Anda di halaman 1dari 19

Etika Kedokteran dalam Dugaan Kelalaian Medik

Martha Yuanita Loru


10.2007.036
Mahasiswa semester VI Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

SKENARIO
Seorang pasien bayi dibawa orangtuanya datang ke tempat praktek dokter
A, seorang dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter
obsgyn B sewaktu melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter
B maupun C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau
cedera sewaktu lahir dan dirawat disana. Sepuluh hari pasca lahir orangtua bayi
menemukan benjolan di pundak kanan bayi.
Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai
penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah
berbentuk khalus. Kepada dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi
patah tulang klavikula dan kapan kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah
tulang terssebut terjadi sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karena
telah mengakibatkan patah tulang dan dokter C karena lalai tidak dapat
mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompoten
sehingga sebaiknya ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa
yang sebaiknya ia katakan.

PENDAHULUAN
Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris sehingga ketidakpastian merupakan
salah satu ciri khasnya. Iptekdok masih menyisakan kemungkinan adanya bias dan
ketidaktahuan meskipun perkembangan telah sangat cepat sehingga sukar diikuti
oleh standart operasional yang baku dan kaku. Kedokteran tidak menjajikan hasil
pelayananya tetapi menjajikan upayanya. Layanan kedokteran dikenal sebagai
suatu system yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat
khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang intensif. Sistem yang
kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan intrepedensi. Dalam suatu
system yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak
komponen lain, kadang dengan cara yang tidak terduga dan tidak terlihat. Semakin
kompleks dan ketat suatu system akan semakin mudah terjadi kecelakaan. Oleh
karena itu prajtek kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang
tinggi.1

Setiap tindakan medis mengandung resiko buruk sehingga harus dilakukan


tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi resiko. Namun demikian
sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena resiko tersebut dapat
diterima sesuai dengan state of the art ilmu dan teknologi kedokteran. Resiko
yang dapat diterima adalah resiko-resiko sebagai berikut:

Resiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat


diantisipasi, diperhitungkan atau dikendalikan. Misalnya: efek samping obat,
perdarahan, infeksi pada pembedahan dll.
Resiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan
tertentu yaitu apabila tindakan medis yang berbahaya tersebut harus
dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh
terutama pada keadaan gawat darurat.

Kedua jenis resiko di atas apabila terjadi maka bukan menjadi tanggungjawab
dokter sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui. Pada saat
inilah manfaat pelaksanaan informed consent.
Suatu resiko atau peristiwa buruk yang tidak diduga atau diperhitungkan
sebelumnya, yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tidak
dapat dipertanggung jawabkan kepada dokter atau pemberi layanan medis. Setiap
cedera yang lebih disebabkan karena manajemen kedokteran daripada akibat
penyakit disebut sebagai adverse events. Sebagian dari adversed event ternyata
disebabkan oleh error sehingga dianggap sebagai preventable adverse events.
Errors sendiri diartikan sebagai kegagalan melakukan suatu rencana atau tindakan
atau penggunaan rencana atau tindakan yang salah dalam mencapai tujuan
tertentu. Didalam kedokteran semua error dianggap penting karena membahayakan
nyawa pasien.
Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medic sebenarnya dapat
disebabkan oleh beberapa kemungkinan yaitu:
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan
tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.
2. Hasil dari suatu resiko yang tak dapat dihindari, yaitu resiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya atau resiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya
tetapi dianggap acceptable.
3. Hasil dari suatu kelalaian medic
4. Hasil dari suatu kesengajaan
Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam sebuah error dan dampaknya
maka perlu diperhatikan perbedaan antara active error dan latent error. Active
errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan,
sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan
seperti desain buruk, instalasi buruk, instalasi tidak tepat, pemeliharaan yang
buruk, kesalahan keputusan manajemen dan struktur organisasi yang buruk.
2

