Seluruh rakyat Indonesia sangat mendambakan segera terwujudnya kehidupan berbangsa dan
bernegara yang maju, adil-makmur, damai, dan berdaulat. Kita bersyukur kepada Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Pemurah, bahwa di tengah krisis ekonomi global sejak 2008, Indonesia
termasuk sedikit negara di dunia yang perekonomiannya tetap tumbuh positif. Tahun lalu
pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,4 persen, inflasi rendah dan terkendali, cadangan
devisa mencapai 119 miliar dolar AS (terbesar sepanjang sejarah negeri ini), dan untuk
pertama kalinya Indonesia dinilai oleh lembaga pemeringkat dunia (Fitch Rating, 2011)
sebagai negara yang layak investasi (investment grade). Diprediksikan tahun 2013 PDB
(Produk Domestik Bruto) Indonesia bisa menyentuh angka 1 triliun dolar AS yang
merupakan negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia. Disamping itu lembaga kajian
Mc Kinsey Global Institute pada tahun 2012 menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia akan
menempati posisi ketujuh dunia mengungguli Jerman dan Inggris pada 2030 dan
perekonomian Indonesia akan ditopang 4 sektor utama yaitu bidang jasa, pertanian, perikanan
serta sumber daya alam.
Namun di balik gemilangnya prestasi makroekonomi itu, kehidupan keseharian mayoritas
rakyat Indonesia masih didera oleh beragam penderitaan fisik maupun kejiwaan. Dengan
garis kemiskinan Rp 234.000/orang/bulan, BPS mencatat banyaknya penduduk yang hidup di
bawah garis kemiskinan pada September 2012 sebesar 28,59 juta orang atau 11,6 % dari total
penduduk (BPS, 2012). Dan, jika mengacu pada garis kemiskinan versi Bank Dunia, yakni 2
dolar AS/orang/hari (sekitar Rp 540.000/orang/bulan), maka jumlah penduduk miskin
Indonesia mencapai 117 juta orang. Artinya hampir separuh rakyat Indonesia masih hidup
bergelimang kemiskinan.
Dalam pada itu, jumlah pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung (disguished
unemployment) pun masih begitu besar, yakni sekitar 7,24 juta (Agustus 2012) dan 34 juta
orang. Hal ini ditenggarai akibat kebijakan pemerintah yang sangat liberal dalam
perdagangan bebas dengan bangsa-bangsa lain di dunia, khususnya sejak diberlakukannya
perdagangan bebas dengan China (ACFTA, ASEAN-China Free Trade Agreement) pada
Januari 2010 lalu. Sementara, pemerintah belum menyiapkan etos kerja rakyat dan daya saing
industri nasional. Akibatnya, banyak pabrik atau perusahaan yang mengurangi produksinya
atau gulung tikar, sehingga PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) menjadi pilihan sejumlah
perusahaan.
Bukan hanya semakin membludaknya jumlah pengangguran, kian terpuruknya industri
(produksi) nasional akibat liberalisasi perdagangan pun telah menyebabkan surplus
perdagangan Indonesia semakin tergerus. Bahkan, sejak tahun lalu nilai ekspor Indonesia ke
China lebih kecil ketimbang nilai impornya dari negeri Tirai Bambu itu. Sebagian besar
ekspor Indonesia hingga kini masih didominasi oleh komoditas primer/bahan mentah (seperti
gas alam, minyak sawit, batu bara dan bahan tambang lain, rumput laut, dan ikan), yang kecil
sekali nilai tambahnya dan kurang menghasilkan multiplier effects (efek pengganda) bagi
ekonomi nasional.
Bila daya saing ekonomi tetap rendah dan impor dibuka selebar-lebarnya seperti ini terus
dibiarkan, maka Indonesia tidak akan mampu menjadi bangsa produsen. Sebaliknya, kita
akan menjadi bangsa konsumen terbesar yang sangat bergantung pada bangsa-bangsa lain,
alias tidak berdaulat. Yang lebih mencemaskan, sektor-sektor ekonomi strategis (seperti
pertambangan, perkebunan, perbankan, dan telekomunikasi) pun saham mayoritasnya
sebagian besar dimiliki oleh korporasi asing (Kompas, 23 26 Mei 2011).
