Anda di halaman 1dari 109

PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI SYARIAH MENURUT

PERSPEKTIF BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS)


DAN BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)

Oleh:
FITRIYAH
103046228374

KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH


PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M/ 1429 H

PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI SYARIAH MENURUT


PERSPEKTIF BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS)
DAN BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)
Oleh:
FITRIYAH
NIM: 103046228374

Di Bawah Bimbingan,
Pembimbing

KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH


PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M/ 1429 H

PEGESAHAN PANITIA UJIAN


Skripsi berjudul Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah Menurut Perspektif Badan
Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)
telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 4 November 2008. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi Islam (SEI) pada Program Studi Muamalat
Jakarta, 4 November 2008
Disahkan Oleh,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,


MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
1. Ketua

: Dr. Euis Amalia, M.Ag


(.)
NIP.150 289 264

2. Sekretaris

: Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH


(.)
NIP. 150 318 308

3. Pembimbing I

: Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA


(.)
NIP. 150 222 824

4. Penguji I

: Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH


(.)
NIP. 150 318 308

5. Penguji II

: Dr. Hendra Kholid, MA


(.)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia memerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 4 November 2008

FITRIYAH

ABSTRAK

Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah Menurut Perspektif


Badan Arbitrase Syariah NAsional (BASYARNAS) Dan
Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)
Oleh: Fitriyah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat
menimbulkan sengketa

asuransi syariah, mengetahui bagaimana penyelesaian

sengketa asuransi syariah BASYARNAS dan BMAI, mengetahui keunggulan


BASYARNAS dan BMAI, serta membandingkan adakah perbedaan antara
BASYARNAS dan BMAI dalam menyelesaikan sengketa asuransi syariah. Jenis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena data yang dikumpulkan
berupa kata-kata atau wawancara pada BASYARNAS dan BMAI.
Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang menimbulkan sengketa
asuransi syariah yaitu disebabkan karena adanya wanprestasi dan kesalahan teknis.
Adapun penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS dan
BMAI, yaitu apabila terjadi perselisihan antara tertanggung dan penanggung maka
BASYARNAS dan BMAI merupakan lembaga yang tepat untuk menyelesaikan
sengketa. Karena prosesnya yang cepat, relatif murah dan dijamin kerahasiaannya.
Adapun sengketa yang sudah dapat diselesaikan di BASYARNAS hanya ada 10
sengketa mengenai perbankan syariah, sedangkan sengketa asuransi belum ada yang
diselesaikan di BASYARNAS. Namun di BMAI sudah ada sengketa asuransi yang
dapat diselesaikan kurang lebih kira-kira 16 kasus yang sudah diselesaikan.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbi al-alamin, sujud syukur penulis haturkan ke Dzat yang


Maha Rahman bagi semesta Alam dan Rahim bagi semua hamba-hamba yang selalu
menjalankan perintah-Nya, yang telah menciptakan rasa cinta dan kasih pada
manusia. Washalatu wassalam ala Rasulullah senantiasa tercurah kepada Rasulullah
Muhammad Saw (yang tak pernah lelah untuk selalu membimbing umatnya dengan
penuh kasih sayang), kepada keluarganya, sahabatnya serta umatnya sepanjang
zaman semoga kita mendapat syafaatnya di yaumu al-Baats, amin.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan
cobaan. Namun, penulis berusaha menghadapinya dengan ikhtiar dan tawakkal.
Alhamdulillah atas Rahmat Allah SWT., serta berkat doa dan dukungan orang tua,
keluarga, sahabat serta teman-teman, segala hambatan dan cobaan dapat penulis
hadapi. Karena itulah, dari lubuk hati yang paling alam, penulis mengucapkan terima
kasih yang tulus dan tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu dan
memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini.
Sebagai rasa syukur, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada:
1. Bpk. Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH., MA., MM. Selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Euis Amalia, M.Ag dan Ah. Azharudin Lathif, M.Ag, MH sebagai Ketua dan
Sekretaris Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan Hukum.

3. Bpk Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA selaku dosen pembimbing yang


senantiasa membimbing penulis dan senantiasa meluangkan waktu, tenaga serta
pikiran untuk memberikan ilmu, pengarahan dan bimbingan kepada penulis
selama penyusunan skripsi ini.
4. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tempat penulis memperoleh berbagai
informasi dan sumber-sumber skripsi.
5. Bpk Ketut Sendra selaku Sekretaris Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)
dan Ibu Euis Nurhasanah selaku Bendahara BASYARNAS, yang telah membantu
proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian
ini.
6. Yang tercinta Ayahanda (Bpk H. Madsuri) dan Ibunda (Ibu Hj. Saadiah) yang
dengan ikhlas selalu mengajarkan kehidupan. Sebagai seorang anak, penulis
belum bisa membalas jasa keduanya kecuali doa semoga Allah SWT
memberikan hati yang sabar serta balasan yang terbaik atas semua amal mereka
dan selalu melimpahkan Rahmat dan Inayah-Nya.
7. Kakak tercinta, Muslihah, S.Pd.I yang selalu memberikan nasehat-nasehatnya
agar penulis menjadi lebih baik. Kaulah kakak dan sahabat terbaik penulis. Adikadikku tersayang (Lukman, Lisoh & Hakim) yang selalu menjadi motivasi bagi
penulis. Semoga kalian lebih baik dari penulis.
8. Orang-orang terdekat penulis, Kakakqu (Aiep) untuk cinta dan kasih sayangnya
yang tak henti-hentinya memberikan motivasi dan dukungan serta doa kepada

penulis. Ella yang telah membantu dan menemani penulis dalam penyusunan
skripsi, makasih atas semangat dan motivasinya, Youre my best friend.
9. Rekan-rekan penulis Kie Zn, Nylam, Nana, Dini, Ayu, Nuril, Reni, Kanton,
Kgoday & Teh Na terima kasih atas dukungan dan doanya. Mutie makasih yach
atas rentalnya. Serta teman-teman Asuransi Syariah angkatan 2003 terutama Ozy
makasih atas bantuannya, Ien, Eri, Bagol, Qorib, Dayat, Lana, dan Maul semoga
silaturrahmi kita dapat terus terjalin. Serta kepada seluruh pihak yang tak dapat
disebutkan satu persatu atas semua bantuan dan masukannya kepada penulis.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua
pihak atas bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini. Lebih dari ucapan terima kasih kepada Yang Maha Pengasih
dan Penyayang, Allah SWT., semoga senantiasa memberikan sinar terang kepada
seluruh hambanya, dan semoga aktivitas penulis selalu diberkahi-Nya serta penulis
selalu diberikan hidayah-Nya. Akhir kata penulis skripsi ini tentunya masih banyak
kekurangan, namun semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.

Jakarta, 04 November 2008

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................

DAFTAR ISI ..................................................................................................

iv

BAB I

PENDAHULUAN .........................................................................

A. Latar Belakang Masalah............................................................

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................

D. Kerangka Teori .........................................................................

E. Kajian Pustaka ..........................................................................

F. Objek Penelitian .......................................................................

G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan...................................

10

H. Sistematika Penulisan ...............................................................

12

LANDASAN TEORI ....................................................................

14

A. Tinjauan Umum Asuransi .........................................................

14

a. Pengertian Asuransi Syariah................................................

14

b. Dasar Hukum Asuransi Syariah...........................................

17

c. Prinsip Dasar Asuransi Syariah ...........................................

20

B. Tinjauan Umum Arbitrase.........................................................

23

a. Pengertian Arbitrase Syariah ...............................................

23

b. Dasar Hukum Arbitrase Syariah ..........................................

26

c. Macam-Macam Arbitrase....................................................

28

BAB II

d. Syarat-Syarat Menjadi Arbiter.............................................

32

C. Tinjauan Umum Mediasi ..........................................................

35

a. ........................................................................................Penger
tian Mediasi ........................................................................

35

b.........................................................................................Landas
an Hukum Mediasi ..............................................................

37

c. ........................................................................................SyaratSyarat menjadi Mediator .....................................................

39

d.........................................................................................Tujuan

BAB III

BAB IV

mediasi ...............................................................................

41

GAMBARAN UMUM BASYARNAS DAN BMAI.....................

42

A. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)..................

42

1. Sejarah Berdirinya BASYARNAS ......................................

42

2. Fungsi dan Tujuan BASYARNAS ......................................

46

3. Struktur Organisasi BASYARNAS .....................................

48

B. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ..............................

50

1. Sejarah Berdirinya BMAI ...................................................

50

2. Fungsi dan Tujuan BMAI....................................................

51

3. Struktur Organisasi BMAI ..................................................

52

PENYELESAIAN

SENGKETA

ASURANSI

MENURUT

PERSPEKTIF BASYARNAS DAN BMAI..................................

53

A. Sengketa Asuransi ....................................................................

53

B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Sengketa Asuransi ..............


C. Penyelesaian

Sengketa

Asuransi

Menurut

54

Perspektif

BASYARNAS dan BMAI ........................................................

56

D. Prosedur Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada BASYARNAS


dan BMAI.................................................................................
E. Keunggulan

BAB V

Penyelesaian

Sengketa

Asuransi

72

pada

BASYARNAS dan BMAI...........................................................

80

PENUTUP.....................................................................................

86

A. ............................................................................................Kesim
pulan.........................................................................................

86

B. ............................................................................................Saransaran .........................................................................................

87

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................

89

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam pengembangan saat ini bidang perekonomian Indonesia banyak
sekali tumbuh dan berkembang lembaga-lembaga perekonomian, lembaga
keuangan itu dalam operasionalnya didasarkan pada prinsip syariah, seperti Bank
Muamalat Indonesia (BMI), BPR BPR syariah di berbagai daerah tingkat II. 1
Hal itu terbukti dengan berdirinya 4 unit Bank Umum Syariah, yaitu Bank
Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Mega
Syariah, Bank Persyarikatan Indonesia. 14 Unit Syariah Bank Umum, yaitu Bank
IFI Syariah, Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Bukopin Syariah, Bank
Rakyat Indonesia (BRI) Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank Internasional
Indonesia Syariah, Bank HSBC Amanah Syariah, Bank Niaga Syariah, Bank
Permata Syariah, Bank Lippo Salam, ABN Amru Bank Syariah. 15 Unit Usaha
Syariah BPD, yaitu: Bank Jabar Syariah, Bank DKI Syariah, Bank Riau Syariah,
Bank Sumut Syariah, BPD Aceh Syariah, BPD Kalsel Syariah, BPD NTB
Syariah, Bank Sumsel Syariah, Bank Kalbar Syariah, BPD DIY Syariah, BPD
Kaltim Syariah, Bank Naga Syariah, (BPD Sumbar), Bank Jatim Syariah, Bank
Sulsel Syariah, Bank Jateng Syariah. 6 Bank Kustodian Syariah, yaitu: Deutsche

Suhrawadi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 176.

Bank, Kustodian Bank HSBC, Kustodian Bank Niaga Citibank, N.A. Indonesia,
Kustodian Bank Bukopin, Standard Chartered Bank.2
Semenjak berdirinya bank bank syariah barulah kemudian para pakar
ekonomi Islam mencoba membuka peluang investasi dalam hal perlindungan aset
dan kepemilikan, di samping itu adanya kesadaran dan dukungan masyarakat
muslim pada ketentuan ajaran Islam yang bersifat komprehensif, profesional,
integral serta kesiapan diri dalam menghadapi tantangan zaman, dengan demikian
berkembanglah tuntutan untuk bermuamalah, khususnya di bidang perasuransian
syariah. Oleh sebab itu maka lahirlah Asuransi Takaful di Indonesia pada tanggal
24 Februari 1994 dengan akta pendirian PT Syarikat Takaful Indonesia (di
singkat dengan TEPATI).
Sebagai asuransi syariah yang berkembang di Negara yang mayoritas
muslim khususnya di Indonesia, memiliki potensi yang sangat besar mengingat
sistem asuransi syariah merupakan sistem asuransi alternatif yang saling
menguntungkan, humanis dan universal. PT Syarikat Takaful Indonesia yang
telah mendirikan dua anak perusahaan yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga yang
bergerak dalam asuransi jiwa dan PT Asuransi Takaful Umum yang bergerak
dalam bidang asuransi kerugian. Sebagai pelopor berkembangnya perasuransian
yang berlandaskan dengan prinsip syariah seperti dengan berdirinya PT MAA
Life Assurance Syariah, PT Tri Pakarta Syariah, PT Bumi Putera Syariah, PT

Perbankan
Syariah
s/d
17
Mei
2008
www.mui.or.id/mui_in/pruduct_2/lks_lbs.php?id=6 pada tanggal 25 Mei 2008

dari

http:

//

BRIngin Life Syariah dan lain sebagainya, sehingga lembaga asuransi syariah
telah mampu menjadi sarana yang dapat diandalkan dalam memobilisasi
masyarakat. Oleh sebab itu perusahaan tersebut akan berusaha untuk
meningkatkan kualitas pelayanan dan jasa asuransi kepada para klien atau
costumernya yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi bagi peningkatan
efesiensi dan produktifitas lembaga asuransi syariah di Indonesia.
Dengan mencermati keadaan perasuransian syariah yang semakin
berkembang tentunya tidak mungkin dapat dihindari terjadinya sengketa (dispute
atau differrece) antar pihak yang terlibat di bidang asuransi, secara otomatis setiap
jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang
cepat. Membiarkan sengketa di bidang bisnis (khusus perasuransian) terlambat
diselesaikan akan mengakibatkan perkembangan ekonomi tidak efisien,
produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami keterhambatan dan biaya produksi
menjadi meningkat. Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu
yang lama mengakibatkan perusahaan asuransi atau pihak yang bersengketa
mengalami ketidakpastian, cara penyelesaian seperti ini tidak diterima di dunia
bisnis khususnya di bidang perasuransian syariah karena tidak sesuai dengan
ketentuan zaman.
Pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya sengketa dengan
orang lain. Tetapi dalam hubungan bisnis atau suatu perjanjian, masing-masing
pihak harus mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang dapat terjadi
setiap saat di kemudian hari. Sengketa yang perlu diantisipasi dapat timbul karena

perbedaan penafsiran mengenai "bagaimana cara" melaksanakan klausul-klausul


perjanjian maupun tentang "apa Isi" dari ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian,
ataupun disebabkan hal-hal lain.
Untuk menyelesaikan sengketa, pada umumnya terdapat beberapa cara
yang dapat dipilih. Cara-cara yang dimaksud seperti arbitrase, mediasi, negosiasi,
dan pengadilan. Namun yang akan penulis bahas yaitu penyelesaian sengketa
dengan cara melalui arbitrase dan mediasi.
Yang menjadi permasalahan/persoalan adalah, dengan berdirinya Badan
Mediasi Asuransi Indonesia sebagai lembaga penyelesaian sengketa khusus di
bidang asuransi. Disini antara BASYARNAS dan BMAI memiliki wilayah kerja
yang sama dan mengurusi persoalan yang sama, yaitu menyelesaikan sengketa
khususnya di bidang asuransi syariah.
Permasalahan yang muncul, lembaga mana yang lebih efektif untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi. Memang BASYARNAS lembaga hukum
non-litigasi hasil bentukan dari MUI dengan tujuan sebagai tempat penyelesaian
sengketa yang terjadi di bidang Muamalat dengan didukung fatwa-fatwa MUI
sebagai rujukan hukumnya. Namun Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)
juga lebih mempunyai wewenang untuk menyelesaikan bila terjadi sengketa.
Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) lebih mempunyai kekuatan karena
lembaga ini lebih fokus untuk menyelesaikan sengketa di bidang asuransi.
Dengan keberadaan lembaga Arbitrase Syariah di Indonesia yaitu Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi

Indonesia (BMAI), kiranya dapat memberikan kontribusi di bidang asuransi


dalam hal penyelesaian sengketa bagi para pihak yang bersengketa.
Maka dari itu, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelaah
secara mendalam skripsi yang berjudul "Penyelesaian Sengketa Asuransi
Syariah

Menurut

Perspektif

Badan

Arbitrase

Syariah

Nasional

(BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


Guna fokus dan mendalamnya pembahasan, penelitian ini dibatasi pada
penyelesaian sengketa asuransi syariah menurut perspektif BASYARNAS dan
BMAI.
Masalah pokok dalam penelitian ini bagaimana penyelesaian sengketa
asuransi syariah, masalah pokok tersebut ditelusuri melalui jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan dengan melalui arbitrase dan mediasi.
Dalam merealisasikan batasan masalah yang dikemukakan di atas maka
penulis memberikan perumusan masalah untuk memudahkan pembahasan
selanjutnya. Adapun beberapa permasalahan yang akan penulis kemukakan di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Faktor faktor apa saja yang dapat menimbulkan sengketa asuransi menurut
perspektif BASYARNAS dan BMAI?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS
dan BMAI?

