Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Makalah
Disusun Oleh:
Kelompok 3
Terry Terrawati
260112150061
Susanti
260112150063
Nadhira Handayani
260112150073
Indah Firdayani
260112150089
Fadlia Fardhana
260112150108
Dike Novalia A
260112150134
Puji syukur kami panjatkan kehadurat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
mata kuliah Farnasi Industri, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran. Kami
juga berterimakasih pada Ibu Anis Yohana Ch., M. Si. Apt. yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini sangat berguna dalam menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai regulasi di farmasi industri. Kami
menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kriik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat di masa yang akan datang, meningat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran membangun. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................4
1.
Pendahuluan...........................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
2.1.
2.2.
2.3.
CPOB di Indonesia...........................................................................................10
2.4.
2.5.
BAB III............................................................................................................................76
3.1. Simpulan...............................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................77
BAB I
1. Pendahuluan
Obat adalah suatu bahan kimia yang dapat memengaruhi organisme hidup
dan dipergunakan untuk keperluan diagnosis, pencegahan, dan pengobatan suatu
penyakit. Salah satu upaya permerintah untuk menjamin tersedianya obat yang
bermutu,aman, dan berkhasiat yaitu dengan mengharuskan setipa industri untuk
menerapkan Cara Pembuatn Obat yang Baik (CPOB).
Saat ini industri farmasi telah berkembang sangat pesat dalam rangka
memenuhi obat-obatan secara nasional. Oleh karena itu perlu adanya CPOB
dalam indusrtri farmasi mengenai langkah-langkah yang dilakukan suatu industri
farmasi untuk menjamin mutu obat jadi dengan menerapkan CPOB dalam seluruh
aspek dan rangkaian kegiatan produksi, termasuk persyaratan bangunan dan
fasilitas. Pencapaian produk bermutu tentunya tidak hanya dipengaruhi oleh
bangunan dan fasilitas industri saja, melainkan juga harus melibatkan aspek lain
dalam CPOB secara berkesinambungan.
BAB II
2.1.
obatan pertama kali diumumkan oleh Food and Drug Administration (FDA)
Amerika Serikat. GMPs
pembuatan dan kontrol minimum untuk farmasi industri dan fokus pada apa yang
perlu dilakukan. FDA menggunakan istilah cGMP (Current Good Manufacturing
Practice) untuk menekankan kepada para farmasis agar bekerja dengan selalu
memperhatikan perkembangan terbaru teknologi dan sistem dengan tetap
mematuhi regulasi yang ada (Brhlikova, et. al., 2007).
Sebelum munculnya peraturan mengenai produksi obat dan makanan,
terjadi berbagai rangkaian peristiwa bersejarah yang dialami oleh negara
bersangkutan khusunya negara pertama yang menjadi awal penerapan peraturan
tersebut. Negara pertama yang menerapkan peraturan terkait industri farmasi
adalah Inggris dan Swiss, namun peraturan tersebut terhenti pada abad ke-19
sampai ke-20. Di Amerika Serikat pada tahun 1902, para biologis controlact
memperkenalkan prosedur persyaratan pada pemeriksaan dan pengujian sarana
dan prasarana produk biologis. Pada 1906 dibentuklah Government Regulatory
Agency (kemudian berganti nama menjadi Food and Drug Administration
(FDA))yang mengatur pembuatan obat dan makanan. FDA mengatur mekanisme
penjaminan kualitas dan kontrol keselamatan yang diperkenalkan oleh otoritas
pengawas nasional dalam menanggapi bencana kesehatan, seperti tragedi
Sulfanilamide pada tahun 1938 atau tragedi thalidomide pada awal tahun 1960-an.
Amerika Serikat telah terbukti berhasil dalam menjamin kualitas dan kemanan
produk obat dan makanan sebelum dipasarkan kepada konsumen, sehingga
masyarakat Eropa dan negara lain banyak yang mengikuti langkah Amerika
Serikat dan mulai memperkenalkan regulasi obat bagi masing-masing negara
(Brhlikova, et. al., 2007).
resmi
pada
bulan
Maret
1979.
Pada
saat
itu,
FDA juga
dari
distribusi
tablet
sulfathiazol
yang
tercemar
dengan
farmasi pertama yang didirikan di Hindia Timur pada tahun 1817, yaitu NV.
Chemicalien Rathkamp & NV. Pharmaceutishe handel Vereneging J. Van Gorkom
& Co., pada tahun 1856. Sedangkan industri farmasi modern pertama kali di
Indonesia adalah pabrik kina di Bandung pada tahun 1896.
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1957 1959 setelan perang untuk
memperoleh kemerdekan usai, perusahaan perusahaan farmasi milik Belanda
yaitu Bovasta Bandoengsche Kinine Fabriek yang memproduksi pil kina dan
Oderneming Jodium yang memproduksi iodium dinasionalisasi oleh pemerintah
Indonesia yang pada perkembangan selanjutnya menjadi PT Kimia Farma
(persero). Sementara pabrik pembuatan salep dan kasa, Centrale Burgelijke
Ziekeninriching yang berdiri pada tahun 1918 menjadi perum Indofarma yang saat
menjadi ini menjadi PT Indofarma (persero) (Melamud, 2009).