Budaya konsumtif, hedonis, dan materialistik yang melanda kebanyakan orang-orang kaya,
penguasa, dan politikus pun telah mengakibatkan kesenjangan antara warga negara yang kaya
vs. miskin kian melebar. Tahun lalu, 40 orang terkaya memiliki harta yang sama dengan 60
juta orang termiskin di Indonesia (Tribunnews.com, 26 Oktober 2011). Demikian pula halnya
dengan disparitas pembangunan antar wilayah. Bayangkan, Pulau Jawa yang luas daratannya
hanya 6,5 % dari total luas wilayah daratan Indonesia, menyumbangkan 62 persen bagi PDB
nasional, diikuti oleh P. Sumatera sebesar 23 persen. Sedangkan, pulau-pulau lainnya
(Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, dan Papua) yang luas
daratnya sekitar 80% dari luas lahan Indonesia hanya berkontribusi sebesar 15 persen
(Bappenas, 2011). Jika ketimpangan pembangunan antar wilayah yang sangat tajam ini tidak
segera dikoreksi, maka bukan hanya urbanisasi dengan segudang permasalahannya yang
menyeruak, tetapi juga bisa mengakibatkan inefisiensi perekonomian nasional dan
munculnya gerakan separatisme.
Angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi serta kesenjangan kaya vs. miskin diyakini
telah mengakibatkan tekanan hidup yang sangat berat bagi kebanyakan saudara-saudara kita
sebangsa dan setanah air. Sehingga, membuat mereka banyak yang menderita kecemburuan
sosial (social jelousy). Kondisi sosio-antropologis semacam inilah yang mengakibatkan kian
marak dan masif nya premanisme, perampokan, perkelahian antar kelompok masyarakat,
konsumsi narkoba, dan beragam penyakit sosial (social pathology) lainnya.
Muara (resultante) dari segenap permasalahan sosial-ekonomi riil diatas adalah rendahnya
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia yang hanya
menempati urutan-124 dari 187 negara yang disurvei (UNDP, 2011). Sekedar perbandingan,
negara-negara tetangga Singapura bertengger pada urutan-26, Malaysia-61, Thailand-103,
dan Philipina-112. Sedangkan, urutan-1 diraih Norwegia, AS-4, Korea Selatan-15, dan China101.
Fakta bahwa Indonesia sampai sekarang masih sebagai negara berkembang dengan angka
pengangguran dan kemiskinan yang tinggi serta daya saing ekonomi yang rendah merupakan
sebuah ironi yang memilukan. Betapa tidak, Indonesia dikaruniai Allah modal dasar (potensi)
yang lengkap untuk menjadi bangsa besar yang maju dan sejahtera. Modal dasar itu, pertama
adalah berupa 240 juta jiwa penduduk (terbesar keempat di dunia) dengan kualitas dasar yang
sebenarnya bagus, berarti merupakan human capital dan potensi pasar domestik yang sangat
besar. Kedua adalah kekayaan alam yang cukup besar dan beraneka ragam, baik yang
terdapat di darat maupun di laut. Dan, ketiga adalah posisi geoekonomi yang sangat strategis,
dimana 45% dari total barang dan komoditas yang diperdagangkan di dunia dengan nilai
1.500 triliun dolar AS setiap tahunnya dikapalkan melalui wilayah laut Indonesia (UNCTAD,
2010). Selain akses kepada pasar global yang mudah dan terbuka lebar bagi segenap produk
dan jasa (goods and services) nasional kita, Indonesia juga semestinya menjadi penentu dan
penerima manfaat terbesar dari sektor transportasi laut. Celakanya, sejak 1987 sampai
sekarang, Indonesia terus menghamburkan devisa rata-rata 18 miliar dolar AS per tahun
untuk membayar jasa armada kapal niaga (pengangkut) asing (INSA, 2011).
Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal, mulai dari kelembagaan politik
(political institution) yang menyuburkan budaya instan, premanisme, politik uang (money
politics), dan korupsi, rendahnya etos kerja bangsa yang unggul, sampai lemahnya
penguasaan dan penerapan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dalam berbagai bidang
kehidupan bangsa ini. Salah satu yang terpenting adalah karena kita belum punya visi
pembangunan yang tepat dan benar serta dilaksanakan secara sistematis dan
berkesinambungan. Visi pembangunan Indonesia sejak zaman penjajahan hingga sekarang
sangat dominan berorientasi darat. Padahal, Indonesia merupakan negara maritim dengan luas
wilayah yang 75% territorial laut dan kepulauan terbesar di dunia. Akibatnya, ekonomi
Indonesia menjadi kurang efisien dan rendah daya saing nya.
