan juga
mengaku sebagai keturunan dewa. Hubungan ini disebut hubungan
paternalistis. Dokter mengobati dengan memberi perintah yang harus dituruti
oleh pasien hubungan modrl ini berlangsung sejak abad ke-5 SM sampai
zaman modern sebelum teknologi informasi berkembang.
Ilmu kedokteran sejak zaman Hipokrates hingga sekarang disebut juga
seni kedokteran ( medicine is a science and art ). Dokter zaman kuno
menerima imbalan sebagai tanda kehormatan, karena itu imbalan tersebut
disebut honorarium (honor = hormat ). Seiring dengan perkembangan
teknologi kedoteran dan teknologi informasi, terjadilah perubahan dalam
hubungan kedokteran. Teknologi kedokteran dan informasi memberikan
dampak positif seperti diagnosa dan terapi yang tepat, selain juga damak
negatif seperti tingginya biaya pengobatan. Selain itu, akibat lain dari
modernisasi adalah perubahan hubungan dokter dan pasien dari paternalistis
enjadi hubungan baru yang lebih menonjolkan aspek bisnis sehingga
hubungan dokter dan pasien berubah menjadi hubungan antara penyedia
jasa dan konsumen.
3. bersifat penyedia jasa dan konsumen
Dalam kondisi sakit, baik berat maupun ringan, baik sakit fisik maupun
mental, seorang pasien membutuhkan dokter. Di lain pihak, budaya
paternalistis di Indonesia jangan sampai disalahgunakan oleh dokter yang
tujuan utamanya adalah mencari uang tanpa memerhatikan kondisi pasien.
Budaya saling menghargailah yng justru harus dikembangkan agar ada rasa
saling percaya antara pasien dan dokter. Di Indonesia bayak pasien
mengajukan tuntutan hukum kepada dokter, sementara sang dokter bersikap
defensif. Semakin banyak jug pasien yang pergi ke luar negeri untuk berobat
karena tidak lagi mempercayai kompetensi dokter di Indonesia. Tidak sedikit
pula dokter senior yang sangt diminati pasien hingga harus berpraktik hingga
dini hari, padahal banyak pasiennya yang bisa dirujuk atau didelegasikan
kepada dokter lain. Kondisi ini menyebabkan dokter tidak bisa bekerja
maksimal dan mengecewakan pasien. Peristiwa berlebihan semacam inilah
yang akan diatur oleh IDI dengan pembatasan tempat praktik dan pelayanan
dokter di maksimum tiga tempat. Hal tersebut tertuang dalam Undang
undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedoteran dan kedokteran gigi.
Hubungan dokter-pasien semestinya atas saling percaya, bukan
kontrak bisnis. Dokter maupun pasien sama-sama profesional dan
proporsional dalam memecahkan permasalahan kesehatan. Dokter harus
selalu
berlaku
profesional
dalam
menjalankan
profesinya,
serta
mengkomunikasikan secara proporsional segala aspek yang terkait dengan
tindakan medis yang dilakukannya. Sementara pasien mesti memahami
aspek yang terkait dengan pengambilan keputusan medis sehingga mengerti
manfaat dan risiko dari tindakan medis tersebut.
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan
hak tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin
diperlakukan.
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
ASPEK HUKUM
Beberapa undang-undang yang mengatur mengenai kelalaian medic adalah sebagai
berikut:1,4
10
12
profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik profesi, disiplin profesi dan juga
sekaligus pelanggaran hukum.
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran
(tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik
dan disiplin profesinya). Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan
akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satusatunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik
dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. MKEK dalam perjalanannya telah
diperkuat dengan landasan hukum yang diatur dalam UU No.18 tahun 2002 tentang
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),
lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No.29/2004, akan menjadi
majelis yang menyidangkan dugaan/pelanggaran disiplin profesi kedokteran. MKDKI
bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah disiplin pofesi, yaitu
permasalahan yang timbul akibat dari pelanggaran seseorang professional atas
peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan
dilakukan oleh orang (professional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang
rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran
etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses
persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan
jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK
IDI,sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga
pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran
standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula
diperiksa dipengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan diantara
keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu
dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan
anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau
perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak
menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara
pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian
mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh:
13
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat
pada hukum pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary Tribunal Regulation,
misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang
perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang
mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak
mengharuskannya.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya
tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah
pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK
dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di
persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali
lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK. Eksekusi
Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus
Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan
maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.
