Anda di halaman 1dari 17

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang luas lautannya lebih besar dari daratan.
Keadaan ini menjadikan Indonesia termasuk ke dalam Negara yang memiliki kekayaan sumber
daya perairan tinggi dengan sumber daya hayati perairan yang sangat beranekaragam.
Keanekaragaman sumberdaya perairan Indonesia meliputi sumberdaya ikan maupun
sumberdaya terumbu karang. Terumbu karang yang dimiliki Indonesia luasnya sekitar 7000 km2
dan memiliki lebih dari 480 jenis karang yang telah berhasil dideskripsikan. Luasnya daerah
karang yang ada menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki kenekaragaman ikan
yang tinggi khususnya ikan-ikan karang yaitu lebih dari 1.650 jenis spesies ikan ( Burke, Selig
dan Spalding, 2002 ).
Terumbu karang ( coral reefs ) adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang
dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan algae
berkapur. Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem khas pesisir tropis yang
memiliki berbagai fungsi penting, yaitu fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota
perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan biota perairan, tempat bermain, dan asuhan bagi
berbagai biota, fungsi ekonomis menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi
penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara,
sedangkan fungsi jasa yaitu sebagai tempat tujuan wisata bahari yang dapat memberikan
kepuasan bagi peminatnya.
Keberadaan terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan baik yang
bersifat fisik maupun kimia. Pengaruh itu dapat mengubah komunitas karang dan menghambat
perkembangan terumbu karang secara keseluruhan. Kerusakan terumbu karang pada dasarnya
dapat disebabkan oleh faktor fisik, biologi dan karena aktivitas manusia. Terumbu karang
memiliki fungsi biologi fisik yang penting dalam zona psisir tropis. Terumbu karang memproteksi
garis batas pesisir dari sebuah pulau dan benua dari ombak samudra, terumbu karang juga
memberikan kesempatan bagi perkembangan basin sedimen dangkal dan mangrove yang
terkait, serta komunitas lamun. Sebagai hasil dari tingkat produktivitasnya yang tinggi, terumbu
karang telah menjadi basis dari penghidupan, keamanan, dan budaya masyarakat pesisir serta
komunitas laut pada wilayah tropis ( Craik et al, 1990 dalam Nganro, 2009 ).
Terumbu karang juga merupakan salah satu sumber daya ikan yang mempunyai sifat
dapat pulih kembali ( renewable ) namun kemampuan untuk pulih kembali sangat terbatas. Di
segi lain sumber daya terumbuu karang sebagai suumber daya yang bersifat open access atau
milik umum ( common properties ) yang dalam pemanfaatannya orang cenderung berlombalomba untuk mengambil sebanyak-banyaknya, tanpa berpedoman pada kaidah-kaidah
pelestarian sumber daya alam ( Dahuri, 2003 ).
Kekayaan sumberdaya hayati perairan Indonesia yang tinggi akan sangat bermanfaat jika
dilakukan pemanfaatan secara optimal dan bertanggung jawab. Pemanfaatan sumber daya
hayati perairan ini dapat dilakukan melalui proses penangkapan dan pembudidayaan.
Penangkapan ikan yang dilakukan adalah proses pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
bersifat ekonomis dari perairan secara bertanggung jawab.
Dalam melakukan proses penangkapan, nelayan harus mengikuti peraturan dan
undang-undang yang berlaku. Peraturan dan undang-undang ini menjadi asas dan standar
mengenai pola perilaku bagi nelayan dalam praktek penangkapan yang bertanggung jawab
dalam pengusahaan sumberdaya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya
aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan epektif sumber daya hayati akuatik
berkenaan dengan pelestarian.
Penangkapan ikan yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan merupakan tuntutan
zaman, mengingat semakin tingginya kerusakan ekosistem laut dan menurunnya sumberdaya
kelautan dan perikanan. Pemanfaatan dan pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

yang serampangan akan mengganggu keseimbangan ekosistem dan pada akhirnya akan
berdampak pula terhadap keselamatan umat manusia di muka bumi ini. Di dalam
memanfaatkan dan mengelola Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, masyarakat telah
mengembangkan berbagai jenis teknologi penangkapan baik yang berskala tradisional maupun
modern. Karena permintaan pasar akan komoditi perikanan dan kelautan yang bernilai
ekonomis penting, perkembangan teknologi dan pola penangkapan masyarakat kadang kala
kurang memperhatikan aspek keberlanjutan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.
Penggunaan bom, potassium sianida dan illegal fishing merupakan potret hitam aktivitas
masyarakat di wilayah kepulauan untuk memenuhi kebutuhan pasar baik lokal, regional dan
internasional. Implikasi dari kegiatan tersebut, terjadinya kerusakan lingkungan dan
menurunnya Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, misalnya kerusakan terumbu karang dan
terjadinya overfishing untuk berbagai jenis Sumber Daya Kelautan dan Perikanan di dalam
wilayah perairan Indonesia.
Menurut Suharsono ( 1995 dalam Tuwo, 2011 ), dari hasil pengamatan pada 325 stasiun yang
tersebar di seluruh Indonesia, hanya 7 % terumbu karang Indonesia dalam kondisi sangat baik,
22 % dalam kondisi baik, 28 % dalam kondisi sedang dan 43 % dalam kondisi miskin.
Proses pemanfaatan sumber daya perikanan di Indonesia khususnya untuk ikan-ikan
karang saat ini banyak yang tidak sesuai dengan peraturan dan undang-undang. Hal ini
disebabkan semakin bertambahnya kebutuhan dan permintaan pasar untuk ikan-ikan karang
serta persaingan yang semakin meningkat. Keadaan tersebut menyebabkan nelayan
melakukan kegiatan eksploitasi terhadap ikan-ikan karang secara besar-besaran dengan
menggunakan berbagai cara yang tidak sesuai dengan kode etik perikanan yang bertanggung
jawab. Cara yang umumnya digunakan oleh nelayan adalah melakukan illegal fishing yang
meliputi pemboman, pembiusan, dan penggunaan alat tangkap trawl. Semua cara yang
dilakukan oleh nelayan ini semata-mata hanya menguntungkan untuk nelayan dan memberikan
dampak kerusakan bagi ekosistem perairan khususnya terumbu karang. Didalam peraturan
Kementerian Kelautan dan Perikanan nomor KEP.38/MEN/2004, tentang Pedoman Umum
Pengelolaan Terumbu Karang, dikatakan bahwa eksploitasi sumber daya alam secara besarbesaran tanpa mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas
lingkungan hidup, termasuk terumbu karang. Degradasi terumbu karang dapat ditimbulkan oleh
dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia dan akibat alam.
Pentingnya terumbu karang yang merupakan tempat hidup banyak organisme dan
memiliki bermacam-macam fungsi baik untuk organisme yang hidup di terumbu karang maupun
untuk manusia sebagai tempat wisata bahari, olahraga selam dan tempat penelitian untuk
akademisi, dipandang perlu untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang tersebut.
Sebagaimana dijelaskan dalam peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan nomor
KEP.38/MEN/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang, terumbu karang
dan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang
bernilai tinggi. Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan
beragam, baik manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung antara lain
sebagai habitat ikan dan biota lainnya, pariwisata bahari, dan lain-lain. Sedangkan manfaat
tidak langsung, antara lain sebagai penahan abrasi pantai, dan pemecah gelombang.
Rusaknya terumbu karang memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan
manusia, khususnya nelayan. Oleh karena itu dalam menjaga ekosistem terumbu karang perlu
adanya pemanfaatan yang lestari, serta sangat diperlukan kegiatan konservasi bagi terumbu
karang yang telah rusak. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan mutu kehidupan manusia ( Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ). Meskipun banyaknya
peraturan dan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam

dan lingkungan hidup, serta pengelolaan terumbu karang agar pemanfaatan yang dilakukan
tidak merusak ekosistem di dalamnya, akan tetapi kegiatan merusak terumbu karang (illegal
fishing, potassium dan penggunaan bom) masih terjadi hingga sekarang. Kondisi seperti ini
perlu diatasi sedini mungkin, supaya tidak menimbulkan dampak yang lebih besar di masa
mendatang.
Adanya peraturan dan undang-undang yang mengatur tidak akan ada perubahan
apabila tidak disertai dengan sanksi yang tegas, peran serta masyarakat, pemerintah daerah
dan lembaga-lembaga lainnya agar terciptanya kelestarian lingkungan perairan. Oleh karena
itu, untuk mengingatkan dan menjaga terumbu karang, ada baiknya kita melihat manfaat dan
fungsi terumbu karang baik bagi ekosistem perairan maupun untuk manusia sebagai pelaku
pemanfaatan dan pengelolanya, serta perlu dilihat juga kondisi terumbu karang yang terancam
rusak sehingga penulis tertarik melakukan pembahasan ekosistem terumbu karang dalam
ancaman, mudah-mudahan hasil dari makalah ini dapat berguna untuk kita semua.
Bab 3. Pembahasan
II. EKOSISTEM TERUMBU KARANG
2.1 Terumbu Karang
Menurut pendapat Thamrin ( 2006 ), mengatakan bahwa menurut bentuknya terumbu
karang dibagi menjadi tiga, ketiga bentuk terumbu karang tersebut adalah sebagai berikut:
fringing reef ( terumbu karang tepi ), barier reef ( terumbu karang penghalang ) dan atoll
( terumbu karang berbentuk cincin atau melingkar ). Terumbu karang terbentuk dari endapanendapan masif kalsium karbonat ( CaCO3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang
pembentuk terumbu ( karang hermartipik dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup
bersimbiosis dengan zooxzntellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme
lain yang menyekresi kalsium karbonat ( Bengen, 2002 ). Menurut Dahuri ( 2003 ), bahwa
hewan karang termasuk kelas Anthozoa, yang berarti hewan berbentuk bunga ( Antho artinya
bunga; zoa artinya hewan ). Lebih lanjut dikatakan bahwa Aristoteles mengklasifikasikan hewan
karang sebagai hewan-tumbuhan ( animal plant ). Baru pada tahun 1723, hewan karang
diklasifikasikan sebagai binatang. Menurut Dahuri ( 2003 ), kemampuan menghasilkan terumbu
ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang
hermatifik yang di namakan zooxanthellae. Sel-sel yang merupakan sejenis algae tersebut
hidup di jaringan-jaringan polyp karang, serta melaksanakan fotosintesis. Hasil samping dari
aktivitas fotosintesis tersebut adalah endapan kalsium karbonat ( CaCO3 ), yang struktur dan
bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies
binatang karang.
Terumbu karang memiliki peranan sebagai sumber makanan, habitat biota-biota laut
yang bernilai ekonomis tinggi. Nilai estetika yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan
pariwisata dan memiliki cadangan sumber plasma nutfah yang tinggi. Selain itu juga dapat
berperan dalam menyediakan pasir untuk pantai, dan sebagai penghalang terjangan ombak
dan erosi pantai. Menurut Sawyer ( dalam Dahuri 2003 ), bahwa terumbu karang diidentifikasi
sebagai sumberdaya yang memiliki nilai konservasi yang tinggi karena memiliki
keanekaragaman biologis yang tinggi, keindahan, dan menyediakan cadangan plasma nutfah.
Eksploitasi sumber daya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara besar-besaran
tanpa mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan
hidup di wilayah tersebut, termasuk terumbu karang. Menurut hasil penelitian Pusat
Pengembangan Oseanologi ( P2O ) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000 ( dalam Sudiono
2008 ), kondisi terumbu karang Indonesia 41,78% dalam keadaan rusak, 28,30 % dalam
keadaan sedang, 23,72 % dalam keadaan baik, dan 6,20 % dalam keadaan sangat baik. Hal ini

menunjukkan telah terjadi tekanan yang cukup besar terhadap keberadaan terumbu karang di
indonesia pada umumnya oleh beberbagai ancaman dan faktor-faktor penyebab kerusakan.
2.11 Wilayah Sebaran Terumbu karang
Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di
wilayah Indo-Pasifik. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia
adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia
sampai Kawasan Timur Indonesia (Walters 1994 dalam Suharsono, 1998). Menurut Patria
(2011), penyebaran terumbu karang terbatas hanya di antara 300 LU dan 300 LS atau daerah
tropika dan subtropika dengan total luas sekitar 617.000 km2. Lautan yang memiliki terumbu
karang paling luas adalah Samudra Pasifik dengan 335.000 km2, kemudian Samudra Hindia
(185.000 km2), dan terakhir Samudra Atlantik (87.000 km2). Seperti telah dijelaskan, bahwa
faktor suhu yang menyebabkan penyebaran terumbu karang hanya di daerah perairan yang
panas. Ada tiga pengelompokan keanekaragaman jenis terumbu karang, yaitu Indo-pasifik,
Samudra Hindia dan Karibia (Timur Atlantik). Patria (2012), selanjutnya mengatakan bahwa di
daerah tropika pantai lautan Atlantik sangat sedikit terdapat terumbu karang. Pada pantai
Atlantik timur (pantai Afrika) terdapat arus dingin yang mengalir sepanjang pantai menuju utara.
Sedangkan pada pantai barat Atlantik (Pantai Amerika Selatan) terdapat muara sungai-sungai
besar yang membuat salinitas dan kekeruhan air laut tidak sesuai untuk kehidupan karang.
Keanekaragaman jenis karang paling tinggi di perairan Indo-Pasifik dengan 88 genera
sedangkan di Karibia hanya 48 jenis. Tingginya keanekaragaman jenis di Indo-Pasifik terjadi
karena luasnya daerah tersebut dengan percampuran dari jenis Samudra Hindia
2.12 Fungsi Terumbu Karang
Terumbu karang memiliki peranan sebagai sumber makanan, habitat biota-biota laut
yang bernilai ekonomis tinggi. Nilai estetika yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan
pariwisata dan memiliki cadangan sumber plasma nutfah yang tinggi. Selain itu juga dapat
berperan dalam menyediakan pasir untuk pantai, dan sebagai penghalang terjangan ombak
dan erosi pantai. Menurut Sawyer ( dalam Dahuri 2003 ), terumbu karang diidentifikasi sebagai
sumber daya yang memiliki nilai konservasi yang tinggi karena memiliki keanekaragaman
biologis yang tinggi, keindahan, dan menyediakan cadangan plasma nutfah. Lebih lanjut
dikatakan bahwa oleh Ruinteenbeek ( dalam Sawyer 1992 dalam Dahuri, 2003 ) bahwa nilai
ekonomi terumbu karang diperkirakan setengah dari nilai ekonomi hutan tropik basah, yaitu
sebesar AS $ 1.500 km2 pertahun.
Terumbu karang mempunyai nilai dan arti yang penting baik dari segi sosial ekonomi
amupun budaya masyarakat yang tinggal di pesisir, karena hampir sepertiga penduduk
Indonesia yang tinggal di pesisir menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dangkal, yang
umumnya menggunakan cara-cara tradisional dan terbatas dalam mengeksploitasi sumber
daya perairan. Suharsono ( dalam Ramli, 2003 ) menyatakan bahwa terumbu karang juga
berfungsi sebagai daerah rekreasi baik rekreasi pantai maupun bawah laut dan juga dapat di
manfaatkan sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta sebagai tempat perlindungan biotabiota laut. Banyaknya fungsi dari terumbu karang bagi biota laut yang hidup di terumbu karang
tersebut serta bagi kehidupan manusia menjadikan terumbu karang sebagai salah satu
ekosistem yang harus dijaga kelestariannya. Dalam menjaga kelestarian terumbu karang
tidaklah mudah, karena semakin berkembangnya zaman maka penggunaan alat tangkap
dengan teknologi yang tidak ramah lingkungan semakin banyak digunakan oleh nelayan karena
hanya mementingkan hasil tangkapan dibandingkan dengan kelestarian alam atau ekosistem
terumbu karang.