Sumberdaya Kelautan Sebagai Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Indonesia
Sehubungan dengan sejumlah permasalahan bangsa di atas, kita seluruh komponen bangsa
harus segera sadar, bangkit dan bersatu-padu untuk secara cerdas dan ikhlas mengatasi
segenap permasalahan dan secara simultan mendayagunakan semua potensi bangsa menuju
satu tujuan, yakni terwujudnya Indonesia yang maju, adil-makmur dan diridhoi Allah SWT.
Pertanyaannya kita harus mulai dari mana, mengingat begitu banyak dan kompleksnya
permasalahan bangsa ini. Dari perspektif ilmu kesisteman (system science), negara-bangsa
adalah sebuah sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem (komponen) yang saling
berinteraksi. Dalam konteks sistem pemerintahan NKRI, Indonesia memiliki tiga sub-sistem
utama yakni: bidang perekonomian; polhukam (politik, hukum dan keamanan); dan kesra
(kesejahteraan rakyat). Selanjutnya, jika Indonesia ingin maju dan makmur, maka kita harus
upayakan agar setiap sub-sistem menghasilkan karya (outputs) terbaiknya secara maksimal,
dan antar sub-sistem tersebut bersinergi secara produktif.
Maka agenda pembangunan ekonomi yang mestinya kita kembangkan adalah sektor-sektor
(kegiatan) ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar dan
memberikan penghasilan yang secara manusiawi memadai dan terus membaik, sehingga
setiap rumah tangga minimal dapat memenuhi lima kebutuhan dasarnya, yaitu: pangan,
sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Selain itu, karena Indonesia juga merupakan
salah satu negara penghutang terbesar di dunia (213,5 miliar dolar AS, The World Bank 2012
dalam suara merdeka, 27/12/2012) maka sektor-sektor ekonomi itupun harus mampu
menghasilkan devisa secara signifikan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (di atas
7% per tahun) secara berkesinambungan. Semua persyaratan (harapan) ini sesungguhnya
dapat dipenuhi oleh industri-industri berbasis sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
(environmental services) kelautan yang meliputi sebelas sektor utama: (1) perikanan tangkap,
(2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi
kelautan, (5) pariwisata bahari, (6) pertambangan dan energi, (7) perhubungan laut, (8)
industri dan jasa maritim, (9) pulau-pulau kecil, (10) sumberdaya non-konvensional seperti
deep sea water industries, hydrothermal vents, dan (11) benda-benda berharga asal muatan
kapal tenggelam (harta karun di dasar laut).
Potensi nilai total ekonomi kesebelas sektor kelautan Indonesia diperkirakan mencapai 1
triliun dolar AS (Rp 9.300 triliun) per tahun atau sekitar enam kali lipat APBN 2013.
Sedangkan, kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan sekitar 40 juta orang. Karenanya, bila
kita mampu mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara produktif dan efisien, maka
masalah pengangguran dan kemiskinan otomatis akan terpecahkan. Kita pun tidak perlu lagi
mengirim TKW ke luar negeri yang acap kali mendapat perlakuan yang amat kejam dan tidak
manusiawi.
Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, yang ditaburi oleh 13.466 pulau pada
luasan laut 5,8 juta km2 termasuk ZEEI dan dikelilingi oleh 95.181 km garis pantai.
Indonesia diberkahi Allah SWT dengan kekayaan laut yang sangat besar dan
beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam yang dapat pulih (seperti perikanan, terumbu
karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); sumberdaya alam
yang tak dapat pulih (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral
lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean
Thermal Energy Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari
dan transportasi laut (Dahuri, 2003).