8
2006
CPOB ke 2
Pedoman CPOB ke 3
Pedoman Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif yang Baik;
2009
Suplemen I
2010
Pedoman
CPOB ke 3; Petunjuk
2011
Keterkaitan
2012
2013
2014
Persyaratan Registrasi
Obat
Revisi Pedoman CPOB 2012; POPP CPOB Aneks 1
POPP CPOB Jilid I
POPP CPOB Jilid II
Di Indonesia, CPOB edisi pertama terbit pada tahun 1989 (edisi pertama).
kemampuan industri farmasi yang ada di Indonesia. Badan penelitian obat dan
makanan (BPOM) selaku regulator industri farmasi di Indonesia, telah
mencanangkan penerapan CPOB dengan surat keputusan kepala BPOM nomor
HK.00.053.0027 tahun 2006 (CPOB edisi ketiga) untuk upaya pertama
menghadapi harmonisasi pasar ASEAN dengan penerapan CPOB sesuai standar
internasional (Melamud, 2009).
Perbaruan kembali dilakukan hingga pada tahun 2012 diterbitkan CPOB
baru (edisi keempat) yang terdiri atas dua jilid penerbitan. Jilid pertama terbit
pada awal tahun 2013 dan jilid kedua terbit pada awal tahun 2014.
2.3.
CPOB di Indonesia
Kebijakan obat nasional menyatakan bahwa pembangunan di bidang obat
kesehatan.
Tidaklah cukup bila produk jadi hanya sekedar lulus dari serangkaian
pengujian, tetapi yang lebih penting adalah bahwa mutu harus dibentuk ke
dalam produk tersebut. Mutu obat tergantung pada bahan awal, bahan
pengemas, proses produksi dan pengendalian mutu, bangunan, peralatan
digunakan manusia.
Pada pedoman ini istilah pembuatan mencakup seluruh kegiatan
penerimaan bahan, produksi, pengemasan ulang, pelabelan, pelabelan
ulang, pengawasan mutu, pelulusan, penyimpanan dan distribusi dari obat
10
11
11
diperbaiki pada tahun 2006, dan yang paling terbaru dikeluarkan pada tahun 2012.
Berikut perbedaan Pedoman CPOB di Indonesia tahun 2001, 2006, dan 2012:
2001
2006
10 Bab
Ketentuan
Umum
2
3
4
5
Personalia
Bangunan
Mutu
Penanganan Keluhan
dan
terhadap Produk,
Fasilitas
Penarikan Kembali
Peralatan
Sanitasi dan
Higiene
Produksi
Pengawasan
Mutu
1
2
3
4
5
6
7
8
12 Bab:
Manajemen Mutu
Personalia
Bangunan dan Fasilitas
Peralatan
Sanitasi dan Higiene
Produksi
Pengawasan Mutu
Inspeksi Diri dan Audit
Inspeksi
Diri
2012
12 Bab:
1 Manajemen Mutu
2 Personalia
3 Bangunan dan
4
5
Fasilitas
Peralatan
Sanitasi dan
6
7
8
Higiene
Produksi
Pengawasan Mutu
Inspeksi Diri,
Audit Mutu, dan
Audit &
Persetujuan
9
Pemasok
Penanganan
Keluhan terhadap
Produk,
Penarikan
Kembali Produk,
dan Produk
Kembalian
10 Dokumentasi
11 Pembuatan dan
Analisis
12
Berdasarkan
9
Penanganan
Kontrak
12 Kualifikasi dan
Keluhan
Validasi
terhadap
Obat,
Penarikan
Kembali
Obat, dan
Obat
Kembalian
10 Dokumenta
si
4 Addenda
7 Annex, termasuk:
1 Pembuatan Produk
Pembuat
Steril
Pembuatan Produk
Produk Steril
Pembuatan Obat
Biologi
Pembuatan Gas
Produk Biologi
Pembuatan Gas
Medisinal
Pembuatan Inhalasi
Medisinal
Pembuatan
an
Produk
Biologi
2
Pembuat
Pembuat
an
Inhalasi Dosis
Bertekanan (Aerosol)
Pembuatan Produk
Terukur
5
6
Darah
Pembuatan Obat
Inhalasi
Bertekan
an
(Aerosol)
Bertekanan
5
Dosis
Terukur
14 Annex
Pembuatan
Dosis Terukur
an Gas
Medisinal
(Aerosol)
Pembuatan
Produk dari
Klinis
Sistem Komputerisasi
Darah atau
6
Plasma Manusia
Pembuatan Obat
Investigasi Untuk
13
Pembuat
an
Produk
Darah
Uji Klinis
Sistem
Komputerisasi
Cara Pembuatan
Bahan Baku
Aktif Obat yang
Baik
Pembuatan
Radiofarmaka
10 Penggunaan
Radiasi Pengion
dalam
Pembuatan Obat
11 Sampel
Pembanding dan
Sampel
Pertinggal
12 Cara
Penyimpanan
dan Pengiriman
Obat yang Baik
13 Pelulusan
Parametris
14 Manajemen
Risiko Mutu
Landasan Umum :
a
14
15
Gambar 1.1
16
penerimaan bahan;
karantina barang masuk;
penyimpanan bahan awal dan bahan pengemas;
penimbangan dan penyerahan bahan atau produk;
pengolahan;
pencucian peralatan;
penyimpanan peralatan;
penyimpanan produk ruahan;
pengemasan;
karantina produk jadi sebelum memperoleh pelulusan akhir;
pengiriman produk; dan
laboratorium pengawasan mutu (BPOM, 2012).
17
Gambar 1.2
4. Peralatan
Dalam bab ini diuraikan mengenai peralatan yang harus digunakan
pada industri farmasi, dilihat dari segi desain dan konstruksi, ukuran,
penempatan, kualifikasi, hingga perawatan peralatan tersebut.