Fungsi terumbu karang menurut Nybakken ( 1992 ) merupakan sumber daya yang sangat
tinggi; sebanyak 132 jenis ikan yang bernilai ekonomi di Indonesia dengan 32 jenis diantaranya
hidup pada terumbu karang dan melindungi pantai dari abrasi dan erosi. Strukturnya yang
keras dapat menahan gelombang dan arus sehingga dapat mencegah rusaknya dua ekosistem
perairan dangkal lainnya, seperti lamun dan mangrove.
2.13 Flora dan Fauna Terumbu Karang
Kesuburan yang dimiliki oleh ekosistem terumbu karang membuat ketertarikan bagi flora
dan fauna akuatik. Dimana pada ekosistem terumbu karang banyak flora dan fauna yang hidup
dan berkembang biak sehingga terumbu karang memiliki keragaman jenis flora dan fauna yang
sangat tinggi. Adapun flora dan fauna yang sering di jumpai di terumbu karang seperti :
tumbuhan dari jenis algae, ikan karang ( jenis kerapu ), kerang, lobster, penyu, teripang dan
lain-lain. Tuwo ( 2011 ), menyatakan bahwa ekosistem terumbu karang merupakan habitat bagi
berbagai jenis flora di perairan, berupa ganggang dan rumput laut, seperti : Algae koralin, Algae
hijau berkapur, dan lamun. Pada ekosistem terumbu karang juga hidup beragam fauna
perairan, seperti : (1) beragam avertebara atau hewan tak bertulang belakang seperti karang
batu, juga berbagai krustacea, siput dan kerang-kerangan, echinodermata, seperti : bulu babi,
Anemon laut, teripang, bintang laut dan Lilia laut; (2) beragam ikan, seperti ikan karnivora
oportunistik, herbivora, omnivora dan planktovora; dan (3) reptile, seperti : ular laut dan penyu
laut. Menurut Dahuri ( 2003 ) bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang
memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat pemijahan (spawning ground),
pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan (feeding ground), dari kebanyakan ikan.
Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan di daerah terumbu karang sangat tinggi. Menurut
Dawes (1981 dalam Supriharyono, 2007), bahwa banyak organisme-organisme lain seperti
ikan, kerang, lobster, penyu yang juga berasosiasi di ekosistem terumbu karang. Tinggi
produktivitas organik atau produktivitas primer pada terumbu karang, menurut Dahuri ( 2003 ),
bahwa hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam
sistem dan berperan sebagai kolam untuk penampung segala masukan dari luar. Setiap nutrien
yang dihasilkan oleh karang sebagai hasil metabolism dapat digunakan langsung oleh
tumbuhan tanpa mengedarkannya terlebih dahulu kedalam perairan.
2.2 Manfaat Terumbu Karang
Di dalam Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38 / MEN / 2004
tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang juga di jelaskan secara umum tentang
manfaat terumbu karang sebagai berikut: (1) pelindung pantai dari angin, pasang surut, arus
dan badai; (2) sumber plasma nutfah dan keanekaragaman hayati yang diperlukan bagi industri
pangan, bioteknologi dan kesehatan; (3) tempat hidup ikan-ikan, baik ikan hias maupun ikan
target, yaitu ikan-ikan yang tinggal di terumbu karang; (4) tempat perlindungan bagi organisme
laut; (5) penghasil bahan-bahan organik sehingga memiliki produktivitas organik yang sangat
tinggi dan menjadi tempat mencari makan, tempat tinggal dan penyamaran bagi komunitas
ikan; (6) bahan konstruksi jalan dan bangunan, bahan baku industri dan perhiasan, seperti
karang batu;
(7) merupakan daerah perikanan tangkap dan wisata karang, yang secara
sosial ekonomi memiliki potensi yang tinggi; (8) perlindungan pantai terhadap erosi gelombang.
Manfaat yang terkandung dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik
manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung antara lain sebagai habitat ikan
dan biota lainnya, pariwisata bahari, dan lain-lain. Sedangkan manfaat tidak langsung antara
lain sebagai penahan abrasi pantai dan pemecah gelombang. Terumbu karang adalah salah
satu ekosistem laut yang paling penting sebagai sumber makanan, habitat berbagai jenis biota

komersial, menyokong industry pariwisata, menyediakan pasir untuk pantai dan sebagai
penghalang terjangan ombak dan erosi pantai ( Westmacoot et al 2000 dalam Sudiono 2008 ).
Menurut Nybakken ( 1992 ), manfaat dari terumbu karang sebagai komoditas ekspor yang
bernilai ekonomi tinggi, sebagai sumber ekonomi wilayah dengan mendirikan pusat
penyelaman, restoran hingga penginapan dan sebagai laboratorium alam penunjang penelitian
dan pendidikan.
III. DAMPAK KERUSAKAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG
3.1 Kegiatan Terkait Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat sensitif. Oleh karen itu terumbu
karang sangat mudah rusak. Kerusakan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang
disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penangkapan, pertambangan, pembangunan dan
lain sebagainya. Beberapa dari kegiatan ini ada yang mengakibatkan kerusakan bagi terumbu
karang seperti penangkapan dengan menggunakan bahan peledak ( bom ). Selain itu,
kerusakan juga dapat disebabkan oleh faktor alam seperti tsunami, banjir dan lain-lain.
Didalam peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan nomor KEP.38/MEN/2004 tentang
Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang, dikatakan bahwa kegiatan manusia yang
menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang antara lain: (1) penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan dan/atau alat yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan
lingkungannya; (2) penambangan dan pengambilan karang; (3) penangkapan yang berlebih; (4)
pencemaran perairan; (5) kegiatan pembangunan di wilayah pesisir; (6) kegiatan pembangunan
di wilayah hulu. Sedangkan kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh alam antara lain:
(1) pemanasan global; (2) bencana alam seperti angin taufan; (3) gempa tektonik; (4) banjir; (5).
tsunami, serta fenomena alam lainnya.
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap perubahan yang
terjadi di lingkungan sekitarnya termasuk gangguan yang berasal dari kegiatan manusia dan
pemulihannya memerlukan waktu yang lama.
Burke et al, ( 2002 ), mengatakan bahwa
terdapat beberapa penyebab kerusakan terumbu karang yaitu : (1) pembangunan wilayah
peisisir yang tidak di kelola dengan baik; (2) aktivitas di laut antara lain dari kapal dan
pelabuhan termasuk akibat langsung dari pelemparan jangkar kapal; (3) penebangan hutan dan
perubahan tata guna lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi; (4) penangkapan ikan
secara berlebihan memberikan dampak terhadap keseimbangan yang harmonis di dalam
ekosistem terumbu karang; (5) penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bom; (6)
perubahan iklim global.
3.2 Dampak Kerusakan Terumbu Karang
Rusaknya ekosistem terumbu karang memiliki dampak yang sangat besar bagi organisme yang
hidup di perairan. Selain berdampak pada organisme perairan, kerusakan ekosistem terumbu
karang juga berdampak pada manusia terutama yang berprofesi sebagai nelayan. Kerusakan
terumbu karang juga dapat menyebabkan abrasi pantai, berkurangnya keanekaragaman
sumber daya aquatik dan kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan. Kerusakan terumbu
karang dapat berupa kerusakan biologi diakibatkan oleh kerapatan bulu babi, kerusakan fisik
seperti patahan terumbu karang, erosi dan perubahan suhu, dan kerusakan kimia yang
diakibatkan oleh tumpahan minyak atau oli.
3.21 Ketahanan pantai

