Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH MATA KULIAH MIKROBIOLOGI PASCA PANEN

KERUSAKAN PRODUK SUSU AKIBAT AKTIVITAS MIKROORGANISME

Oleh:
Elly Mayasari
12/331642/PN/12734

JURUSAN MIKROBIOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Susu merupakan salah satu produk pangan yang penting karena susu merupkan sumber
protein hewani yang mengandung gizi lengkap seperti karbohidrat, protein, lemak, garam
mineral dan vitamin yang menjadikan susu sebagai salah satu produk pangan yang dapat
memenuhi kebutuhan tubuh. Lengkapnya kandungan gizi yang terkandung pada susu,
menjadikan susu sebagai medium yang sangat mudah untuk ditumbuhi mikroorganisme sehingga
menjadikan susu mudah basi. Hal tersebut yang menjadikan alasan utama produsen susu
memproduksi susu dalam bentuk kemasan.
Pada pengolahan susu segar menjadi susu kemasan perlu dilakukan proses pengolahan
secara ketat karena produksi susu sangat rawan terjadi kontaminasi. Proses pengolahan susu
menjadi salah satu cara untuk mencegah terjadiya kerusakan susu yang disebabkan oleh
mikroorganisme patogen serta menjaga kualitas susu agar nilai gizi yang terkandung tetap
optimum. Dalam proses pengolahan dari proses pemerahan sampai proses pengemasan harus
dilakukan secara aseptis agar mikroorganisme patogen yang dapat tumbuh pada susu tidak dapat
tumbuh dan berkembang.
Keberadaan mikroorganisme dalam suatu susu mengindikasikan bahwa susu tersebut
memiliki kualitas yang tidak baik dan tidak layak untuk dikonsumsi. Adapun beberapa
mikroorganisme yang sering ditemukan dalam susu antara lain adalah golongan bakteri
Pseudomonodaceae, Bacillaceae, Enterobacteriaceae, Lactobacillaceae dan Sreptococcaceae,
serta Micrococcaceae. Kenampakkan suatu produk susu yang mengalami kerusakan maupun
kontaminasi dapat diketahui dari beberapa indikator baik kenampakkan fisik, kimia maupun
secara biologis. Maka dari itu, untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi pada susu baik susu
perahan maupun susu dalam kemasan salah satunya dengan melakukan proses pengolahan susu
secara aseptis, ketat dan sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan.
B. Tujuan
Memepelajari kerusakan produk pangan berupa susu akibat adanya aktivitas mikroorganisme

II. PEMBAHASAN
A. Karakteristik dan Kerusakan pada Susu
Susu merupakan suatu emulsi lemak dalam air yang mengandung beberapa senyawa
terlarut. Agar lemak dan air dalam susu tidak mudah terpisah, maka protein susu bertindak
sebagai emulsifier (zat pengemulsi). Kandungan air di dalam susu sangat tinggi, yaitu sekitar
87,5%, dengan kandungan gula susu (laktosa) sekitar 5%, protein sekitar 3,5%, dan lemak sekitar
3-4%. Susu merupakan sumber fosfor yang baik dan kaya akan kalsium. Disamping itu susu
mengandung vitamin A yang larut dalam lemak dalam jumlah yang tinggi. Mutu protein susu
sepadan nilainya dengan protein daging dan telur, dan terutama sangat kaya akan lisin. Lisin
merupakan salah satu asam amino esensial yang sangat dibutuhkan tubuh (Widodo, 2002).
Menurut Aak (1995), kriteria air susu sapi yang baik setidak-tidaknya memenuhi hal-hal
sebagai berikut:
1. Bebas dari bakteri patogen
2. Bebas dari zat-zat yang berbahaya ataupun toksin seperti intektisida
3. Tidak tercemar oleh debu dan kotoran
4. Zat gizi yang tidak menyimpang dari codex air susu
5. Memiliki cita rasa normal
Mikroorganisme yang berkembang didalam susu selain menyebabkan susu menjadi rusak
juga membahayakan kesehatan masyarakat sebagai konsumen akhir. Disamping itu penanganan
susu yang tidak benar juga dapat menyebabkan daya simpan susu menjadi singkat, harga jual
murah yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi pendapatan peternak sebagai produsen susu.
Proses pengolahan susu bertujuan untuk memperoleh susu yang beraneka ragam, berkualitas
tinggi, berkadar gizi tinggi, tahan simpan, mempermudah pemasaran sekaligus meningkatkan
nilai tukar dan daya guna bahan mentahnya (Saleh, 2004).
Komposisi kimia susu yang lengkap seperti lemak, laktosa, protein, dan komposisi
lainnya memungkinkan susu berperan sebagai medium yang baik bagi pertumbuhan mikrobia
patogen. Susu yang dihasilkan pada ambing sapi harusnya steril, namun setelah melewati
kelenjar puting baru terjadi kontaminasi oleh mikroba. Oleh karena itu, susu yang diperoleh
sesudah pemerahan selalu mengandung sejumlah bakteri pencemar yang macam dan jumlahnya
tergantung pada lingkungan, patologi hewan (kesehatan), peternakan, peralatan, penyimpanan
dan transportasi susu.