Umumnya kita berespon pada suatu eror deng berfokus pada active errornya
dengan memberikan hukuman pada individu pelakunya yang bertujuan untuk
mencegah berulangnya kembali active errors. Meskipun hukuman seringkali
bermanfaat pada kasus tertentu namun sebenarnya tidak cukup efektif.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus penuntutan terhadap dokter atas
dugaan adanya kelalaian medis maupun malpraktek medis tercatat meningkat
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Seirama dengan itu, tercatat
jumlah kasus pengaduan dugaan pelanggaran etik kedokteran yang diajukan ke
MKEK juga meningkat.
Kalangan dokter umumnya berpendapat bahwa tingginya jumlah penuntutan
hokum tidak berhubungan dengan kualitas layanan kedokteran pada umumnya dan
kompetensi para dokter yang memberikan layanan. Tan Soo Yang menyebutkan 4
alasan yang dapat menjelaskan fenomena peningkatan tuntutan akan kelalaian
medic, yaitu:
1. Pendidikan yang lebih baik dan meningkatnya sikap asertif masyarakat,
terutama di bidang kesadaran tentang system hukum dan kedokeran. Mereka
sadar bahwa dokter juga dapat bertindak lalai dalam menjalankan profesinya
dan bertanggung jawab atas kelalaian yang mengakibatkan cedera atau
kerugian.
2. Meningkatnya harapan masyarakat atas hasil tindakan medis. Sosialisai
pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran melalui
media massa ternyata tidak sesuai dengan pencapaian dalam praktek.
3. Komersialisasi upaya pelayanan dokter disertai erosi kualitas hubungan
kepercayaan antar dokter-pasien. Pendidikan kedokteran yang mahal dan
dibayar sendiri, terlupakan pendidikan etik kedokteran dan sikap empati,
Rumah Sakit yang berorientasi terhadap profit dan kompetisi tak sehat antara
pemeberi layanan kedokteran adalah sedikit dari banyak fakta yang
mendukung alas an ini.
4. Peningkatan biaya layanan kedokteran dan masih sedikitnya pembiayaan
kedokteran melalui asuransi adalah suatu fakta bahwa makin tinggi
seseorang harus membayar untuk suatu layanan maka semakin tinggi pula
intoleransi terhadap ketidaksempurnaan layanan tersebut.

PEMBAHASAN
PRINSIP ETIKA KEDOKTERAN
Didalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain
selain mempertimbangkan empat kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan
fisiologis yang dipenuhi dengan makanan dan minuman, kebutuhan psikologis yang
dipenuhi dengan rasa puas, istirahat, santai dll, kemudian kebutuhan social yang
dipenuhi dengan adanya keluarga, teman dan komunitas serta kebutuhan yang
tidak kalah penting yaitu kebutuhan kreatif dan spiritual yang dipenuhi melalui
3

pengetahuan, kebenaran, cinta dll, maka keputusan yang akan diambil oleh dokter
hendaknya mempertimbangkan juga hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak
pasien akan mengakibatkan pelanggaran atas kebutuhan dasar diatas terutama
kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.1,2
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya
suatu sikap dan atau perbuatan seseotang individu atau institusi dilihat dari
moralitas. Penilaian baik buruk dan benar salah dari sisi moral tersebut
menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua
teori etika yang paling banyak dianut oleh orang yaitu teori deontology dan teologi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa deontology mengajarkan bahwa aikburuknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatan itu sendiri, sedangkan
teologi mengajarkan untuk melihat baik-buruknya sesuatu dengan melihat hasil
atau akibatnya. Deontologi lebih mendasar kepada ajaran agama, tradisi dan
budaya, sedangkn teologi lebih berdasar pada arah penalaran dan pembenaran
kepada azas manfaat. 1,3
Beuchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke
suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa aturan
dibawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah:
1. Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi adalah prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan
doktrin informed consent.
2. Prinsip Beneficence
Prinsip Beneficence adalah prinsip moral yng mengutamakan tindakan yang
ditujukan demi kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal
perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya
(manfaat) lebih besar dari sisi buruknya.
3. Prinsip Non-malificence
Prinsip Non-malificence adalah prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini juga dikenal dengan primum non
nocere atau above all, do no harm.
4. Prinsip Justice
Prinsip Justice adalah prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan
dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
Sedangkan aturan turunannya adalah veracity (berbicara jujur, benar dan terbuka),
privacy (menghormat hak pribadi pasien), confidentiality (menjaga kerahasian
pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas, yang harus dijadikan pedoman
dalam mengambil keputusan klinis, profesionalitas kedokteran juga mengenal etika
profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku. Nilai-nilai dalam etika
profesi tercermin dalam sumpah dokter dank ode etik kedokteran. Sumpah berisi
4