Abrasi pantai adalah pengikisan yang terjadi akibat adanya gelombang yang kuat sehingga
menyebabkan pasir di pesisir pantai terbawa oleh gelombang ke laut. Kondisi seperti ini
memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat yang rumahnya berada di pesisir
pantai, karena kehidupan mereka akan terancam apabila terjadi abrasi pantai yang akan
mengakibatkan pohon-pohon besar yang hidup di pesisir pantai tumbang karena akar-akarnya
keluar dan tidak mampu lagi menyokongnya.
Selain masyarakat pesisir pantai, kondisi seperti ini juga berpengaruh bagi para pengunjung
yang ingin menikmati pemandangan pantai yang begitu nyaman dan asri. Ketakukan
pengunjung memberi pengaruh besar bagi masyarakat, karena ada sebagian besar masyarakat
pesisir pantai memanfaatkan suasana pantai sebagai mata pencaharian mereka. Karena
banyaknya pengunjung yang datang, masyarakat ada yang berprofesi sebagai pedagang untuk
kebutuhan para pengunjung.
Apabila telah terjadi abrasi yang besar, kondisi pantai akan berubah. Salah satu penyebab
abrasi adalah rusaknya struktur terumbu karang. Sebagaimana kita ketahui pada perairan
dangkal yang dekat dengan pesisir pantai, fungsi terumbu karang bukan hanya sebagai tempat
hidup ikan-ikan karang, akan tetapi terumbu karang juga dapat berfungsi sebagai menahan
gelombang atau pemecah gelombang. Sebagaimana dikatakan bahwa manfaat tidak langsung
dari terumbu karang, antara lain sebagai penahan abrasi pantai, dan pemecah gelombang
( Kementerian Kelautan dan Perikanan nomor KEP.38/MEN/2004 tentang
Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang ). Adanya terumbu karang dapat mengurangi
kekuatan gelombang yang menuju ke pesisir pantai sehingga dapat mengurangi abrasi. Apabila
kondisi terumbu karang telah rusak, maka kemampuan terumbu karang untuk menahan
gelombang akan berkurang dan bahkan tidak dapat berfungsi lagi untuk menahan gelombang
yang akhirnya dapat mengakibatkan abrasi pantai. Terumbu karang, khususnya terumbu karang
tepi dan penghalang, berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan
arus kuat yang berasal dari laut ( Bengen, 2002 ).
3.22 Keanekaragaman sumber daya akuatik
Suburnya ekosistem terumbu karang menjadikan wilayah ini memiliki keanekaragaman sumber
daya akuatik (Gambar 4). Selain kesuburannya, organisme akuatik juga memanfaatkan
terumbu karang sebagai tempat tinggal mereka, tempat pemijahan dan lain-lain. Menurut
Dahuri ( 2003 ) bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan
perairan ini sering merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery
ground), dan mencari makan (feeding ground), dari kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara
otomatis produksi ikan di daerah terumbu karang sangat tinggi. Menurut Dawes ( 1981, dalam
Supriharyono, 2007 ), bahwa banyak organisme-organisme lain seperti ikan, kerang, lobster,
penyu yang juga berasosiasi di ekosistem terumbu karang. Dengan demikian kelestarian
terumbu karang sangat penting guna menjaga keanekaragaman sumber daya aquatik yang
terdapat di dalamnya.
Keanekaragaman sumberdaya perairan Indonesia meliputi sumberdaya ikan maupun
sumberdaya terumbu karang. Terumbu karang yang dimiliki Indonesia luasnya sekitar 7000 km2
dan memiliki lebih dari 480 jenis karang yang telah berhasil dideskripsikan. Luasnya daerah
karang yang ada menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki kenekaragaman ikan
yang tinggi khususnya ikan-ikan karang yaitu lebih dari 1.650 jenis spesies ikan ( Burke et al,
2002 ).
Menurut Tuwo ( 2011 ), bahwa ekosistem terumbu karang merupakan habitat bagi berbagai
jenis flora di perairan, berupa ganggang dan rumput laut, seperti : Algae koralin, Algae hijau

berkapur, dan lamun. Pada ekosistem terumbu karang juga hidup beragam fauna perairan,
seperti : (1) beragam avertebara atau hewan tak bertulang belakang seperti karang batu, juga
berbagai krustacea, siput dan kerang-kerangan, echinodermata, seperti : bulu babi, Anemon
laut, teripang, bintang laut dan Lilia laut; (2) beragam ikan, seperti ikan karnivora oportunistik,
herbivora, omnivora dan planktovora; dan (3) reptile, seperti : ular laut dan penyu laut.
Keanekaragaman sumber daya akuatik yang berada di terumbu karang akan terancam punah,
apabila pola pemanfaatan yang di lakukan tidak ramah lingkungan. Menurut Tuwo ( 2011 ),
tingginya nilai ekonomis ikan karang memicu masyarakat untuk untuk melakukan penangkapan
dalam jumlah besar dengan menggunakan alat tangkap yang merusak ekosistem karang,
seperti : pengeboman dan penggunaan racun sianida. Aktivitas penangkapan ikan secara
besar-besaran dapat menyebabkan ketidakseimbangan jaring makanan pada ekosistem
karang.
Selanjutnya Tuwo ( 2011 ), mengatakan bahwa pada suatu ekosistem yang stabil terjadi
interaksi yang konsisten antar spesies dan populasi yang mendiaminya, terutama dalam hal
jaring makanan, sehingga keanekaragamannya akan tinggi. Jika jaring makanan terganggu
akibat punahnya salah satu jenis populasi, dapat berakibat terganggu atau tidak konsistennya
aliran energi atau makanan dalam jaring makanan, sehingga memicu terjadinya
ketidakseimbangan atau kestabilan. Dampak dari ketidakseimbangan ini akan menjadikan
jaring makanan ekosistem akan menjadi sederhana yang akan menyebabkan menurunnya
keanekaragaman sumber daya akuatik.
3.23 Kondisi sosial dan ekonomi nelayan
Berbicara tentang wilayah pesisir tidak luput dari masalah sosial dan ekonomi masyarakat yang
hidup dan bertempat tinggal di pesisir. Kebanyakan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat
pesisir selalu berada pada garis kemiskinan, padahal mereka berada pada wilayah yang sangat
kaya akan sumber daya alam. Salah satu penyebabnya adalah pola hidup mereka yang belum
teratur dengan baik.
Kerusakan terumbu karang semakin lama akan meningkat apabila dalam melakukan kegiatan
pemanfaatan sumber daya hayati laut tidak mempertimbangkan kelangsungan terumbu karang
ke depan. Seiring dengan meningkatnya berbagai akitivitas pemanfaatan sumber daya pesisir
dan laut, sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk di suatu wilayah kepulauan, akan
menimbulkan berbagai ancaman terhadap kondisi terumbu karang di kawasan tersebut.
Rusaknya terumbu karang pada kawasan kepulauan akan mengancam produktivitasnya sekecil
apapun tingkat kerusakan tersebut. Pada akhirnya kerusakan tersebut memiliki konsekuensi
sosial dan ekonomi yang serius bagi masyarakat, khususnya nelayan tradisonal yang
bergantung pada sumber daya terumbu karang. Mengingat justru mereka inilah yang seringkali
hidup di bawah garis kemiskinan.
Rusaknya terumbu karang di suatu wilayah kepulauan akan memberikan dampak yang sangat
besar, karena terumbu karang merupakan daerah yang paling subur di perairan. Hal ini dapat
dilihat dengan banyaknya spesies yang hidup di daerah terumbu karang yang masih terjaga
dengan baik. Sebagaimana manusia, hewan juga membutuhkan tempat yang nyaman dan
aman untuk kelangsungan hidup mereka. Apabila tempat hidup mereka sudah terganggu, maka
spesies yang ada di terumbu karang tersebut akan pergi ketempat yang lebih aman dan
nyaman untuk kelangsungan hidup mereka.
Pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang yang sangat lambat dan sensitifitas terhadap
lingkungan yang sangat tinggi membuat terumbu karang mudah mengalami kerusakan atau