3. Apa keunggulan penyelesaian sengketa asuransi pada BASYARNAS dan


BMAI?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini diadakan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor faktor yang dapat menimbulkan sengketa asuransi
menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI.
2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif
BASYARNAS dan BMAI.
3. Untuk mengetahui keunggulan penyelesaian sengketa asuransi pada
BASYARNAS dan BMAI.
Sedangkan manfaat penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Bagi Akademisi, untuk menambah khasanah pengetahuan di bidang Hukum
Ekonomi Islam khususnya mengenai Arbitrase dan Mediasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa asuransi.
2. Bagi Pemerintah, dengan adanya skripsi ini dapat dijadikan sebagai rujukan
atau pertimbangan pemerintah dalam menetapkan Undang-undang tentang
penyelesaian sengketa khususnya di bidang asuransi.
3. Bagi Masyarakat, diharapkan menambah informasi tentang keberadaan
BASYARNAS dan BMAI sebagai lembaga penyelesaian sengketa asuransi
apabila mengalami perselisihan di bidang asuransi.

D. Kerangka Teori
Menurut Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa Arbitrase adalah
badan peradilan swasta di luar lingkungan pengadilan umum yang dikenal khusus
dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan
sendiri secara sukarela oleh para pihak-pihak pengusaha yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas para pihak.
Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat
sebelum dan sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak
dalam hukum perdata.3
R. Subekti, mengatakan bahwa Arbitrase adalah suatu penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan
tunduk kepada atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit ataupun wasit
yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.4
M.N.Purwosutjipto mengartikan perwasitan sebagai suatu peradilan
perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak
pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa, dan diadili oleh hakim
yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya
mengikat bagi para kedua belah pihak.5

Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT Citra


Aditiya, 1992), h. 276.
4
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Alumni, 1979, h. 5.
5
Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet.
Kedua, h.222

Dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02/2003, pengertian


mediasi disebutkan pada pasal 1 ayat 6 yaitu: "Mediasi adalah penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator".6
Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan di
mana seseorang bertindak sebagai "kendaraan" untuk berkomunikasi antar para
pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat
dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya
suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. 7

E. Kajian Pustaka
1. Judul : Peran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Dalam
Penyelesaian Sengketa Di Bidang Asuransi Syariah (2006)
Oleh : Maryudi (UIN JAKARTA)
Skripsi

ini

hanya

menjelaskan/memaparkan

tentang

arbitrase

khususnya BASYARNAS sebagai lembaga penyelesaian sengketa, serta


prosedur penyelesaian sengketa asuransi di BASYARNAS.
2. Judul : Arbitrase Dalam Hukum Positif, Hukum Adat, dan Hukum Islam
Sebuah Analisa Perbandingan (2006)
Oleh : Mukhtar Sedayu Siregar (UIN JAKARTA)

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 119
7
Ibid., h. 120

Skripsi ini hanya menjelaskan secara umum tentang arbitrase dan


menganalisa sistem arbitrase dalam hukum positif, hukum adat, dan hukum
Islam.
Penelitian tentang asuransi syariah sudah banyak dibahas, sedangkan
penelitian tentang arbitrase dan mediasi belum ada yang membahas. Untuk
itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan membahas penelitian tentang
penyelesaian sengketa asuransi syariah. Adapun yang ingin penulis bahas dari
judul tersebut, yaitu mengenai faktor-faktor yang dapat menimbulkan
sengketa asuransi syariah pada BASYARNAS dan BMAI, bagaimana
penyelesaian sengketa asuransi syariah menurut BASYARNAS dan BMAI,
dan apa saja keunggulan BASYARNAS dan BMAI.

F. Objek penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) yang berlokasi di gedung ARVA lantai IV, Jl. Cikini raya No.60
Jakarta 10330. Dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yang berlokasi di
gedung MENARA DUTA, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. B.9 Jakarta Selatan.

G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan


1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif, metode ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang

tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab dari suatu
gejala tertentu.8 Penelitian deskriptif bertujuan untuk menguraikan tentang
sifat-sifat dari suatu keadaan dan sekedar memaparkan uraian (data dan
informasi) yang berdasarkan pada fakta yang diperoleh dari lapangan.9
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan

ini

dilakukan

dengan

cara

survey,

tujuan

dari

menggunakan pendekatan survey adalah untuk mengukur gejala-gejala yang


ada tanpa menyelidiki kenapa gejala-gejala tersebut ada.10
3. Jenis Data dan Sumber Data
a. Data Primer, merupakan data yang didapat dari sumber pertama kali baik
dari individu atau dari perseorangan seperti hasil dari wawancara atau
hasil pengisian kuesioner, yaitu terdiri atas:
1. Gambaran umum perusahaan
2. Hasil wawancara
3. Observasi.11
b. Data Sekunder, merupakan data yang telah ada yang diperoleh dari buku,
majalah, Koran dan sumber tertulis lainnya yang mengandung informasi
yang berhubungan dengan penelitian ini.

Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2004, h.22.
9
J. Supranto, Tehnik Riset Pemasaran dan Ramalan Penjualan, Jakarta, Rineka Cipta, 2000,
h. 38.
10
Subana, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Bandung, Pustaka Setia, 2005, h.25.
11
Ibid., h. 26

4. Teknik Pengumpulan Data


Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini diperoleh
melalui:
1. Penelitian

perpustakaan

(Library

Reseach),

yaitu

dengan

jalan

mengumpulkan data dari buku-buku, majalah, dan artikel yang


berhubungan dengan materi skripsi.
2. Penelitian lapangan (Field Reseach), yaitu dengan observasi langsung ke
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi
Asuransi Indonesia (BMAI). Untuk mendapatkan data yang valid dan
akurat, dengan melalui tiga cara yaitu:
a. Observasi, dengan melihat dan mengamati secara langsung kegiatan
yang ada di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan
Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).
b. Wawancara, yakni wawancara bebas yang dilakukan dalam bentuk
Tanya jawab dengan pemimpin dan karyawan yang dapat dianggap
dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini.
c. Dokumentasi, teknik ini digunakan untuk memperoleh data tertulis
tentang penyelesaian sengketa asuransi pada Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia
(BMAI).

5. Teknik Analisis dan Interpretasi Data


Dalam menganalisis data, akan menggunakan metode deskriptif
analisis kualitatif, yakni suatu teknik analisis data di mana terlebih dahulu
dipaparkannya semua data yang telah diperoleh kemudian menganalisisnya
dengan berpedoman pada sumber-sumber dalam bentuk kalimat-kalimat.
Adapun dalam teknik penulisan ini merujuk kepada buku "Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta 2007".

H. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi V
bab yang terdiri dari beberapa sub bab yang pada garis besarnya adalah sebagai
berikut:
BAB I

Pendahuluan
Di dalamnya diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori,
kajian pustaka, objek penelitian, metode penelitian dan teknik
penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II

Landasan Teori
Bab ini membahas pengertian asuransi syariah, dasar hukum asuransi
syariah, dan prinsip-prinsip asuransi syariah,

pengertian arbitrase

syariah, dasar hukum arbitrase syariah, macam-macam arbitrase

syariah, syarat-syarat menjadi arbiter, pengertian mediasi, dasar


hukum mediasi, syarat-syarat menjadi mediator, dan tujuan mediasi.
BAB III

Gambaran Umum
Bab ini akan membahas profil Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI),
mengenai sejarah berdirinya, visi dan misi, dan struktur organisasi.

BAB IV

Penyelesaian Sengketa Asuransi menurut Perspektif BASYARNAS


dan BMAI
Bab ini membahas mengenai sengketa asuransi, faktor-faktor yang
menimbulkan terjadinya sengketa, penyelesaian sengketa asuransi
menurut perspektif BASYARNAS dan BMAI, prosedur beracara
dalam penyelesaian sengketa asuransi, keunggulan penyelesaian
asuransi syariah pada BASYARNAS dan BMAI.

BAB V

Penutup
Bab terakhir ini terdiri atas kesimpulan dan saran.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan umum asuransi


a. Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi dapat dilihat dari berbagai jenis bahasa dan pengertian serta
perbandingannya dalam perspektif Islam. Adapun asuransi ditinjau dari jenis
bahasa dan pengertiannya adalah sebagai berikut:
Menurut bahasa, kata asuransi berasal dari bahasa inggris adalah
"insurance" yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan
diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata
"pertanggungan".12 Kemudian dalam bahasa Belanda adalah "verzekering"
yang berarti tanggungan.13
Menurut ketentuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2
tahun 1992 tentang usaha Perasuransian Bab I pasal I: " Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima
premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan itu
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
12

AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis,
Teoritis & Praktis, Jakarta, Kencana, 2004, h. 57.
13
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta, PT. Intermasa, 1996, h. 1.

14

tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.14
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246
dijelaskan bahwa yang di maksud asuransi atau pertanggungan adalah "suatu
perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri
kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya,
karena suatu peristiwa tak tentu.15
Sedangkan asuransi dalam perspektif Islam terdapat beberapa istilah,
antara lain dikenal dengan istilah Takaful. Menurut etimologi Bahasa Arab,
istilah Takaful berasal dari kata Kafala. Dalam ilmu tashrif atau Sharaf,
Takaful ini masuk dalam barisan Bina muta'aadi, yaitu Tafaa'ala artinya
saling menanggung. Dan ada juga yang menerjemahkan dengan makna saling
menjamin.16
Wahbah al-Zuhaily (ahli fiqih kontemporer) mendefinisikan asuransi
sesuai dengan pembagiannya. Menurutnya asuransi itu dibagi menjadi dua,
yaitu al-Ta'min al- Ta'awun (asuransi tolong menolong) dan al-Ta'min bi qistTsabit (asuransi dengan pembagian tetap).
14

Ibid., h. 61
Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, h. 59
16
Ibid.,
15

Al-Ta'min al-Ta'awun adalah kesepakatan sejumlah orang yang


membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara
mereka mendapat kemadharatan, seperti kecelakaan, kematian, kebakaran,
kebanjiran, kecurian dan bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai dengan
kesepakatan bersama.
Sedangkan al-Ta'min bi qist-Tsabit adalah akad yang mewajibkan
seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas
beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi
mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi. 17
Abbas salim sebagaimana dikutip Ali Hasan mendefinisikan asuransi
sebagai suatu keinginan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit)
yang sudah pasti sebagai subtitusi kerugian-kerugian besar yang belum
pasti.18
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)
dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi
tentang asuransi. Menurutnya, asuransi syariah (Ta'min, Takaful, Tadhamun)
adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang
atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru' yang

17

M. Zaidi Abdad, Lembaga perekonomian Ummat di Dunia Islam, (Bandung: Angkasa,


2003), Cet. Pertama, h. 87-88.
18
M. Ali Hasan, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 61.

memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui


akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.19
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asuransi
syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong disebut taawun yaitu
prinsip saling melindungi dan tolong menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah
antara sesama anggota asuransi dalam menghadapi risiko.

b. Dasar hukum asuransi syariah


Dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah dikeluarkan
pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu:
Sedangkan menurut Fatwa DSN Majelis Ulama Indonesia No
21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah. Fatwa
tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman
untuk menjalankan asuransi syariah.20
Pada dasarnya hukum asuransi syariah maupun konvensional di
Indonesia, hingga saat ini pada dasarnya dan kenyataannya masih diatur
dalam berbagai Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia, terutama:21

19

Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem
Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. Pertama, h. 30
20
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), h. 128.
21
M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional Teori, Sistem, Aplikasi dan
Pemasaran, Jakarta, Kholam Publishing, 2006, h. 44-45.

a. Keputusan

Menteri

Keuangan

Republik

Indonesia

Nomor

421/KMK.06/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Keputusan bagi


Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian.
b. Keputusan

Menteri

Keuangan

Republik

Indonesia

Nomor

422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha perusahaan Asuransi


dan perusahaan Reasuransi.
c. Keputusan

Menteri

Keuangan

Republik

Indonesia

Nomor

423/KMK.06/2003 tentang pemeriksaan perasuransian.


d. Keputusan

Menteri

424/KMK.06/2003

Keuangan

Republik

Indonesia

Nomor

kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan

perusahaan Reasuransi.
e. Keputusan

Menteri

Keuangan

Republik

Indonesia

Nomor

425/KMK.06/2003 tentang perizinan dan penyelenggaraan kegiatan usaha


perusahaan penunjang usaha asuransi.
f. Keputusan

Menteri

Keuangan

Republik

Indonesia

Nomor

426/KMK.06/2003 tentang perizinan usaha dan kelembagaan perusahaan


asuransi dan perusahaan reasuransi.
g. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep.4499/LK/2000
tentang jenis, penilaian dan pembatasan investasi perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi dengan sistem syariah.
Landasan asuransi dalam Islam sebenarnya bertumpu pada konsep
wata'awanu 'alal birri wat taqwa (tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa)

dan At-ta'min yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang
menjamin dan menanggung risiko satu sama lain.22
Landasan asuransi syariah diantaranya:
a. Saling tolong menolong


 
   

  

     
(2 :%& )
  "! 
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya". (Q.S. Al-Maidah (5) : 2)
Islam juga mengarahkan kepada berdirinya sebuah masyarakat
yang tegak di atas asas saling membantu dan saling menopang, karena
setiap muslim terhadap muslim lainnya sebagaimana sebuah bangunan
yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lainnya. Dalam
asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil,
karena apa yang telah diberikan dalam bentuk premi tabarru' adalah
semata-mata sedekah dari hasil harta yang terkumpul
b. Saling meridhoi

-  9

2

 5
6 2*8 2 4

* !. /0!!
(29 :& )*?8> 2
 
  2?@

 2*


Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
22

h. 100.

Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet. Pertama,

dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah


Maha Penyayang kepadamu".
Dalam Islam jika seorang muslim memakan harta orang lain dengan
jalan batil maka hukumnya adalah haram. Dana kebajikan yang kelak akan
diterima oleh pemegang polis jika ia mengalami kerugian sebelum masa
asuransinya berakhir adalah dana yang halal yang dikeluarkan dengan saling
meridhoi antara kedua belah pihak yakni pemegang polis dan perusahaan.

c. Prinsip dasar asuransi syariah


Asuransi syariah memiliki sembilan macam prinsip dasar, yaitu:
tauhid, tolong-menolong, kerja sama, amanah, kerelaan, kebenaran, larangan
riba, larangan judi dan larangan gharar.23
a. Tauhid
Prinsip tauhid adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada
dalam syariat Islam. Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah
bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah
yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan.

b. Keadilan

23

AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis,
Teoritis & Praktis, Jakarta, Kencana, 2004, h. 70

Prinsip ini dalam berasuransi terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara


pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi. Dalam hal ini dipahami
sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah
(anggota) dan perusahaan asuransi.
c. Tolong-menolong
Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus
didasari dengan semangat tolong-menolong (ta'awun) antara nasabah
(anggota).
d. Kerja sama
Prinsip kerja sama merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam
literatur ekonomi islam. Kerja sama dalam asuransi dapat berwujud dalam
bentuk akad yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat,
yaitu antara nasabah dan perusahaan asuransi.
e. Amanah
Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilainilai akuntabilitas (pertanggungjawaban) perusahaan melalui penyajian
laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan asuransi harus
memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan
keuangan perusahaan.

f. Kerelaan

Dalam bisnis asuransi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap nasabah


asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah
dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan
sebagai dana sosial (tabarru').
g. Larangan riba
Riba secara bahasa bermakan ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,
riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
h. Larangan maisir
Syafi'i Antonio mengatakan bahwa unsur maisir (judi) artinya adanya
salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami
kerugian. Hal ini jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab
tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa periodenya, biasanya
tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang
yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja.
i.

Larangan gharar
Gharar menurut bahasa adalah al-khida' (penipuan), yaitu suatu tindakan
yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan

B. Tinjauan Umum Arbitrase

1. Pengertian arbitrase syariah


Kata arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang artinya
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut "kebijaksanaan". Dalam
istilah bahasa Inggris arbitrase disebut "arbitration". Sedangkan pengertian
arbitrase secara umum di Indonesia, menurut para pakar hukum adalah
sebagai berikut :
Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian
sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang
berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit
atau arbiter.
R. Subekti, mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu penyelesaian
atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan
persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan
diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.24
Sudargo Gautama, menyatakan bahwa arbitrase adalah cara-cara
penyelesaian hakim yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat
dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat,
yang mudah untuk dilkanakan karena akan ditaati para pihak.25

24
25

R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1979), h.1


Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, (Bandung: Alumni, 1979), h. 5

Abdulkadir Muhammad, menyatakan bahwa arbitrase adalah badan


peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus
dalm perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan
sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas dari
para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis
yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.26
Faturrahman Jamil mengatakan bahwa: pengertian arbitrase dalam
bahasa konvensional sekarang ini dipersamakan dengan istilah tahkim dalam
hukum Islam yang artinya: pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit
atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa, guna
menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai. 27
Menurut Undang-Undang Nomor. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada pasal

1 ayat (1) disebutkan

bahwa, arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa perdata di luar


pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Sedangkan arbitrase dalam perspektif Islam (arbitrase syariah) dapat
disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata kerja
26

Absul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT Citra


Aditiya, 1992), h.276
27
Khairul Wasif, Arbitrase Islam Di Indonesia, (Jakarta: BAMUI, 1994), h. 31

hakkama.28 Secara etimologis, kata itu berarti menjadikan seorang menjadi


pencegah suatu sengketa. Secara teknis tahkim memiliki pengertian yang
sama dengan arbitrase yang dikenal saat ini, yaitu : "Pengangkatan seorang
atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna
menyelesaikan perselisihan mereka secara damai". Kata sinonim yang
digunakan adalah muhakkam, sedang wasit atau arbiter digunakan istilah
hakam, yaitu yang menyelesaikan perselisihan.
Arbitrase menurut para pakar hukum islam dari empat imam Mahzab
mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:29
a. Kelompok Hanafiyah, berpendapat bahwa memisahkan persengketaan
atau memutuskan pertikaian atau menetapkan hukum antara manusia
dengan yang hak dan atau ucapan yang mengikat yang keluar dari yang
mempunyai kekuasaan secara umum
b. Kelompok

Malikyah,

berpendapat

bahwa

hakikat

qadlha adalah

pemberitaan terhadap hukum syariI menurut jalur yang pasti (mengikat)


atau sikap hukum yang mewajibkan bagi pelaksanaan hukum Islam
walaupun dengan tadil atau tarjih tindak untuk kemaslahatan kaum
muslimin secara umum.
c. Kelompok SyafiI, berpendapat bahwa memisahkan pertikaian antara
pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah SWT. Atau
28

Luis Maluf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-Alam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1994), h.146
A Rahmat Rosyadi, Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), cet-1, h. 44
29

menyatakan

hukum

syara

terhadap

suatu

peristiwa

wajib

melaksanakannya.
d. Kelompok Hanabilah, berpendapat bahwa penjelasan dan kewajibannya
serta penyelesaiannya antara para pihak.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa arbitrase
syariah adalah suatu cara penyelesaian sengketa para pihak yang dilakukan
oleh wasit (hakam) di luar lembaga peradilan berdasarkan kesepakatan baik
sebelum atau sesudah terjadinya sengketa secara syariah.

2. Dasar Hukum Arbitrase Syariah


Dasar hukum yang mengokohkan eksistensi tahkim (arbitrase Islam)
terdapat di dalam Al-qur'an, sunnah, dan ijma'.
Al-qur'an dan sunnah sebagai sumber hukum yang paling utama
memberikan petunjuk kepada manusia apabila terjadi sengketa di antara para
pihak, apakah di bidang politik, keluarga, ataupun bisnis. Hal ini sebagaimana
yang terdapat dalam Al-qur'an surat An-Nissa ayat 35 :

 !!/ -& 2>  -& 2> C D &/*8


" @F
(35 : )*?8F &8
 
 & /*8  I
D ! >G
H
Artinya : "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik

kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi


Maha Mengenal". (Q.S. An-Nisaa : 4 : 35)

L 8 - L - M!" - M!" - & -!  O! *>


P* 2!   &  8 R H R   D &
 2U  R

 : D  8 R H R  TD 2U
W
L
8" D @F WY
 :
D 2U* 2
D  2U 8
   ]
 &D . ?>  :
Y . 8! @ G
 W
[ D /*8 Z
&2UD

Y .M
! " :
Y  -&D :
Y ,? R
 M
! " W :
Y
(%?* T )M
! "  Z
4D :  8 R
 H
Artinya: Yazid (Ibn al-Miqdam bin Syuraih) menceritakan kepada
kami, (riwayat) dari Syuraih bin Hani dari ayahnya (Hani), bahwa
ketika ia (Hani) menemui Rasulullah SAW banyak orang memanggilnya
dengan panggilan Abul Hakam, kemudian Rasul memanggil Hani
seraya bersabda: sesungguhnya Hakam itu adalah Allah dan kepadaNyalah dimintakan hukum. Mengapa kamu dipanggil Abu al-Hakam?
Abu Syuraih menjawab: jika kaumku bersengketa maka mereka
mendatangiku untuk meminta penyelesaian dan kedua belah pihak akan
rela dengan putusanku, kemudian nabi mengomentari jawaban Abu
Syuraih : Alangkah baiknya perbuatanmu ini! Apakah kamu
mempunyai anak ?. Abu Syuraih menjawab: Ya, saya punya anak
yaitu Syuraih, Abdullah, dan Musallam. Siapa yang paling tua? .
Tanya Nabi. Jawab Abu Syuraih: Syuraih kata Rasul: kalau begitu,
engkau adalah Abu Syuraih. (HR. Al-Nasai).30
Adapun dasar hukum yang ketiga adalah Ijma' ulama, yang telah
memperkuat tentang adanya lembaga arbitrase Islam untuk mengantisipasi
persengketaan para pihak dalam berbagai aspek kehidupan. Penyelesaian
sengketa setelah wafat Rasulullah SAW, banyak dilakukan pada masa sahabat
30

Abdurrahman Ibn Syuaib al-NasaI, Juz VIII Bab Idza Hakamu Rajulan Faqadha
Bainahum (Beirut: Dar al-Marifah, 1138 H), h. 199

dan ulama untuk menyelesaikan sengketa dengan cara mendamaikan para


pihak melalui musyawarah dan konsensus antara mereka sehingga menjadi
Yurisprudensi Hukum Islam dalam beberapa kasus. Keadaan Ijma sahabat
atau ulama sangat dihargai dan tidak ada yang menentangnya, karena tidak
semua masalah sosial keagamaan tercantum dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
secara rinci. Bahkan, Khalifah Umar bin Khattab pernah mengatakan, bahwa
tolaklah permusuhan hingga mereka damai, karena pemutusan perkara melalui
pengadilan akan mengembangkan kedengkian di antara mereka.
Sedangkan dasar hukum arbitrase yang berlaku secara positif dapat
dijelaskan bahwa, Alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat umum, yaitu
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Kontruksi, Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang,
Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undangundang No. 32 tentang Tata Letak Sirkuit Terpadu.

3. Macam-macam Arbitrase
Secara umum orang mengenal dua macam arbitrase dalam praktek,
yaitu sebagai berikut :
a. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase)
Disebut dengan arbitrase ad-hoc atau volunteer arbitrase karena
sifat dari arbitrase ini yang tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini

keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus


sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan
arbitrase ad-hoc ini pun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Para
arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih
sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara
pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa,
tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku.
Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan dan penentuan halhal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah
ditentukan oleh undang-undang.31
Dalam arbitrase ad hoc proses beracara dalam arbitrase ditentukan
sendiri oleh para pihak menurut ketentuan yang lazim berlaku, atau jika
dikehendaki dapat diikuti proses beracara pengadilan.
Pada arbitrase ad hoc para pihak dapat mengatur cara-cara
bagaimana pelaksanaan pemilihan arbiter, kerangka kerja prosedur
arbitrase dan aparatur administrasi dan arbitrase. Namun demikian dalam
pelaksanaannya, arbitrase ad hoc ini memiliki kesulitan antara lain
kesulitan dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan
prosedural dan arbitrase serta kesulitan dalam merencanakan metodemetode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak. Karena

31

Gunawana Wijaya dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2001), Cet. Ke-2, h. 19

ada beberapa kesulitan itu sering kali dipilih bentuk arbitrase kedua yaitu
arbitrase institusional.
b. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase)
Sedikit berbeda dari arbitrase ad-hoc, arbitrase institusional
keberadaannya praktis bersifat permanen, dan karenanya juga dikenal
dengan nama "permanent arbitral body". Arbitrase institusional ini
merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk
menyelesaikan sengketa terbit dari kalangan dunia usaha hampir dari
semua Negara-negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada
umumnya pendiriannya diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri
Negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan main sendirisendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
penunjukan lembaga ini berarti menunjukkan diri pada aturan-aturan main
dari lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturanperaturan yang berlaku untuk masing-masing lembaga tersebut.32
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase
yang sifatnya permanen karena sering juga disebut Permanent Arbitral
Body sebagaimana dalam pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958,
arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan
untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.

32

Ibid., h. 20

Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri


pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase institusional ini
sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc
yang dibentuk setelah perselisihan timbul. Selain itu arbitrase institusional
ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang
ditangani telah selesai.
Arbitrase

institusional,

proses

beracara

dalam

arbitrase

institusional biasanya memutus proses beracara yang sudah baku menurut


ketentuan lembaga tersebut.
Dalam arbitrase institusional, di samping ketentuan yang berlaku
umum tata cara pengangkatan arbiter biasanya sudah ditentukan oleh
lembaga tersebut, termasuk perlawanan yang mungkin ditiadakan terhadap
arbiter yang ditunjuk.
Selain itu bagi arbitrase institusional, proses beracara dalam
arbitrase institusional biasanya memutuskan proses beracara yang sudah
baku menurut lembaga tersebut.

4. Syarat Syarat Menjadi Arbiter

Syarat-syarat Arbiter menurut ketentuan pasal 12 Undang-undang No.


30 Tahun 1999, yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter adalah
mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:33
a. Cakap melakukan tindakan hukum;
b. Berumur paling rendah 35 tahun;
c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
d. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas
putusan arbitrase;
e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling
sedikit 15 tahun;
Dengan ketentuan bahwa hakim, jaksa, panitera, dan pejabat-pejabat
lainnya tidak dapat di tunjuk atau diangkat sebagai arbiter.
Ketentuan yang mengatur mengenai berakhirnya tugas arbiter dalam
bab dapat kita temui dalam bab VIII dari pasal 73 sampai dengan pasal 75
Undang-undang No 30 tahun 1999.
Dalam pasal 73 Undang-undang tahun 1999 dikatakan bahwa tugas
arbiter berakhir karena:34
a. Putusan mengenai sengketa telah di ambil;

33

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bsinis: Seri Hukum Bsinis Hukum
Arbitrase, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), Cet -3, h. 60
34

Ibid., 78

b. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau


sesudah di perpanjang oleh para pihak telah lampau; atau
c. Para pihak sepakat untuk menarik kembali pertunjukan arbiter;
Sedangkan dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) BASYARNAS
pasal 5 dijelaskan syarat-syarat untuk diangkat menjadi arbiter sebagai
berikut:35
a. Beragama Islam yang taat menjalankan agamanya dan tidak terkena
larangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Ahli dalam ilmu, baik murni maupun terapan dan telah mempunyai
pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun dalam bidangnya;
c. Memiliki integritas, kredibilitas serta nama baik di masyarakat;
d. Menyatakan setuju dan menerima segala ketentuan yang ada dan peraturan
prosedur beracara yang berlaku di dalam Badan Arbitrase Syariah
Nasional;
e. Mengisi dan menandatangani formulir isian yang disiapkan oleh Badan
Pengurus dan siap untuk dilantik sebagai arbiter Badan Arbitrase Syariah
Nasional;
Berakhirnya masa ke-anggotaan sebagai arbiter, dikarenakan sebagai
berikut:36
a. Meninggal dunia

35
36

Achmad Djauhari, Arbitrase Syariah Di Indonesia, (Jakarta: BASYARNAS, 2006), h.57


Ibid.,h. 57-58

b. Atas permintaan sendiri


c. Menduduki jabatan yang berdasarkan peraturan Perundang-undangan
yang berlaku dilarang untuk menjadi arbiter
d. Diberhentikan (dengan alasan karena tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagai arbiter dan/atau melakukan perbuatan yang tercela dipandang dari
agama Islam).
Seorang arbiter memiliki tugas pokok sebagai berikut:37
a. Memeriksa dan memberi putusan arbitrase dalam jangka waktu yang telah
ditentukan

(menurut

pasal

48,

paling

lama

180

hari

sejak

penunjukan/pengangkatannya);
b. Bersikap independen dalam menjalankan tugasnya demi mencapai suatu
putusan yang adil dan cepat bagi para pihak yang beda pendapat,
berselisih paham maupun yang bersengketa;
c. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan,
arbiter/majelis arbiter harus terlebih dahulu mengusahakan perdamaian
antara para pihak yang bersengketa (pasal 45 ayat 1);
d. Apabila usaha mendamaikan tersebut berhasil, maka arbiter/majelis arbiter
membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan
memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian
tersebut;

37

Djauhari, Arbitrase Syariah Di Indonesia, h. 58

Tugas arbiter berakhir sebagaimana diatur dalam pasal 37 UU. No.


