Anda di halaman 1dari 10

a.

b.
c.
d.

a.

a.
b.
c.
d.

Dalam kurun waktu sekitar 25 tahun sejak kemerdekaan terdapat keanekaragaman dasar
penyelenggaraan, kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI.
Selanjutnya, tahun 1970-an mengalami perubahan, terutama sejak diundangkan dan berlakunya
UU Nomor 14 Tahun 1970 dan UU Nomor 1 Tahun 1974 serta peraturan pelaksanaannya. UU
No.14/1970 mengundangkan : susunan, Kekuasaan dan Acara dari Badan-badan Peradilan
Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara harus diatur dengan undang-undang tersendiri.
Dengan berlakunya UU Nomor 14 Tahun 1970 memberi tempat kepada PADI sebagai salah satu
peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU No.14/1974 Pasal 10 ayat (1) mengundangkan : kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan :
Tata Usaha Negara
Peradilan Umum
Peradilan Agama
Peradilan Militer.
Peradilan Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang menjadi dasar Menteri Agama pada 1980 mengeluarkan keputusan untuk
menyeragamakan nama-nama pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan sebutan
Pengadilan Agama, sedangkan uuntuk pengadilan tingkat banding sebutan namanya menjadi
Paengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Departemen Kehakiman dengan Koordinasi BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional)
menyediakan anggaran untuk RUU-PA. RUU-PA mengalami perjalanan cukup panjang dari
tahun 1975-1988 sebelum diajukan ke DPR.
Pemerintah menyampaikan RUU tentang Peradilan Agama ke DPR dengan amanat (surat)
Presiden No. R-06/RU/XII/1988 tanggal 13 Desember 1988 yang isinya agar RUU-PA dibahas
dan disetujui oleh DPR. Untuk keperluan pembahasan itu presiden menunjuk Menteri Agama
sebagai wakil pemerintah. Pada 28 Januari 1989, DPR mengadakan sidang Paripurna Dewan
dengan acara tunggal, mendengarkan keterangan pemerintah seputar RUU yang disampaikan
Menteri Agama H. Munawir Syadzali.
Setelah dibahas secara mendalam, akhirnya pada tanggal 14 Desember 1989, RUU-PA
disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Republik Indonesia tentang Peradilan Agama. 15
hari kemudian yaitu tanggal 29 Desember 1989, Undang-undang tersebut disahkan menjadi
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 oleh Presiden Republik Indonesia, diudangkan pada
tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor
49 Tahun 1989.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember 1989,
kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun 1989. UU tersebut
merupakan salah satu peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UU Nomor 14 Tahun
1970. Secara umum isi UU tersebut memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan PADI,
yaitu :
Perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan PADI
Perubahan tentang kedudukan PADI dalam tata peradilan nasional
Perubahan tentang kedudukan hakim Peradilan Agama
Perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI

e. Perubahan tentang hukum acara Peradilan Agama


f. Perubahan tentang administrasi Peradilan Agama
g. Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
b. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
berhubungan dengan kemajemukan hukum dalam system hukum nasional. KHI berhubungan
dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang mengalami perubahan penting
berkenaan dengan berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989. Secara singkat, KHI dirumuskan dan
disebarluaskan untuk memenuhi kebutuhan hukum substansial bagi orang-orang yang beragama
Islam. Perumusan KHI didasarkan atas beberapa landasan :
Pertama, landasan historis yang terkait dengan pelestarian hukum Islam di Indonesia. Dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, KHI merupakan hukum yang hidup,
melalui suatu proses perjalanan yang panjang. Kedua, landasan yuridis yang terkait dengan
tuntunan normatif. Ketiga, landasan fungsional yang terkait dengan kebutuhan nyata didalam
kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan. KHI menurut para penyusunnya adalah fikih
Indonesia.
Kehadiran UU tentang Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam tahun
1991, peranan Hukum Islam menjadi kokoh. Walaupun kompilasi bukanlah UU, tetapi
merupakan petunjuk terhadap UU yang dapat diterapkan oleh para hakim dalam yuridiksi
Peradilan Agama dalam memecahkan perkara-perkara yang mereka hadapi.
- See more at: http://mujib-ennal.blogspot.co.id/2012/07/sejarah-peradilan-islam-diindonesia.html#sthash.lxFgXtTv.dpuf

22222222222
3. Periode 1974 1989
Dalam masa kurang lebih 15 tahun yakni menjelang disahkannya UU No.1/1974
tentang

perkawinan

sampai

menjelang

lahirnya

UU

No.7/1989

tentang

agama.Ada dua hal yang menonjol dalam perjalanan peradilan agama di Indonesia:

peradilan

1. Tentang proses lahirnya UU No.1/1974 tentang perkawinan dengan peraturan pelaksanaannya


PP

No.9/1974

2. Tentang lahirnya PP No.28/1977 tentang perwakafan tanah milik, sekarang telah diperbaharui
UU No.41/2004 tentang wakaf.(Basiq Djalil,2006:73)
Terlepas

dari

itu

semua,

harus

diakui

bahwa

UU

No.