Menurut Supardi dan Sukamto (1999), susu dapat terkontaminasi oleh bakteri-bakteri
patogen melalui beberapa cara sebagai berikut:
1) Susu yang berasal dari sapi perah yang menderita infeksi. Misalnya infeksi oleh bakteri
Brucella, Mycobacterium, dan Coxiella burnetii.
2) Sapi perah terkontaminasi secara langsung dari manusia, yang sebenarnya berasal dari orang
yang terkena infeksi. Kebanyakkan infeksi berasal dari pekerja-pekerja susu yang sakit.
Misalnya kontaminasi oleh Streptococcus, Staphylococcus, Pseudomonas, dan Corynebacterium.
3) Susu terkontaminasi oleh bakteri patogen yang tidak berasal dari sapinya, yaitu setelah proses
pemerahan. Misalnya Salmonella typhi, Corynebacter diptheriae dan Streptococcus pyogenes.
Berbagai mikrobia tumbuh dan berkembang dengan baik pada susu segar. Dua kelompok
utama mikrobia tersebut adalah bakteri dan fungi. Bakteri dalam susu sapi dapat berasal dari sapi
itu sendiri maupun dari lingkungan. Adanya aktivitas bakteri dalam susu menyebabkan susu
menjadi asam, mempunyai rasa dan bau yang tidak sedap. Namun ada beberapa pula bakteri
yang menguntungkan yakni bakteri yang dapat memfermentasi susu sehingga diperoleh berbagai
macam produk fermentasi susu seperti yoghurt.
B. Mikroorganisme yang Terdapat pada Susu
Bakteri pencemar dalam susu dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bakteri patogen
dan bakteri pembusuk. Bakteri pembusuk seperti Micrococcus sp., Pseudomonas sp., dan
Bacillus sp. akan menguraikan protein menjadi asam amino dan merombak lemak dengan enzim
lipase sehingga susu menjadi asam dan berlendir. Beberapa Bacillus sp. yang mencemari susu
antara lain adalah B. cereus, B. subtilis, dan B. licheniformis (Widodo, 2010).
Adapun kelompok bakteri patogen yang sering mengkontaminasi susu diantaranya adalah
golongan bakteri Pseudomonodaceae, Bacillaceae, Enterobacteriaceae, Lactobacillaceae dan
Sreptococcaceae, serta Micrococcaceae.
1) Enterobacteriaceae
Golongan bakteri Enterobacteraceae merupakan sekelompok besar dari bakteri Gram
negatif, tidak berspora, berbentuk batang kecil. Beberapa genus Enterobacteriaceae penting bagi
kesehatan masyarakat karena menimbulkan wabah keracunan pangan dan penyakit infeksi yang
ditularkan melalui makanan yang cukup serius. Beberapa genus Enterobacteriaceae meliputi:
a.

Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk pendek (kokobasil),


berukuran 0,4-0,7m, bersifat anaerob fakultatif dan mempunyai flagella peritrikal. Bakteri ini
banyak ditemukan didalam usus manusia sebagai flora normal. Escherichia coli biasanya juga
terdapat dalam alat pencernaan hewan. Selain itu Escherichia coli sering digunakan sebagai
indikator kualitas sanitasi dalam air maupun susu. Escherichia coli merupakan bakteri yang
banyak ditemukan di dalam usus besar manusia dan hewan. Bakteri ini selalu dihubungkan
dengan penyakit diare pada manusia dan sering ditemukan dalam feses sehingga dapat digunakan
sebagai indikator pencemaran air dan makanan oleh feses. Bakteri ini juga dapat menimbulkan
penyakit infeksi saluran kemih, sepsis dan meningitis (Jawetz dkk., 1996).
Pada manusia, E. coli yang menyebabkan diare dikelompokan menjadi empat, yaitu
enterotoksigenik E. coli (ETEC), enteroinvasif E. coli (EIEC), enteropatogenik E. coli (EPEC),
dan enterohemoragik E. coli (EHEC). Virulensi ETEC disebabkan adanya ekspresi antigen
fimbria sehingga memungkinkan E. coli menempel pada sel usus mamalia dan memproduksi
enterotoksin yang bersifat tahan panas (heat stable) dan tidak tahan panas (heat labile).
Enterotoksin akan memengaruhi sekresi cairan saluran pencernaan melalui peningkatan
konsentrasi cyclic AMP (cAMP) ataupun cGMP (Nataro dan Kaper 1998). Pada saluran
pencernaan manusia, EPEC akan menyebabkan atrofi dan nekrosis usus. Pada anak-anak, EPEC
menyebabkan diare, sedangkan EHEC akan membentuk koloni pada saluran pencernaan
sehingga mengakibatkan terjadinya atrofi dari mikrofili sel-sel epitel usus (Nataro dan Kaper
1998).

b.