30/1999, adalah sebagai berikut:38
a. Apabila putusan mengenai sengketa telah diambil;
b. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau
sesudah diperpanjang oleh para pihak telah dilampaui;
c. Para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter;

C. Tinjauan Umum Mediasi


1. Pengertian Mediasi
Para penulis dan praktisi yang berusaha menjelaskan pengertian
mediasi. Tetapi, upaya untuk mendefinisikan mediasi bukanlah suatu hal yang
mudah. Hal ini karena mediasi tidak memberi satu model yang dapat
diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan
lainnya.
Banyak pihak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk
menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak ketiga peranan pihak ketiga
tersebut adalah dengan melibatkan diri untuk membantu para pihak
mengidentifikasi masalah-masalah yang disengketakan dan mengembangkan

38

Ibid ., h. 58-59

sebuah proposal. Proposal tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai acuan


untuk menyelesaikan sengketa tersebut.39
Mediasi adalah forum penyelesaian sengketa yang sekarang sudah
juga mulai berkembang. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
pihak ketiga yang netral.
Sedangkan menurut Pasal 1 Peraturan Badan Mediasi Asuransi
Indonesia, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya
musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh
mediator.40
Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)

No. 02/2003,

pengertian mediasi disebutkan pada pasal 1 butir 6, yaitu: Mediasi adalah


penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu
oleh mediator. Disini disebutkan kata mediator, yang harus mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa yang diterima para pihak. Pengertian
mediator, disebutkan dalam pasal 1 butir 5, yaitu: mediator adalah pihak yang
bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak
dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.41
Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan di
mana seseorang bertindak sebagai "kendaraan" untuk berkomunikasi dengan

39

Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama, 2006), h. 119
40
BMAI, Peraturan Badan Mediasi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h. 7
41
Soemartono, Arbitrase Dan Medias Di Indonesia, h.119

antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa
tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab
utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak
sendiri.42
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa mediasi
merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para
pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara
pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak yang netral tersebut
tugas pertamanya adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak
lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketakan, dan
selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari
keseluruhan situasi.

2. Landasan Hukum Mediasi


Dasar hukum mediasi menurut Undang-Undang Republik Indonesia
No. 30 Tahun 1999 pasal 1 ayat 10 tentang Arbitrase dan Alternatif
penyelesaian sengketa menyatakan bahwa: Alternatif Penyelesaian Sengketa
adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur

42

Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama, 2006), h. 120

yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.43
Pada tanggal 11 September 2003 yang lalu Mahkamah Agung telah
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2003
yang mengatur tentang mediasi. Perma ini dirancang oleh Mahkamah Agung
dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), yaitu organisasi
non pemerintah yang bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik.
Sejauh ini IICT telah memberikan sumbangsih atas penyelenggaraan
penyelesaian sengketa secara efektif melalui upaya untuk mengembangkan
pola-pola resolusi konflik untuk membangun masyarakat yang demokratis,
harmonis, menghargai kemajemukan dan kesetaraan serta mengembangkan
pola-pola penyelesaian sengketa yang mencerminkan keadilan prosedural dan
subtansial.
Adapun Badan Mediasi Asuransi Indonesia beroperasi berdasarkan
Surat

Keputusan

Bersama:

MENTERI

KOORDINATOR

BIDANG

PEREKONOMIAN (Nomor: KEP-45/M.EKON/07/2006), GUBERNUR


BANK

INDONESIA

(Nomor:

8/50/KEP.GBI/2006),

MENTERI

KEUANGAN (Nomor: 357/KMK.012/2006) dan MENTERI NEGARA


BADAN

USAHA

MILIK

NEGARA

(Nomor:

KEP-75/MBU/2006)

TENTANG: PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN, dan ditetapkan

43

Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 163.

di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2006. Juga berdasarkan pada lampiran III
Lembaga Keuangan Non-Bank poin-3, program-3 tentang Perlindungan
Pemegang Polis dengan Penanggung Jawab Departemen Keuangan RI.44

3. Syarat Syarat Menjadi Mediator


Mengingat

mediator

sangat

menentukan

efektivitas

proses

penyelesaian sengketa, ia harus secara layak memenuhi kualifikasi tertentu


serta berpengalaman dalam komunikasi dan negosiasi agar mampu
mengarahkan para pihak yang bersengketa. Jika ia berpengalaman tak terbiasa
berperkara di pengadilan, hal itu sangat membantu. Tetapi, pengalaman
apapun, selain pengalamannya sendiri sebagai mediator, memang kurang
relevan. Pengetahuan secara substansi atas permasalahan yang disengketakan
tidak mutlak dibutuhkan, yang lebih penting adalah kemampuan menganalisis
dan keahlian dalam menciptakan pendekatan pribadi.
Dalam PP No.54/2000 ditentukan kriteria untuk menjadi mediator
lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
luar pengadilan, yaitu:45
a. Cakap melakukan tindakan hukum;
b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;

44

BMAI, Peratutan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h. 64


Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 133
45

c. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan


hidup paling sedikit 5 (lima0 tahun; dan
d. Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.
Di samping itu, mediator (atau pihak ketiga) harus memenuhi syarat
sebagai berikut:46
a. Disetujui oleh para pihak yang bersengketa;
b. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
c. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa;
d. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain terhadap
kesepakatan para pihak; dan tidak memiliki kepentingan terhadap proses
perundingan maupun hasilnya.
Penyebutan kriteria atau persyaratan sebagai mediator secara terperinci
menjadi sangat penting karena dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
No. 02/2003 hal itu tidak diatur. Oleh karena itu, kriteria atau persyaratan di
atas sangat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai acuan bagi pengangkatan
mediator dalam berbagai kasus lainnya, tentunya dengan berbagai
pertimbangan sesuai dengan kebutuhan.
Dalam praktek, mediator sangat membutuhkan kemampuan personal
yang memungkinkan berhubungan secara menyenangkan dengan masingmasing pihak. Kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat tidak
46

Ibid., h. 133-134

menghakimi, yaitu dalam kaitannya dengan cara berpikir masing-masing


pihak, serta kesiapannya untuk memahami dengan empati pandangan para
pihak.
Mediator perlu memahami dan memberikan reaksi positif (meskipun
tidak berarti setuju) atas persepsi masing-masing pihak dengan tujuan
membangun hubungan baik dan kepercayaan. Jika para pihak sudah percaya
kepada mediator dan proses mediasi, mediator akan lebih mampu membawa
mereka ke arah konsensus.47

4. Tujuan Mediasi
Tujuan mediasi adalah tidak untuk menghakimi salah atau benar
namun lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk:
a. Menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan;
b. Melenyapkan kesalahpahaman;
c. Menentukan kepentingan yang pokok;
d. Menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan;
e. Menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri
oleh para pihak;48

47

Ibid., h. 135
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), Cet-4, h. 156-157
48

BAB III
TINJAUAN UMUM
BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) DAN
BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

A. Badan Arbitrasee Syariah Nasional (BASYARNAS)


1. Sejarah Berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Di Indonesia lembaga arbitrase telah didirikan pada tanggal 3 Desember
1977 dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Prakarsa
pendirian BANI disponsori oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN).49 Seiring
dengan kehadiran Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang merupakan
konfirmasi dari eksistensi atau legitimasi terhadap badan arbitrase di Indonesia,
maka hadir pulalah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang
merupakan salah satu wujud dari arbitrase syariah yang pertama kali didirikan di
Indonesia.
Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
bermula dari Badan Arbitrase Muamalah Indonesia, yang pendiriannya
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pada tanggal 5 jumadil awal
1414 H, bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase
Muamalah Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan
sesuai dengan Akta Notaris Yudo Paripurno, SH. Nomor 175 tanggal 21 oktober
49

Suhrawardi K. Lubis, Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 184

1993. Didalam Akta pendirian Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI),


yang dimaksud dengan yayasan ini bernama: YAYASAN BADAN ARBITRASE
MUAMALAH INDONESIA disingkat BAMUI (pasal 1). 50
Instansi ini merupakan badan pekerja yang berada di bawah naungan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) kelehirannya menyusul hadirnya Bank
Muamalah Indonesia sebagai bank syariah pertama, kemudian disusul dengan
Asuransi Syariah yaitu PT Syarikat Takaful Indonesia.
Proses awal berdirinya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI),
dengan adanya pertemuan pertama dan kedua diruang rapat Majelis Ulama
Indonesia (MUI), masing-masing tanggal 22 April 1992 dan 2 Mei 1992.
Kemudian melalui surat keputusan Nomor 392/M.U.I/V/1992 memutuskan untuk
mengangkat kelompok kerja pembentukan Lembaga Arbitrase Islam. Kelompok
kerja dibagi menjadi dua bagian, yaitu nara sumber terdiri dari: Prof. K.H.Ali
Yafie; Prof K.H. Ibrahim, LML; H. Andi Lolo Tonang, S.H.; H. Hartono
Mardjono, S.H.; Jimly Asshiddiiqie, S.H., M.A; panitia teknis terdiri dari: Abdul
Rahman Saleh, S.H., (koordinator), dengan anggotanya, Dr. Herman Rajagukguk,
S.H.; LL.M; Hidayat Achyar, S.H.; Dr. Satria Efendi; M. Zein; Dr. Abdul Gani
Abdullah, S.H.; Yudo Paripurno, S.H.; Drs. H. Syaidu Syahar, S.H.; H.A Z. Umar
Purba, S.H.; dan Drs. K.H. Maruf Amin. Sebagai sekretaris adalah H.M. Isa
Anshary, M.A dan Drs Ahmada Dimyati.

50

BAMUI, Salinan Aktia Pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, (Jakarta: BAMUI,
1999), h. 15

Pada tanggal 29 Desember 1992 Tim Kerja Pembentukan Badan


Arbitrase melaporkan hasil kerjanya dan menjadi agenda keputusan TAKERNAS
MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) seluruh Indonesia tanggal 24-27
November 1992 di Jakarta. Keputusan tersebut berkaitan dengan Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI), bahwa : Sehubungan dengan rencana pendirian
lembaga Arbitrase Syariah Rakernah menyarankan agar Majelis Ulama Indonesia
(MUI) segera merealisasikan pembentukannya. Sebagai realisasi dari keputusan
itu, maka pada tanggal 4 Januari 1993 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mengelurkan Surat Keputusan Nomor 08/M.U.I/I/1993 tentang panitia
persiapan peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Kemudian selama kurang lebih 10 tahun Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) menjelaskan perannya dan dengan pertimbangan yang ada
bahwa anggota Pembina dan pengurus

Badan Arbitrase Muamalat Indonesia

(BAMUI) sudah banyak yang meniggal dunia, juga bentuk badan hukum yayasan
sebagai diatur dalam undang-undang No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan tidak
sesuai dengan kedudukan BAMUI tersebut. Maka atas nama keputusan rapat
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia No: Kep-09/M.U.I/XII/2003 tanggal
24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah
menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) menjadi badan yang
berada di bawah MUI dan merupakan perangkat oraganisasi

Majelis Ulama

Indonesia (MUI).51

51

Salinan Akta Pernyataan Keputusan Raapt Dewan Pimpinan MUI tentang Basyarnas No.
15, (Jakarta: BASYARNAS, 29 Januari 2004)

Kemudian Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat


diharapkan oleh umat Islam di Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh
kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam melainkan
menjadi suatu kebutuhan riil adanya praktek perdata secara perdamaian dengan
perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu
tujuan di dirikan

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai

badan permanent yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya


sengketa muamalah yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan
jasa dan lain-lain di kalangan umat islam.
Menurut H.S. Prodjokusumo, Seketaris Umum Majelis Ulama MUI,
menyebutkan bahwa gagasan pembentukan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) ini tidak terlepas dari kontek perkembangan kehidupan sosial
ekonomi umat Islam.52
Oleh karena itu sangat pentingnya keberadaan lembaga Arbitrase seperti
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), karena hampir setiap Negara
mendirikan lembaga arbitrase untuk keperluan para pembisnis. Apalagi di zaman
era globalisasi ini, frekuensi bisnis sangat padat dan hampir tanpa ada pemisah
antar Negara. Dengan demikian, di kemudian hari pasti akan timbul permasalahan
bisnis antara para pihak. Hal ini untuk menghindari penyelesaian terlalu lama.
Penyelesaian perkara melalui badan Arbitrase dianggap lebih murah, cepat, dan

52

Khirul Wasif, (ed), Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta, BAMUI, 1994), cet, ke-1, h. 129

dapat menjaga kredibilitas perusahaan. Itulah alasannya, mengapa di setiap


Negara didirikan badan arbitrase dan keberadaannya sangat dibutuhkan.
Terdapat sejumlah alasan, para pembisnis memilih penyelesaian sengketa
ke badan arbitrase daripada ke lembaga pengadilan, antara lain di kemukakan
oleh Roedijono,53 bahwa daya tarik relatif arbitrase adalah refleksi dari
kelemahan-kelemahan litigasi. Prosesnya bilamana secara tepat dilaksanakan,
menjanjikan party autonomy yang maksimal, campur tangan yang minimal dari
pengadilan dan berkaitan dengan arbitrase internasional, pengakuan dan
pelaksanaan putusan peradilan wasit, jadi arbitrase memberikan beberapa
keunggulan; pemilihan arbiter oleh para pihak (pemilih ahli yang diinginkan),
keterbatasan upaya hukum atas putusan arbiter, kerahasiaan, kenyamanan para
pihak, prosedur yang tidak formal dan eksekusi putusan arbiter sebagai vonis.
Dalam melaksanakan tugasnya Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) adalah beban (otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh
kekuasaan lain.

2. Fungsi dan Tujuan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)


Setiap lembaga atau badan pasti mempunyai tujuan yang hendak
dicapainya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dengan tujuan tersebut maka
suatu lembaga atau badan dapat memperkirakan mutu didirikannya badan atau

53

Roedijono, Alternative Dispute Resolution (ADR) (Pilihan Penyelesaian Sengketa),


(Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1996), h. 5-5.

lembaga tersebut. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) mempunyai


visi dan misi yaitu sebagai berikut:
Penyelesaian sengketa-sengketa keperdataan (khususnya) yang ditangani
oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) diputuskan secara final
dengan prinsip perdamaian.
Dengan prinsip perdamaian, menurut A. Wasil Aulawi terdaapt nilai-nilai
dan juga konstruktif yaitu:54
1. Kedua belah pihak menyadari sepenuh perlunya penyelesaian sengketa

yang

terhormat dan bertanggung jawab.