kepunahan. Keberadaan terumbu karang juga merupakan jaminan keberadaan ikan-ikan


karang baik ikan hias maupun ikan konsumsi dengan nilai ekonomi tinggi. Menurunnya
keberadaan terumbu karang secara otomatis akan mengurangi keberadaan ikan-ikan karang
tersebut.
Berkurangnya jumlah ikan pada terumbu karang yang rusak akan mengurangi pendapatan para
nelayan, karena kerusakan tersebut mengakibatkan ikan-ikan akan meninggalkan terumbu
karang tersebut dan sebagian lagi akan mati apabila daya tahan tubuh mereka tidak mampu
mengatasi perubahan ekosistem tempat tinggal mereka. Perkiraan produksi perikanan
tergantung pada kondisi terumbu karang. Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik
mampu menghasilkan sekitar 18 ton ikan per km2 per tahun, terumbu karang dalam kondisi
baik mampu menghasilkan 13 ton ikan per km2 per tahun, dan terumbu karang dalam kondisi
yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton ikan per km2 per tahun ( Suharsono, 1996 ).
Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan bagi nelayan. Oleh karena itu, perlu dilakukannya
pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan yang berklanjutan agar ekonomi masyarakat
nelayan terjaga dengan baik. Menurut Westmacott et al ( dalam Sudiono, 2008 ), mengatakan
bahwa tindakan-tindakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan adalah suatu tantangan,
dengan banyaknya jumlah orang yang terlibat, banyak diantaranya tanpa sumber pendapatan
atau protein alternatif. Banyak komunitas lokal akan memiliki sedikit pilihan mata pencaharian
dan kecil kemungkinan untuk beradaptasi dengan kondisi yang baru. Meningkatnya pengertian,
kerjasama dan perasaan memiliki dalam komunitas setempat adalah amat penting.
Mengembangkan mata pencaharian pilihan bagi komunitas nelayan bila diperlukan.
Dengan demikian nelayan yang biasanya hanya membutuhkan waktu yang singkat untuk
memperoleh hasil tangkapan yang banyak akan menjadi lebih susah karena terumbu karang
yang berada di daerah yang dekat dengan tempat tinggal mereka telah rusak sehingga mereka
membutuhkan waktu yang lama untuk menuju ke daerah penangkapan ( fishing ground ).
Dengan kondisi yang demikian, pendapatan yang biasa mereka terima akan berkurang serta
kondisi sosial dan ekonomi mereka tidak akan berubah.
IV. UPAYA ( STRATEGI ) PENURUNAN KERUSAKAN TERUMBU KARANG
4.1 Konservasi atau Pelestarian Terumbu Karang
Definisi kawasan konservasi laut menurut IUCN ( dalam Supriharyono, 2007 ), adalah suatu
kawasan laut atau paparan subtidal, termasuk perairan yang menutupinya, plora, fauna, sisi
sejarah dan budaya, yang terkait di dalamnya, dan telah dilindungi oleh hukum dan peraturan
lainnya untuk melindungi sebagian atau seluruhnya lingkungan tersebut. Menurut Bengen
( 2002 ), bahwa salah satu upaya perlindungan ekosistem pesisir dan laut adalah dengan
menetapkan suatu kawasan di pesisir dan laut sebagai kawasan konservasi yang antara lain
bertujuan untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan dan meningkatkan kualitas
sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati dan melindungi proses-proses ekologi.
Konservasi atau pelestarian terumbu karang sangat penting dilakukan, mengingat adanya
terumbu karang yang rusak oleh kegiatan manusia yang memanfaatkan berbagai macam cara
untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan melakukan penangkapan yang tidak bertanggung
jawab yang menimbulkan dampak yang begitu besar di masa yang akan datang. Konservasi
atau pelestarian terumbu karang ini berfungsi untuk mengembalikan ekosistem terumbu karang
yang telah rusak pada keadaan sebelumnya.

Secara umum, konservasi terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya seringkali mengalami
kesulitan dalam pelaksanannya. Kendala yang dihadapi umum dalam pengelolaan terumbu
karang adalah bahwa degradasi tidak hanya disebabkan oleh perbuatan manusia, tetapi juga
karena berbagai peristiwa alam. Selain itu faktor yang mendorong percepatan kerusakan
terumbu karang karena tidak jarang disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan dengan cara
yang merusak, bahan pencemar serta sedimen yang berasal dari kegaitan-kegiatan
disepanjang daerah-daerah aliran sungai, dan pengambilan karang untuk bahan baku
konstruksi jalan dan bangunan.
Konservasi atau pelestarian terumbu karang memiliki peran penting bagi masyarakat pesisir,
dimana dengan adanya kegiatan ini, ekosistem terumbu karang akan kembali berfungsi
sebagaimana biasanya. Kembalinya fungsi ekosistem terumbu karang memberikan dampak
positif bagi masyarakat setempat. Hal ini dapat di lihat dari besarnya pengaruh terumbu karang
bagi kehidupan yang berada disekitarnya. Bagi masyarakat nelayan dengan adanya terumbu
karang yang bagus, kegiatan penangkapan yang dilakukan akan lebih mudah.
Kawasan konservasi pada dasarnya merupakan gerbang terakhir perlindungan dan
pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya kelautan dan ekosistemnya. Melalui cara tersebut
diharapkan upaya perlindungan secara lestari terhadap sistem penyangga kehidupan,
pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam
laut secara berkelanjutan.
Kawasan Konservasi Laut adalah perairan pasang surut termasuk kawasan pesisir dan pulaupulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan didalamnya, serta termasuk bukti peninggalan
sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang
efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut (Departemen Kelautan
dan Perikanan, 2006). Menurut Salm et al ( dalam Bengen, 2002 ), bahwa hasil dari sebuah
perencanaan lokasi kawasan konservasi adalah rencana pengelolaan lokasi kawasan
konservasi. Sebagai tahapan awal dari perencanaan lokasi, diperlukan suatu rencana
pendahuluan dari pemilihan lokasi yang berisi kebijakan yang diperlukan untuk
implementasikan, sasaran program dan kerangka strategi dasar untuk mencapai sasaran
utama.
Oleh karena itu menjadi sangat penting artinya kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan terumbu
karang dengan menerapkan prinsip-prinsip sistem pengelolaan Kawasan Konservasi Laut ( KKL
) melalui keterpaduan, partisipasi, multi stakeholders. Upaya perlindungan atau konservasi
sumberdaya alam ini dilakukan dengan cara menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi
keanekaragaman jenis biota laut, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya.
4.11 Kelembagaan
Dalam upaya mengatasi masalah ancaman kerusakan terhadap terumbu karang, perlu adanya
peran serta masyarakat di daerah pesisir, karena masyarakat pesisirlah yang berhubungan
langsung dengan terumbu karang. Selain dari peran masyarakat, pemerintah juga harus ikut
mempogramkan kegiatan dalam menjaga terumbu karang. Kegiatan tersebut dapat bersifat
konsultasi dengan masyarakat atau dengan mengadakan sosialisasi tentang program
penyadaran masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang. Selain itu peran serta suatu
lembaga dalam melestarikan ekosistem terumbu karang juga tidak kalah pentingnya, karena
selain pemerintah daerah, lembaga-lembaga yang ada di suatu daerah seperti LSM dan yang
lainnya dapat membantu agar program kerja untuk melestarikan terumbu karang dapat berjalan
dengan baik.