kontrak moral antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode
etik kedokteran berisikan kontrak kewajiban moral antara dokter dengan peergroupnya yaitu masyarakat profesinya.Baik sumpah dokter maupun kode etik
kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat pada para dokter.
Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat
dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi
pemimpin dari kewajiban dalam hokum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik
haruslah hukum yang etis.1
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga
dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar
moral diatas. Jonsen, Siegler dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang
menggunakan 4 topik yang essential dalam pelayanan klinik, yaitu:
1. Medical indication
Kedalam topic medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan
terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya.
Penilaian aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama
menggunakan kaidah beneficence dan non-malificence. Pertanyaan etika
pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya
disampaikan kepada pasien pada doktrin informed consent.
2. Patient preferences
Pada topic ini, kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang
manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah
autonomy. Pertanyaan etika meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien,
sifat volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa
pembuat keputusan bila pasien dalam keadaan tidak sadar dan kompeten
serta nilai dan keyakinan yang dianut oleh pasien.
3. Quality of life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa
dan bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan
etik sekitar prognosis yang berkaitan dengan beneficence, non-malificence
dan autonomy.
4. Contextual features
Dalam topic ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang
mendahului keputusan seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaya,
kerahasiaan, alokasi sumber daya dan factor hukum.

KELALAIAN MEDIK
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi bila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnta tidak dilakukan
atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang
5

mempunyanyai kualifikasi yang sama pada keadaan yang sama. Perlu diingat
bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orange r orang bukanlah
merupakan perbuatan yang dapat dihukum kecuali apabila dilakukan oleh orang
yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati dan telah
mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. 1,4
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis
menurut World Medical Association (1992), yaitu: medical malpractice involves the
physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients
condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the
direct cause of an injury to the patient. WMA mengingatkan pula bahwa tidak
semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk
yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan
tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak
termasuk ke dalam pengertian malpraktek. An injury occurring in the course of
medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of
skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which
the physician should not bear any liability.

Sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu layanan medik dikenal


gugatan ganti kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian medik. Suatu perbuatan
atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di
bawah ini:
1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis
atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien
tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban
ini adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis
dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari
hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut.
Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi,
berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajibankewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang
harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan
maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai
safety yang optimum.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan
melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk
memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban
dalam bentuk suatu standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan
terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi),
pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar
pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus
diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar
juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen).
Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan. Demikian
6

pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan
yang normal sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat
diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus
diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan What is right (or wrong)
for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in
an identical situation.
3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala
sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur
kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebabakibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel.
Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan
kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah
real cost atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan
penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai
saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk
perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat
hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity).
Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai
akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban
dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.
5. Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya
ke-empat unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat
dibuktikan maka gugatan tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti.

HUBUNGAN DOKTER & PASIEN


Hubungan dokter dengan pasien pada prinsipnya merupakan hubungan yang
berdasarkan atas kepercayaan antara keduanya. Keberhasilan suatu pengobatan
tergantung di antaranya pada seberapa besar kepercayaan pasien kepada
dokternya. Hal inilah yang menyebabkan hubungan seorang pasien dengan
dokternya kadang sulit tergantikan oleh dokter lain. Akan tetapi, hubungan ini
dalam beberapa tahun terakhir ini telah berubah akibat makin menipisnya
keharmonisan antara keduanya. Berubahnya pola hubungan dokter-pasien yang
bersifat paternalistik menjadi hubungan kolegial atau kemitraan, membuat pasien
makin kritis terhadap dokternya. Ketika terjadi suatu hasil pengobatan yang tidak
diinginkan seperti penyakit makin parah, kecacatan atau kematian, maka pasien
serta merta menganggap dokter dan rumah sakitnya lalai. 1,5
Di Indonesia, sebagian dokter merasa tidak mempunyai waktu yang cukup
untuk berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya seperlunya.
Akibatnya, dokter bisa saja tidak mendapatkan keterangan yang cukup untuk
menegakkan diagnosis dan menentukan perencanaan dan tindakan lebih lanjut.
Dari sisi pasien, umumnya pasien merasa dalam posisi lebih rendah di hadapan
dokter (superior-inferior), sehingga takut bertanya dan bercerita atau hanya
menjawab sesuai pertanyaan dokter saja. Tidak mudah bagi dokter untuk menggali
7