2. Secara suka rela mereka menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada orang
atau lembaga yang disetujui dan dipercayai.
3. Secara suka rela mereka akan menyelesaikan putusan dari arbiter sebagai
konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter
4. Kesepakatan mengandung janji dan janji itu harus disepakati
5. Mereka menghargai hak orang lain itu adalah lawannya.
6. Mereka tidak ingin meresa benar sendiri dan mengabaikan kebenaran yang
mungkin ada pada orang lain
7. Mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran bernegara atau
bermasyarakat sehingga dapat dihindari tindakan main hakim sendiri

54

Badan Arbitrase Syariah dan Perannya dalam Mendukung Pengembangan Lembaga


Keuangan Syariah, (Jakarta: BASYARNAS, 2004), h. 16

8. Sesungguhnya pelaksanaan tahkim atau arbitrase itu di dalamnya mengandung


makna musyawarah dan perdamaian.
Di samping itu tujuan utama pendirian Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) adalah sebagai berikut:55
1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa
muamalah/perdata yang timbul dalam perdagangan industri, keuangan, jasa
dan lain-lain
2. Memenuhi permintaan yang di ajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian,
tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan pendapat yang mengikat
mengenai persoalan yang berkenaan dengan perjanjian tersebut.

3. Struktur Organisasi
Penasehat

1. Dr. K.H. Sahal Mahfudh


2. Prof. K.H. Ali Yafie
3. Prof. Dr. H. Said Agil Husein Munawar, M.A.
4. Prof. H. Bismar Siregar, S.H.
5. Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H.
6. Prof. Dr. H.M. Tahir Azhary, S.H.
7. Prof. Dr. Umar Shihab
8. Prof. Dr. H. Asmuni Abdurrahman
9. KH. Kholid Fatlulluah, S.H.

55

BASYARNAS, Arbitrase Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Basyarnas, 2006) h.45

10. KH. Ma'ruf Amin


11. Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab
12. Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, S.H.
13. Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin

Ketua

: H. Yudo Paripurno, S.H.

Wakil Ketua

: H. Abdul Rahman Saleh, S.H. MH.

Wakil Ketua

: H. Hidayat Ahyar, S.H.

Wakil Ketua

: Hj. Fatimah Ahyar, SH.

Sekretaris

: H. Acmad Djauhari, SH. MH.

Wakil Sekretaris

: Drs. Anwar Sanusi Adiwijaya, SH. MM.

Wakil Sekretaris

: Drs. H. Ahmad Dimyati

Bendahara

: Dr. Ir. H. Riyanto Sofyan

Wakil Bendahara

: Drs. H. Mochtar Luthfi, SH.

Wakil Bendahara

: Dra. Euis Nurhasanah

Anggota

: Prof. Dr. Erman Rajagukguk, SH, LLM


H.A. Zen Umar Purba, SH, LLM
Tgk. H. Ir. Ibrahim Arief, SH, M.Agr.
H.M. Isa Anshar, MA.
Dra. Hj. Siti Ma'rifat, SH. MM.

Niniek Rustinawati, SH.


H.M. Saeful Rahman, SH
Mohammad Nur, SH

B. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)


1. Sejarah Berdirinya Badan Mediasi Asuransi Indonesia
Badan Mediasi Asuransi Indonesia adalah lembaga independen dan
imparsial yang memberikan pelayanan untuk penyelesaian sengketa klaim
(tuntutan ganti rugi atau manfaat) asuransi antara Perusahaan Asuransi dengan
Tertanggung atau pemegang polis.56
Pendirian Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) digagas oleh
industri asuransi dan semua Asosiasi Perusahaan Perasuransian Indonesia
(FAPI) yaitu Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi
Jiwa Indonesia (AAJI), dan Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial

Indonesia

(AAJSI), serta didukung oleh pemerintah. Tujuan pendirian Badan Mediasi


Asuransi Indonesia (BMAI) adalah untuk memberikan pelayanan yang lebih
profesional dan transparan yang berbasis pada kepuasan dan perlindungan
serta penegakan hak-hak tertanggung atau pemegang polis. Badan Mediasi
Asuransi Indonesia (BMAI) secara resmi didirikan pada tanggal 12 Mei 2006
dan mulai beroperasi pada tanggal 25 September 2006.57

56
57

BMAI, Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h. 64


Ibid.,

Adapun Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ini beroperasi


berdasarkan Surat
BIDANG

Keputusan Bersama: MENTERI KOORDINATOR

PEREKONOMIAN

GUBERNUR

BANK

Nomor:

INDONESIA

KEP-45/M.EKON/07/2006),

(Nomor:

8/50/KEP.GBI/2006),

MENTERI KEUANGAN (Nomor: 357/KMK.012/2006), dan MENTERI


NEGARA

BADAN

USAHA

MILIK

NEGARA

(Nomor:

KEP-

75/MBU/2006) TENTANG : PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN,


dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2006. 58

2. Fungsi dan Tujuan Badan Mediasi Asuransi Indonesia


Setiap Lembaga atau Badan pasti mempunyai Fungsi dan Tujuan.
Begitu juga dengan Badan Mediasi Asuransi Indonesia yang mempunyai
Fungsi akan selalu bertindak independen dalam memberikan pelayanan dan
sebagai media yang tidak memihak (imparsial) dan penengah perselisihan dan
tidak akan bertindak sebagai penasihat hukum baik bagi Anggota, Pemohon
atau pihak-pihak lainnya yang mengajukan sengketa kepadanya.
Sedangkan tujuan dari Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)
yaitu untuk memberikan pelayanan yang lebih profesional dan transparan
yang berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakan hak-hak
tertanggung atau pemegang polis.

58

BMAI, Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, h. 64

3. Struktur Organisasi Badan Mediasi Asuransi Indonesia59

KETUA
Frans Lamury

59

SEKRETARIS

BENDAHARA

Ketut Sendra

Firdaus Anwar

http: // www.bmai.or.id pada tanggal 01 Juli 2008

BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI MENURUT PERSPEKTIF
BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) DAN
BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

Sengketa Asuransi
Di dalam kamus bahasa Indonesia istilah sengketa adalah sesuatu yang
menyebabkan perbedaan pendapat atau pertengkaran. 60 Dalam bidang usaha
asuransi perbedaan pendapat terjadi disini adalah antara penanggung dan
tertanggung

yang

disebabkan

adanya

ketimpangan

yang

diharapkan,

kemungkinan itu adalah berupa tejadinya hal yang tidak diinginkan. Oleh
karenanya bentuk sengketa beraneka ragam dan keanekaragamannya menentukan
inti permasalahan sekian banyak liku-liku, akan tetapi pada akhirnya intinya akan
muncuk ke permukaan. Berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan
dapat menguasai para pihak yang bersengketa melalui pertentangan tertentu yang
kadang-kadang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat.61
Oleh karena itu paling efektif kalau dapat diselesaikan dengan putusan
yang final dan mengikat melalui arbitrase, mediasi, atau alternatif penyelesaian
sengketa tertentu. Dengan demikian sengketa tersebut dapat diputuskan, atau
60

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Cet. Ke-10, h.914.
H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Fikahati
Aneka, 2002), Cet. Ke-1, h.1
61

setidak-tidaknya diklarifikasi atau mempersempit persoalan melalui mekanisme


alternatif penyelesaian sengketa yang tepat. Beberapa bentuk sengketa dapat saja
diselesaikan dengan melakukan negosiasi langsung oleh para pihak tanpa perlu
bantuan pihak ketiga atau diselesaikan secara intern.
Permasalahan yang terkadang menimbulkan sengketa antara penanggung
dan tertanggung kemungkinan itu adalah berupa terjadi hal yang tidak diinginkan.
Seperti dalam hal pembayaran klaim. Klaim yamg diajukan tidak diterima oleh
perusahaan asuransi karena ada syarat-syarat yang belum dipenuhi atau ada
sebab-sebab tertentu yang menyebabkan tidak diterimanya klaim yang diajukan
tetapi tertanggung merasa telah memberikan semua keterangan yang diperlukan.
Selain itu sengketa asuransi dapat saja terjadi karena adanya wanprestasi
menurut kamus hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak
menepati kewajibannya dalam perjanjian.62

Jadi wanprestasi adalah suatu

keadaan dimana salah satu pihak baik tertanggung maupun penanggung tidak
memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu
perjanjian.

B. Faktor Faktor Yang Menimbulkan Terjadinya Sengketa Asuransi


Ada beberapa hal yang menimbulkan terjadinya sengketa atau perselisihan
asuransi diantaranya sebagai berikut:

62

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1991), h.339

1. Tertanggung tidak membaca polis, kontrak asuransi sehingga ini tidak tahu
pasti isi perjanjian, tidak paham apa yang dijamin, apa yang tidak dijamin dan
apa yang dikecualikan, apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak
diperbolehkan, berapa besar manfaat asuransi yang di dapat, selain itu salah
satu alasan yang sering diberikan tertanggung adalah kontrak asuransi yang
cukup panjang dan sering ditulis dengan huruf yang kecil-kecil.
2. Petugas asuransi memberikan penjelasan atau keterangan kurang jelas dan
detail, serta kurang rinci mengenai isi dari polis dan klausul-klausul yang
dilekatkan, sehingga tertanggung tidak mempunyai informasi yang cukup.
3. Tertanggung sering beranggapan bahwa semua resiko dijamin dan semua
kerugian dan ada kerugian yang ditanggung sendiri oleh tertanggung.
4. Perbedaan pendapat melakukan penilaian terhadap besar kecilnya kerugian,
kalau perbedaan ini sampai tidak ada titik temunya, maka diserahkan pada
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi
Asuransi Indonesia (BMAI) atau kalau terpaksa diselesaikan melalui
pengadilan.
5. Perbedaan persepsi dalam menyelesaikan sebab-sebab terjadinya kerugian,
terutama bila disinyalir ada moral hazard atau perilaku buruk. Untuk
menyelesaikan masalah ini kadang kala harus melalui bantuan pihak
berwenang.
Dari uraian di atas penulis dapat simpulkan, bahwa sengketa asuransi
syariah itu adalah perbedaan pendapat antara tertanggung dan penanggung yang

disebabkan adanya ketimpangan yang diharapkan, kemungkinan itu adalah berupa


hal yang tidak diinginkan sehingga terjadi perselisihan. Dan sengketa asuransi
syariah tersebut dapat disebabkan karena adanya wanprestasi yang berarti:
kelalaian, kealpaan, cidera janji, dan tidak menetapi kewajiban dalam perjanjian.
Selain itu sengketa asuransi syariah dapat di sebabkan karena kesalahan teknis
seperti: tertanggung tidak membaca polis atau isi dari surat perjanjian, kurang
tegasnya petugas dalam memberikan penjelasan isi polis dan klausul-klausul yang
dilekatkan pada isi perjanjian, adanya moral hazard (perilaku buruk) dan lain-lain.

C. Penyelesaian Sengketa Asuransi Menurut Perspektif Badan Arbitrase


Syariah Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia
(BMAI)
1. Penyelesaian Sengketa Asuransi Menurut Perspektif Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS)
Pada dasarnya BASYARNAS mempunyai kontribusi yang sangat
penting dalam menyelesaikan sengketa asuransi syariah. Kontribusi
BASYARNAS yang sangat penting ini untuk menyelesaikan sengketa
asuransi syariah yang terjadi diantaranya para pihak dan pada umumnya setiap
perusahaan yang mengeluarkan produk syariah.
Sesungguhnya atas dasar prakarsa MUI kelahiran BASYARNAS
dimaksudkan untuk membantu menyelesaikan persengketaan yang timbul
antara BMI, BPR Syariah, dengan para nasabahnya atau pengguna jasa

Perbankan lainnya. Kehadiran BMI, BPR Syariah, Asuransi Takaful dan


Baitul Mal Watammil telah membawa pengaruh yang besar terhadap aktivitas
ekonomi umat Islam. Lembaga-lembaga ekonomi ke-Islaman tersebut dalam
menjalankan kegiatannya operasionalnya selalu dituntut untuk mengacu
kepada hukum Islam. Karena hubungan perekonomiannya berada dalam
lingkup Islami.
Setelah asuransi syariah mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun
1994, ditandai dengan beroperasinya asuransi syariah Takaful yang menjadi
dasar beroperasinya pada waktu itu. Sambutan masyarakat terhadap asuransi
syariah cukup bagus Takaful dapat mengumpulkan premi dalam jumlah yang
signifikan dalam Tahun awal operasinya dan tetap naik setiap tahunnya,
masyarakat Islam yang pada awalnya kurang mengenai apa itu asuransi
syariah seakan kuat memajukan perekonomian umat.63
Masyarakat Islam yang sudah mempunyai Insurance Minded ini
tentu berharap, uang yang dikumpulkan melalui asuransi akan dapat
memmbantu saudaranya yang di timpa musibah. Selanjutnya bagian tertentu
dari premi yang dikumpulkan dapat diinvestasikan di kalangan umat Islam.
Dilihat dari segi prinsip yang ditawarkan, umat Islam juga merasa aman
berasuransi dengan asuransi syariah karena terbebas dari riba, gharar, maisir,

63

M. Luthfi Hamidi, Jejak jejak Ekonomi Syariah, (Jakarta: Senayan Abidi Publishing,
2003), Cet. Ke-1, h. 255.

dan lain-lain yang membawa kepada dosa.64 Sejak berdirinya Asuransi


Syariah Takaful pada tahun 1994 belum pernah terjadi sengketa yang sampai
diselesaikan ke BASYARNAS sekalipun ada sengketa diselesaikan secara
musyawarah internal, namun hubungan asuransi syariah Takaful dengan para
kliennya atau para pihak pengguna jasa asuransi syariah, kemungkinan
sewaktu-waktu akan menimbulkan ketidakserasian yang dapat mengakibatkan
perselisihan diantara kedua belah pihak yang harus diselesaikan melalui
lembaga arbitrase syariah yaitu BASYARNAS.
Setiap sengketa asuransi syariah yang terjadi dapat diselesaikan ke
BASYARNAS apabila penyelesaian sengketa asuransi syariah telah
disepakati oleh kedua belah pihak dalam perjanjian awal atau sudah tertera
dalam klausul perjanjian awal asuransi syariah yang menunjuk BASYARNAS
tempat dimana sengketa perkara-perkara tersebut diselesaikan dan diputus
secara final oleh BASYARNAS bila terjadi sengketa asuransi syariah dan
apabila tidak bisa diselesaikan dengan cara musyawarah antara perusahaan
dan kliennya secara internal.65
Oleh karena itu, sejak berdirinya BASYARNAS sampai sekarang
ini, belum ada perkara asuransi syariah yang masuk dan diselesaikan oleh
BASYARNAS. Namun hanya ada beberapa perkara yang berkaitan dengan
biaya bermasalah dan seluruh putusan yang diputus diterima sebagai putusan
64