Peralatan manufaktur harus didesain, dipasang, ditempatkan, dan
dirawat sesuai dengan tujuannya. Permukaan peralatan yang digunakan
tidak akan menimbulkan reaksi dengan bahan awal, peralatan satu dengan
yang lainnya ditempatkan pada jarak yang cukup untuk menghindari
kesesakan, kekeliruan, maupun kontaminasi. Perawatan peralatan harus
dilakukan sesuai dengan jadwal, terdiri dari pembersihan, penyimpanan,
dan bila perlu dilakukan sanitasi dan sterilisasi terhadap peralatan tersebut.
5. Sanitasi dan Higiene
Baik dalam CPOB 2006 maupun 2012 dijelaskan bahwa setiap
aspek pembuatan obat harus menerapkan tingkat sanitasi dan higiene yang
18
6. Produksi
Dalam bab ini diuraikan mengenai proses produksi pada industri
farmasi harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan
dan memenuhi kriteria CPOB yang menjamin produk yang memenuhi
persyaratan mutu dan ketentuan izin pembuatan dan izin edar. Proses
produksi harus dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten.
Semua proses produksi harus dilakukan sesuai dengan prosedur tertulis,
mulai dari penanganan bahan awal hingga produk jadi agar mutu produk
tetap terjamin.
Hal-hal yang berkaitan dengan proses produksi yang diatur dalam
Pedoman CPOB 2012 antara lain;
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Bahan Awal
Validasi Proses
Pencegahan Pencemaran Silang
Sistem Penomoran Bets/Lot
Penimbangan dan Penyerahan
Pengembalian
Operasi Pengolahan Produk Antara dan Produk Ruahan
Bahan dan Produk Kering: pencampuran dan granulasi, pencetakan
tablet, penyalutan, pengisian kapsul keras, penandaan tablet salut
dan kapsul
19
7. Pengawasan Mutu
Bagian pengawasan mutu merupakan bagian yang penting karena
dapat memberikan kepastian bahwa prosuk farmasi memiliki mutu yang
sesuai. Bagian Pengawasan Mutu dikepalai oleh Kepala Bagian
Pengawasan Mutu atau Quality Assurance (QA). Kepala Bagian
Pengawasan Mut memiliki tanggung jawab atas seluruh prosedur
pengawasan mutu dan prosedur tersebut harus terdokumentasikan.
Bab ini mencakup bagian-bagian yakni : Cara Berlaboratorium
Pengawasan Mutu yang baik, Dokumentasi, Pengambilan Sampel,
Pengujian, Syarat Pengujian dan Program Stabilitas On-Going.
Pada Bagian Cara Berlaboratorium Yang Baik diatur mengenai
personil sumber daya, bangunan, fasilitas, peralatan yang digunakan,
pereaksi dan perbenihan, baku pembanding, tanggal penerimaan setiap
bahan serta hewan yang digunakan untuk pengujian komponen. Pada
bagian Dokumentasi dijelaskan bagian-bagian penting yang hendaknya
tersedia di bagian Pengawasan Mutu yakni : Spesifikasi, Prosedur
Pengambilan sampel, Prosedur dan catatan pengujian (termasuk lembar
kinerja analisis, dan/atau buku catatan laboratorium), Laporan dan/atau
sertifikat analisis, Data pemantauan lingkungan (bila diperlukan), catatan
validasi metode analisis (bila diperlukan), dan prosedur dan catatan
kalibrasi instrumen serta perawatan peralatan. Pada bagian Pengambilan
20
6
7
8
9
jadi meliputi :
- Spesifikasi
- Pengambilan contoh
- Pengujian untuk bahan-bahan tersebut
- In Process Control
Pengujian ulang bahan yang diluludkan
Pengujian stabilitas
Penilaian terhadap supplier
Penanganan terhadap keluhan produk dan produk kembalian
21
daftar pemasok harus dibuat bagi setiap bahan-bahan. Selain itu dilakukan
evaluasi untuk mempertimbangan riwayat dari pemasok dan sifat bahan-bahan
yang dipasok oleh pemasok.
10. Dokumentasi
22
Pada bab ini dijelaskan jenis dokumen apa saja yang diperlukan
yakni spesifikasi (spesifikasi bahan awal, bahan pengemas, produk antara
dan produk ruahan, produk jadi, dokumen produksi, produksi induk,
prosedur pengolahan induk, pengemasan induk, catatan pengolahan bets,
pengemasan bets, dan prosedur dan catatan). Pada umumnya setiap
dokumentasi dari prosuk tersebut sama setiap dokumentasi harus ditulis
secara rinci, disetujui, ditandatangan, diberi tanggal oleh personil yang
berwenang. Selain itu isi dari dokumen tidak bermakna ganda serta
hendaknya dikaji ulang secara berkala. Dokumen hendaknya tidak
ditulistangan kecuali memang membutuhkan data yang ditulis amun harus
dengan tulisan jelas dan terbaca dan tidak dapat dihapus. Apabila terjadi
perubahan data hendaknya ditanda tangan dan diberi tanggal.
23
bahwa
umumnya
validasi
dilakukan
sebelum
produk
24
25
berdasarkan
pertukaran
data
dan
laporan
penilaian
untuk
Sebuah unit kualitas independen (seperti Quality Control dan / atau Quality
Assurance)
26
Prinsip dan panduan untuk GMP ditetapkan dalam dua pedoman: Directive
91/356/EEC untuk produk manusia dan Directive/91/412/EEC untuk produk
kedokteran hewan. Panduan GMP berlaku untuk produk manusia dan kedokteran
hewan, walaupun 2 dari 18 lampiran (4 dan 5) secara spesifik berlaku untuk
produk kedokteran hewan.