Potensi produksi lestari ikan laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan melalui usaha perikanan
tangkap sebesar 6,5 juta ton/tahun, sekitar 8% dari total potensi produksi lestari ikan laut
dunia (90 juta ton/ tahun). Kurang lebih 24 juta ha perairan laut dangkal Indonesia cocok
untuk usaha budidaya laut (mariculture) ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara,
teripang, rumput laut, dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi, dengan potensi
produksi sekitar 42 juta ton/tahun. Namun, hingga tahun 2011 kita baru memanfaatkan
potensi budidaya laut ini sebesar 4,6 juta ton (10,95%). Lahan pesisir (coastal land) yang
sesuai untuk usaha budidaya tambak udang, bandeng, kerapu, nila, kepiting, rajungan, rumput
laut, dan biota perairan lainnya diperkirakan lebih dari 1,2 juta ha dengan potensi produksi
sekitar 10 juta ton/tahun (KKP, 2012). Sekadar ilustrasi, jika kita dapat mengusahakan
400.000 ha (30%) secara optimal dengan rata-rata produktivitas 5 ton/ha/tahun (seperempat
dari rata-rata produktivitas tambak udang Vannamei saat ini), maka dihasilkan 2 juta ton
udang/tahun. Dengan harga jual sekarang USD 5/kg (di lokasi tambak), nilai ekonominya
mencapai USD 10 miliar/tahun. Kalau 75 persen kita ekspor, nilai devisanya USD 7,5 miliar.
Ini baru satu komoditas perikanan. Padahal masih banyak produk perikanan lainnya, seperti
ikan kerapu, kakap, baronang, bawal, tuna, cakalang, kepiting, rajungan, teri, nila, teripang,
kerang mutiara, dan rumput laut yang selama ini diminati oleh pasar dunia, khususnya
Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, Singapura, RRC, dan Hongkong
Lebih dari itu, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut pada tingkatan genetik,
spesies maupun ekosistem tertinggi di dunia. Oleh karenanya, Indonesia dikenal di dunia
sebagai mega-marine biodiversity. Secara potensial, nilai ekonomi total dari produk
perikanan dan produk bioteknologi kelautan Indonesia diperkirakan sekitar 82 milyar US$
per tahun. Meskipun belum ada perhitungan tentang potensi ekonomi pariwisata bahari.
Namun jika kita membandingkan dengan negara bagian Queensland, Australia dengan
panjang garis pantai hanya sekitar 9.800 km tapi mampu menghasilkan devisa pariwisata
bahari sebesar US$ 2 miliar/tahun. Maka sebenarnya potensi ekonomi parwisata bahari
Indonesia sangatlah besar.
Sementara itu, hampir 70% produksi minyak dan gas bumi kita berasal dari kawasan pesisir
dan laut. Berdasarkan data geologi diketahui Indonesia memiliki 60 cekungan potensi yang
mengandung minyak dan gas bumi. Dari 60 cekungan tersebut, 40 cekungan terdapat di lepas
pantai, 14 berada di daerah transisi daratan dan lautan (pesisir) dan hanya 6 saja yang berada
di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut diperkirakan mempunyai potensi sebesar 11,3
miliar barel yang terdiri atas 5,5 miliar barel cadangan potensial dan 5,8 miliar barel berupa
cadangan terbukti. Selain itu diperkirakan cadangan gas bumi adalah 101,7 triliun kaki kubik
yang terdiri dari cadangan terbukti 64,4 triliun dan cadangan potensial sebesar 37,3 triliun
kaki kubik.
Potensi ekonomi bisnis jasa perhubungan laut diperkirakan sekitar 14 milyar US$ per tahun.
Ini berdasarkan pada perhitungan bahwa sejak 15 tahun terakhir kita mengeluarkan devisa
sekitar 14 milyar US$ untuk membayar armada pelayaran asing yang selama ini mengangkut
97% dari total barang yang diekspor dan diimpor ke Indonesia, dan yang mengangkut 50%
dari total barang yang dikapalkan antar pulau di wilayah Indonesia. Sementara itu di sektor
jasa penyediaan tenaga kerja pelaut untuk kapal niaga, kapal pesiar
dan pelayaran rakyat, potensi ekonominya pun luar biasa besarnya. Potensi ekonomi ini akan
menjadi lebih bermakna dan bernilai strategis, seiring dengan kenyataan bahwa pusat
kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 sebenarnya telah bergeser dari Poros Atlantik ke
Poros Asia-Pasifik. Hampir 70% total perdagangan dunia berlangsung diantara negara-negara
di Asia-Pasifik. Lebih dari 75% dari barang-barang yang diperdagangkannya
ditransportasikan melalui laut, terutama melalui Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makasar,
dan laut-laut Indonesia lainnya dengan nilai sekitar 1.300 trilyun US$ setiap tahunnya.