keterangan dari pasien karena memang tidak bisa diperoleh begitu saja. Perlu
dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan
pengertian akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan
terbangunnya hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan yang
benar dan lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit
pasien secara baik dan memberi obat yang tepat bagi pasien. Komunikasi yang baik
dan berlangsung dalam kedudukan setara (tidak superior-inferior) sangat diperlukan
agar pasien mau/dapat menceritakan sakit/keluhan yang dialaminya secara jujur
dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam
pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan
komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah.
TEORI HUBUNGAN DOKTER PASIEN
Teori hubungan dokter dengan pasien dapat dilukiskan dari aspek sifat antara lain: 6
1. Bersifat religious
Pada awal profesi kedokteran, dipercaya bahwa timbulnya penyakit
berasal dari kemarahan dewa. Seorang yang sedang sakit melapor kepada
sang pemimpin agama lalu dibuat upaya keagamaan utuk penyembuhan.
2. Bersifat paternalistis
Pada perkembangan selanjutnya, muncul pembagian pekerjaan
dimana orang orang pandai pada masanya memiliki pemikiran tersendiri.
Salah satunya adalah ada orang orang yang mau menolong orang sakit.
Orang tersebut boleh dikatakan dokter generasi pertama dan tidak lagi
berhubungan dengan upacara keagamaan. Dokter zaman dahulu mempunyai
murid dan menurunkan keahliannya kepada muridnya itu. Profesi kedokteran
seperti ini dimulai pada abad ke -5 SM oleh Hipokrates di Yunani.
Karena pengajaran (pendidikan ) yang bersifat turun temurun
tersebut, para dokter kuno merupakan golongan yang tertutup bagi
komunitas terbatas yang menguasai ilmu pengobatan ilmu kedokteran kuno
tersebut. Masyarakat atau orang awam sangat tidak memahami proses
pengobatan. Akhirnya timbul suatu hubungan yang berat sebelah dan pasien
sangat tergantung pada dokter. Para dokter kuno selain berpendidikan juga
mengaku sebagai keturunan dewa. Hubungan ini disebut hubungan
paternalistis. Dokter mengobati dengan memberi perintah yang harus dituruti
oleh pasien hubungan modrl ini berlangsung sejak abad ke-5 SM sampai
zaman modern sebelum teknologi informasi berkembang.
Ilmu kedokteran sejak zaman Hipokrates hingga sekarang disebut juga
seni kedokteran ( medicine is a science and art ). Dokter zaman kuno
menerima imbalan sebagai tanda kehormatan, karena itu imbalan tersebut
disebut honorarium (honor = hormat ). Seiring dengan perkembangan
teknologi kedoteran dan teknologi informasi, terjadilah perubahan dalam
hubungan kedokteran. Teknologi kedokteran dan informasi memberikan
dampak positif seperti diagnosa dan terapi yang tepat, selain juga damak
negatif seperti tingginya biaya pengobatan. Selain itu, akibat lain dari
modernisasi adalah perubahan hubungan dokter dan pasien dari paternalistis
enjadi hubungan baru yang lebih menonjolkan aspek bisnis sehingga
hubungan dokter dan pasien berubah menjadi hubungan antara penyedia
jasa dan konsumen.
3. bersifat penyedia jasa dan konsumen

Hubungan jenis ini disebut juga provider dan consumer relationship.


Perubahan dari paternalistis ke hubnugan ini bertepatan dengan
perkembangan teknologi informasi dimana masyarakat makin sadar akan hak
haknya serta mampu menilai pekerjaan dokter. Berikut ini merupakan faktor
faktor yang dapat mengidentifikasi berakhirnya era paternalistis :
Pelayanan kesehatan mulai bergeser dari pelayanana prorangan
( praktik pribadi ) menuju praktik pelayanan di rumah sakit.
Perkembangan ilmu teknologi kesehatan memberikan kesempatan
tindakan yang makin canggih. Namun, tidak semua tindakan berhasil
dengan baik sesuai harapan.
kekecewaan sering menimbulkan tuntutan hukum.
pengacara terlibat
Dalam era provider and costumer ini, terbentang jarak psikologis
antara dokter dan pasien. Seolah ada dua pihak yang menandatangani
kontrak perjanjian dimana pasien harus membayar dan dokter harus bekerja.
Dengan demikian, unsur bisnis terasa kental. Akibat dari pola hubungan ini,
masyarakat mudah menuntut bila merasa tidak puas dan dokter bersikap
defensif ( defensive medical service ), ini membuat hubungan dokter dan
pasien sedikit merenggang. Berdasarkan pola hubungan ini, tidak heran
bahwa dalam undang undang perlindungan konsumen, praktik dokter
dimasukkan ke dalam industri jasa, dan dengan sendirinya praktik
kedokteran masuk dalam Undang Undang perlindungan konsumen. Kondisi
ini menggelisahkan para dokter sehingga sebagian dokter senior berusaha
untuk merumuskan pola hubungan baru, yaitu pola kemitraan dokter-pasien.
UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mempunyai 2
sasaran pokok, yaitu :