Bab 1. Manajemen Mutu
Prinsip menekankan bahwa pencapaian persyaratan kualitas adalah
tanggungjawab manajemen senior dan membutuhkan partisipasi dan komitmen
dari staf dalam berbagai departemen dan pada semua level dalam perusahaan. Ini
dengan jelas mengakui betapa pentingnya peran manajemen senior dan bahwa
pengendalian mutu/ Quaility Control (QC) sendiri tidak dapat mencapai hasil
yang diperlukan.
Bab ini juga mengacu pada perkembangan produk dan memerlukan
aplikasi GMP dan Good Laboratory Practices (GLP) untuk tahap desain dan
pengembangan. Inspeksi diri dan/atau audit mutu juga diperlukan. Material tidak
boleh dilepaskan untuk penggunaan sebelum dilakukannya tes yang relevan.
Istilah relevan ini sangat subjektif dan dapat dipertimbangkan untuk
diperbolehkan penggunaannya saat ada data yang tersedia.
Bab 2. Personalia
Kualifikasi dan pengalaman yang dibutuhkan oleh seorang kepala QC
dijelaskan (article 23 dari Directive 75/319/EEC). Kualifikasi formal yang
dibutuhkan adalah dalam farmasi, kedokteran, kedokteran hewan, kimia, kimia
farmasi, atau biologi. Subjek harus termasuk dalam bidang yang dimaksud.
Kualifikasi diikuti dengan satu tahun pelatihan praktis, paling sedikit enam bulan
dalam farmasi. Selanjutnya perlu dua tahun pengalaman dalam bidang QC.
Bab ini juga membedakan antara evaluasi produk yang diimpor dari
negara European Economic Community (EEC) dan non-EEC. Dalam kasus
belakangan, negara pengimpor harus melakukan analisis kuantitatif penuh,
analisis kuantitatif semua bahan aktif, dan pengujian lainnya yang diperlukan
untuk memastikan kualitas produk. Untuk impor yang berasal dari negara EEC
27
28
29
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
Canada
GMP Canada disusun oleh Health Canada. Isinya meliputi introduction
30
Regulasi
C.02.004
C.02.005
C.02.006
C.02.007
C.02.008
5. Pengujian bahan C.02.009
awal
C.02.010
6. Kontrol Produksi C.02.011
C.02.012
7. Quality control
C.02.013
C.02.014
C.02.015
8. Pengujian
C.02.016
Packaging
C.02.017
Material
9. Pengujian
C.02.018
produk jadi
C.02.019
10. Dokumentasi
C.02.020
C.02.021
C.02.022
C.02.023
C.02.024
11. Sampel
12. Stabilitas
13. Produk steril
C.02.025
C.02.026
C.02.027
C.02.028
C.02.029
P/L
*
*
*
*
*
*
*
*
*
31
Jepang
Jepang membentuk Persatuan Produsen Produk Farmasi Jepang (Japan
32
33
Tidak termasuk;
ada juga perbedaan terutama karena budaya Jepang dan bagaimana mereka
melakukan bisnis. Contohnya dalam hal personalia, Jepang memiliki deskripsi
kerja yang sangat jelas karena mereka ingin memastikan bahwa setiap personel
memiliki fungsi dan tanggung jawab yang jelas sesuai dengan tugas yang
diberikan. Mereka menggambarkan peran dan fungsi sebagai Manufacturing
Control Manager, Quality Control Manager dan Product Security Pharmacist.
Sebaliknya, GMP Internasional hanya memberikan gambaran umum mengenai
tanggung jawab tiap personel. GMP Internasional mendefinisikannya sebagai
"Qualified Person", di Jepang mereka menyebutnya "Product Security
Pharmacist" yang akan bertanggung jawab atas produk farmasi yang akan
dipasarkan. Cara Jepang dalam menangani keluhan jauh berbeda dibandingkan
dengan negara-negara Barat. Negara-negara Barat menangani keluhan dengan
business-like manner, sedangkan Jepang dalam menangani keluhan pelanggan
lebih secara pribadi.
Dalam GMP International, ada QOS (Quality Overall Summary), yang
hanya digunakan sebagai abstrak tetapi QOS Jepang digunakan sebagai dokumen
utama yang digunakan untuk validasi. Selain itu Jepang memastikan bahwa
perusahan-perusahan asing yang harus melewati semua lisensi yang diperlukan
34
oleh
pemerintah
dalam
bentuk
peraturan
pemerintah
dan
di
Jepang
dimulai
dengan
memberikan konsultasi mengenai uji klinis obat baru dan peralatan medis, dan
untuk melakukan tinjauan dan survei mengenai data aplikasi yang dapat
dipercaya.
Persetujuan formal dan lisensi diperlukan untuk memasarkan obat di
Jepang. Persetujuan formal dan / atau izin harus diperoleh sebelum peluncuran
pemasaran dari Menteri MHLW atau gubernur dengan mengirimkan data dan
dokumen yang diperlukan untuk me-review bahan-bahan, kekuatan, dosis,
administrasi, indikasi, efek samping, dan lain-lain.Persetujuan dan sistem
perizinan telah direvisi dalam UU dan diubah dari persetujuan manufaktur
menjadi persetujuan pemasaran dari April 2005. Lisensi produk telah
dihapuskan dan kepatuhan melakukan GMP untuk setiap produk telah
ditetapkan sebagai kondisi persetujuan.