tahun

1974

ini

sangat berarti dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, karena selain


menyelamatkan keberadaan Peradilan Agama sendiri, sejak disahkan UU No. 1 tahun
1974 tentanng Perkawinan jo. PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan Pelaksanaanya,
maka

terbit

sebagian

pulalah

kecil

ketentuan

saja.Ketentuan

Hukum Acara
Hukum

Acara

di

Peradilan Agama,

yang

berlaku

biarpun

dilingkungan

baru

Peradilan

Agama baru disebutkan secara tegas sejak diterbitkan UU No.7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.Hukum Acara yang dimaksud diletakkan Bab IV yang terdiri dari
37 pasal.
Terlepas

dari

gencarnya

pro

dan

kontra

perihal

pengesahan

UU

No.7

tahun

1989 diatas, bahkan tak kurang dari empat ratus artikel tentang tanggapan pro
dan

kontra

tersebut

dimuat

di

media

massa,

namun

akhirnya

pada

tanggal

27

Desember 1989 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan oleh DPR yang
kemudian

yang

diikuti

Kompilasi

Hukum

dengan

Islam.Dengan

dikeluarkannya

Inpres

disahkan

tersebut

UU

No.1

tahun

bukan

1991

saja

tentang

menyejajarkan

kedudukan Pradilan Agama dengan lembaga peradilan peradilan lain, melainkan


juga mengembangkan kompetensi Peradilan Agama yang dulu pernah dimilikinya pada
zaman kolonial.Pasal 49 UU itu menyatakan bahwa Pradilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang:
1. Perkawinan
2. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
3. Wakaf dan shodaqoh
Dalam pasal 49 ayat 3 dinyatakan bahwa:
Bidang
penentuan

kewarisan
siapa

sebagaimana
siapa

yang

dimaksud
menjadi

dalam
ahli

waris,

ayat

penentuan

huruf

mengenai

ialah
harta

peninggalan, penentuan bagian bagian ahli waris dan melaksanakan pembagian


pada harta peninggalan tersebut.
Dalam

ayat

diatas

terlihat

bahwa

Pengadilan

Agama

memiliki

kekuatan

hukum untuk melaksanakan keputusannya sendiri, tidak perlu meminta executoir verklaring lagi
dari
Pengadilan Umum.
Secara

politis,

pengakuan

Peradilan

Agama

oleh

negara

juga

merupakan

lompatan seratus tahun sejak pertama kali peradilan ini di akui oleh pemerintah
pada tahun 1882.Peradilan Agama adalaaaah simbol kekuatan dan politik Islam

a. Pada masa awal kemerdekaan/ orde lama


Pada awal kemerdekaan republik Indonesia pengadilan agama masih berpedoman kepada
peraturan perundangan-undangan pemerintah kolonial Belanda berdasarkan pasal II aturan
peralihan UUD 1945 yang berbungi: segala badan selama belum diadakan yang baru menurut
UUD ini
Pada tahun 1948 pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tentang Peradilan Agama
yaitu Undang-undang nomor 19 tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan badan-badan
kehakiman dan kejaksaan. Berdasarkan undang-undang ini kekuasaan kehakiman di Indonesia di
laksanakan oleh tiga lembaga peradilan yaitu:

1) Peradilan Umum
2) Peradilam Tata Usaha Pemerintah
3) Peradilan Ketentaraan1[18]
Peranan peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dihapuskan.
Peradilan agama menjadi bagian dari Peradilan Umum. Untuk menangani perkara yang menjadi
kewenangan dan kekuasaan peradilan agama ditangani oleh peradilan umum secara istimewa
dengan seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan didampingi dua orang hakim ahli
agama Islam.2[19]
Pada masa berikutnya, berdasarakan ketentuan pasal 98 UUD sementara dan pasal 1 ayat
(4) UU Darurat no. 1 tahun 1951, pemerintah mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang
pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariyah di luar Jawa-Madura. Menurut
ketentuan pasal 1, di tempat-tempat yang ada pengadilan negeri ada sebuah Pengadilan Agama
atau Mahkamah Syariyah, yang daerah hukum sama dengan daerah hukum pengadilan negeri.
Sedangkan menurut ketentuan pasal 11, apabila tidak ada ketentuan lain, di ibu kota propinsi
diadakan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariyah propinsi yang wilayahnya meliputi satu,
atau lebih, daerah, propinsi yang ditetapkan oleh menteri agama.
Adapun kekuasaan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariyah itu, menurut ketetapan pasal 4
PP tersebut, adalah sebagai berikut:
1)

Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah memeriksa atau memutuskan perselisihan anatara


suami dan istri yang beragama Islam dan semua perkara yang menurut hukum yang diputus
menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, thalaq, ruju, fasakh, nafaqah,

maskawin (mahr), tempat kediaman (maskawin), muthah dan sebagainya


2) Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariyah tidak berhak memeriksa perkara-perkara tersebut
dalam ayat (1) jika untuk perkara itu berlaku lain daripada hukum agama Islam.3[20]
Pada masa awal kemerdekaan ini terdapat beberapa macam peraturan yang mengatur
tentang Peradilan Agama. Peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 no. 152 dan
Staatsblad Tahun 1937 no. 116 dan 610).
1
2
3

