Anda di halaman 1dari 20

-1

Renungan Hud-Hud

Renungan

Hud-HUd

Non-Kontradiksi dan Kausalitas


Merenungi segaal yang ada, pertama pasti adas ubyek yang merenung, obyek
yang direnugi, maupun relasi antara subyek yang merenung dengan obyek
yang direnunginya. Maka, pertama-tama tentu agar semua renungan lain
memiliki makna dan nilai- subyek yang merenung (perenunng) seharusnyalah
merenungi dirinya sendiri dan apa sumber-sumber yang membuktikan
kebenaran suatu pengetahuian dari dirinya sendiri.
Aristoteles-lah sejauh pengetahuan penulis- orang yang pertama kali
menemukan (menyatakan secara formal) bahwa di antara seluruh prinsip
niscaya rasional, prinsip non-kontradiksi (kemustahilan terjadinya kontradiksi
logis) merupakan prinsip logis yang paling mendasar. Artinya, tidak mungkin
meyakini kebenaran apa pun, -walaupun hanya merupakan kebenaran
inderawi yang paling sederhana- tanpa menerima prinsip non-kontradiksi
Pernyataan matematis prinsip non-kontradiksi ini tidak lain adalah x sama
dengan x, dan x tidak sama dengan selain x, dan tidak pernah akan mungkin
sama dengan selain x. yang pertama di sebut prinsip identitas (qanun
dzatiyah), yang kedua disebut prinsip non-kontradiksi (qanun tanaqudh), dan
yang terakhir disebut prinsip ketiadaan batas (qanun imtina). Ketiga butir
prima-principia ini terkadang disebut sebagai prinsip non-kontradiksi.
Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini artinya tidak mungkin
menyatakan kebenaran apapun. Karena berarti benar bisa bercampur
dengan salah.
Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini artinya tidak mengakui
identitas diri sendiri. Karena aku bisa saja sama dengan selain aku.

-2

Renungan Hud-Hud

Tidak menerima prinsip non-kontradiksi ini bahkan berakibat hilangnya


identitas segala sesuatu. Sehingga segala ini ada ataupun tidak ada sama
saja.
Sehingga, benar jika kita bahwa prinsip non-kontradiksi adalah suatu
hukum dasariah segala yang ada. Tak ada suatu pun yang meningkarinya.
Sehigga, dapat dikatakan secara hudhuriy prinsip segala yang ada telah
ada pada jiwa manusia. Karena non-kontradiksi sebagai satu prinsip
niscaya pada segala yang ada ternyata niscaya pula pada jiwa manusia.
Sebagai satu prinsip niscaya rasional lain yang tak kalah penting dari prinsip
non-kontradiksi adalah hukum sebab-akibat. Bunyi hukum sebab-akibat
adalah sebagai berikut, Segala sesuatu memerlukan sebab untuk mengada kecuali keberadaan itu sendiri. Adapun beberapa sifat penting hukum
kausalitas adalah;
1. Keselarasan sebab dan akibat. Artinya satu sebab yang sama akan
menghasilkan satu akibat yang sama.
2. Kesemasaan sebab dan akibat. Artinya secara hakiki sebab sebenarnya
semasa dengan akibat.
3. Relasi eksistensial antara sebab dan akibat. Artinya, dapat dikatakan
sebab-lah yang memberikan eksistensi/keberadaan pada, akibat atau
sebaliknya akibat meng-ada karena sebab.
Prinsip niscaya rasional kausalitas ternyata merupakan suatu prinsip yang
dapat diturunkan dari prinsip yang lebih mendasar; yang prinsip nonkontradiksi. Ini dapat kita buktikan melalui dua poin;
1. Karena ada artinya memiliki keberadaan, dan sesuatu pasti meliki dirinya,
jadi keberadaan pasti ada dengan sendirinya.

-3

Renungan Hud-Hud

2. Jika ada sesuatu selain keberadaan tanpa sebab yang menyebabkannya


ada, maka terdapat tiga kemungkinan.

Ia berasal dari ketiadaan. Ini mustahil, karena berarti ada sama dengan
tiada.

Ia berasal dari sesuatu yang lain. Dalam hal ini sesuatu yang lain itulah
sebab-nya.

Ia tidak berasal dari sesuatu selain dirinya, berarti keberadaannya


adalah keberasaan wajib. Padahal ashalah al-wujud jelas menegaskan
bahwa tidak ada quiditas (mahiyyah) apapun yang memiliki keberadaan
wajib kecuali keberadaan (wujud) itu sendiri.