Yuniarti ( 2007 ), menyatakan bahwa berbagai program penyadaran masyarakat terhadap


kelestarian ekosistem terumbu karang telah dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan
lembaga swadaya masyarakat. Namun hal ini tampaknya belum dirasa cukup, mengingat
tingkat kemajemukan masyarakat kita, sehingga di perlukan bentuk program penyadaran
masyarakat dalam kemasan yang beragam.
Selanjutnya menurut Yuniarti ( 2007 ), diantara program penyadaran masyarakat tersebut, yang
sudah berlangsung adalah Program Pantai dan Laut Lestari, yang salah satu kegiatannya
adalah Terumbu Karang dan Mangrove Lestari ( TEMAN Lestari ) dan Coral Reef Rehabilitation
and Management Program ( COREMAP ), yang bertujuan untuk meningkatkan kwalitas dan
fungsi ekosistem terumbu dan hasil guna terumbu karang serta meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap kelestarian ekkosistem tersebut.
Menurut Mitchell et al ( dalam Sudiono, 2008 ), usaha konsultasi dengan masyarakat
wilayahnya yang terkena kebijakan program dimungkinkan untuk
(1) merumuskan
persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan
dunia ilmiah, (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat
diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga
memudahkan penerapan.
4.12 Kebijakan Pemerintah
Dalam hal pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, sudah banyak kebijakankebijakan yang di buat oleh pemerintah, akan tetapi didalam penerapan kebijakan tersebut tidak
setegas peraturannya. Hal ini dapat dilihat masih adanya nelayan yang meggunakan alat
tangkap yang illegal seperti bom, potasium dan trawl yang bisa mengakibatkan rusaknya
terumbu karang. Selain itu, sering kita dengar dan lihat di televisi adanya operasi penangkapan
ikan dengan menggunakan trawl yang dilakukan oleh nelayan-nelayan asing di perairan
Indonesia, ini mencerminkan lemahnya pengamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan
Indonesia.
Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, pelaksanaan fungsi dan peranan hukum sebagai
penunjang pembangunan belum Nampak jelas hasilnya, khususnya dalam pemberdayaan
masyarakat pesisir. Pengaturan terhadap wilayah pesisir dan laut telah dilakukan sejak zaman
Belanda, namun sampai saat ini kondisi masyarakat masih terpuruk dan kurang mendapat
perlindungan, kemiskinan bertambah serta degradasi lingkungan pesisir dan laut semakin
tampak ( Diraputra 2003 dalam Tuwo, 2011 ). Kondisi yang demikian membuat masyarakat
pesisir melakukan pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan.
Fungsi hukum adalah menciptakan kepastian mengenai apa yang dilarang, apa yang tidak
dilarang, dan apa yang diperkenankan apabila telah dipenuhi persyaratan tertentu ( Diraputra
2003 dalam Tuwo, 2011 ).
Didalam pengelolaan dan pembangunan wilayah pesisir, hukum harus mampu mengatur dan
mengarahkan agar tujuan pengelolaan dan pembangunan tersebut dapat terpenuhi dengan
baik. Menurut Diraputra 2003 ( dalam Tuwo, 2011 ), hukum harus berfungsi sebagai pengarah
pembangunan secara terencana dan konsisten sehingga dapat mencapai tujuan pembangunan
secara efektif dan efisien. Untuk itu, kepastian dan penerapannya dalam pembangunan harus
dijaga. Perumusan norma hukum harus melibatkan masyarakat, baik yang akan terkena arahan
pengaturan maupun yang akan memperoleh manfaat pengaturan. Aspirasi masyarakat harus
ditampung untuk dijadikan dasar pengembangan pengaturan.

Tuwo ( 2011 ), mengatakan bahwa pengelolaan sumber daya pesisir dan laut harus
menciptakan dan mendorong stabilitas sosial yang semakin baik. Penegakan norma hukum dan
peraturan perundang-undangan secara konsisten dan tidak memihak diharapkan dapat
menghilangkan stabilitas semu yang dapat menimbulkan ledakan kekecewaan masyarakat
dalam skala yang luas. Berbagai inovasi dalam penyusunan peraturan dan penegakan
hukumnya perlu dilakukan untuk menampung aspirasi masyarakat sehingga berbagai
perubahan dapat berlangsung secara tertib.
Pentingnya penegakan hukum di Negara kita adalah hal utama yang harus dilakukan
pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan, baik lingkungan di darat maupun di laut.
Ketegasan pemerintah dalam menjalankan fungsi hukum sangat akan memberikan dampak
yang positif bagi masyarakat pesisir, meskipun ada sebagian yang bertentangan dengan
penegakan hukum karena kondisi ekonomi yang mereka alami. Oleh karena itu pemerintah
harus bersungguh-sungguh dalam pelaksanaan penegakan hukum ini, beberapa upaya dapat
dilakukan oleh pemerintah agar peraturan dan perundang-undangan ini dapat diterima di
masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan sosialisasi
kepada masyarakat tentang produk hukum yang ada di Negara kita, sehingga pemahaman
terhadap peraturan dan perundang-undangan yang ada akan dipahami oleh masyarakat
beserta ganjaran atau sanksi yang akan mereka terima apabila melanggarnya.
4.2 Pembangunan Wilayah Pesisir
Pembangunan wilayah pesisir sangat diperlukan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat
pesisir. Akan tetapi pembangunan yang akan dilakukan haruslah bermanfaat bagi masyarakat
dan memperhatikan kelestarian lingkungan, sehingga pembangunan yang dilakukan dapat
memberikan dampak positif tanpa harus mengurangi atau pun mengganggu fungsi lingkungan
dimasa yang akan datang. Didalam pembangunan, khususnya pembangunan wilayah pesisir
banyak pihak-pihak yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Oleh karena itu dalam melakukan
pembangunan di wilayah pesisir harus diterapkan prinsip pembangunan terpadu dan
berkelanjutan ( Tuwo, 2011 ).
Selanjutnya menurut Tuwo ( 2011 ), mengatakan pembangunan wilayah pesisir dan laut secara
terpadu ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan
pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara ada menyeluruh, perencanaan tujuan dan
sasaran, serta pengelolaan segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai hasil
pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.
Pembangunan wilayah pesisir akan memberikan dampak positif bagi masyarakat pesisir,
karena dengan adanya pembangunan dapat meningkatkan kesenjangan sosial mereka. Selain
itu dengan pembangunan, akan menciptakan lapangan kerja baru sehingga kebiasaan merusak
terumbu karang yang mereka lakukan dalam pemanfaatan sumber daya laut yang tidak ramah
lingkungan dapat mereka tinggalkan.
4.21 Pengembangan Ekowisata Pesisir dan Laut
Pengembangan ekowisata pesisir dan laut bertujuan untuk meningkatkan kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat pesisir melalui pemanfaatan potensi wilayah pesisir dan laut secara
berkelanjutan. Saat ini, wilayah potensi wilayah pesisir dan laut masih banyak yang belum
dimanfaatkan secara optimal. Hal ini diakibatkan oleh relatif rendahnya kualitas sumber daya
manusia dan lemahnya kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pesisir ( Budiharsono, 2001 ).
Menurut Tuwo ( 2011 ), kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pesisir saat ini masih
didominasi oleh kegiatan penangkapan ikan, sedangkan kegiatan ekonomi lainnya, seperti
ekowisata pesisir dan laut belum berkembang dengan baik. Selain itu, penangkapan ikan masih