Gugatan yang tidak dibatasi terutama kerugian immaterial akan cenderung
mengakibatkan semakin rumitnya lingkaran setan pelayanan dokter dengan biaya
yang tinggi. Demikian pula biaya gugatan ganti rugi melalui persidangan,
pengacara dan success fee. Oleh karena itu World Medical Association
menganjurkan kepada IDI untuk mencari jalan inovatif dalam menyelesaikan
masalah tuntutan ganti rugi seperti lebih memilih penyelesaian melalui arbitrase
daripada mellalui pengadilan. Penuntutan juga mengakibatkan tekanan psikologi
bagi para dokter yang diduga melakukan kelalaian medis. Meskipun pembayaran
ganti rugi dilakukan dengan menggunakan uang pertanggung jawaban asuransi
profesi, namun peristiwa penuntutan tersebut sudah mengakibatkan kegelisahan,
depresi, perasaan bersalah dan kehilangan rasa percaya diri dokter, karena nama
baik dan reputasi dokter yang bermasalah tersebut dapat tercemar. Para dokter
yang pernah mengalami penuntutan akan menderita litigation stress syndrome
dengan derajat yang bervariasi.1
REKAM MEDIS
14
Bila ditelusuri lebih jauh, rekam medis mempunyai aspek hokum kedisiplinan
dan etik petugas kesehatan, kerahasiaan, keuangan, mutu serta manajemen Rumah
Sakit dan audit medic. Secara umum, kegunaan dari rekam medic adalah:
15
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang
ikut ambil bagian dalam member pelayanan, pengobatan dan perawatan
pasien
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan atau perawatan yang harus
diberikan pada pasien
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan
pengobatan selama pasien berkunjung atau dirawat di Rumah sakit
4. Sebagai dasar analisis, studi dan evaluasi terhadap mutu pelayanan yang
diberikan kepada pasien
5. Melindungi kepentingan hokum bagi pasien, Rumah sakit maupun dokter dan
tenaga kesehatan lainnya
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan
penelitian dan pendidikan
7. Sebagai dasar dari perhitungan biaya pembayaran pelayanan medic pasien
8. Menjadi sumber ingatan yang perlu didokumentasikan serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan
Seorang dokter mungkin saja telah bersikap dan berkomunikasi dengan baik,
membuat keputusan medik dengan cemerlang dan/atau telah melakukan tindakan
diagnostik dan terapi yang sesuai standar; namun kesemuanya tidak akan memiliki
arti dalam pembelaannya apabila tidak ada rekam medis yang baik. Rekam medis
yang baik adalah rekam medis yang memuat semua informasi yang dibutuhkan,
baik yang diperoleh dari pasien, pemikiran dokter, pemeriksaan dan tindakan
dokter, komunikasi antar tenaga medis / kesehatan, informed consent, dll informasi
lain yang dapat menjadi bukti di kemudian hari yang disusun secara berurutan
kronologis. Sebuah adagium mengatakan good record good defence, bad record
bad defence, and no record no defence. 1,4
Biasanya kata kunci yang sering digunakan oleh para hakim adalah (1)
bahwa kewajiban profesi dokter adalah memberikan layanan dengan tingkat
pengetahuan dan ketrampilan yang normalnya diharapkan akan dimiliki oleh
rata-rata dokter pada situasi-kondisi yang sama, (2) bahwa tindakan dokter
adalah masih reasonable, dan didukung oleh alasan penalaran yang benar, (3)
bahwa dokter harus memperoleh informed consent untuk tindakan diagnostik /
terapi yang ia lakukan, dan (4) bahwa dokter harus membuat rekam medis yang
baik.
Rekam medis dapat digunakan sebagai alat pembuktian adanya kelalaian
medis, namun juga dapat digunakan untuk membuktikan bahwa seluruh proses
penanganan dan tindakan medis yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan
lainnya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional atau
berarti bahwa kelalaian medis tersebut tidak terjadi.
SOLUSI
16
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan
hak tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
PENUTUP
KESIMPULAN
17
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampurna. Budi., Syamsu. Zulhasmar., Siswaja. Tjetjep Dwidja. Didalam:
Bioetik dan Hukum Kedokteran. Juli 2007.
2. Hanafiah. M. Jusuf., Amir. Amri,. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Penerbit Buku Kedokteran:EGC. Jakarta. 2007
3. Samil. Ratna Suprapti. Etika Kedokteran Indonesi. Penerbit: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2001.
4. Budi
Sampurna.
2007.
Kelalaian
medik.
Diunduh
dari:
http://www.freewebs.com/kelalaianmedik. Pada 25 januari 2011
5. Daliyono. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Penerbit: PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 2006.
6. Hubungan
dokter
dan
pasien.
Diunduh
dari
:
http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/06/hubungan-dokter-pasien.html.
15 Januari 2011.
7. Etika
Profesi
dalam
Kesehatan.
2010.
Diunduh
dari:
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/gynecology/2019661-etikaprofesi-dalam-kesehatan/. 25 januari 2011.
19