Sebagian orang percaya bahwa sumber pengetahuan (sumber konsepsi


maupun pembenarannya) hanyalah hal-hal yang bersifat inderawi. Tapi
pendapat ini mustahil, karena;
1. Tanpa menerima prinsip niscaya rasional, -yaitu prinsip non-kontradiksi dna
prinsip kausalitas-, seluruh yang diindera dan konsepsi inderawi manusia
kehilangan hubungan dengan sesuatu yang obyektif yang dicerapnya.
Salah satu implikasi dari hal adalah bahkan keberadaan materi pun tidak
dapat ditahkik sama sekali.
2. Bagaimana mungkin sifat dasariah inderawi yang mungkin benar dapat
digunakan sebagai hujjah bagi sesuatu yang pasti benar?

-4

Renungan Hud-Hud

Ketiadaan dan Ketiadaan


Seputas angin mengisi segenap kekosongan. Ah, kekosongan adalah
ketiadaan udara atau ruang atas materi-materi lain. Apakah betul? Itukah
ketiadaan? Banayangkan ruang dan waktu yang kosong melompong tanpa isi,
kemudian tiba-tiba dari relung-relung ketiadaannya datanglah dunia materi
dengan berbagai nuasa dan peristiwanya ini,comes into existence
Begitulah kita-ktia model penciptaan yang ada di benak banyak orang.
Karena itulah perlu pembahasan khusus tentang ketiadaan dalam makalah ini.
Model creatio ex nihilo seperti yang dibayangkan tersebut lemah. Berikut
adalah beberapa kritik atas model penciptaan tersebut.
Kritik Pertama
Model hanya menjelaskan penciptaan alam material saja, karena telah
di-asumsikan sebelumnya penciptaan tersebut ada dalam batasanbatasan ruang dan waktu yang kosong melompong. Model pencipataan
seperti ini tidak menjelaskan apapun tentang penciptaan alam immaterial
yang tidak terbatas ruang dan waktu.
Kritik Kedua
Yang disebut ketiadaan dalam model tersebut tidak benar-benar
ketiadaan mutlak. Karena ketiadaan dalam model penciptaan tersebut
adalah kekosongan dalam ruang dan waktu, sehingga paling tidak dapat
dikatakan telah ada ruang dan waktu.
Jadi ada dua jenis ketiadaan;
Ketiadaan relatif yang menjadi makna dari non-existence. Non-existence ini
mempunyai dua makna.
Pertama, ketiadaan sesuatu yang keberadaannya masih mungkin. Contohnya,
ketiadaan jagung (spasio-temporal), ketiadaan hewan mamalia yang berkaki

-5

Renungan Hud-Hud

sejuta, dan lain-lain. Kedua, ketiadaan sesuatu di antara sesuatu-sesuatu yang


lain yang ada. Contohnya; ketiadaan buku pada sbuah mejad. Ketiadaa seperti
ini masih mempunyai derajat keberadaan tertentu. Kenapa, karena ketiadaan
tersebut masih sama sekali artinya dingin, dan dingin efek. Contoh lain,
bisakah Anda mendorong ruang hampa/udara kosong? Bukahkah ketiadaan
suatu materi tertentu di udara kosong ini mempunyai efek. Anda tidak bisa
mendorongnya?
Yang kedua adalah ketiadaan mutlak (al-adam al-muthlaq). Yaitu ketiadaan
yang menjadi makna dari nothingness. Keitadaan mutlak ini benar-benar tidak
ada sehingga tidak mempunyai efek apapun. Bahkan sebutan konsep
ketiadaan mutlak ini-pun sebenarnya masih mempunyai eksistensi di alam
mental kita sehingga tidak mencerminkan hakikat ketiadaan mutlak ini. Jika
nihilo artikan sebagai nothingness (ketiadaan mutlak/al-adam al-muthalq),
maka teori creatio ex nihilo tidak mempunyai makna sama sekali.