Persetujuan pemasaran memerlukan tinjauan ulang untuk menentukan
apakah obat yang tercantum dalam permohonan sesuai dengan obat yang
akan dipasarkan oleh seseorang yang telah memperoleh izin usaha pemasaran
(marketing pemegang otorisasi) untuk jenis obat terkait dan penetapan bahwa
produk telah diproduksi di pabrik yang memenuhi persyaratan GMP (Kurusu,
2012).
MHLW, PMDA, dan prefektur telah mengajukan tawaran keanggotaan di
Pharmaceutical Inspection Cooperation Scheme (PIC/S) pada bulan Maret 2012.
Hal ini menjamin peningkatan level implementasi yang diakui secara internasional
berdasarkan aturan GMP serta meningkatkan standarisasi internasional. Jepang
menjadi anggota PIC/S sejak 1 Juli 2014. JPMA berperan aktif pada ICH
(International Conference on Harmonization) yang bertujuan untuk melakukan
harmonisasi internasional pada regulasi farmasi (JPMA, 2015).
Amerika Serikat
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menjamin kualitas
produk obat dengan hati-hati memantau produsen obat sesuai dengan peraturan
cGMP nya. Regulasi GMP oleh FDA dimulai pada tahun 1962 yaitu mulai
berkembangnya kontrol secara biologis. kemudian pada tahun 1978 cGMP
mengalami revisi yang berkaitan dengan personal dan fasilitas termasuk proses
37
produksi dan produk.Pada tahun 1979 revisi keseluruhan selesai dilakukan. Pada
saat itu, FDA juga mempertimbangkan menetapkan peraturan GMP yang lebih
untuk produk seperti sediaan parenteral volume kecil, gas obat dan bahan obat,
untuk melengkapi lingkup peraturan yang ada (Swarbrick, 2007). Awalnya GMP
didasarkan pada praktek industri terbaik, namun seiring berjalannya waktu GMP
mengalami berbagai perkembangan.
cGMP regulations berdasarkan dari regulasi original GMP pada tahun
1978. GMP alat kesehatan AS telah direvisi secara sangat lengkap, sehingga
membuatnya lebih kompatibel dengan dokumen mutu ISO 9001. Sehingga GMP
alat kesehatan diberi nama baru; FDA sekarang menyebutnya Quality System
Regulation (QSR). Pada tahun 1988 terjadi skandal obat generik di Amerika
Serikat, menyebabkan FDA membuat program yang secara aktif menyetujui
lokasi industri manufacturing obat. Tanpa persetujuan ini industri tidak dapat
melakukan proses manufacturing pembuatan obat (cGMP) sesuai dengan
kebijakan tersebut, telah dikeluarkan berbagai: guides, guidances, guidelines,
directives, points to consider and letters to industry. Maksud utama FDA dalam
membuat
dokumen
tersebut
adalah
sebagai
panduan
wacana
bagi
Federal register
yang berjudul
related statutes.
merepresentasikan subjek area yang luas dari regulasi Federal. Section 21 dari
CFR berisi sebagian besar peraturan yang berkaitan dengan makanan dan obatobatan. Peraturan mendokumentasikan tindakan sponsor obat yang diharuskan
menurut Federal law. 21 CFR Part 210. cGMP dalam pengolahan pembuatan,
pengemasan, atau penanganan obat. 21 CFR Part 211. cGMP untuk produk obat
jadi (Karmacharya, 2012)..
CFR 21 bagian 211 terdiri dari subbagian A ke K menggambarkan
komponen yang berbeda, seperti General Provisions (Ketentuan Umum),
Organization and Personnel (Organisasi dan Personalia), Building and Facilities
38
39
40
FDA tidak dapat menyetujui aplikasi untuk memasarkan obat baru dari
perusahaan yang telah melakukan pelanggaran Praktek cGMP. Demikian pula,
ketidaksetujuan dari aplikasi pemasaran obat berdasarkan kekurangan cGMP juga
harus mengarah pada peraturan dan / atau tindakan administratif terhadap produk
lainnya diproduksi di bawah kondisi yang sama. Contoh : Consistent Application
of Current Good Manufacturing Practice Determinations, Chapter 4 of the
Compliance Policy Guide.
Industri farmasi di Amerika Serikat dan negara lain yang akan memasuki
pasar obat Amerika, terlebih dahulu mengalami Pre dan Post Approval Inspection
dan mendapatkan sertifikasi (keterangan) bahwa industri farmasi yang diaudit
telah memenuhi semua ketentuan FDA tentang cara pembuatan obat yang baik
(GMP dan cGMP)
Sebelum dilakukan audit oleh lembaga berwenang, industri farmasi
melakukan terlebih dahulu audit internal. Audit internal sangat penting sekali
karena akan memberikan masukan tentang kekurangan, untuk dilakukan tindakan
perbaikan sebelum dilakukan audit oleh FDA (instansi lain) berwenang. Audit
internal dilakukan oleh satu team internal industri atau memintakan jasa konsultan
independen untuk melakukan audit. Audit oleh FDA dilakukan secara bertahap, di
mana dilakukan Pre and Post Approval Audit Inspection oleh inspektur /
investigator terlatih dan berpegalaman.
Australia
Pemeriksa regulasi GMP (Good Manufacture Practice) di Australia
41
yang diimpor,
42
Pharmaceutical
Inspection
Convention
and
Pharmaceutical
43
44
(APIs).
Berikut merupakan
products
for
human
use,
Annex
3.