dilakukan dalam skala kecil, dengan produksi yang belum memadai di satu sisi, dan biaya
produksi atau operasional yang tinggi di sisi lain. Semua hal ini menyebabkan rendahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir.
Selanjutnya Tuwo ( 2011 ), mengatakan bahwa pengelolaan kawasan ekowisata secara baik
dapat mendatangkan banyak peluang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peluang ini
dapat dinikmati apabila pengelolaan kawasan ekowisata dapat : (1) memanfaatkan dengan baik
segmen pasar ekowisata; (2) memanfaatkan potensi manfaat ekowisata; dan (3) meningkatkan
peluang ekonomi.
Kawasan ekowisata pesisir dan laut memberikan kesempatan bagi masyarakat pesisir untuk
mendapatkan peluang yang baru. Hal ini dapat dilihat dengan jelas, apabila kawasan pesisir
dan laut dikembangkan menjadi tempat ekowisata, maka masyarakat dapat menjual barang
atau jasa untuk para pengunjung. Meskipun demikian, pengembangan ekowisata harus
disesuaikan dengan pengelolaan yang baik agar program pengembangan tersebut dapat
manambah mata pencaharian masyarakat.
4.22 Pengembangan Sarana dan Prasarana
Pengembangan daerah pesisir dan laut menjadi kawasan ekowisata belum bisa lengkap
apabila tidak terdapat sarana dan prasarana pendukung di kawasan tersebut. Sarana dan
prasarana ini sangat bermanfaat untuk menarik pengunjung atau peminat ekowisata. Dengan
adanya sarana dan prasarana, maka nilai jual daerah ekowisata akan meningkat karena
pengunjung akan merasakan kenyamanan di kawasan tersebut.
Tuwo ( 2011 ), mengatakan bahwa dalam pengembangan ekowisata, aspek sarana dan
prasarana memiliki dua sisi kepentingan, yaitu : (1) sebagai alat memenuhi kebutuhan
pekowisata; dan (2) sebagai pengendalian dalam rangka memelihara keseimbangan
lingkungan. Selanjutnya menurut Tuwo ( 2011 ), ada tiga macam sarana ekowisata yang satu
dengan yang lainnya saling melengkapi, yaitu: sarana pokok, sarana pelengkap dan sarana
penunjang. Sarana pokok ekowisata adalah perusahaan yang hidup dan kehidupannya sangat
tergantung kepada lalu lintas wisatawan dan pengunjung lainnya. Sarana pelengkap ekowisata
adalah fasilitas yang melengkapi sarana pokok sedemikian rupa sehingga dapat membuat
wisatawan lebih lama tinggal dilokasi ekowisata yang dikunjunginya. Sarana penunjang
ekowisata adalah fasilitas yang diperlukan wisatawan dan berfungsi tidak hanya melayani
kebutuhan pokok dan sarana pelengkap, tetapi juga memiliki fungsi yang lebih penting, yaitu
agar wisatawan lebih banyak membelanjakan uangnya di tempat yang dikunjungi tersebut.
Tuwo ( 2011 ), mengatakan bahwa prasarana ekowisata adalah sumber daya alam buatan yang
mutlak dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalanannya didaerah tujuan wisata, seperti jalan,
listrik, air, komunikasi, terminal, jembatan dan lain-lain. Untuk kesiapan objek-objek wisata yang
akan dikunjungi oleh wisatawan di daerah tujuan wisata, prasarana wisata tersebut perlu
dibangun dengan disesuaikan dengan lokasi dan kondisi objek wisata yang bersangkutan.
Selanjutnya Tuwo ( 2011 ), juga mengatakan pembangunan prasarana wisata yang
mempertimbangkan kondisi dan lokasi akan meningkatkan aksebilitas suatu objek ekowisata
yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan daya tarik objek ekowisata itu sendiri.
Disamping berbagai kebutuhan yang telah disebutkan diatas, kebutuhan wisatawan yang lain
juga perlu disediakan di daerah tujuan wisata, yakni : bank, apotek, rumah sakit, pompa bensin,
tempat perbelanjaan, salon dan lain-lain.
Dengan demikian jelas bahwa adanya sarana dan prasarana di daerah ekowisata memberikan
manfaat yang sangat besar bagi daerah tersebut. Karena sarana dan prasarana tersebut
memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengunjung, sehingga dengan lengkapnya sarana

dan prasarana memberikan ketertarikan tersendiri bagi para wisata untuk menikmati hari-hari
mereka selama di kawasan ekowisata dan akan memberikan kesan positif terhadap mereka.
4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Pesisir
Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pesisir yang serba kekurangan membuat mereka
mengahalalkan berbagai cara dalam pemanfaatan sumber daya laut tanpa melihat dampak
yang akan terjadi nantinya. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu upaya pelestarian terumbu
karang yang mempunyai tujuan dapat mengangkat status sosial mereka. Selain upaya
pelestarian terumbu karang, penciptaan lapangan kerja yang baru juga sangat mendukung
kondisi sosial ekonomi mereka seperti adanya pengembangan wilayah ekowisata di daerah
pesisir.
Supriharyono ( 2000 dalam Rahmawaty, 2004 ) menyatakan bahwa berdasarkan tujuan
pengelolaan terumbu karang tersebut maka target penanganannya adalah (1) target sosial,
dimana meningkatkan status kesejahteraan masyarakat dan pengguna, tingkat partisipasi
masyarakat dan pengguna dalam kegiatan pemanfaatan terumbu karang semakin meningkat,
(2) target konservasi ekologi yaitu implementasi dan penegakan peraturan semakin membaik
dan gejala over-exploitation terumbu karang semakin berkurang, menurunnya sedimentasi yang
berasal dari aktivitas di daratan, (3) target ekonomi, yaitu pendapatan masyarakat dan
stakeholders meningkat, tingkat pengangguran semakin menurun, dan terwujudnya sistem
pembagian hasil kegiatan usaha yang semakin adil, (4) target kelembagaan, yaitu konflik
pemanfaatan ruang antar masyarakat dan stakeholders semakin berkurang dan terbentuknya
aturan yang dapat difahami, hayati dan diamalkan oleh masyarakat dan stakeholders.
Selanjutnya Supriharyono ( 2000 dalam Rahmawaty, 2004 ) menyatakan sebenarnya akar
permasalahan kerusakan terumbu karang meliputi empat hal, yaitu (1) kemiskinan masyarakat
dan ketiadaan mata pencaharian alternatif,
(2) ketidaktahuan dan ketidaksadaran
masyarakat dan pengguna, (3) lemahnya penegakan hokum dan (4) kebijakan pemerintah yang
belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kwalitas
lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang.
Adanya pengembangan daerah pesisir dan laut menjadi kawasan ekowisata diharapkan dapat
memberikan dampak positif kepada masyarakat pesisir serta peluang baru untuk meningkatkan
kondisi sosial mereka. Sebagaimana kita ketahui bahwa kawasan ekowisata memberikan
manfaat yang sangat besar karena disitu terjadi berbagai macam kegiatan baik pelayanan jasa
maupun ekonomi. Dengan adanya kawasan ekowisata dapat memberikan alternatif baru bagi
nelayan yang sering melakukan penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Meskipun
memberikan manfaat yang begitu besar, kawasan ekowisata juga dapat memberikan dampak
yang tidak baik bagi lingkungan, oleh karena itu perlunya perhatian khusus bagi pengelola agar
dampak negatif tersebut dapat diatasi.
Menurut Tuwo ( 2011 ), kawasan ekowisata dapat memberikan manfaat berupa meningkatkan
peluang ekonomi seperti : (1) meningkatkan lapangan kerja bagi masyarakat; (2) meningkatkan
pendapatan; (3) berkembangnya usaha baru dan berkembangnya ekonomi lokal; (4)
berkembangnya usaha atau kerajinan lokal; (5) meluasnya pemasaran dan meningkatkan
penerimaan devisa; (6) meningkatkan standar hidup masyarakat dan peningkatan pendapatan
pajak daerah; (7) mendorong karyawan dan masyarakat untuk mempelajari keterampilan baru;
dan (8) mendapatkan sumber pendanaan untuk perlindungan alam dan pemberdayaan
masyarakat lokal.