-6

Renungan Hud-Hud

Wujud qua Wujud itu Tunggal


Memahami semua yang ada. Itulah tujuan agung semua filsuf. Filsafat
merupakan ilmu tentang keseluruhan, yang tujuan utamanya adalah
memahami hukum-hukum semua yang ada.
Ada artinya memiliki keberadaan. Atau dengan kata lain memiliki wujud. Tidak
mungkin memandang atau mensifati apa-pun tanpa mengkonsepsikan sesuatu
itu memiliki wujud sebelumnya. Kata sebelumnya di sini menunjukkan urutan
filosofis yang merupakan kemestian/keniscayaan tak tergantung waktu.
Pengertian wujud itu badihi, jelas dengan sendirinya. Atau, aksiomatis. Tidak
mungkin wujud didefinisikan. Karena setiap definisi adalah batasan. Sedang
batas wujud adalah ketiadaan mutlak (al-adam al-muthlaq/nothingness)
yang tidak mempunyai eksistensi apapun sehingga bisa membatasi.
Wujud pada segala sesuatu yang ada identik dan tunggal. Wujud di sini
adalah wujud qua wujud. Atau wujud sebagai wujud. Atau keberadaan sebagai
keberadaan. Pemikiran intuitif orang banyak menolak proposisi ini. Musykilah.

Bagaimana mungkin keberadaan Tuhan sama dengan keberadaan maklhuq?


Kan, Tuhan berbeda dengan makhluq? Pembahasan Musykilah. Perbedaan
Tuhan dengan manusia dan kera tidak menafikan atau tidak memustahilkan
kemungkinan bahwa keberadaan Tuhan sama dengan keberadaan makhluq.
Kenapa? Sebagai contoh yang mudah, rumah Tono dan rumah Tini. Walaupun
Tono dan Tini berbeda rumahnya mungkin sama. Jadi jika yang menjadi pusat
perhatian kita adalah wujud qua wujud (keberadaan sebagai keberadaan)
mungkin saja keberadaan Tuhan sama dengan keberadaan manusia. Tidak
mustahil. Pembahasan musykilah di atas belum membuktikan bahwa dalil
tersebut benar. Tapi baru mungkin (tidak mustahil). Berikut ini akan dijelaskan
salah satu bukti kebenaran dalil tersebut.
Bukti
Bayangkan al-adam al-muthlaq. Bayangkan sekiranya ada sesuatu,
sebutlah A. Atau ada sesuatu yang lain, sebutlah B. Jika A tidak ada,

-7

Renungan Hud-Hud

keadaannya akan sama persis dengan B tidak ada. Jadi ketiadaan A


identik dengan ketiadaan B.
Padahal ketiadaan A adalah negasi (lawan) dari keberadaan A, dan
ketiadaan B adalah negasi (lawan) dari keberadaan B.
Maka karena negasi keberadaan A identik dengan negasi keberadaan B,
kesimpulannya keberadaan A dan keberadaan B identik/sama. Dan ini
berlaku untuk setiap A dan B anggota himpunan segala sesuatu yang
maujud (yang memiliki wujud/keberadaan). Jadi keberadaan segala
sesuatu identik dan tunggal.

-8

Renungan Hud-Hud

Hakikat Tuhan adalah

Wujud qua Wujud


Prinsip kausalitas ; bahwa segala sesuatu yang maujud memerlukan sebab
agar meng-ada, tentu kecuali keberadaan itu sendiri ; merupakan satu prinsip
yang telah hadir secara fitri dalam akal filosofis manusia. Setiap pemikir mau
tidak mau mesti menggunakan prinsip ini, sebagaimana juga prinsip nonkontradiksi, untuk melandasi seluruh teori dan pengetahuannya.
Dalam alam kausalitas ini, Tuhan sebagai Pencipta sekalian alam, tidak lain
dimengerti sebagai Sebab Pertama (Causa -Prima). Artinya sebab yang bukan
merupakan akibat dari sebab lain. Karena kalau Tuhan bukan Sebab pertama
berarti Ia bukanlah Pencipta dari sekalian alam, malahan dapat dikatakan ia
diciptakan. Maha Suci Tuhan dari semua yang mereka sifatkan!
Sebagai Sebab Pertama, hakikat Tuhan adalah keberadaan-Nya.
Keberadaan-Nya tidak lain adalah keberadaan sebagai keberadaan (wujud qua
wujud) atau Al-Wujud Al-Muthlaq.
Bukti. Kalau hakikat Tuhan bukan keberadaan itu sendiri, maka pasti Ia
memerlukan sebab untuk mengada. Sebab untuk mengada yang diperlukan ini
ada dua kemungkinan
1. Sebab itu adalah diri-Nya sendiri. Kemungkinan ini mustahil, karena akan
terjadi rantai sebab akibat tanpa ujung.
2. Sebab itu adalah selain diri-Nya sendiri. Jika kemungkinan ini benar maka
Tuhan bukan Sebab Pertama. Atau dengan kata lain Tuhan adalah bukan
Tuhan. Dan ini mustahil juga karena merupakan suatu kontradiksi logis.
Jadi Tuhan itu Tunggal. Karena wujud qua wujud itu tunggal.