Ibid., h. 256.
Euis Nurhasanah, Sekretaris Harian Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS),
Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 April 2008.
65

yang final oleh para pihak yang bersengketa dan tidak ada yang menyesal atau
banding dari putusan tersebut. Karena pada dasarnya perkara-perkara yang
diselesaikan di BASYARNAS selalu dan harus mengutamakan penyelesaian
secara damai dan dianjurkan dalam Islam.
Karena penyelesaian sengketa asuransi syariah di BASYARNAS
merupakan alternatif terakhir, sehingga bila terjadi sengketa asuransi syariah
dapat diselesaikan dengan musyawarah, dan apabila dengan jalan musyawarah
antara tertanggung dan penanggung tidak dapat diselesaikan dengan
musyawarah, maka alternatif terakhir sengketa asuransi syariah tersebut
diselesaikan melalui BASYARNAS. Hal inilah yang menutup kemungkinan
belum ada sengketa asuransi syariah yang diselesaikan pada BASYARNAS
karena perusahaan asuransi syariah dapat menyelesaikan perkara tersebut
dengan musyawarah dan itu sesuai dengan pernyataan klausul-klausul dari
setiap perjanjian asuransi bila terjadi sengketa asuransi itu diselesaikan
dengan cara musyawarah, dan alternatif terakhir diselesaikan melalui
BASYARNAS bila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cara
musyawarah.
Walaupun demikan BASYARNAS telah mempunyai kontribusi
dalam

penyelesaian

sengketa

asuransi

syariah

dengan

memberikan

keuntungan kepada para pihak dibandingkan model penyelesaian sengketa


secara konvensional melalui ligitasi sistem peradilan, diantaranya:

1. Mengutif penjelasan umum Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, pada


umumnya dikatakan bahwa pranata arbitrase mempunyai kelebihan
dibandingkan pranata peradilan, yaitu antara lain:
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.
b. Dapat dihindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural
dan administratif.
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil.
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat
dilaksanakan.
2. Menurut Sayyid Sabiq,66 bahwa penghormatan terhadap perjanjian
menurut Islam hukumnya wajib, melihat pengaruh yang positif dan
perannya yang sangat besar dalam memelihara perdamaian dan melihat
urgensinya dalam mengatasi kemusyrikan, menyelesaikan perselisihan
dan menciptakan kerukunan.

66

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah II, (Bandung: PT Al-Maarif, 1987), h. 173

3. Menurut Prof. Dr. Sudargo Gautama.67 Menyebutkan beberapa alasan


yang menjadikan arbitrase demikian popular dalam transaksi yang
internasional, antara lain dihindarkannya publisitas, tidak banyak
formalitas, bantuan pengadilan hanya taraf eksekusi, baik untuk pedagangpedagang

bonafide,

ada

jaminan

dari

perkumpulan-perkumpulan

pengusaha lebih murah dan cepat.


4. Menurut Goodpaster, Felix O. Subagio dan Fatma Jatim, 68 menyebutkan
ada beberapa alasan memilih arbitrase, yaitu:
a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan.
b. Keahlian (expertise).
c. Cepat dan Herat biaya.
d. Bersifat rahasia.
e. Bersifat nonpreseden.
f. Kepekaan arbiter.
g. Pelaksanaan keputusan, dan
h. Kecenderungan yang modern.
5. Menurut Huala Adolf.69 Ada beberapa alasan mengapa pengusaha lebih
menyukai forum arbitrase daripada pengadilan antara lain:

67

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase: Seri Hukum Bisnis, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-1, h. 5
68
Ibid., h. 5
69
Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994), Cet. Ke-1, h. 1-3.

a. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak mengikuti formalitasformalitas yang ketat dan kaku.
b. Arbitrase relatif lebih murah.
c. Putusan arbitrase lebih memuaskan karena ditangani oleh arbitratorarbitrator yang memang dipilih oleh para pihak berdasarkan
keahliannya.
d. Berproses melalui arbitrase memelihara dan menjamin kerahasiaan
para pihak yang bersengketa.
e. Dari segi kepentingan dan bisnis, arbitrase dipsndang sebagai upaya
penyelesaian yang tepat.
5. Menurut Pierre Lalive.70 Dengan menyelesaikan suatu sengketa melalui
arbitrase, para pihak diupayakan untuk bisa tetap berhubungan komersial
di masa depan. Dengan demikian, melalui penyelesaian cara ini, badan
arbitrase mengupayakan agar para pihak tidak bermusuhan, tetapi
memelihara hubungan komersial mereka setelah sengketanya diputus.
Pendek kata mereka tetap berhubungan dengan baik setelah sengketanya
diselesaikan oleh arbitrase.
6. Menurut Euis Nurhasanah, penyelesaian sengketa melalui arbitrase
syariah khususnya BASYARNAS mempunyai keuntungan diantaranya
yaitu:
a. Cepat dan murah
70

Ibid., h. 1-3

b. Tidak ada banding


c. Rahasia dan tertutup dengan umum
d. Diselesaikan dengan arbiter (wasit) yang pakar dan ahli.
Sebagai lembaga arbitrase, kekuatan hukum yang dibuat oleh
BASYARNAS punya kekuatan yang mengikat. Setiap salinan putusan
dikirimkan ke Pengadilan Negeri untuk menjadi arsip. Hakim Pengadilan
Negeri

tidak

boleh

lagi

memeriksa

perkara

yang

sudah

diputus

BASYARNAS. Jika harus ada eksekusi pun BASYARNAS bisa meminta


bantuan dari Pengadilan Negeri untuk melakukan eksekusi setelah memilki
kekuatan hukum tetap 2 bulan.
Sejauh ini perhatian terhadap BASYARNAS memang masih minim.
Terlihat jelas dari perkara yang masuk. Mungkin kurang sosialisasi sehingga
masyarakat kurang mengenal. Padahal menyelesaikan sengketa lewat
BASYARNAS lebih singkat dan sederhana, selain prosesnya lebih sesuai
dengan nilai Islam keputusan arbitrase tidak boleh dibanding, berbeda bila ke
Pengadilan Negeri karena masih ada proses banding, kasasi, bahkan
peninjauan kembali. Bagi perusahaan besar seperti perusahaan-perusahaan
asuransi syariah lebih efisien bila menggunakan BASYARNAS. Selain tidak
terbuka secara publik, penyelesaiannya sangat singkat dan sederhana.
Perusahaan besar selama ini lebih tertarik dengan penyelesaian perselisihan
lewat arbitrase ketimbang peradilan.

BASYARNAS memeriksa berdasarkan isi perjanjian. Perselisihan


diperiksa oleh hakim Tunggal atau Majelis tergantung pada tingkat kesulitan
perkara. Para Arbiter (hakim) pakar dibidangnya. Setiap panel terdiri dari
pakar hukum dan Syariat serta praktisi bisnis atau keuangan syariah. Lebih
dari 20 (dua puluh) pakar bergabung dalam arbiter. Mereka akan datang
sesuai penunjukan dan bidang masalah. Oleh karena itu keberadaan Badan
Arbitrase

Syariah

Nasional

sangat

diperlukan

kontribusinya

untuk

menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang terjadi pada perusahaan


asuransi syariah bila terjadi sengketa atau perselisihan. 71
Dari uraian di atas penulis dapat simpulkan, walaupun hanya ada
belasan perkara yang diperiksa oleh BASYARNAS dan belum adanya
sengketa asuransi syariah yang masuk untuk diselesaikan oleh BASYARNAS
karena seluruh sengketa dapat diselesaikan sendiri secara musyawarah
internal. Walaupun demikian kontribusi BASYARNAS sangat dibutuhkan
oleh perusahaan asuransi syariah apabila terjadi sengketa, serta jika sengketa
tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri secara musyawarah internal. Karena
penyelesaian sengketa pada BASYARNAS mempunyai keuntungan dari pada
lembaga peradilan lainnya yaitu: lebih cepat, hemat biaya, tidak ada banding,
dan tidak terekspose secara publik sehingga perusahaan asuransi syariah dapat
menjaga nama baiknya. Berbeda bila penyelesaian sengketa diselesaikan

71

Hanya Belasan Perkara Yang Masuk ke BASYARNAS Selama 12 Tahun,


www.basyarnas.com, h. 2

melalui Peradilan Negeri (PN) karena masih ada proses banding, kasasi,
peninjauan kembali, serta terekspose dari publik. Selain itu proses
penyelesaiannya sangat lama dan memerlukan biaya yang sangat mahal.

2. Penyelesaian Sengketa Asuransi Menurut Perspektif Badan Mediasi


Asuransi Indonesia (BMAI)
Menurut Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) sengketa
adalah perselisihan yang timbul sehubungan dengan penolakan tertulis oleh
anggota atas klaim asuransi yang diajukan oleh pemohon kepada anggota
yang menjadi penanggung berdasarkan perjanjian asuransi, yang diajukan
oleh pemohon kepada Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) paling
lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal surat penolakan.72
Mediasi adalah proses penyelesaian sengkata melalui upaya
musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh
mediator. Sedangkan mediator adalah karyawan tetap Badan Mediasi
Asuransi Indonesia (BMAI) yang berwenang untuk elakukan investigasi dan

72

BMAI, Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h.7

proses mediasi sengketa yang diajukan pemohon kepada Badan Mediasi


Asuransi Indonesia (BMAI).73
Pemohon adalah nasabah yang mempunyai hubungan dengan
anggota atau seseorang yang mempunyai kepentingan untuk menerima
manfaat dari perjanjian asuransi termasuk seseorang yang atas dirinya dibuat
sebuah perjanjian asuransi atau seseorang yang mempunyai hak untuk
menerima manfaat dari suatu klaim asuransi yang timbul karena adanya
perjanjian, undang-undang atau subrogasi, atau seorang tertanggung yang
disebutkan dalam polis asuransi atau pihak ketiga yang mempunyai hak yang
disebutkan dalam perjanjian asuransi untuk mengajikan klaim atas sebuah
perjanjian asuransi yang menjamin atau diperluas untuk menjamin
pertanggungan terhadap pihak ketiga. Sedangkan anggota adalah perusahaan
asuransi dan reasuransi yang terdaftar dan memenuhi syarat-syarat
keanggotaan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).
Pada Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ada sengketa yang
dapat ditangani dan ada pula sengketa yang dikecualikan yaitu sebagai
berikut:
Dalam pasal 3 Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia
(BMAI), sengketa yang dapat ditangani oleh BMAI diantaranya adalah:
1) Semua bentuk keluhan atau keberatan (disebut sebagai snegketa) dari
pihak yang mempunyai kepentingan atas suatu jaminan polis asuransi
73

Ibid., h.7

(selanjutnya disebut sebagai pemohon) berkaitan dengan tuntutan ganti


rugi atau manfaat asuransi dapat diajukan dan ditangani oleh BMAI,
dengan ketentuan:
a) Pemohon yang emngajukan adalah pihak yang berkepentingan
b) Anggota yang terlibat dalam sengketa harus merupakan pihak yang
tunduk pada yurisdiksi BMAI karena masih terdaftar sebagai anggota
BMAI.
c) Sengketa yang timbul dari permasalahan bekaitan dengan hubungan
pemohon dengan anggota.
d) Lingkup sengketa yang diajukan harus berada dalam yurisdiksi BMAI
sejak BMAI didirikan.
e) Anggota tidak dapat menyelesaikan senketa secara langsung dengan
pemohon sesuai dengan tuntutan pemohon dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak disampaikannya keberatan leh pemohon kepada
anggota.
2) Jumlah tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang dipersengketakan tidak
melebihi Rp. 500 juta untuk asuransi kerugian/umum dan Rp. 300 juta
untuk asuransi jiwa atau asuransi jaminan sosial.
3) Semua sengketa yang belum pernah diajukan oleh pemohon kepada
anggota

sehingga

anggota

belum

mendapat

kesempatan

untuk

menyelesaikannya secara langsung, akan dianggap sebagai keluhan dan

bila diajukan kepada BMAI maka BMAI akan mengembalikannya kepada


anggota untuk mendapat pertimbangan lebih dahulu.
4) Lingkup daerah yurisdiksi BMAI hanya mencakup sengketa terhadap
aktifitas anggota atau perwakilannya yang melakukan kegiatan usaha
dalam wilayah Republik Indonesia.74
Sedangkan dalam pasal 4 Peraturan Badan Mediasi Asuransi
Indonesia (BMAI), sengketa yang dikecualikan artinya sengketa yang idak
dapat diproses oleh BMAI adalah sebagai berikut:
1) Keputusan yang dibuat atas dasr pertimbangan komersial;
2) Kebijakan harga (pricing) dan kebijakan lainnya, seperti suku premi,
biaya, dan kurs valuta asing;
3) Kasus yang sedang dalam proses inevestigasi oleh pihak yang berwajib,
termasuk kasus-kasus dengan tuduhan adanya penipuan atau tindak
kriminal dan kasus tersebut telah dilaporkan kepada yang berwajib untuk
dilakukan investigasi;
4) Sengketa berkaitan dengan permasalahan hubungan antara agen dan atau
pialang dengan anggota;
5) Sengketa yang telah lebih dari 6 (enam) bulan sejak anggota memberikan
jawaban penolakan final;

74

BMAI, Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, h. 9

6) Sengketa yang telah terjadi sebelum berdirinya BMAI, kecuali bila


sengketa tersebut diajukan ke BMAI dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan sejak beroperasinya BMAI;
7) Sengketa yang sebelumnya telah diselesaikan secara langsung antara
pemohon dengan anggota;
8) Sengketa yang pernah atau sedang disidangkan di pengadilan.
Selama Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) berdiri sejak
tanggal 12 Mei 2006 dan beroperasi pada tanggal 25 September 2006. Sudah
banyak kasus sengketa yang masuk ke BMAI kurang lebih sekitar 80 kasus
sengketa asuransi, dan 10 % dari kasus tersebut sudah dapat diselesaikan oleh
BMAI. Tetapi tidak dapat disebutkan perusahaan apa saja yang pernah masuk
ke BMAI, karena menyangkut nama baik perusahaan.
Dalam pasal 27 tentang kerahasiaan pada peraturan Badan Mediasi
Asuransi Indonesia disebutkan bahwa:75
1) Pemohon dan anggota harus menyimpan semua informasi, dokumen,
korespondensi (termasuk email), hal-hal atau permasalahan yang dibahas,
proposal dan balasan proposal, keputusan ajudikasi, dan lain-lain, secara
keseluruhan

sangat

rahasia;

dan

tidak

akan

membukakan

atau

membocorkan rahasia tersebut (baik secara langsung atau tidak langsung)


kepada pihak yang lain, kecuali diperlukan sesuai dengan ketentuan
hukum atau peraturan yang berlaku atau perintah pengadilan atau
75