Jaringan kabel optik bawah laut dipercayai mempunyai banyak keunggulan yang tidak
dimiliki oleh jaringan transmisi data dan telekomunikasi melalui satelit. Hubungan
telekomunikasi antara San Francisco dan Singapura misalnya, kini telah terhubung dengan
kabel fiber optik yang direntang melitasi dasar Lautan Pasifik. Dari Singapura-Jakarta juga
sudah terpasang, sehingga telepon dari pesisir barat Amerika ke Jakarta bisa terhubung
dengan suara yang jernih dan tanpa gema yang mengganggu karena kecepatan transmisinya
yang luar biasa. Paket-paket suara ataupun data yang ditransmisikan melesat dari pesisir barat
Amerika ke singapura dan Jakarta dalam kecepatan cahaya melalui media serat kaca optik.
Melesat tanpa gangguan cuaca di atas atmosfer bumi ataupun gangguan badai magnetik dari
angkasa luar. Akibatnya suara terdengar begitu jernih, bahkan saat seorang ayah di Silicon
Valley bisa berbisik melalui telepon kepada anaknya di Pulau Jawa.
Kini jaringan kabel serat kaca optik bawah laut lebih dimanfaatkan untuk transmisi data
internet. Para pengguna jasa jaringan kabel bawah laut yang canggih ini percaya bahwa akses
internet broadband melalui jaringan ini akan lebih berdaya guna daripada melalui dial-up. Hal
ini disebabkan pengguna jasa akan memperoleh kapasitas transmisi data yang jauh lebih
besar. Alasan kedua adalah bahwa frekuensi broadband dengan melalui kabel optik ini
dianggap lebih sesuai untuk melayani keperluan industri dan korporasi ataupun para
pengusaha.
Dengan adanya kebutuhan manusia akan pembangunan jaringan kabel bawah samudra ini,
industri kelautan akan ikut pula berkembang. Antara lain meliputi industri survei topografi
dasar lautan, industri geofisika dan geologi kelautan yang mendukung dengan data lapisan
tanah dari dasar lautan yang akan dipakai sebagai lintasan kabel bawah laut tadi. Demikian
pula industri teknik kelautan, yang akan sibuk menjalankan kapal-kapal canggih untuk
merawat dan memonitor jaringan kabel yang bercentang-perenang di antara kepulauan
Nusantara. (Djamil, 2004; Bateman and Sherwood, 1995).
Sekali lagi, karena letak Indonesia secara geoekonomi dan geopolitik sangat strategis, yakni
diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta oleh Benua Asia dan Australia, maka
seharusnyalah bangsa Indonesia yang paling mendapat keuntungan ekonomis yang besar dari
posisi kelautan global. Lebih dari itu, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia
serta semakin menipisnya sumberdaya alam di darat; maka permintaan manusia terhadap
bahan pangan, serat (sandang), kayu, obat-obatan, energi, kosmetika, dan jasa-jasa
lingkungan (envrionemntal services) yang berasal dari laut bakal meningkat secara dramatis.
Dengan demikian, negara-bangsa yang kaya dengan sumberdaya alam kelautan, seperti
Indonesia, di masa depan bakal menjadi kompetitif. Asalkan pemanfaatan dan
pengelolaannya dilakukan dengan menerapkan IPTEK, manajemen profesional, akhlaq
mulia, dan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan.