-9

Renungan Hud-Hud

Dan Tuhan tidak terbagi atau tidak tersusun atas bagian-bagian yang
lebih kecil. Karena wujud qua wujud itu tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih
kecil.

Bukti bahwa wujud qua wujud tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih
kecil adalah sebagai berikut. Jika wujud qua wujud tersusun atas bagian yang
lebih kecil, maka ada dua kemungkinan
1. Ada di antara bagian tersebut yang merupakan wujud qua wujud. Maka ini
mustahil karena akan menghasilkan rantai tanpa ujung.
2. Tidak ada di antara bagian tersebut yang merupakan wujud qua wujud. Ini
pun mustahil karena dengan demikian wujud qua wujud tidak mempunyai
keberadaan.
Dan Tuhan tidak terikat oleh ke-kapanan maupun ke-dimana-an
apapun. Karena ke-kapanan maupun ke-dimana-an pasti terbagi. Ke-kapanan
membagi masa menjadi sekarang, esok, lusa. Ke-dimana-an membagi posisi
menjadi di sana, di situ dan lain-lain. Sedang Tuhan tidak terbagi.
Dan Tuhan itu bukanlah suatu substansi bukan pula aksiden, jika dilihat
dari hakikatnya, kecuali secara aksidental. Karena dari defenisinya1
substansi adalah mahiyyah yang diaktualisasi di alam eksternal yang tidak
memerlukan substratum (dasar), sedang wujud bukanlah mahiyyah. Wujud
bukan pula aksiden, karena aksiden memerlukan substratum, sedang wujud
pasti tidak memerlukan substratum apa-pun, karena substratum apa-pun justru
memerlukannya untuk mengada. Wujud tidak mungkin merupakan substansi
maupun aksiden, kecuali secara aksidental saja. Suatu wujud partikular
merupakan substansi melalui ke-substansi-an mahiyyah yang berkaitan, dan ia
merupakan aksiden melalui ke-aksiden-an mahiyyah yang berkaitan. Konsep
wujud adalah aksiden dalam artian konsep ini adalah suatu predikat yang
disarikan dari subyek-subyeknya.

Haji Mulla Hadi Sabzavari, Syarh-e Manzumeh-e Hikmat, (English Translation oleh M. Mohaghegh $ T. Itsuzu), pp. 203-217

Renungan Hud-Hud

10 -

Dan tidak ada apapun yang bisa dilawankan dengan Tuhan, tidak pula ada
suatu yang mirip dengan-Nya. Karena dua hal yang berlawanan mempunyai
beberapa syarat;

sama-sama ada

mempunyai substratum yang sama

mempunyai perbedaan yang ekstrim

dapat diklasifikasikan di dalam genus yang berdekatan / kira-kira sama

Sedang wujud tidak punya substratum, tidak pula punya genus, dan tidak pula
jarak (beda) yang ekstrim terhadap apa pun.. Karena itu pemisahan
mahiyyah dari wujud adalah suatu pembubuhan/penghiasan mahiyyah oleh
wujud. Lebih lanjut, tidak ada suatu apa pun yang mirip dengan wujud.
Karena, dua hal yang mirip adalah dua hal yang mempunyai suatu yang sama
dalam mahiyyah nya, sedang wujud bukanlah mahiyyah.

Renungan Hud-Hud

11 -

Ketakmampuan akal dlm memahami

Wujud qua Wujud


Hakikat Tuhan adalah wujud qua wujud. Atau keberadaan itu sendiri. Apakah ini
berarti Tuhan telah diketahui? Atau lebih jauh, apakah ini berarti akal telah
berhasil memahami Tuhan? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut negatif.
Pernyataan bahwa Tuhan adalah wujud qua wujud sebenarnya hanyalah
seperti sinonim. Tuhan adalah Sebab Pertama adalah wujud qua wujud.
Kenapa seperti sinonim? Apakah itu bukan merupakan suatu definisi? Bahwa
Tuhan adalah wujud qua wujud?
Tidak. Hakikat Tuhan adalah wujud qua wujud bukan-lah suatu definisi. Karena
wujud qua wujud sama sekali bukanlah sesuatu yang jelas dan realitas
terdalamnya diketahui dengan baik oleh akal lebih dari pengertian Tuhan.
Realitas terdalam wujud qua wujud tidak terjangkau oleh akal manusia.
Walaupun pengertiannya secara umum badihi atau aksiomatis, pengertian
sebenarnya dari wujud qua wujud tidak dapat dipahami oleh akal manusia.
Bukti.
Jika realitas wujud qua wujud dapat diaktualisasikan dalam akal manusia,
maka ada dua kemungkinan;
1.