Ibid.,h.17

ketentuan administratif yang ditetapkan oleh lembaga pemerintah lainnya,


atau sebagaimana mestinya untuk melaksanakan perjanjian penyelesaian
atau ajudikasi.
2) Sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan yang berlaku, perintah
pengadilan atau sebagaimana mestinya untuk melaksanakan suatu
perjanjian penyelesaian atau keputusan ajudikasi, semua pihak yang
terlibat dalam proses mediasi dan ajudikasi harus menjaga kerahasiaan dan
tidak menggunakan untuk tujuan apapun dalam proses-proses persidangan
lainnya:
a) Fakta bahwa proses mediasi dan ajudikasi akan, sedang atau telah
berlangsung
b) Hal-hal yang muncul dalam proses mediasi dan ajudikasi
c) Pendapat yang dikemukakan atau usulan-usulan atau proposal yang
disampaikan untuk penyelesaian sengketa oleh para pihak selama
proses mediasi dan ajudikasi.
d) Proposal yang diusulkan oleh mediator dan ajudikasi
e) Semua bahan yang diserahkan dan pembicaraan yang dilakukan
selama proses mediasi dan ajudikasi
f) Apabila pemohon tidak menerima keputusan yang dibuat oleh majelis
ajudikator, kenyataan bahwa majelis ajukator telah membuat
keputusan dan substansi dan persyaratan dari keputusan dan pemohon
atau pemohon menolak keputusan

g) Semua bahan-bahan, informasi, korespondensi (termasuk email),


masalah yang didiskusikan, proposal dan tanggapan yang disampaikan
berkaitan dengan proses medisi dan ajudikasi, termasuk dan tidak
terbatas pada suatu perjanjian penyelesaian kecuali bila diperlukan
untuk pelaksanaan perjanjian penyelesaian tersebut.
3) Kecualikan untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku
atau perintah pengadilan, semua bahan, dokumen atau informasi lainnya
yang diserahkan untuk keperluan proses mediasi dan ajudikasi bersifat
khusus dan tidak dapat dipergunakan sebagai bukti dalam persidangan
lainnya atas sengketa yang sama, kecuali bila dokumen tersebut dapat
diterima oleh persidangan tersebut.
4) Para pihak tidak dapat meminta anggota majelis ajudikator BMAI (atau
karyawan, pejabat atau wakilnya) sebagai saksi, konsultan, arbiter atau
ahli dalam suatu persidangan atas sengketa yang sama.
5) Kewajiban pemohon dan anggota untuk menjaga kerahasiaan tidak
berkurang dan tetap berlaku secara penuh setelah selesainya proses
mediasi dan ajudikasi yang dilakukan BMAI.
6) Anggota menjamin semua pejabat karyawan, wakil-wakil dan atau agenagennya juga mematuhi ketentuan.

Menurut Ketut Sendra selaku sekretaris di BMAI,76 penyelesaian


sengketa melalui jalur mediasi mempunyai banyak keuntungan yaitu sebagai
berikut:
a) Cepat, tidak memakan waktu yang lama;
b) Gratis, maksudnya tidak ada biaya;
c) Rahasia dan tidak untuk publik;
d) Ditangani oleh mediator yang memang ahli dalam bidang asuransi.
Dalam pasal 14 Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia
(BMAI) jangka waktu penyelesaian sengketa oleh mediator, seorang mediator
harus mengupayakan untuk menyelesaikan sengketa dalam jangka waktu yang
wajar, dengan mempertimbangkan kompleksitas dari sengketa.
Apabila sengketa asuransi dapat diselesaikan melalui mediasi, maka
mediator harus mencatat secara tertulis semua persyaratan penyelesaian yang
dicapai oleh kedua belah pihak. Tapi sebaliknya apabila sengketa tidak dapat
diselesaikan melalui mediasi, maka mediator akan meminta persetujuan ketua
untuk melanjutkan sengketa ke tingkat Ajudikasi sesuia tata cara yang diatur
dalam peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia.(BMAI).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, BMAI merupakan
tempat penyelesaian sengketa yang mempunyai kontribusi yang sangat
penting, terutama untuk penyelesaian sengketa dalam bidang asuransi. Karena

76

Ketut Sendra, Sekretaris Badan Mediasi Asuransi Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta,
11 April 20008

proses

mediasi

sangat

tepat

untuk

penyelesaian

sengketa

asuransi

dibandingkan alternatif penyelesaian sengketa lain. Penyelesaian sengketa


melalui mediasi mempunyai banyak keuntungan selain proses mediasi yang
cepat, gratis (tidak ada biaya), mediator yang memang ahli di bidangnya, juga
kerahasiaannya terjaga karena bukan untuk publik.

D. Prosedur Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada Badan Arbitrase Syariah


Nasional (BASYARNAS) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)
Setiap lembaga apapun dalam menjalankan operasionalnya selalu
disertai dengan kewenangan dan peraturan prosedur. Demikian juga dengan
BASYARNAS dan BMAI sebagai lembaga

Arbitrase dan Mediasi

mempunyai kewenangan dan peraturan juga prosedur yang telah ditetapkan


oleh lembaga itu sendiri sebagai hukum acaranya. Untuk mengetahui lebih
jauh tentang prosedur BASYARNAS dan BMAI dalam penyelesaian sengketa
asuransi yaitu sebagai berikut:
1. Prosedur Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS)
Pengajuan

permohonan

proses

arbitrase

dimulai

dengan

didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase oleh


sekretaris dalam register BASYARNAS. Dalam surat permohonan
tersebut harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap dan tempat
tinggal atau tempat kedudukan kedua belah pihak atau para pihak, suatu

uraian singkat tentang salinan naskah perjanjian arbitrasenyadan surat


kuasa khusus jika diajukan.
Selanjutnya, surat permohonan itu akan diperiksa oleh BASYARNAS,
untuk menentukan apakah BASYARNAS berwenang memeriksa atau
memutuskan sengketa arbitrase yang dimohonkan tadi. Dalam hal perjanjian
atau klausula arbitrase dianggap tidak cukup dijadikan dasar kewenangan
BASYARNAS

untuk

memeriksa

sengketa

yang

diajukan,

maka

BASYARNAS akan menyatakan permohonan itu tidak dapat diterima yang


dituangkan

dalam

sebuah

penetapan

yang

dikeluarkan

leh

ketua

BASYARNAS sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula dilakukan oleh


arbiter majlis yang ditunjuk dalam hal pemeriksaan telah dimulai. Sebaliknya,
ketua BASYARNAS segera menetapkan dan menunjuk arbiter Tunggal atau
Majlis yang akan memeriksa dan memutus sengketa berdasarkan berat
ringannya sengketa. Arbiter yang ditunjuk tersebut dapat dipilih dari arbiter
tetap atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk
menjadi arbiter, karena pemeriksaannya memerlukan suatu keahlian khusus.
Dengan demikian, susunan arbiter dapat pula dalam bentuk Tunggal atau
Majelis.
Arbiter yang ditunjuk tadi memerintahkan untuk menyampaikan
salinan surat permohonan kepada termohon disertai perintah untuk
menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis
selambat-lambatnyadalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan. Setelah


diterimanya jawaban tersebut dari termohon, atas perintah arbiter atau ketua
arbiter majelis, salinan dari jawabannya tersebut diserahkan kepada para pihak
untuk menghadap dimuka sidang arbitrase pada tanggal yang ditetapkan,
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka
boleh mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing dengan surat
kuasa.
Pemeriksaan persidangan arbitrase dilakukan di tempat kedudukan
BASYARNAS. Kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak, pemeriksaan
dapat dilakukan di tempat lain. Sedangkan putusan harus diambil dan
dijatuhkan di tempat kedudukan BASYARNAS.
Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung arbiter
Tunggal atau Majelis harus memberikan perlakuan dan kesempatan yang
sama sepenuhnya terhadap para pihak untuk membela dan mempertahankan
kepentingannya yang disengketakan.
Dalam jawabannya, atau paling lambat pada hari sidang pertama
pemeriksaan, termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan. Terhadap
bantahan yang diajukan termohon, pemohon dapat mengajukan jawaban yang
dibarengi dengan tambahan tuntutan asal hal itu mempunyai hubungan erat
langsung dengan pokok yang disengketakan serta termasuk dalam yurisdiksi
BASYARNAS, baik tuntutan konvensi, rekonvensi, maupun additional claim

akan diperiksa dan diputus oleh arbiter Tunggal atau Majelis terlebih dahulu
akan mengusahakan tercapainya perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil,
maka arbiter Tunggal atau Majelis akan membuatkan akta perdamaian dan
mewajibkan kedua belah pihak untuk memenuhi dan mentaati perdamaian
tersebut. Sebaliknya, apabila perdamaian tidak berhasil, maka arbiter Tunggal
dan Majelis akan meneruskan pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam
hal diteruskan para pihak dipersilahkan untuk memberikan argumentasi dan
pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap perlu
untuk mengatakannya. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara tertutup sesuai
dengan asas arbitrase tertutup.

2. Prosedur Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada Badan Mediasi Asuransi


Indonesia (BMAI)
Mediasi pada umumnya dilakukan melalui suatu proses secara
sukarela, atau mungkin didasarkan pada perjanjian atau pelaksanaan
kewajiban (Peraturan) atau perintah pengadilan. Untuk proses mediasi di
pengadilan, ketentuan dalam pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung (Perma No.
02/2003 mengatakan bahwa: mediator dan para pihak wajib mengikuti

Prosedur Penyelesaian Sengketa melalui mediasi dalam peraturan Mahkamah


Agung ini. 77
Namun demikian, dengan cara apapun pembentukan mediasi
dilakukan, apabila mediasi telah diterima, maka seluruh proses melalui harus
dilakukan secara sukarela sampai berakhirnya mediasi. Demikian pula, proses
mediasi melalui pengadilan atau di luar pengadilan dilakukan secara proses
(tertutup).
Masalah kerahasiaan proses mediasi di pengadilan secara tegas
dinyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02/2003, pasal 14
ayat (1), yaitu: Proses Mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk
umum, kecuali para pihak menghendaki lain. Tetapi, proses mediasi untuk
sengketa publik, yaitu sengketa-sengketa lingkungan hidup, hak asasi
manusia, perlindungan konsumen, pertanahan, dan perburuhan (yang
melibatkan kepentingan banyak buruh), terbuka untuk umum. 78

Menurut Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia dalam pasal-3


ada beberapa prosedur penanganan sengketa yaitu sebagai berikut:79
a. Setiap Anggota BMAI tentu telah berusaha sebaik mungkin untuk
menyelesaikan setiap klaim yang diajukan oleh tertanggung baik sesuai

77

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 141
78
Ibid,. 141-145
79
BMAI, Peraturan Badan Mediasi Asuransi Indonesia, (Jakarta: BMAI, 2006), h.52-53

dengan ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam polis maupun atas
dasar pertimbangan komersial lainnya.

b. Apabila anggota BMAI memutuskan untuk menolak baik


sepenuhnya atau sebagian dari klaim yang diajukan
tertanggung, maka penolakan tersebut berpotensi untuk
berkembang menjadi perselisihan dengan tertanggung.
c. Apabila tidak bisa dicapai suatu penyelesaian secara
langsung dengan tertanggung, Anggota BMAI harus
membuat

penolakan

final

secara

tertulis

kepada

tertanggung dan dalam surat penolakan final tersebut


dicantumkan alinea yang menganjurkan tertanggung
untuk menghubungi BMAI.
d. Anggota BMAI menyampaikan tembusan setiap surat
penolakan klaim kepada BMAI disertai dengan ringkasan
klaim serta alasan penolakan. Untuk memudahkan,
penyampaian ini dapat dilakukan dengan mengisi formulir
standar yang telah disiapkan oleh BMAI.
e. BMAI akan memberitahukan kepada Anggota apabila
tertanggung

mengajukan

permohonan

penyelesaian

sengketa kepada BMAI, maka untuk proses penanganan


selanjutnya, Anggota BMAI diminta untuk menyampaikan
semua dokumen klaim kepada BMAI termasuk dan tidak
terbatas pada:
1. Copy lengkap dari polis (Beserta semua klausul dan endorsemennya,
SPPA, korespondense berkaitan dengan akseptasi sampai polis
diterbitkan.
2. Bukti bukti berkaitan dengan jumlah ganti rugi yang diajukan.
3. Formulir klaim, laporan-laporan pihak lain (polisi, adjuster, dokter,
dan lain-lain).
4. Bukti bukti berkaitan dengan alasan penolakan klaim (bila ada).
5. Copy semua koresponden dan tertanggung berkaitan dengan proses
penyelesaian klaim termasuk rotulasi atau catatan-catatan rapat antara
anggota BMAI dengan tertanggung (Bila ada).
f. Mediator akan melakukan analisa atas setiap keluhan yang masuk
sehingga dapat dibuat kesimpulan awal dan menentukan arah penyelesaian
yang akan ditempuh selanjutnya sesuai dengan peraturan BMAI yang
berlaku.
g. Apabila dalam kesimpulan awal mediator tidak sependapat dengan
penolakan oleh anggota BMAI, mediator segera menghubungi anggota
BMAI untuk membahas kasus tersebut (ini dapat dilakukan walaupun

tertanggung belum datang ke BMAI sekalipun). Diskusi langsung ini


diharapkan dapat menghasilkan suatu celah penyelesaian yang baik untuk
kedua belah pihak yang nantinya bisa ditawarkan kepada tertanggung.
h. Bila tidak tercapai kesepahaman antara mediator dengan anggota BMAI,
mediator

akan

melakukan

pendekatan

kepada

tertanggung

dan

menjelaskan sebaik-baiknya alasan penolakan oleh anggota BMAI serta


tawaran yang dapat diberikan anggota BMAI (Jika ada).
i.

Bila tertanggung tidak sepenuhnya dapat menerima alasan penolakan


tersebut tetapi tersedia untuk menerima suatu ganti rugi secara kompromi,
maka mediator akan melakukan pendekatan kepada anggota BMAI. Bila
anggota BMAI setuju maka case closed tetapi bila tidak akan dilanjutkan
ketingkat ajudikasi.

j.

Bila tahap penyelesaian secara kompromi melalui mediasi oleh mediator


tidak bisa tercapai, kasus klaim akan diputuskan melalui sidang ajudikasi
dimana setiap sidang dihadiri oleh 3 orang anggota melalui adjudikasi.

k. Sidang ajudikasi bertujuan untuk membuat suatu keputusan akhir dari


sengketa dan keputusan majelis ajudikator baik mendukung atau menolak
harus dibuat atas dasar ketidakpastian dan diambil melalui sidang
adjudikasi.
l.

Setiap kasus yang telah diputuskan melalui sidang ajudikasi tidak dapat
direview.

m. Bila keputusan yang diambil sidang adjudikasi adalah menetapkan


anggota BMAI untuk membayar maka anggota BMAI harus melakukan
pembayaran sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam polis. Ketetapan
atau keputusan Majelis Ajudikator akan mengikat bagi anggota BMAI
setelah tertanggung menanda-tangani perjanjian penyelesaian.
n. Pihak tertanggung tidak wajib menerima ketetapan atau keputusan yang
dibuat oleh majelis ajudikator.
Dari penelitian di atas dapat penulis simpulkan bahwa BMAI
mempunyai prosedur penyelesaian sengketa yang kurang lebih sama dengan
BASYARNAS, yaitu mengajukan permohonan dan mengisi formulir kepada
BMAI agar sengketa yang dialami dapat terselesaikan dengan cepat.

