Anda di halaman 1dari 4

Sejarah kenapa Ibukota Indonesia di Jakarta, bukan di Kalimantan

PADA mulanya adalah Batavia, sebuah kota yang dibangun Jan


Pieterszoon Coen dan lalu jadi pusat administrasi dan perdagangan Hindia
Belanda. Kota ini dibangun menurut pola kota Belanda dengan sejumlah kanal,
jalan raya, dan gedung megah. Hasilnya: Batavia menjadi daya tarik sebagai kota
modern, bahkan mendapat julukan Ratu Timur.
Tapi Batavia bukanlah tempat yang layak sebagai pusat pemerintahan
berdasarkan penelitian Hendrik Freek Tillema, seorang ahli kesehatan Belanda.
Pada 1920, Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum pun mulai
memindahkan

pusat

pemerintahan

dari

Batavia

ke

Bandung.

Malaise

menghentikan rencana itu dan mengembalikan fungsi Batavia.


Nama Batavia hapus dari peta sejarah pada bulan-bulan pertama
pendaratan balatentara Jepang, berganti nama menjadi Jakarta sesuai keinginan
kaum nasionalis. Bentuknya daerah khusus kota besar (Tokobetsu Shi). Di bawah
Jepang, keanggunan, kebersihan, dan keteraturannya mulai tergerus. Jakarta kian
tak terurus.
Lalu datanglah kemerdekaan, dan Jakarta menjadi kota Proklamasi.
Sejak merdeka, pemerintah Republik belum menunjuk dan menetapkan secara
resmi ibukota negara. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang disahkan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, tak menunjuk ibukota
atau kedudukan pemerintahan. Bab II UUD 1945 hanya menyebut Majelis
Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota
negara, tanpa menyebutkan nama tempat. Begitu pula UU No 7 tahun 1947
tentang Susunan dan Kedudukan Mahkamah Agung dan Kejaksaan yang
menyebutkan berkedudukan di ibukota Republik Indonesia dan di lain tempat
yang ditetapkan oleh presiden. Jakarta sendiri kerap disebut Pemerintahan
Nasional Kota Jakarta.

Menetapkan ibukota negara mungkin bukan prioritas, karena perhatian


tersedot pada upaya mempertahankan kemerdekaan. Bahkan berkali-kali
pemimpin Republik harus memindahkan pusat pemerintahan.
Pada 1946, ketika pasukan Belanda menguasai Jakarta, Sukarno mengumumkan
pemindahan kedudukan pemerintah ke daerah yang bebas dari gangguan Belanda.
Yogyakarta, kota hijarah, resmi menjadi pusat pemerintahan pada 4 Januari 1946.
Perdana Menteri Sutan Sjahrir tetap tinggal di Jakarta dan berkantor di bekas
rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur.
Pusat pemerintahan kembali terancam ketika Belanda menggelar agresi
militer II. Belanda menduduki Yogyakarta serta menangkap presiden, wakil
presiden, dan sejumlah anggota kabinet. Dalam tempo seminggu, hampir semua
kota penting di tanah air juga jatuh ke tangan Belanda. Belanda mengumumkan
Republik sudah tak ada lagi.
Tapi Hatta mengirimkan dua kawat atas nama pemerintah. Kawat pertama
memberi kuasa kepada Menteri Keuangan Mr Sjarifuddin Prawiranegara di
Bukittinggi untuk membentuk suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI). Selain itu, Hatta membuat surat untuk Duta Besar RI di India dr
Sudarsono serta staf kedutaan RI L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr A.A.
Maramis yang sedang berada di New Delhi agar berhubungan dengan pemerintah
darurat yang akan dibentuk.
Pusat pemerintahan pindah tempat. Tapi Bukittinggi kemudian juga
berkali-kali mendapat serangan Belanda, yang membuat para pemimpinnya
mengungsi dan masuk hutan. Dimulailah fase pemerintah yang berpindah-pindah,
dengan pemimpin sipil dan militer yang terpencar-pencar, dan masuk ke
pedalaman. Somewhere in the jungle, begitulah Mestika Zed menggambarkannya
dalam bukunya mengenai PDRI. Bahkan pemimpin sipil dan militer di Jawa dan
Sumatra tak tahu di mana PDRI berada.
Presiden Sukarno sempat pula berencana menjalankan exile government
RI di New Delhi. India adalah negara Asia paling dini dan terus-menerus

mendukung perjuangan Indonesia. Kontak dengan India sudah dilakukan


beberapa hari menjelang agresi militer II. Bahkan pada 17 Desember Nehru
mengirimkan pesawat terbang untuk menjemput Sukarno. Persiapan menyambut
kedatangan Sukarno sudah dilakukan. Rencana itu batal karena pesawat dicegat
Belanda. Tapi Kantor Perwakilan Indonesia di India, yang atas persetujuan Nehru
dipindahkan dari tempat sederhana ke tempat yang lebih layak di Constitution
House, New Delhi, memainkan peranan penting dalam menyiarkan suara
Indonesia di luar negeri.
Aksi militer Belanda menuai kritik dunia internasional, yang memaksa
Belanda kembali ke meja perundingan. Pada Mei 1949, Indonesia dan Belanda
menyepakati Perjanjian Rum Royen, yang salah satu isinya mengembalikan
pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta. Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta
kembali ke Yogyakarta. Sjarifuddin Prawiranegara pun mengembalikan mandat
sebagai pemimpin pemerintahan darurat.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan, sebagai hasil Konferensi Meja
Bundar pada 28 Desember 1949, Presiden Sukarno kembali ke Jakarta. Secara
otomatis fungsi Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Republik berakhir.
Untuk kali pertama, Konstitusi menunjuk ibukota negara. Dalam pasal 68
Konstitusi RIS disebutkan, Pemerintah berkedudukan di ibukota Jakarta, kecuali
jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain.
Pada 17 Agustus 1950, setelah melalui perundingan antara para pemimpin
dari pemerintah RIS dan Republik Indonesia, Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan Republik Indonesia. Sama seperti Konstitusi RIS, UUD Sementara tahun
1950 dalam pasal 46 menyebut: pemerintah berkedudukan di Jakarta, kecuali jika
dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain.
Pemberlakuan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
membuat kedudukan ibukota negara kembali kabur. Baru pada 1960-an Jakarta
mendapat status Daerah Khusus Ibukota melalui Penetapan Presiden No. 2 tahun
1961 dan kemudian UU No. 10 tahun 1964.

Note: *stabilo hijau inti jawaban

Anda mungkin juga menyukai