Efek keberadaan juga teraktualisasi di alam eksternal (yaitu alam di


luar jiwa manusia). Dalam hal ini tidak seluruh efek wujud qua wujud
diaktualisasikan dalam jiwa manusia. Sebagai contoh api yang ada di
alam eksternal, ketika ia kita pikirkan di alam internal, api tersebut
tidak menghasilkan panas di alam internal.

2.

Efek keberadaan tidak diaktualisasikan di alam eksternal. Dan ini


mustahil, karena berarti wujud qua wujud tidak merupakan
wujud/keberadaan dalam artian sebenarnya, - yaitu keberadaan yang
merupakan sumber sejati seluruh efek.

Renungan Hud-Hud

12 -

Ketakterjangkauan fikiran manusia untuk memahami Tuhan (wujud qua wujud)


ini ditunjukkan dalam ucapan Imam Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam Nahjul
Balaghah sebagai berikut:
Segala puji bagi Allah yang tiada pembicara mana pun mampu meliputi segala
pujian bagi-Nya.Tiada penghitung manapun mau mencakup bilangan nikmat
karunia-Nya. Tiada daya-upaya bagaimanapun mampu memenuhi kewajiban
pengabdian kepada-Nya. Tiada pikiran sejauh apa pun mampu mencapaiNya, dan tiada pikiran sedalam apa pun mampu menyelami hakikatNya. ....

Renungan Hud-Hud

13 -

Pluralitas dan mahiyyah


Dunia ini jamak. Ada kuda. Ada manusia. Ada gunung. Ada laut. Ada sebab.
Ada akibat. Ada jauhar. Ada aksiden. Ya, seolah ada banyak sesuatu-sesuatu.
Benarkah ada banyak sesuatu-sesuatu? Tapi bukankah keberadaan-nya
tunggal. Keberadaan-nya satu?
Jelas pluralitas yang tampak di alam ini bukan merupakan pluralitas wujud.
Karena telah dibuktikan bahwa wujud itu tunggal. Jadi pluralitas timbul dari
sesuatu selain wujud. Apakah itu?
Yang menyebabkan kita membedakan kuda dengan manusia, tidak lain adalah
keapa an dari kuda dan keapa an dari manusia. Bukan keberadaan-nya.
Keapaan tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan apa itu .................? Istilah
Arab dari keapaan adalah mahiyyah. Istilah lain yang menunjukkan
keapaan adalah quiditas atau esensi.
Keapaan merupakan sumber pluralitas. Subyek pengamat, mengquidifikasi
berbagai hal, sehingga keberadaan yang tunggal memiliki berbagai keapaan
dalam jiwa subyek pengamat. Jadi jelas karena keapaan bersifat subyektif,
pluralitas-pun bersifat subyektif. Belum tentu mereka bersifat obyektif.
Faham ashalatul-wujud menyatakan yang benar-benar nyata hanyalah
wujud, sedang mahiyyah tak nyata. Jadi menurut faham ini mahiyyah tak
obyektif. Pluralitas pun tak obyektif. Yang nyata, yang obyektif hanyalah Tuhan,
wujud qua wujud, Yang Tunggal.
Ashalatul-wujud merupakah faham yang didukung dan dibuktikan secara
rasional oleh para filsuf pengikut Mulla Shadra maupun didukung dan
dibuktikan secara intuitif oleh para ahli irfan seperti Ibn Arabi.