Memberdayakan konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha


(publik atau privat) barang dan atau jasa;

Mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung


jawab.

Jenis-jenis masalah perlindungan konsumen sejak berlakunya UU No.


8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen sangat beragam, namun gugatan
konsumen terhadap pelayanan jasa kesehatan dan yang berhubungan
dengan masalah kesehatan masih tergolong langka. Hal ini antara lain
disebabkan selama ini hubungan antara si penderita dengan si pengobat,
yang dalam terminology dunia kedokteran dikenal dengan istilah transaksi
terapeutik, lebih banyak bersifat paternalistic. Seiring dengan perubahan
masyarakat, hubungan dokter - pasien juga semakin kompleks, yang ditandai
dengan pergeseran pola dari paternalistic menuju partnership, yaitu
kedudukan dokter sejajar dengan pasien (dokter merupakan partner dan
mitra bagi pasien).
4. Bersifat upaya bersama dan kemitraan
9

Dalam kondisi sakit, baik berat maupun ringan, baik sakit fisik maupun
mental, seorang pasien membutuhkan dokter. Di lain pihak, budaya
paternalistis di Indonesia jangan sampai disalahgunakan oleh dokter yang
tujuan utamanya adalah mencari uang tanpa memerhatikan kondisi pasien.
Budaya saling menghargailah yng justru harus dikembangkan agar ada rasa
saling percaya antara pasien dan dokter. Di Indonesia bayak pasien
mengajukan tuntutan hukum kepada dokter, sementara sang dokter bersikap
defensif. Semakin banyak jug pasien yang pergi ke luar negeri untuk berobat
karena tidak lagi mempercayai kompetensi dokter di Indonesia. Tidak sedikit
pula dokter senior yang sangt diminati pasien hingga harus berpraktik hingga
dini hari, padahal banyak pasiennya yang bisa dirujuk atau didelegasikan
kepada dokter lain. Kondisi ini menyebabkan dokter tidak bisa bekerja
maksimal dan mengecewakan pasien. Peristiwa berlebihan semacam inilah
yang akan diatur oleh IDI dengan pembatasan tempat praktik dan pelayanan
dokter di maksimum tiga tempat. Hal tersebut tertuang dalam Undang
undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedoteran dan kedokteran gigi.
Hubungan dokter-pasien semestinya atas saling percaya, bukan
kontrak bisnis. Dokter maupun pasien sama-sama profesional dan
proporsional dalam memecahkan permasalahan kesehatan. Dokter harus
selalu
berlaku
profesional
dalam
menjalankan
profesinya,
serta
mengkomunikasikan secara proporsional segala aspek yang terkait dengan
tindakan medis yang dilakukannya. Sementara pasien mesti memahami
aspek yang terkait dengan pengambilan keputusan medis sehingga mengerti
manfaat dan risiko dari tindakan medis tersebut.

HUBUNGAN REKAN SEJAWAT


Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) terdapat 4 kewajiban
seorang dokter dalam menjalani profesinya dan salah satunya itu adalah mengenai
kewajiban terhadap teman sejawat. Pasal-pasal dalam KODEKI yang mengatur
mengenai kewajiban terhadap teman sejawat adalah sebagai berikut: 1

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan
hak tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin
diperlakukan.
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

ASPEK HUKUM
Beberapa undang-undang yang mengatur mengenai kelalaian medic adalah sebagai
berikut:1,4

10

KUH Perdata Pasal 1365


Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
KUH Perdata Pasal 1366
Setiap orang bertanggung-jawa tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang
hati-hatiannya
KUH Perdata Pasal 1367
Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang
yang berada di bawah pengawasannya.
Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 55
(1) setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan.
KUH Perdata Pasal 1370
Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya
seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban
yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak menuntut
suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah
pihak, serta menurut keadaan.
KUH Perdata Pasal 1371
Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena
kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biayabiaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka
atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan
kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan.
KUH Perdata Pasal 1372
Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian
kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.
Di bidang pidana juga ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu :
KUHP Pasal 359
Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lainmati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan
paling lama satu tahun.
KUHP Pasal 360
11

(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain


mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat
ribu lima ratus rupiah.