Manufacture
of
Cina
Cina diperkirakan akan menjadi pasar industri farmasi
45
Eropa. Oleh karena itu, kualitas dan mutu sediaan farmasi dan
material bahan baku obat diperiksa secara teliti dibawah
pengawasan FDA di Amerika Serikat
Regulasi Good Manufacturing Practice (GMP) di negara Cina pertama kali
dipublikasikan pada tahun
Administration (SFDA). Setelah itu GMP tersebut mengalami revisi 2 kali pada
tahun 1992 dan tahun 1999. Selanjutnya pada tahun 2010, SFDA mengeluarkan
GMP terbaru berisi persyaratan yang lebih rinci mengenai aspek-aspek kunci dari
proses manufaktur obat. GMP 2010 ini banyak mengadopsi peraturan EU GMP
yang relevan dengan ICH dan WHO Guide to Good Manufacturing Practice
(GMP) Requirements (ECA Foundation, 2011).
Sejak saat
itu,
pedoman
untuk
produk yang
diproduksi
telah
General Provisions
Quality Management
Organization and Personnel
46
Singapura
Regulasi Good Manufacturing Practice dilakukan oleh sebuah unit khusus
yang dibentuk pada bulan April 1997 oleh Administrasi Farmasi Nasional
(National Pharmaceutical Administration, NPA) dari Departemen Kesehatan
untuk memusatkan pemeriksaan produsen produk obat dan kosmetik. Selain itu
terdapat pula unit khusus lain yang disebut Pharmaceutical manufacturing yang
secara aktif membantu produsen lokal untuk meningkatkan operasi mereka, untuk
mencapai standar GMP internasional (Singapore HSA, 2015).
47
2003 2005
Juli 2006
Oktober 2006
2007
India
Produksi obat di India diatur oleh the Drugs and Cosmetics Rules.
49
Swiss
Di negara-negara Eropa, contohnya Swiss, ada sudut pandang berbeda
dalam hal registrasi produk farmasetika seperti yang disusun European Medicines
Agency (EMA): Produksi tersentralisasi dan prosedur terdesentralisasi. Prosedur
tersentralisasi untuk persetujuan obat-obat, dikoordinasikan oleh EMA, sebagai
mandat untuk produk bioteknologi dan produk teknologi tinggi lainnya, dan zat
aktif baru, obat HIV/AIDS, kanker, dan diabetes serta kerusakan saraf tidak
diatur dalam GMP nya. Sementara prosedur desentralisasi diperoleh dari melihat
persetujuan pasar terhadap marketing produk industri farmasi.
Berikut merupakan lampiran-lampiran yang merupakan pedoman GMP di
Swiss berdasarkan PIC/S Secretariat, 2009.:
-
51
2.5.
adalah
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
HK.03.1.23.12.11.10690
Tahun
2011
tentang
Penerapan
52
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor:
53
b. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
54
55
dengan
peaturan
perundang-undangan.
Industri
faramsi
wajib
Poin a sampai d diberikan oleh Kepala Badan. Sedangkan poin e dan f diberikan
oleh Direktur Jendral atas rekomendasi Kepala Badan.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008
tentang Registrasi Obat
Setiap industri farmasi yang menghasilkan obat harus melakukan registrasi
obat, seperti yang diatur dalam peraturan ini. Setiap industri farmasi yang
melakukan registrasi obat wajib memenuhi persyaratan CPOB dan dibuktikan
oleh sertifikat CPOB yang dikeluarkan oleh Kepala Badan. Registrasi adalah
prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapatkan izin edar. Registrasi
obat yang boleh dilakukan oleh industri farmasi adalah obat produksi dalam
negeri, obat narkotika yang hanya boleh dilakukan oleh industri farmasi dengan
izin khusus, obat produksi impor dimana industri farmasi dalam negeri harus
mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari industri farmasi di luar negeri,
obat khusus ekspor, dan obat dengan zat berkhasiat yang dilindungi paten yang
boleh dilakukan oleh industri farmasi pemegang hak paten atau industri farmasi
lain yang ditunjuk oleh pemegang hak paten. Pada pasal 4 dijelaskan bahwa obat
yang memiliki izin edar harus memiliki kriteria sebagai berikut:
a. khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui
percobaan hewan dan uji klinis atau bukti-bukti lain sesuai dengan
statusperkembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan;
b. mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai CPOB,
spesifikasi dan metoda pengujian terhadapsemua bahan yang digunakan serta
produk jadi dengan bukti yang sahih;
c. penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin
penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman;
d. sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat;
e. kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan
kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat
yangtelah disetujui beredar di Indonesia untuk indikasi yang diklaim;
f. khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya yang
akan ditentukan kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia.
Pada Bab IV dijelaskan mengenai tata cara memperoleh izin edar, dengan
alur:
57
58
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
kematian;
keadaan yang mengancam jiwa;
pasien memerlukan perawatan rumah sakit;
perpanjangan waktu perawatan rumah sakit;
cacat tetap;
kelainan kongenital; dan/atau
kejadian medis penting lainnya.
Industri farmasi yang tidak melaksanakan farmakovigilans dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk
penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan
obat
yang
tidak
memenuhi
standar
dan
persyaratan
keamanan,
59
(PNBP) yang berlaku pada Badan POM dan biaya yang telah dibayar tidak dapat
ditaruk kembali.