Renungan Hud-Hud

14 -

Ashalah al-Wujud
Merenungi seluruh yang maujud, dalam aliran Sholawat, maka selalu kita
arungi. buih-buih mahiyyah (ke-apa-an, quiditas) pada satu ketunggalan, satu
keberadaan, satu Wujud Mutlak. Maka, karena mahiyyah menimbulkan
kejamakan (al-katsrah) sedang wujud adalah ketunggalan (al-wahdah), maka
inilah yang disebut al-wahdah fi al-katsrah dan al-katsrah fi al-wahdah.
Maka dari samudera ke-apaan dan keberadaan,. ada tiga kemungkinan
1. Baik mahiyyah maupun wujud qua wujud sama-sama real,- ada di alam
nyata, tidak hanya di alam fikiran atau jiwa subyek pemikir (manusia).
2. Yang real adalah mahiyyah, sedang wujud qua wujud hanyalah ada di
alam fikiran manusia. Paham ini disebut ashalah al-mahiyyah.
3. Yang real adalah wujud qua wujud, sedang mahiyyah hanyalah ada di
alam fikiran manusia. Paham ini disebut ashalah al-wujud.
Paham pertama, bahwa baik mahiyyah maupun wujud qua wujud samasama nyata, merupakan paham yang sesuai dengan common-sense atau
feeling orang banyak. Pendapat ini salah. Buktinya, jika mahiyyah dan wujud
qua wujud sama-sama nyata, maka karena mahiyyah itu banyak, sedang
wujud qua wujud itu tunggal, maka realitas itu banyak sekaligus tunggal. Dan
ini kontradiksi. Jadi tidak mungkin keduanya sama-sama nyata dalam artian
yang hakiki.
Paham kedua, bahwa yang nyata dan benar-benar ada adalah mahiyyah
tidak benar. Buktinya diperoleh dengan membuktikan bahwa paham ketiga-lah,
-yaitu ashalah al-wujud-, yang benar.
Paham ketiga, ashalah al-wujud merupakan paham yang benar. Buktinya
yang paling mudah adalah sebagai berikut;

Renungan Hud-Hud

15 -

Pertama, wujud qua wujud pasti benar-benar ada, karena ada artinya
memiliki keberadaan, sedangkan wujud qua wujud tidak lain adalah
keberadaan itu sendiri.
Kedua, wujud sesuatu merupakan sumber semua penilaian atas sesuatu
tersebut. Tidak mungkin mensifati apapun, tanpa meyakini sesuatu tersebut
memiliki wujud terlebih dahulu.
Ketiga, bagaimana mungkin mahiyyah yang benar-benar ada, sedang wujud
lah yang membuat segala sesuatu meninggalkan keadaan kesamaan-nya?
Keadaan kesamaan artinya kemungkinan ada sama dengan kemungkinan
tidak ada, dan seluruh mahiyyah yang tidak mempunyai wujud terletak pada
keadaan ini.
Masih ada bukti-bukti lain yang lebih rumit yang dapat dibaca di Syarh-e
Manzhumeh dari Guru kita semua YM. Mulla Hadi Sabzavary, semoga rohnya
dimuliakan-Nya.
Satu argumen yang menentang ashalah al-wujud adalah sebagai berikut.
Sekiranya wujud itu benar-benar ada, maka wujud adalah suatu maujud.
Karena wujud itu maujud, maka sebagai maujud ia perlu memiliki wujud. Dan
selanjutnya wujud berikut ini pun adalah maujud yang perlu memiliki wujud, dan
seterusnya (ad infinitum). Ini merupakan suatu petitio principii yang
membentuk rantai argumen tanpa ujung yang mustahil. Argumen tersebut
salah. Letak kesalahannya adalah di awal, cukup kita katakan bahwa wujud itu
memiliki dirinya sendiri, karena segala sesuatu pasti memiliki dirinya sendiri.
Karena itu wujud pasti ada dengan sendirinya tanpa perlu sebab yang
memberinya wujud/keberadaan. Dan titik. Wallahu alam..

Renungan Hud-Hud

16 -

Kesempurnaan

dan

Wujud
Merenungi keindahan alam, lebur dalam Ke-Indahan dan Ke-Sempurnaan ZatNya, al-faqir berfikir tentang apa makna kesempurnaan. Sesuatu disebut
sempurna jika ia memiliki kesempurnaan. Kesempurnaan sulit didefinisikan,
jika pun mungkin. Tapi sekurangnya, ada syarat mesti sesuatu disebut
sempurna, yaitu tidak membutuhkan apa pun selain dirinya sendiri. Karena
sesuatu disebut sempurna jika memiliki kesempurnaan, maka pasti
kesempurnaan itu sendiri sesuatu yang sempurna, karena sesuatu pasti
memiliki dirinya sendiri. Karena itu jika kita meninjau kesempurnaan qua
kesempurnaan, pasti ia tidak membutuhkan apa pun selain dirinya sendiri.
Tidak membutuhkan dari segala modalitas (sudut pandang) apa pun yang
mungkin.
Karena itu Kesempurnaan mesti-lah identik dengan Wujud (Keberadaan)
itu sendiri.
Kenapa? Karena jika Kesempurnaan tidak identik dengan Wujud, maka ia
mebutuhkan sebab untuk maujud. Karena ia membutuhkan sebab untuk
maujud, maka ia tidak sempurna. Karena ia tidak sempurna, maka ia pasti ia
bukan-lah Kesempurnaan. Ini suatu kontradiksi. Jadi Kesempurnaan harus
identik dengan Wujud.
Atau, dengan kata lain, Kesempurnaan adalah Hakikat Zat-Nya. Karena
Wujud adalah hakikat Zat-Nya.
Dan, benar bahwa Kesempurnaan tidak mungkin didefinisikan. Karena
Wujud tidak dapat didefinisikan.