KUHP Pasal 361


Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang
bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan
kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

DAMPAK PENUNTUTAN HUKUM


Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik profesi, disiplin profesi dan
aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue
tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran,
profesionalisme, dll. Sebenarnya banyak kasus penuntutan hukum kepada dokter
yang diduga melakukan kelalaian medic. Apabila penuntutan dilakukan sesuai
dengan proporsinya dapat diharapkan berperan dalam upaya menjaga mutu
pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Namun disisi lain, penuntutan sendiri
dapat menyebabkan banyak dampak negative juga. 1,7
Norma etik profesi disiplin profesi dan hukum pidana memang berada dalam
satu garis, dengan etik profesi di satu ujung dan hukum pidana di ujung lainnya.
Disiplin profesi terletak diantaranya dan kadang membaur dari ujung ke ujung.
Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik profesi dan/atau disiplin profesi
seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya
norma etik profesi yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya
norma hukum yang mengandung nilai nilai etika. Aspek etik profesi yang
mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian
perilaku etik profesi seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan
penilaian perilaku diiplin profesinya. Etik profesi yang memiliki sanksi moral dipaksa
berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat
administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa
standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum,
padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah
bagian dari sikap etis dan sikap professional. Dengan demikian pelanggaran standar

12

profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik profesi, disiplin profesi dan juga
sekaligus pelanggaran hukum.
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran
(tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik
dan disiplin profesinya). Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan
akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satusatunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik
dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. MKEK dalam perjalanannya telah
diperkuat dengan landasan hukum yang diatur dalam UU No.18 tahun 2002 tentang
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),
lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No.29/2004, akan menjadi
majelis yang menyidangkan dugaan/pelanggaran disiplin profesi kedokteran. MKDKI
bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah disiplin pofesi, yaitu
permasalahan yang timbul akibat dari pelanggaran seseorang professional atas
peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan
dilakukan oleh orang (professional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang
rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran
etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses
persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan
jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK
IDI,sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga
pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran
standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula
diperiksa dipengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan diantara
keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu
dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan
anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau
perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak
menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara
pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian
mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh:

13

Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidativ), langsung dari pihak-pihak


terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di
bidangnya yang dibutuhkan.
Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai
ijasah / brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti
kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan Rumah Sakit
tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan Rumah Sakit, hospital by
laws SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang
berkaitan dengan kasusnya.

Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat
pada hukum pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary Tribunal Regulation,
misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang
perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang
mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak
mengharuskannya.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya
tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah
pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK
dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di
persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali
lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK. Eksekusi
Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus
Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan
maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.
Gugatan yang tidak dibatasi terutama kerugian immaterial akan cenderung
mengakibatkan semakin rumitnya lingkaran setan pelayanan dokter dengan biaya
yang tinggi. Demikian pula biaya gugatan ganti rugi melalui persidangan,
pengacara dan success fee. Oleh karena itu World Medical Association
menganjurkan kepada IDI untuk mencari jalan inovatif dalam menyelesaikan
masalah tuntutan ganti rugi seperti lebih memilih penyelesaian melalui arbitrase
daripada mellalui pengadilan. Penuntutan juga mengakibatkan tekanan psikologi
bagi para dokter yang diduga melakukan kelalaian medis. Meskipun pembayaran
ganti rugi dilakukan dengan menggunakan uang pertanggung jawaban asuransi
profesi, namun peristiwa penuntutan tersebut sudah mengakibatkan kegelisahan,
depresi, perasaan bersalah dan kehilangan rasa percaya diri dokter, karena nama
baik dan reputasi dokter yang bermasalah tersebut dapat tercemar. Para dokter
yang pernah mengalami penuntutan akan menderita litigation stress syndrome
dengan derajat yang bervariasi.1