Pada bagian II tentang Sertifikat Baru pasal 9, 11 dan 12 menerangkan
pemohon menyerahkan permohonan rancangan induk pembangunan (RIP) ke
Kepala Badan dimana dalam jangka waktu 14 hari kerja akan dievaluasi
kesesuaian persyaratan CPOB, dimana bdasarkan hasil evaluasi Kepala Badan
akan menerbitkan persetujuan RIP atau perbaikan RIP apabila belum memenuhi
persyaratan. Apabila RIP telah disetujui maka kepala badan akan memberikan
wewenang kepada Direktur dimana pemohon akan melaporkan kemajuan secara
periodik setiap 3 bulan. Setelah pembangunan selesai selanjutnya pemohon
mengajukan permohonan sertifikasi, paling lama 20 hari kerja, kepala badan akan
melakukan ispeksi dan setelah melakukan inspeksi kepala badan menyampaikan
evaluasi pemenuhan persyaratan CPOB ke pemohon dan dilakukan penerbitan
paling lama 10 hari kerja yang berdasarkan hasil evaluasi yang berisi apakah
penerbitan Sertifikat CPOB atau rekomendasi pemenuhan persyaratan cpob
(dimana sertifikat CPOB diterbitkan setelah adanya izin industri).
Pada pasal 14 menjelaskan apabila terjadi perubahan nama badan hukum,
maka harus melakukan permohonan perubahan sertifikat dimana masa berlaku
sertifikat mengikuti seftifikat sebelum pengubahan.
Pengurusan resertifikasi dijelaskan pada pasal 15 dimana emegang
sertifikat wajib mengajukan permohonan resertifikasi dalam waktu 6 (enam)
bulan sebelum masa berlaku sertifikat berakhir yang diajukan pada Kepala Badan
dan apabila terjadi pelanggaran dalam hal tersebut, maka pemegang sertifikat akan
dikenanakn sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan.
Pada BAB IV menjelaskan tentang perubahan bermakna pada fasilitas
yang telah mendapatkan sertifikat. Pada perubahan tersebut harus mendapat izin
Kepala Badan, Perbahan tersebut meliputi Perubahan kapasitas produksi karena
perubahan ruangan, perubahan peralatan, Perubahan sistem tata udara dan/atau
sistem pengolahan air, Perubahan peralatan yang berdampak langsung pada
sterilitas produk, Perubahan vendor biologis untuk proses pembuatan produk
biologi atau Penambahan gudang. Adapun sanksi yang diberikan apabila terjadi
60
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
Nomor
61
Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang
jenis dan sifat kandungannya sangat beragam sehingga diperlukan cara pembuatan
yang baik dan lebih memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku
untuk penjaminan mutu. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)
meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang
bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi
persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
1. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.05.4.1380 Tahun 2005 tentang Pedoman Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)
Peraturan ini meliputi penjelasan mengenai berbagai aspek dalam CPOTB.
Aspek-aspek tersebut yaitu personalia, bangunan, peralatan, sanitasi dan higiene,
penyiapan bahan baku, pengolahan dan pengemasan, pengawasan mutu, inspeksi
diri, dokumentasi, dan pengamatan terhadap hasil pengamatan produk jadi di
peredaran.
a. Personalia. Personalia hendaknya mempunyai pengetahuan, pengalaman,
keterampilan, dan kemampuan yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Bagian produksi dan pengawasan mutu harus dipimpin oleh orang yang
berbeda dan tidak ada keterkaitan tanggung jawab satu sama lain. Kepala
bagian produksi mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam
manajemen produksi yang meliputi semua pelaksanaan kegiatan, peralatan,
personalia produkisi, area produksi, dan pencatatan. Kepala bagian
pengawasan mutu mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam semua
tugas pengawasan mutu meliputi penyusunan, verifikasi dan penerapan semua
prosedur pengawasan mutu.
b. Bangunan. Bangunan industri obat tradisional hendaknya berada di lokasi
terhindar dari pencemaran dan tidak mencemari lingkungan, serta memenuhi
persyaratan higiene dan sanitasi. Bangunan terdiri atas ruangan-ruangan
dimana pembuatan yang rancang bangun dan luasnya sesuai dengan bentuk,
sifat, dan jumlah produk yang dibuat, jenis dan jumlah peralatan yang
digunakan, jumlah karyawan yang bekerja, serta fungsi ruangan.
62
64
2. Tahap proses yang kritis dalam proses pembuatan, pengawasan dan sarana
penunjang serta perubahannya yang signifikan divalidasi;
3. Tersedia semua sarana yang diperlukan untuk CPOTB termasuk
a.
Personil yang terkualifikasi dan terlatih;
b.
Bangunan dan sarana dengan luas yang memadai;
c.
Peralatan dan sarana penunjang yang sesuai;
d.
Bahan, wadah dan label yang benar;
e.
Prosedur dan instruksi yang disetujui; dan
f.
Tempat penyimpanan dan transportasi yang memadai.
4. Prosedur dan instruksi ditulis dalam bentuk instruksi dengan bahasa yang
jelas, tidak bermakna ganda, dapat diterapkan secara spesifik pada sarana
yang tersedia;
5. Operator memperoleh pelatihan untuk menjalankan prosedur secara benar;
6. Pencatatan dilakukan secara manual atau dengan alat pencatat selama
pembuatan yang menunjukkan bahwa semua langkah yang dipersyaratkan
dalam prosedur dan instruksi yang ditetapkan benar-benar dilaksanakan dan
jumlah serta mutu produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.