Renungan Hud-Hud

17 -

Dan, Kesempurnaan itu basith (sederhana, tidak tersusun). Karena mustahil


bagi Wujud bersifat tidak basith.
Mungkin banyak hikmah yang akan tercurah bagi kita untuk merenungi saduran
kutipan dari 40-Hadits Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Khomeini, pada saat
beliau menjelaskan hadis ke-36 tentang Sifat Zattiyyah Allah Swt;
Dengan demikian, maka jika Allah Swt. itu sederhana
dan sempurna, dan jauh dari sesuatu yang menjadi
keniscayaan makhluk,- yang butuh dan memerlukan
sesuatu yang lain-, maka Allah Swt sempurna dilihat
dari semua sisi, mencakup semua nama dan sifat,
hakikat yang asli, dan Wujud yang badihi yang tidak
dimasuki

ketiadaan,Wujud

yang

di

dalamnya

tidak

bercampur antara yang sempurna dan tidak sempurna.


Dengan demikian, Allah adalah Wujud yang hakiki.
Sebab, kalau sekiranya ketiadaan masuk ke dalamnya,
pasti terbentuk

kekurangan sesuatu yang tersusun

(tidak basith), yaitu hubungan antara ketersusunan


Wujud dengan al-adam (ketiadaan). Dia Mengetahui,
Hidup, Berkuasa, Melihat, Mendengar dalam arti hakiki.
Berdasarkan alasan ini, maka benarlah Imam AshShadiq (a.s.) ketika beliau bersabda, Mengetahui
adalah Zat-Nya. Berkuasa, Mendengar,
adalah Zat-Nya.

dan Melihat

(Catatan : Kutipan diambil dari

terjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit


Mizan. Tapi beberapa kalimat dirubah oleh al-faqir,
hanya

untuk

memperjelas

arti

kutipan,

karena

terjemahan sama sekali tidak jelas), wallohu alam.

Renungan Hud-Hud

18 -

Emanasi
Wujud yang satu, tunggal dan tiada terbagi. Satu-nya bukanlah satu bilangan
rasional. Bukan pula bilangan nyata. Satu-nya tidak memungkinkan untuk mendua. Tidak mungkin pula diambil setengah-nya. Satu ahadiyyul-mana.
Wujud yang Sempurna tiada terkata. Bahkan Ia -lah kesempurnaan itu sendiri.
Kesempurnaan dari segala seginya. Yang tak dapat dipilah - pilah ke dalam
fractal

-fractal

penyifatan manusia

nan senantiasa

terkurung oleh

keterbatasannya yang esensial. Kesempurnaan yang jika kita mengerti dari


segi - seginya yang terpisah, akan meruntuhkan makna sejatinya.
Wujud

yang Luas tiada terbatas oleh apa-pun. Karena jika pun ada

pembatasnya; pembatasnya tidak lain adalah ketiadaan mutlak yang bahkan


tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh akal manusia. Luas dalam semua
aspeknya. Mutlak dalam seluruh segi-nya.
Bagaimana mungkin Wujud

yang Tunggal, Sempurna dan Luas Tiada

Berbatas ini menampakkan dirinya dalam mahiyyah - mahiyyah yang tersebar


dalam alam kejamakan, tidak sempurna dan terbatas, tak terhingga banyaknya
tersebar dalam milyunan ruang, milyunan waktu dan milyunan alam ini ?
Rantai kausalitas yang mungkin adalah sebagai berikut. Wujud tunggal akan
mengakibatkan sesuatu yang tunggal pula. Sesuatu yang tidak terbagi pula.
Hanya sesuatu ini telah kehilangan sifat Sempurna dan Mutlak - nya. Karena
minimal ia membutuhkan Sebab untuk meng - ada.
Kemudian dari Wujud dan sesuatu itu, terdapat tiga sesuatu yang mungkin
menjadi sebab; (sesuatu itu sendiri), (Wujud, sesuatu tersebut) dan (sesuatu
tersebut, Wujud) sehingga mungkin dihasilkan sebagai akibat tiga sesuatu