REKAM MEDIS

14

Dalam Permenkes No.749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis,


disebutkan pengertian mengenai Rekam Medis. Rekam medis adalah berkas yang
berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan,
tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Secara sederhana Rekam Medis dapat diartikan sebagai kumpulan keterangan
tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan dan catatan segala kegiatan para
pelayan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu dan catatan ini dapat berupa
tulisan, gambar, rekaman elektronik (computer, microfilm dan rekaman suara). 2,3
Terdapat 2 jenis Rekam Medis di Rumah sakit yaitu Rekam medis untuk
pasien rawat jalan dan rekam medis untuk pasien rawat inap. Untuk pasien rawat
jalan, termasuk pasien Gawat darurat, Rekam medis memiliki informasi pasien
sebagai berikut:
1. Identitas dan formulir perizinan (Lembar Hak Kuasa)
2. Riwayat penyakit (anamnesis) tentang:
Keluhan utama
Riwayat sekarang
Riwayat penyakit yang pernah diderita
Riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkan
3. Laporan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, Foto rontgen,
scanning, MRI dll
4. Diagnosis dan/atau diagnosis banding
5. Instruksi diagnostic dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat
kesehatan yang berwenang.
Untuk rawat inap memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat
jalan tetapi dengan beberapa tambahan yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Persetujuan tindakan medik


Catatan konsultasi
Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya
Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan
Resume akhir dan evaluasi pengobatan
Resume ini dibuat segera sesudah pasien dipulangkan. Resume
ini dibuat secara singkat dan berisi penjelaskan mengapa pasien
masuk Rumah Sakit yang didapatkan dari hasil anamnesis, hasil
pemeriksaan fisik diagnostic, laboratorium, rontgen dll, pengobatan
dan tindakan operasi yang dilakukan, keadaan pasien saat keluar
(perlu berobat jalan, mampu untuk bekerja dll), dan anjuran
pengobatan dan perawatan (nama obat dan dosisnya, tindakan
pengobatan lain, dirujuk kemana, perjanjian untuk datang lagi dll).

Bila ditelusuri lebih jauh, rekam medis mempunyai aspek hokum kedisiplinan
dan etik petugas kesehatan, kerahasiaan, keuangan, mutu serta manajemen Rumah
Sakit dan audit medic. Secara umum, kegunaan dari rekam medic adalah:
15

1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang
ikut ambil bagian dalam member pelayanan, pengobatan dan perawatan
pasien
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan atau perawatan yang harus
diberikan pada pasien
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan
pengobatan selama pasien berkunjung atau dirawat di Rumah sakit
4. Sebagai dasar analisis, studi dan evaluasi terhadap mutu pelayanan yang
diberikan kepada pasien
5. Melindungi kepentingan hokum bagi pasien, Rumah sakit maupun dokter dan
tenaga kesehatan lainnya
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan
penelitian dan pendidikan
7. Sebagai dasar dari perhitungan biaya pembayaran pelayanan medic pasien
8. Menjadi sumber ingatan yang perlu didokumentasikan serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan
Seorang dokter mungkin saja telah bersikap dan berkomunikasi dengan baik,
membuat keputusan medik dengan cemerlang dan/atau telah melakukan tindakan
diagnostik dan terapi yang sesuai standar; namun kesemuanya tidak akan memiliki
arti dalam pembelaannya apabila tidak ada rekam medis yang baik. Rekam medis
yang baik adalah rekam medis yang memuat semua informasi yang dibutuhkan,
baik yang diperoleh dari pasien, pemikiran dokter, pemeriksaan dan tindakan
dokter, komunikasi antar tenaga medis / kesehatan, informed consent, dll informasi
lain yang dapat menjadi bukti di kemudian hari yang disusun secara berurutan
kronologis. Sebuah adagium mengatakan good record good defence, bad record
bad defence, and no record no defence. 1,4
Biasanya kata kunci yang sering digunakan oleh para hakim adalah (1)
bahwa kewajiban profesi dokter adalah memberikan layanan dengan tingkat
pengetahuan dan ketrampilan yang normalnya diharapkan akan dimiliki oleh
rata-rata dokter pada situasi-kondisi yang sama, (2) bahwa tindakan dokter
adalah masih reasonable, dan didukung oleh alasan penalaran yang benar, (3)
bahwa dokter harus memperoleh informed consent untuk tindakan diagnostik /
terapi yang ia lakukan, dan (4) bahwa dokter harus membuat rekam medis yang
baik.
Rekam medis dapat digunakan sebagai alat pembuktian adanya kelalaian
medis, namun juga dapat digunakan untuk membuktikan bahwa seluruh proses
penanganan dan tindakan medis yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan
lainnya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional atau
berarti bahwa kelalaian medis tersebut tidak terjadi.