Tuwo ( 2011 ), mengatakan bahwa peningkatan ekonomi dari kegaitan ekowisata bagi
masyarakat lokal dapat dilakukan melalui : (1) penyediaan produk dan layanan yang dapat
meningkatkan pengeluaran wisatawan; dan (2) adanya upaya untuk meminimalkan kebocoran
pendapatan masyarakat lokal melalui pelibatan masyarakat lokal. Untuk mewujudkan kedua hal
tersebut, pengelolaan kawasan ekowisata harus mengembangkan kebijakan pengelolaan
ekowisata yang dapat mendukung pembangunan ekonomi jangka panjang, memaksimalkan
penggunaan tenaga kerja lokal, meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi melalui peningkatan
belanja wisatawan dan pengurangan kebocoran pendapatan masyarakat lokal.
4.4 Pengelolaan Berkelanjutan
Pengelolaan berkelanjutan merupakan suatu strategi pengelolaan yang memberikan ambang
batas pada laju pemanfaatan ekosistem baik ekosistem alamiah maupun ekosistem buatan.
Pengelolaan secara berkelanjutan juga merupakan strategi pemanfaatan ekosistem alamiah
yang memberikan manfaat untuk manusia sekarang dan mengupayakan tidak terganggunya
kesejahteraan manusia dimasa yang akan datang.
Didalam pemanfaatan sumber daya perikanan, perlu dilakukan pemanfaatan yang
berkelanjutan, karena dengan adanya pemanfaatan yang berkelanjutan, akan memberikan
batas tersendiri dalam pemanfaatan sumber daya ikan yang ada, sehingga dapat menjaga
keseimbangan lingkungan perairan untuk menghindari kerusakan yang berdampak pada
kehidupan manusia selanjutnya. Dalam melakukan pemanfaatan sumber daya perikanan, hal
yang sangat penting dilakukan adalah menjaga kelestarian ekosistem perairan, dimana
ekosistem ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang ada didalamnya. Salah
satu yang perlu dilakukan adalah menjaga kelestarian terumbu karang.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menjaga kelestarian terumbu karang seperti yang
telah disebutkan adalah dengan melakukan konservasi terumbu karang yang telah rusak,
mempertegas peraturan yang ada, dan memberikan peluang usaha yang baru bagi masyarakat
pesisir (membangun daerah ekowisata), sehingga kegiatan pengrusakan terumbu karang dapat
teratasi. Akan tetapi, semua kegiatan diatas tidak selalu memberikan dampak positif apabila
tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan berkelanjutan,
sehingga kegiatan yang dilakukan dapat memberikan manfaat untuk sekarang dan dimasa yang
akan datang.
Adanya pengelolaan yang baik, tentunya akan mendatangkan hasil yang baik. Dengan adanya
pengelolaan berkelanjutan, kondisi ekonomi dan sosial masyarakat juga akan terjamin. Akan
tetapi untuk melakukan pengelolaan berkelanjutan, perlu adanya keterkaitan satu sama lain
seperti kondisi sosial masyarakat, hukum dan kelembagaan yang ada. Menurut Dahuri, Rais,
Ginting dan Sitepu ( 1996 ), ada empat dimensi pengelolaan berkelanjutan, yaitu:
(1)
ekologi; (2) sosial, ekonomi dan budaya; (3) sosial politik; (4) hukum dan kelembagaan.
Tuwo ( 2011 ), menyatakan bahwa secara ekologis, pemnfaatan sumber daya ekosistem
alamiah dan buatan diwilayah pesisir dan laut diupayakan agar dampak segenap kegiatan
pemanfaatan tidak melebihi kapasitas fungsional ekosistem tersebut agar dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan. Ekosistem alamiah memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan manusia,
yaitu: (1) sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan; (2) sebagai jasa-jasa kenyamanan;
(3) sebagai penyedia sumber daya alam; dan (4) sebagai penerima limbah.
Selanjutnya Tuwo ( 2011 ), mengatakan bahwa pengelolaan berkelanjutan mensyaratkan
bahwa keuntungan atau manfaat yang diperoleh dari kegiatan kegiatan pemanfaatan suatu
wilayah pesisir beserta sumber daya alam yang ada di dalamnya harus diprioritaskan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar kegiatan tersebut, terutama bagi mereka

yang kemampuan ekonomminya lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi


wilayah. Wilayah pesisir dan laut merupakan kawasan yang unik karena umumnya
permasalahan atau kerusakan lingkungann yang terjadi bersifat eksternalitas, karena pihak
yang menderita akibat kerusakan lingkungan tersebut adalah masyarakat miskin dan lemah.
Oleh karena itu dalam pelaksanaan pengelolaan berkelanjutan hanya dapat dilakukan dalam
sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam ini,
niscaya laju kerusakan lingkungan akan berlangsung lebih cepat dibanding upaya pencegahan
dan penanggulangannya.
Didalam pengelolaan berkelanjutan perlu adanya pengendalian diri masyarakat untuk tidak
merusak lingkungan, serta adanya rasa saling berbagi antara kelompok yang memiliki
kemampuan ekonomi tinggi kepada kelompok yang ekonominya lemah. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara mengurangi kebiasaan konsumsi secara berlebihan. Dengan adanya rasa
kepedulian bersama diharapkan dapat menjaga dan mengelola sumber daya alam dengan baik.
Dengan demikian permasalahan yang sering terjadi di wilayah pesisir dan laut yang berdampak
negatif terhadap lingkungan perairan khususnya kelangsungan terumbu karang dapat teratasi.
Adanya upaya pengelolaan berkelanjutan diharapkan akan memberikan kesadaran kepada
masyarakat pesisir dan laut agar dalam pemanfaatan sumber daya perairan tidak melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku, sehingga
dengan terjaganya lingkungan disekitar mereka, akan memberikan nilai tambah dan
meningkatkan kondisi ekonomi mereka yang selalu berada dibawah garis kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. G. 2002. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Bogor
Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisa Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradnya
Paramita, Jakarta
Burke. L., Selig. E., dan M. Spalding. 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia Tenggara
( Ringkasan untuk Indonesia ). World Resources Institute, Amerika Serikat, Washington D. C
Dahuri, R., J. Rais., S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradya Paramita, Jakarta
Dahuri, R. 2003. Keanekragaman Hayati Laut. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
No.38/MEN/2004 tentang Pedoman Pengelolaan Terumbu Karang Buatan. Ditjen. KP3K,
Jakarta
. 2006. Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta.
Nganro, R. N. 2009. Metode Ekotoksikologi Perairan Laut Terumbu Karang. Sekolah Ilmu dan
Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh M.


Eidman, Koesoebiono, D. G., Bengen, M. Hutomo dan
S. Sukardjo. Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta
Patria. M., P. 2012. Terumbu Karang dan Karang. (http://www.terangi.or.id). Diakses Tanggal 23
Januari 2012 Jam 22.15 WIB
Presiden RI. 1990. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sesneg, Jakarta
Ramli, I. 2003. Analisis Kebijakan Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Tesis, Program
Magister Ilmu Lingkungan UNDIP, Semarang (Tidak diterbitkan)
Sudiono, G. 2008. Analisa Pengelolaan Terumbu Karang pada Kawasan Konservasi Laut
Daerah ( KKLD ) Pulau Randayan dan Sekitarnya Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan
Barat. Tesis, Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang (Tidak
diterbitkan)
Suharsono. 1996. Jenis-Jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. LIPI, Jakarta
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut
Tropis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Thamrin. 2006. Karang ( Biologi Reproduksi dan Ekologi ). Minamandiri Pres, Pekanbaru
Tuwo., A. 2011. Pengembangan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional, Surabaya
Rahmawaty. 2004. Penanggulangan Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Melalui
Pemberdayaan ekonomi Masyarakat Pesisir dan Kelautan. USU, Medan
Yuniarti. M., S, 2007. Pengelolaan Wilayah Pesisir di Indonesia ( Studi Kasus : Pengelolaan
Terumbu Karang Berbasis Masyarakat di Kepulauan Riau ). Karya Tulis Ilmiah (Makalah)
Disampaikan di Bandung, Agustus 2007, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Padjadjaran, Jatinangor

Anda mungkin juga menyukai