Renungan Hud-Hud

19 -

yang lain. Tentu dua sesuatu yang terakhir sudah kehilangan sifat tunggal dan
tiada terbaginya, maupun kesempurnaan dan kemutlakannya. Dua sesuatu ini
telah memiliki sifat tidak sempurna maupun tidak mutlak (karena minimal
memerlukan sebab untuk mengada), tersusun (karena sebabnya tersusun) dan
relatif (karena sebabnya tersusun atas relasi antara dua sesuatu yang lain).
Kemudian dari lima sesuatu ini dapat diturunkan lagi dengan memperhatikan
seluruh relasi sebab yang mungkin, dan seterusnya. Sehingga akhirnya, dari
Wujud yang Tunggal muncullah alam yang jamak ini.
Pandangan kosmologi seperti yang diuraikan di atas disebut sebagai teori
emanasi. Tapi perlu dicatat, versi teori yang dituliskan ini tidak sama persis
dengan teori emanasi menurut penemu aslinya, Ibnu Sina. Sengaja pula tidak
diberikan nama-nama dari sesuatu - sesuatu tersebut, karena penamaannya
sebenarnya tidaklah esensial dan bahkan dikhawatirkan membingungkan
orang yang pertama kali mencoba memahaminya.
Beberapa sifat penting dari emanasi Wujud diberikan sebagai berikut.
Emanasi Wujud tidak tergantung waktu maupun ruang, bahkan ruang dan
waktu-lah yang tergantung padanya. Jadi tidak dapat ditanyakan kapankah
(atau dimanakah) emanasi terjadi? Atau bahkan dapat dikatakan pula setiap
saat di setiap ruang apa pun atau pun di setiap sesuatu yang tak dapat
diperikan oleh ruang dan waktu apa pun terjadi emanasi Wujud.
Semua sesuatu selain Wujud dalam emanasi tidak memiliki Wujud sejati.
Karena menurut ashalah al-wujud Yang Nyata Wujud-Nya hanyalah Wujud.
Dan mahiyyah hanyalah memiliki eksistensi imajiner.
Sehingga semua selain Wujud hanyalah ada di alam mental. Karena itu
tidak salah kalau semua selain Wujud disebut Akal.

Renungan Hud-Hud

20 -

Sehingga sesuatu yang pertama muncul dari Wujud disebut sebagai Akal
Pertama atau Akal Universal. Karena seluruh akal lain meniscayakan
eksistensinya sebagai dalam rantai kausalitasnya.
Atau terkadang Akal Pertama juga disebut sebagai Nur Muhammad.
Karena nuur inilah yang memungkinkan Wujud menyatakan dirinya dalam
selainnya di alam akal, sehingga secara reciprocal dapat dinyatakan nuur inilah
yang memberikan eksistensi mental pertama , pemahaman pertama, Wujud
atas dirinya sendiri.

Nuur inilah Kegemilangan Mata Air Wujud

dalam

memuji / memahami dirinya sendiri.


Sehingga tak salah jika dikatakan seluruh-nya dicipta dari Nur
Muhammad. Sebagaimana dipercayai oleh sebagian orang, bahwa yang
pertama kali dicipta adalah Nur Muhammad, dan semua selain itu diciptakan
lewat eksistensi Nur Muhammad.
Jelas tahapan Nur Muhammad tak terbatas ruang dan waktu. Karena
ruang maupun waktu terbagi sedang Nur Muhammad tak terbagi.
Dan eksistensinya sebagai sebab niscaya pada se-gala selain Wujud.
Rantai emanasi manapun pasti melewatinya.
Sehingga benarlah jika kita katakan bahwa dalam segala terdapat
Wujud maupun Nur Muhammad. Walau harus dipahami tidak ada persatuan
material apa pun.
Sehingga semoga mencukupi jika kita akhiri makalah ini dengan,
Innallooha wa malaa`ikatahu yusholluuna alan - nabiy. Yaa ayyuhalladziina
aamanuu sholluu alaihi wasalimuu tasliimaa....
.
wallahu alam

Anda mungkin juga menyukai