Pendeknya, jika bangsa Indonesia mampu mendayagunakan sumberdaya kelautan secara
cerdas dan penuh kearifan, saya yakin kita bisa menjadi bangsa besar yang maju, adilmakmur, dan bermartabat yang dihormati secara wajar oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Tidak seperti sekarang, oleh Malaysia saja kita dilecehkan melalui kasus Ambalat, oleh
Singapura dipermainkan melalui perlindungan para pencuci uang dan koruptor yang lari dari
Indonesia ke negeri sungai tersebut. Selain fungsi ekonomi, laut juga memiliki tiga fungsi
lainnya yang sangat menentukan dinamika ekosistem bumi dan kehidupan umat manusia
yang menghuninya. Fungsi tersebut berupa: fungsi bio-ekologis; fungsi pertahanan dan
Di wilayah lautan Indonesia terdapat 182 base point atau garis pangkal yang dijadikan dasar
dalam penetapan perbatasan wilayah laut dengan sepuluh negara, yakni: India, Thailand,
Malaysia, Singapura, Vietnam, Pilipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Dari
kesepuluh negara ini, baru dengan Australia kesepakatan perbatasan ini dapat diselesaikan
secara menyeluruh, sementara dengan sembilan negara lainnya masih dalam proses
perundingan yang belum tuntas. Dari aspek ini maka pembangunan pertahanan dan
keamanan di laut menjadi sangat penting untuk memelihara dan menjaga kedaulatan negara
dan bangsa. Di sisi lain pembangunan ekonomi sumberdaya kelautan dapat mendorong
terciptanya kondisi pertahanan dan keamanan yang baik dan dinamis secara domestik,
regional dan internasional. Peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, pemanfaatan dan
pendayagunaan pulau-pulau kecil serta pembangunan berbagai infrastruktur berbasis kelautan
merupakan beberapa bagian penting dari pembangunan kelautan yang dapat menunjang
terciptanya kondisi pertahanan dan keamanan negara secara baik dan dinamis.
Laut dan kehidupan yang ada di dalamnya juga merupakan bahan penelitian dan pendidikan
yang tidak akan pernah habis-habisnya. Kegiatan pendidikan dan penelitian di bidang
kelautan memberikan manfaat yang besar dalam pemanfaatan dan pendayagunaan
sumberdaya kelautan bagi kehidupan manusia. Disamping itu, kegiatan pendidikan dan
penelitian juga bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Disinilah pentingnya
dipersiapkan sumberdaya manusia, lembaga penelitian dan pendidikan, partisipasi dan
dukungan pemerintah, swasta dan masyarakat, agar semua potensi sumberdaya kelautan
tersebut dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan bangsa dan negara
ini.
Sayangnya, kita bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan sampai akhir tahun 1999
melupakan jati diri kita sebagai bangsa maritim terbesar di dunia. Sumberdaya kelautan
hanya dipandang dengan sebelah mata. Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan sumberdaya
kelautan, dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahkan aspek
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Sebaliknya, laut dipersepsikan sebagai tempat
buangan (keranjang sampah) berbagai macam jenis limbah, baik yang berasal dari kegiatan
manusia di darat maupun di laut.
Padahal sebelum masa penjajahan, kita pernah menjadi bangsa maritim besar yang disegani
dan dihormati bangsa-bangsa lain di dunia. Sebelum masa penjajahan, Indonesia mempunyai
sejarah panjang dan gemilang di bidang kelautan. Kejayaan kerajaan-kerajaan pesisir
nusantara seperti Tarumanegara, Sriwijaya dan Majapahit menjadi bukti bahwa nenek
moyang kita pernah berjaya di laut. Kerajaan Hindu Tarumanegara pada abad ke 5M sudah
mampu berlayar mengarungi Laut Cina Selatan hingga mencapai daratan Cina. Kejayaan
kerajaan Majapahit dan Sriwijaya di laut kemudian dilanjutkan oleh Kesultanan Islam yang
merebak di hampir seluruh kepulauan Nusantara sejak abad ke 13 M seperti Kesultanan
Samudera Pasai, Darussalam di Palembang, Banten, Cirebon, Demak, dan Gresik di wilayah
barat; dan Kesultanan Bone, Goa, Ternate dan Tidore di wilayah timur Nusantara (Wahid dan
Kariawan, 2004).
Urgensi RUU Kelautan
Sejak berdirinya Dewan Maritim Indonesia (DMI) dan Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) pada akhir 1999, geliat pembangunan kelautan mulai menunjukkan hasilnya. Dari
perspektif geopolitik, hukum dan perundangan di bidang kemaritiman telah disusun dan
disempurnakan, seperti penyempurnaan UU No.9/1985 tentang Perikanan menjadi UU No.
31/2004 tentang Perikanan kemudian dilanjutkan UU No. 45/2009 tentang perikanan, Inpres
No.5/2005 tentang Pemberdayaan Pelayaran Nasional, RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir, PP
No.38/2002 tentang Garis Pangkal Indonesia dan Rencana Keppres tentang Pengelolaan
Pulau-Pulau Terluar dan Wilayah Perbatasan. Inventarisasi jumlah, penamaan, penyusunan
basis data, dan pembangunan pulau-pulau kecil pun mulai digiatkan sejak awal tahun 2000.