Tiap penyimpangan dicatat secara lengkap dan diinvestigasi;
7. Catatan pembuatan termasuk distribusi yang memungkinkan penelusuran
riwayat bets secara lengkap, disimpan secara komprehensif dan dalam bentuk
yang mudah diakses;
8. Penyimpanan dan distribusi obat tradisional yang dapat memperkecil risiko
terhadap mutu obat tradisional;
9. Tersedia sistem penarikan kembali bets obat tradisional mana pun dari
peredaran; dan
10. Keluhan terhadap produk yang beredar dikaji, penyebab cacat mutu
diinvestigasi serta dilakukan tindakan perbaikan yang tepat dan pencegahan
pengulangan kembali keluhan.
Adapun aspek-aspek yang diatur dalam CPOTB antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Personalia
Bangunan, fasilitas, dan peralatan
sanitasi dan hygiene
Dokumentasi
Produksi
Pengawasan mutu
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak
Cara penyimpanan dan pengiriman obat tradisional yang baik
65
seorang
apoteker
warganegara
Indonesia
sebagai
penanggung jawab teknis. lndustri Obat Tradisional dan lndustri Kecil Obat
Tradisional wajib mengikuti Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang
Baik (CPOTB). lzin usaha lndustri Obat Tradisional atau lndustri Kecil Obat
Tradisional berlaku untuk seterusnya selama lndustri Obat Tradisional atau
lndustri Kecil Obat Tradisional yang bersangkutan berproduksi. Izin Usaha
lndustri Obat Tradisional atau lndustri Kecil Obat Tradisional dicabut dalam hal:
a. pabrik dipindahtangankan atau lokasi pabrik dipindah, tanpa persetujuan pemberi
izin
b. tidak menyampaikan informasi industri atau dengan sengaja menyampaikan
informasi yang tidak benar 3 kali berturut-turut
c. melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 39 atau Pasal 41
66
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh
manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi
dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah
68
penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara
tubuh pada kondisi baik. Untuk menghasilkan produk kosmetik yang memenuhi
standard mutu dan keamanan, maka diperlukan suatu pedoman cara pembuatan
kosmetika yang baik (CPKB) yang diatur dalam Keputusan KBPOM RI No:
HK.00.05.4.3870 tahun 2003. Aspek-aspek yang diatur dalam CPKB diantaranya:
1. Personalia
2. Bangunan dan fasilitas
3. Peralatan
4. Sanitasi dan hygiene
5. Produksi
6. Pengawasan mutu
7. Audit internal
8. Penyimpanan
9. Kontrak produksi dan pengujian
10. Penanganan keluhan dan penarikan produk
Adapun tujuan dari penerapan CPKB yaitu :
1. Melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang merugikan dari penggunaan
kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan standar mutu dan keamanan.
2. Meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk kosmetik Indonesia dalam
era pasar bebas.
3. Dipahaminya penerapan CPKB oleh para pelaku usaha industri kosmetik
sehingga bermanfaat bagi perkembangan industri kosmetik.
4. Diterapkannya CPKB secara konsisten oleh industri kosmetik
Penerapan CPKB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk
menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan yang diakui dunia internasional.
Terlebih lagi untuk mengantisipasi pasar bebas di era globalisasi maka penerapan
CPKB merupakan nilai tambah bagi produk kosmetik Indonesia untuk bersaing
dengan produk sejenis dari Negara lain baik di pasar dalam negeri maupun
internasional.
Dalam pembuatan kosmetik, pengawasan yang menyeluruh disertai
pemantauan sangat penting untuk menjamin agar konsumen memperoleh produk
yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan. Mutu produk tergantung dari
bahan awal, proses produksi dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan
personalia yang menangani. Hal ini berkaitan dengan seluruh aspek produksi dan
pemeriksaan mutu.
69
70
secara berkala untuk agar seluruh rangkaian produksi selalu memenuhi CPKB.
Instruksi yang menyangkut produksi kosmetika dilakukan secara tertulis dan jelas
dan harus menggaambarkan riwayat lengkap setiap tahap kegiatan produksi
hingga distribusi. Keluhan dan laporan masyarakat mengenai mutu, keamanan,
dan berbagai hal lain yang merugikan atau menimbulkan masalah harus dievaluasi
dan ditindaklanjuti. Bila terbukti menimbulkan efek samping yang merugikan dan
keamanannya tidak memadai lagi, harus ditarik dari peredaran dan dimusnahkan.
3
Peraturan Lainnya
a. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik;
b. Peraturan
HK.00.05.42.2995
Tahun
2008
tentang
Pengawasan
Pemasukan
Kosmetik;
d. Peraturan
72
73
BAB III
SIMPULAN
3.1. Simpulan
Industri farmasi yang semakin berkembang harus tetap menjaga mutu obat
yang dihasilkan agar terjaga keamanan dan khasiatnya. Oleh karena itu perlu
diterapkannya CPOB dalam setiap langkah yang dilakukan industri farmasi,
termasuk memenuhi persyaratan bangunan dan fasilitas.
Beberapa perauran perundang-undangan mengenai industri farmasi adalah
Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian,
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang
Industri
Farmasi,
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
Obat
dan
Makanan
Republik
Indonesia
Nomor
74
DAFTAR PUSTAKA
BPOM RI. 2001. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 2001. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
BPOM RI. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 2006. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
BPOM RI. 2012. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 2012. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
BPOM RI. 2013. Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman CPOB 2012 Jilid I.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Brhlikova P., et. al. 2007. Good Manufacturing Practice In the Pharmaceutical
Industry. Scotland: University of Edinburgh.
cGMP
form
Learning
Plus,
Inc./Abs.
Available
online
at
http://www.ptphapros.co.id/
article.php?m=
Health&aid=41&lg=in
(Diakses tanggal 04 September 2015).
77