E. Keunggulan Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada BASYARNAS dan BMAI


1. Keunggulan penyelesaian Sengketa Asuransi Pada BASYARNAS
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena
beberapa alasan sebagai berikut:80
1. Kecepatan dalam proses
Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu
berapa lama perselisihan atau sengketa yang diajukan pada arbitrase harus
diputuskan. Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu,

80

Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 12-13.

jangka waktu penyelesaian ditentukan oleh aturan-aturan arbitrase setempat


yang dipilih.
Dalam Pasal 53 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa terhadap putusan
arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apa pun.
Sedangkan dalam Pasal 60 secara tegas disebutkan: putusan arbitrase bersifat
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
2. Pemeriksaan ahli di bidangnya
Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak
diberi kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang
mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan
demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan putusan yang
dijatuhkan dapat dipertanggugjawabkan kualitasnya. Hal itu dimungkinkan
karena selain ahli hukum, di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain
dalam berbagai bidang, misalnya ahli perbankan, ahli asuransi, ahli
pengangkutan udara, dan lain-lain.
3. Sifat konfidensialitas
Sidang arbitrase selalu dilakukan dalam ruangan tertutup, dalam arti
tidak terbuka untuk umum, dan keputusan yang diucapkan dalam sidang
tertutup hampir tidak pernah dipublikasikan. Dengan demikian, penyelesaian
melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak yang
bersengketa.

Sebagai perbandingan dapat dilihat penjelasan UU No. 30/1999, yang


menyebutkan

bahwa pada umumnya

lembaga arbitrase

mempunyai

keunggulan di banding lembaga peradilan. Keunggulan tersebut antara lain


adalah sebagai berikut:
a. Kerahasiaan sengketa para pihak dijamin;
b. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
dapat dihindari;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman, serta latar belakng yang cukup mengenai
masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan melalui
tata cara sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Berdasarkan penelitian penulis mengenai keunggulan penggunaan
arbitrase, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase
selalu didasarkan pada asumsi-asumsi berikut:
a. Lebih cepat, karena putusan final dan mengikat, sehingga menghemat
waktu, biaya, dan tenaga;
b. Dilakukan oleh ahli bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar
dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakan,
sehingga hasilnya dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan

c. Kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak


terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.

2. Keunggulan Penyelesaian Sengketa Asuransi Pada BMAI


Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya
mampu mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat mediasi
sangat dirasakan. Bahkan dalam mediasi yang gagal, meskipun belum ada
penyelesaian yang dicapai, proses mediasi yang sebelumnya berlangsung telah
mampu mengklarifikasi persoalan dan mempersempit perselisihan. Dengan
demikian, para pihak dapat memutuskan penyelesaian seperti apa yang dapat
mereka terima dari pada mengejar hal-hal yang tidak jelas.
Untuk menyelesaikan sengketa memang sulit, namun mediasi dapat
memberikan beberapa keunggulan penyelesaian sebagai berikut:81
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan
relatif murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan
atau arbitrase.
b. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara
nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan pada
hak-hak hukumnya.
c. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.

81

Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, h. 139-140

d. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol


terhadap proses dan hasilnya.
e. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit
diprediksi dengan suatu kepastian melalui konsensus.
f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan
saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa
karena mereka sendiri yang memutuskannya.
g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir
selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan
oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada arbitrase.
Dapat penulis simpulkan bahwa mediasi mempunyai beberapa
keunggulan di bandingkan lembaga alternatif penyelesaian sengketa lain, di
antaranya: relatif murah, cepat, dan tidak memihak salah satu pihak yang
bersengketa. Mediasi juga dapat menghasilkan putusan yang lebih baik yang
disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

Perbandingan Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah Pada


BASYARNAS Dan BMAI

NO. KETERANGAN

BASYARNAS

BMAI

1.

Faktor-faktor yang Disebabkan karena tidak Terjadinya


menimbulkan

sesuai dengan perjanjian

sengketa

dapat disebabkan karena

sengketa asuransi awal antara tertanggung


syariah

dan penanggung.

tertanggung

dan

penanggung

tidak

mematuhi isi kontrak.


2.

Jumlah

sengketa Belum

yang
diselesaikan

ada

sudah asuransi

sengketa Sudah

syariah

yang asuransi

diselesaikan.

ada

sengketa

yang

dapat

diselesaikan, kira-kira 16
sengketa asuransi.

3.

Biaya

Relatif

murah,

hanya Tidak ada biaya, karena

untuk biaya operasional semua biaya operasional


dan membayar arbiter.

sudah ditanggung oleh


AAJI, AAUI dan AAJSI.

4.

Keunggulan

Cepat, relatif murah, dan Cepat,


tidak
publik.

terekspos

gratis,

dan

untuk kerahasiaannya terjamin.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang dapat

menimbulkan terjadinya sengketa asuransi

diantaranya:
a. Perbedaan pendapat antara tertanggung dan penanggung.
b. Adanya wanprestasi yang berarti: kelalaian kealpaan, cidera janji dan
tidak menepati kewajiban dalam perjanjian.
c. Kesalahan teknis seperti: tertanggung tidak membaca polis, atau petugas
kurang tegas dalam memberikan penjelasan isi polis dan klausul-klausul
yang dicantumkan pada isi perjanjian.
d. Adanya moral hazard (perilaku buruk) dan lain-lain.
2. Penyelesaian sengketa asuransi menurut perspektif BASYARNAS yaitu jika
sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri secara musyawarah internal
oleh pihak perusahaan asuransi. Sedangkan menurut BMAI yaitu apabila
tertangung mengalami sengketa dengan perusahaan asuransi dan tidak dapat
mencapai penyelesaian atas sengketa tersebut.

3. Keunggulan penyelesaian sengketa asuransi pada BASYARNAS dan BMAI


kurang lebih sama saja. Karena keunggulan pada BASYARNAS yaitu
menghemat waktu, biaya, tenaga, dilakukan oleh ahli bidangnya, serta
kerahasiaannya terjamin. Begitu juga dengan BMAI, relatif murah, lebih cepat
artinya tidak memakan waktu yang lama, memiliki mediator yang ahli di
bidang asuransi, serta tidak terekspose untuk publik.

B. Saran-saran
1. Sebagai lembaga atau badan hukum, BASYARNAS dan BMAI mempunyai
kontribusi dan peranan sangat penting untuk lembaga keuangan, maka dari itu
sebaiknya BASYARNAS dan BMAI melakukan terobosan ke berbagai para
pihak terutama kepada pihak yang bertransaksi di bidang asuransi ataupun
masyarakat luas agar mereka mengetahui keberadaan BASYARNAS dan
BMAI baik dari segi fungsi, tugas, kewenangan, dan keuntungan-keuntungan
menyelesaikan sengketa yang didapat melalui BASYARNAS dan BMAI, hal
ini dapat dilakukan dengan melakukan promosi melalui media massa, media
cetak, media elektronik ataupun seminar-seminar.
2. Untuk meningkatkan pelayanan kepada para pihak yang bersengketa
sebaiknya BASYARNAS dan BMAI segera memperluas kantor-kantor
cabang baik di tingkat propinsi maupun kabupaten.

3. Bagi perputakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk
lebih melengkapi buku-buku tentng mediasi dan asuransi agar dapat
memenuhi kebutuhan mahasiswa khususnya Program Studi Asuransi Syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Karim
Abdad, M Zaidi, Lembaga perekonomian Ummat di Dunia Islam, Bandung: Angkasa,
2003, Cet. Ke-1.
Abdul Kadir, Muhammad, Hukum Asuransi Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Sakti, 2002, Cet. Ke-3.
Ali Hasan, AM, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis,
Historis, Teoritis, & Praktis, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. Ke-1.
Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional Teori, Sistem, Aplikasi
dan Pemasaran, (Jakarta: Kholam Publishing, 2006), Cet. Pertama, h. 4445.
BAMUI, Salinan Akta Pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, Jakarta:
BAMUI, 1999.
BMAI, Peraturan Badan Mediasi Indonesia, Jakarta: BMAI, 2006, Cet. Ke-1.
Dewi, Gemala, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana,2005, Cet.
Ke-2.
Djauhari, Achmad, Arbitrase Syariah Di Indonesia, Jakarta: BASYARNAS, 2006,
Cet. Ke-2.
Gautama, Sudargo, Arbitrase Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1979.
Gunawana Wijaya dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase, (Jakarta:
PT. Grafindo Persada, 2001), Cet. Ke-2, h. 19
Hasan, M Ali, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
http://www.bmai.or.id
http://www.hukumonline.com
http://www.mui.or.id/mui_in/pruduct_2/lks_lbs.php?id=6

Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003, Cet. Ke-3.
Lubis, Suhrawardi K, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, Cet. Ke-2.
Muhammad, Abdul Kadir, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1992.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia,Jakarta: PT. Intermasa, 1996,
Cet. Ke- 2.
Roedijono, Alternative Dispute Resolution (ADR) (Pilihan Penyelesaian Sengketa),
Makalah Pada Dosen Hukum Perdata Seluruh Indonesia, Yogyakarta:
Fakultas Hukum UGM, 1996.
Rosyadi, A. Rahmat, Ngatino, Arbitrase Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif,
Bandung: PT. Citra Aditya Sakti, 2002, Cet. Ke-1.
Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunnah Jilid 11, Bandung: PT Al- Ma'arif, 1987
Saleh, Abdul Rahman, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta: BAMUI dan BMI,
1994.
Soemartono, Gatot, R.M, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet. Ke-1.
Subana, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Bandung, Pustaka Setia, 2005
Subekti, R, Arbitrase Perdagangan, Bandung: Bira Cipta, 1979.
Sumitro, Warkum, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait,
BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
Supranto, J. Tehnik Riset Pemasaran dan Ramalan Penjualan, Jakarta, Rineka Cipta,
2000.
Syafi'I Antonio, Muhammad, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani Press,2001, Cet. Ke-1.
Syakir Sula, Muhammad, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem
Operasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet.Ke-1.

Umar, Husein, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
Wasif, Khairul, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta, BAMUI, 1994, Cet. Ke-1.
Wijaya, Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase, Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2001, Cet. Ke-2.
Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, Cet.
Ke-2.

WAWANCARA

Nama

: Ketut Sendra

Jabatan

: Sekretaris

1. Kasus asuransi mengenai apa saja yang ditangani oleh BMAI?


Jawab: Selama Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) berdiri, kasus yang
masuk dan ditangani oleh BMAI kebanyakan mengenai klaim dan
asuransi jiwa
2. Apakah kasus yang ditangani oleh BMAI dapat terselesaikan?
Jawab: Sudah sekitar 80 kasus sengketa asuransi mengenai klaim dan dan
asuransi jiwa yang masuk ke Badan Mediasi Asurani Indonesia (BMAI)
dan semuanya dapat terselesaikan oleh Badan Mediasi Asuransi Indonesia
(BMAI) .
3. Adakah asuransi syariah yang diselesaikan oleh BMAI?
Jawab: Selama Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) berdiri dan
beroperasi, belum pernah ada asuransi syariah yang masuk ke Badan
Mediasi Asuransi Indonesia, jadi belum ada kasus asuransi syariah yang
terselesaikan di Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).
4. Apa dasar Hukum BMAI?
Jawab: Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ini beroperasi berdasarkan
Surat Keputusan Bersama: MENTERI KOORDINASI BIDANG

PEREKONOMIAN (Nomor: KEP-45/M.EKON/07/2006, GUBERNUR


BANK INDONESIA (Nomor: 8/50/KEP.GBI/2006), MENTERI
KEUANGAN (Nomor: 357/KMK.012/2006) dan MENTERI NEGARA
BADAN USAHA MILIK NEGARA (Nomor: KEP-75/MBU/2006)
TENTANG: PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN, dan
ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2006. Juga berdasarkan pada
lampiran III Lembaga Keuangan Non- Bank poin-3, program-3 tentang
Perlindungan Pemegang Polis dengan Penanggung Jawab Departemen
Keuangan RI.
5. Apa syarat-syarat menjadi mediator?
Jawab: Syarat-syarat Arbiter menurut ketentuan pasal 12 Undang-undang No.
30 Tahun 1999, yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter adalah
mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:82
f. Cakap melakukan tindakan hukum;
g. Berumur paling rendah 35 tahun;
h. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
i.

Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas


putusan arbitrase;

82

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bsinis: Seri Hukum Bsinis Hukum
Arbitrase, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), Cet -3, h. 60

j.

Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling


sedikit 15 tahun;

6. Berapa lamakah kasus yang ditangani oleh BMAI?


Jawab: Dalam menangani kasus sengketa asuransi yang masuk, Badan Mediasi
Asuransi Indonesia (BMAI) dapat menyelesaikan kasus tersebut memakan
waktu yang sangat singkat.
7. Apa perbedaan mediasi dengan arbitrase?
Jawab: Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah
dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh Mediator.
Sedangkan Arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa".
8. Sudah berapa jauh BMAI mensosialisasikan kepada masyarakat?
Jawab: Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) sudah mensosialisasikan
kepada masyarakat dengan cara mengadakan seminar-seminar atau
pelatihan-pelatihan, membuka cabang di daerah-daerah, melalui internet,
dam lain-lain.

WAWANCARA

Nama

: Euis Nurhasanah

Jabatan

: Wakil Bendahara

1. Kasus asuransi mengenai apa saja yang ditangani oleh BASYARNAS?


Jawab: Selama Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri, belum
ada kasus asuransi syariah yang dapat diselesaikan di Badan Arbitrase
Syariah Nasional karena belum ada kasus asuransi syariah yang masuk ke
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
2. Apakah kasus yang ditangani oleh BASYARNAS dapat terselesaikan?
Jawab: Kasus yang masuk dan ditangani oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS), dapat dan akan terselesaikan.
3. Adakah asuransi konvensional yang diselesaikan oleh BASYARNAS?
Jawab: Belum ada kasus sengketa asuransi konvensional yang masuk dan
diselesaikan di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
4. Apa syarat-syarat menjadi arbiter?
Jawab: Syarat-syarat Arbiter menurut ketentuan pasal 12 Undang-undang No. 30
Tahun 1999, yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter adalah
mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:83

83

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bsinis: Seri Hukum Bsinis
Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), Cet -3, h. 60

1. Cakap melakukan tindakan hukum;


2. Berumur paling rendah 35 tahun;
3. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
4. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas
putusan arbitrase;
5. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling
sedikit 15 tahun;
5. Apa perbedaan mediasi dengan arbitrase?
Jawab: Arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa". Sedangkan Mediasi adalah proses
penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah dan mufakat antara
pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh Mediator.
6. Seberapa jauh BASYARNAS mensosialisasikan kepada masyarakat?
Jawab: Sudah cukup banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan
BASYARNAS. Sosialisasi yang dilakukan BASYARNAS yaitu dengan
cara mengadakan seminar-seminar, media masa maupun media elektronik.
Juga membuka beberapa cabang di daerah-daerah.

Anda mungkin juga menyukai