Berkat kerjasama sinergis antar instansi terkait, antara lain Departemen Kelautan dan
Perikanan, Bakosurtanal, Dishidros TNI-AL, Departemen Luar Negeri, dan Departemen Luar
Negeri, pada waktu itu telah berhasil mempublikasikan Peta NKRI sejak 2 Mei 2003.
Meskipun ini terlambat, karena Malaysia telah mempublikasikan peta sejenis pada tahun
1979. Dan, atas dasar peta wilayah laut 1979 inilah, Malaysia secara sepihak mengklaim
wilayah perairan Ambalat sebagai miliknya.
Selanjutnya pada masa kini setelah beberapa tahun lamanya diperjuangkan, Rancangan
Undang-Undang (RUU) Kelautan masuk dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS)
2013. Setidaknya ada beberapa pokok materi yang melatarbelakangi urgensi RUU kelautan:
Pertama, Perkembangan Dunia (Globalisasi) yang terkait dengan isu kelautan menuntut cara
pandang baru yang sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS ( Unitet Nations Convention On
The Law of The Sea ), seperti adanya penentuan Zona tambahan. Sementara itu, Indonesia
sebagai salah satu negara kelautan di dunia belum memiliki aturan maupun regulasi (Ocean
Act) yang bersifat komprehensif dan tegas, yang mengatur segala permasalahan dibidang
Kelautan.
Kedua, Di Indonesia pengaturan di bidang kelautan masih terpencar-pencar di berbagai
undang-undang yang terpisah, sendiri-sendiri (parsial), dan bersifat sektoral, sehingga
berpotensi terjadinya tumpang tindih (overlapping), tidak konsisten dan membingungkan
dalam pelaksanaannya. Ketiga, Masalah Penegakan Hukum dan Keamanan di Laut saat ini
masih dipertimbangkan dengan mengedepankan lembaga/institusi khusus (coastguard), agar
menjamin harmonisasi dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Keempat, Adanya
dinamika internal di Indonesia, khususnya dalam tata pemerintahan pasca reformasi yaitu
menyangkut tentang kewenangan pengelolaan laut kepada daerah (Otonomi Daerah). Kelima,
Undang-Undang tentang Kelautan diharapkan dapat berperan sebagai : (a) Perekat dan
penyelaras undang-undang yang telah ada sebelumnya, (b) Mengisi kekosongan peraturan
dalam beberapa undang-undang sebelumnya, sehingga keseluruhan aspek kelautan yang
menyangkut kebijakan, starategi kerjasama dalam perencanaan pengelolaan/pemanfaatan dan
DAFTAR PUSTAKA
Bateman, S., and Dick Sherwood. 1995. Australias Maritime Bridge into Asia. Australia:
Royal Australian Navy. 222p.
Brown, R.L. 2003. Plan B: Rescuing a Planet under Stress and a Civilization in Trouble. New
York: Earth Policy Institute. 285p.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 412p.
Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor. 233p.
Djamil, A. S. 2004. Alquran dan Kelautan. Jakarta: Arasy Mizan. 549p.
FAO. 2012. The State of World Fisheries and Aquaculture. Rome: FAO Information Division.
Field, G, J., G. Hempel and C. P. Summerhayes. 2002. Oceans 2020: Science, trends, and the
Challenge of Sustainability. Washington: Island Press. 365p.
McKinsey Global Institute. 2012. The archipelago economy: Unleashing Indonesias
potential. 106p.
Ministry of Maritime Affairs and Fisheries Republic of Korea. 2002. Vision for Marine
Policy of Korea: Blue Revolution for the 21st Century. Seoul: International Cooperation
Office. 59p.
Till, G. 2004. Seapower: A Guide for the Twenty-First Century. Frank Cass Publisher.
London. 430p.
United Nations Development Programme (UNDP), 2011. Human Development Report 2011
Sustainability and Equity A Better Future for All. New York, USA. 185 p.
W, Abdurrahman dan H. Kariawan. 2004. Membangun Ekonomi Kelautan: Tinjauan Sejarah
dan Perspektif Ekonomi. Jakarta: Teplok Press. 128p.