2)

Peraturan tentang Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar untuk sebagai Residensi

Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 no. 638 dan 639).
3) Peraturan Pemerintah no. 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syariah di luar jawa dan Madura.
b. Masa orde baru
Uraian diatas menunjukkan bahwa sekitar 25 tahun sejak kemerdekaan terdapat keanekaragaman
dasar penyelenggraan, kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI.
Selanjutnya, pada tahun 1970 Jo. UU no. 35 tahun 1999, dan UU no. 1 tahun 1974 serta
peraturan pelaksanaannya. Dengan nerlakunya UU No. 14 tahun 1970 Jo. UU No. 35 athun 1999
memberi tempat kepada PADI sebagai salahsatu peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang
melaksanakan kekuasaa

kehakiman dalam negara kesatuan republik Indonesia. Dengan

berlakunya UU No. 1 tahun 1974, maka kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI
bertambah. Oleh karena itu , maka tugas-tugas badan peradilan agama menjadi meningkat,. dari
rata-rata 35.000 perkara sebelum berlakunya UU perkawinan menjadi hampir 300.000-an
perkara dalam satu tahun diseluruh Indonesia. Dengan sendirinya hal itu mendorong usaha
meningkatkan jumlah dan tugas aparatur pengadilan, khususnya hakim, untuk menyelesaikan
tugas-tugas peradilan tersebut.
Peradilan agama bakan lagi merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang berdiri
sendiri karena putusan Pengadilan Agama harus mendapat pengukuhan dari peradilan umum dan
peradilan agama tidak dapat melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
atau eksekusi sendiri karena tidak ada perangkat juru sita, eksekusi menjadi kewenangan
peradilan umum.
Sampai dengan tahun 1977 belum ada hokum acara yang mengatur peradilan agama
secara tersendiri sebagaimana dihendaki UU No. 14 tahun 1970 maka perkara-perkara peradilan
agama yang sampai pada upaya hokum kasasi ke mahkamah agung diatur dengan paraturan
mahkamah agung nomor 1 tahun 1977 dan surat edaran mahkamah agung nomor
MA/Pemb/0921/1977.
Peraturan ini menghapus mahkamah islam tinggi dan kerapatan qadi besar maupun
pengadilan agama/mahkamah syariah propinsi yang berfungsi sebagai pengadilan tingkat
banding dan sekaligus pengadilan tertinggi dalam lingkungan peradilan agama.

Karena belum adanya keseragaman nama pada peradilan agama, pada tahun 1980 menteri
agama mengeluarkan keputusan menteri agama nomor 6 tahun 1980 yang dengan keputusan ini
pengadilan tingkat pertama bernama pengadilan agama dan pengadilan tingkat banding bernama
pengadilan tinggi agama.
Pada tahun 1989 baru dapat terwujud apa yang menjadi kehendak undang-undang nomor
14 tahun 1970 mengenai peraturan yang tersendiri yang mengatur tentang peradilan agama
dengan diundangkannya undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. 4[21]
Selanjutnya, dengan berlakunya UU No. 7 tahun 1989 posisi PADI semakin kuat, dan dasar
penyelenggaraannya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang unikatif. Selain itu,
dengan perumusan KHI yang meliputi bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, maka
salah satu masalah yang diahadapi oleh pengadilan dalam lingkungan PADI, yaitu
keanekaragaman rujukan dan ketentuan hukum, dapat diatasi. Berkenaan dengan hal itu, maka
dalam uraian berikutnya dikemukakan tentang UU no.7 tahun 1989 serta instruksi presiden No. 1
tahun 1991 tentang penyebar luasan kompilasi hukum Islam.5[22]
Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam
sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa; Kedua,
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha Negara; Ketiga, Mahkamah Agung adalah
Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara
organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang
bersangkutan. Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing
diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang
kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilanperadilan lainnya di Indonesia.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh
keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang
4
5

bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh
pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan
peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 ten tang
Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang
mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan
lingkungan peradilan lainnya.6[23]
Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang
oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah
dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada
masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di
lingkungan keraton yang membantu tugas raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran
Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta.
Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905.
Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan
agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman,
KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl
Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang,
KH.Mustain Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga
zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan
tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan
mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi agama. Dari uraian singkat tentang sejarah
perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama
bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri, Cik Hasan. 1996. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Gunaryo, Achmad. 2006. Pergumulan Politik Dan Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Halim, Abdul. 2000. Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada.
Hamami, Taufiq. 2003. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum
Indonesia, Bandung: Alumni.
6

Jalil, Basiq. 2006. Peradilan Agama Di Indonesia. jakarta: Prenada Media Group.
Raharjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Ramulyo, M. Idris. 1991. Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta:
Ind-Hill.Co.
Tim Ditbinbapera. 1999. Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI.
Wahyudi, Abdullah Tri. 2004. Peradilan Agama Di Indonsia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.pa-negara.go.id/tentang-kami/sejarah-singkat

Anda mungkin juga menyukai