SOLUSI

16

Hukum menginginkan agar seluruh masyarakat dalam menjalankan


aktivitasnya termasuk kewajiban profesinya harus dengan cara yang wajar dan
menjaga agar orang lain termasuk pasiennya tidak sampai menderita kerugian yang
tidak perlu. Di dalam menjalin adanya hubungan antara dokter dengan pasien di
dalam pengobatannya terdapat unsur yang sangat penting yaitu kepercayaan yang
diberikan oleh pasien terhadap dokter yang merawatnya bahwa dokter mempunyai
ilmu ketrampilan untuk menyembuhkan penyakit pasien, dokter akan bertindak
dengan hati-hati dan teliti serta bertindak berdasarkan standar profesi medik yang
ada. Kepercayaan tersebut hendaknya jangan disia-siakan, dengan menghindari
melakukan malpraktek medik termasuk kelalaian medic.
Dalam kasus ini, langkah yang harus ditempuh oleh dokter A adalah harus
sesuai dan berdasar pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dimana selain
menghargai dan melayani pasien dengan sebaiknya, juga menjaga hubungan yang
baik dengan rekan sejawatnya. Dokter A dalam menghadapi pasien dan sejawatnya
dilandaskan pada etika kedokteran sbb:

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan


sumpah dokter.
Setiap dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya disertai rasa kasih saying dan penghormatan atas
martabat manusia

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan
hak tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Jadi berdasarkan poin-poin etika kedokteran diatas, dokter diharapkan dapat


tetap melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya dalam memenuhi hak
pasien tanpa melanggar kode etik dan hubungan dengan sejawatnya.

PENUTUP
KESIMPULAN

17

Kelalaian medis mungkin diakibatkan karena ketidakmampuan dokter untuk


mendiagnosa kondisi medis, kegagalan untuk memperingatkan pasien tentang
risiko yang mungkin selama jenis pengobatan tertentu, kelalaian dokter selama
perawatan atau diagnosis, kegagalan untuk mendapatkan persetujuan yang
diperlukan dari pasien atau anggota keluarganya selama pengobatan, pengobatan
kesalahan dan penundaan sementara merujuk ke spesialis yang berkaitan dengan
keadaan pasien.
Semua kasus klinis dianggap kelalaian cedera pribadi di bawah hukum.
Meskipun, kelalaian klinis adalah bidang studi khusus di bawah hukum cedera
pribadi karena melibatkan kelalaian profesional yang memerlukan prinsip-prinsip
hukum yang berbeda dan aturan prosedur. Namun, mencari kompensasi dalam hal
klaim atas kelalaian medis bukanlah sederhana dan kerumitan prosedur bebas.
Klaim dapat menguntungkan secara finansial hanya ketika penderita mampu
membuktikan bahwa ia memang menerima perawatan kesehatan di bawah standar
dibandingkan dengan perawatan kesehatan profesional yang kompeten di bidang
yang relevan kedokteran. Kita perlu juga membuktikan di depan hukum bahwa ia
telah menderita kerugian sebagai akibat dari kelalaian medis.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Sampurna. Budi., Syamsu. Zulhasmar., Siswaja. Tjetjep Dwidja. Didalam:
Bioetik dan Hukum Kedokteran. Juli 2007.
2. Hanafiah. M. Jusuf., Amir. Amri,. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Penerbit Buku Kedokteran:EGC. Jakarta. 2007
3. Samil. Ratna Suprapti. Etika Kedokteran Indonesi. Penerbit: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2001.
4. Budi
Sampurna.
2007.
Kelalaian
medik.
Diunduh
dari:
http://www.freewebs.com/kelalaianmedik. Pada 25 januari 2011
5. Daliyono. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Penerbit: PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 2006.
6. Hubungan
dokter
dan
pasien.
Diunduh
dari
:
http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/06/hubungan-dokter-pasien.html.
15 Januari 2011.
7. Etika
Profesi
dalam
Kesehatan.
2010.
Diunduh
dari:
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/gynecology/2019661-etikaprofesi-dalam-kesehatan/. 25 januari 2011.

19

Anda mungkin juga menyukai