Shigella

Shigella merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang, berukuran 0,5- 0,7m x 23m dan tidak berflagel, tidak membentuk spora,membentuk koloni yang konveks, bulat, dan
transparan. Shigella biasanya terdapat dalam alat pencernaan hewan.

Shigella dapat

menyebabkan kerusakan pada susu melalui udara, debu, alat pemerahan, maupun dari manusia.
Biasanya disentri basiler atau shigellosis adalah penyakit infeksi usus akut yang disebabkan oleh
Shigella (Volk dan Wheeler, 1993).
c.

Klebsiella

Klebsiella merupakan kelompok bakteri Gram negatif, berbentuk batang, non motil,
mempunyai kapsul, membentuk kolobi besar mucoid dan berlendir dan cenderung bersatu pada
pergerakan yang lama. Klebsiella memiliki kemampuan untuk meragikan laktosa dan beberapa
karbohidrat lain dan

negatif terhadap tes merah motil. Seperti halnya Escherichia coli,

Klebsiella merupakan bakteri yang sering digunakan dalam uji sanitasi air maupun susu.
Klebsiella terdapat dalam saluran nafas dan feses pada sekitar 5 % orang normal. Bakteri ini
menyebabkan pneumonia, infeksi saluran kemih, dan peradangan saluran nafas (Jawetz
dkk.,1996).
d.

Enterobacter

Enterobacter merupakan bakteri aerob berbentuk batang pendek, bersifat Gram negatif
membentuk rantai, mempunyai kapsul kecil, motil dengan flagel peritrik. Pada media padat
koloni berbentuk non mukoid dan cenderung menyebar keseluruh permukaan. Bakteri ini dapat
membentuk asam dan gas. Enterobacter tidak merupakan flora normal di dalam saluran
pencernakan, dapat hidup bebas serta menyebabkan infeksi saluran kemih dan sepsis (Jawetz
dkk.,1996).
2) Pseudomonas
Pseudomonas adalah bakteri aerob tetapi dapat menggunakan nitrat dan arginin sebagai
elektron dan tumbuh dalam keadaan anaerob. Bakteri ini berbentuk batang, Gram negatif,
bergerak dengan flagel polar serta berukuran 0,8-1,2m. Beberapa strain Pseudomonas dapat
memproduksi pigmen larut air dan dapat tumbuh baik pada 37C-42C . Bakteri Pseudomonas
biasanya terdapat dalam air susu mentah yang belum dipasteurisasi. Pseudomonas terdapat
dalam flora usus normal dan kulit manusia dalam jumlah kecil. Bakteri ini dapat menyebabkan
infeksi pada orang yang mempunyai ketahanan tubuh yang menurun, yaitu penderita luka bakar,

orang yang sakit berat atau dengan penyakit metabolik atau orang yang sebelumnya memakai
alat-alat bantu kedokteran seperti kateter dan respirator.
3) Micrococcaceae
Spesies dari famili ini adalah Gram positif, tidak berspora, bersifat katalase positif yang
dapat tersusun secara tunggal, berpasangan, tetrad atau kelompok kecil. Dua genus yang penting
dalam bahan pangan adalah Micrococcus dan Staphylococccus. Kelompok Staphylococci yang
terpenting dalam makanan adalah Staphylococcus aureus. Pada waktu pertumbuhan, organisme
ini mampu memproduksi suatu enterotoksin yang cukup berbahaya yang menyebabkan
terjadinya peristiwa keracunan makanan (Buckle dkk., 1987).
Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam
bentuk kluster (menggerombol) yang tidak teratur. Staphylococcus bertambah dengan cepat pada
beberapa tipe media dengan aktif melakukan metabolisme, melakukan fermentasi karbohidrat
dan menghasilkan bermacam-macam pigmen dari warna putih hingga kuning gelap.
Staphylococcus cepat menjadi resisten terhadap beberapa antimikroba (Jawetz dkk., 2001).
Staphylococcus tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologi di bawah suasana aerobik
atau mikroaerofilik. Bakteri ini tumbuh dengan cepat pada temperatur 20C-35C dengan
membentuk koloni bulat mengkilat pada media padat. Staphylococcus aureus sering ditemukan
sebagai kuman flora normal pada kulit dan selaput lendir manusia. Beberapa jenis bakteri ini
dapat membuat enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan.
Bakteri Staphylococcus aureus juga merupakan salah satu penyebab penyakit Mastitis
(radang kelenjar susu). Bakteri ini masuk melalui puting susu dan berkembangbiak dalam
saluran susu (Jawetz dkk., 2001). Jumlah S. aureus >104 cfu/ml pada susu sudah dapat
membentuk toksin dan bila dikonsumsi akan menyebabkan intoksikasi. Mekanisme kerja toksin
S. aureus adalah dengan cara merangsang reseptor saraf lokal dalam perut, selanjutnya
mengantarkan impuls melalui syaraf vagus dan simpatetik dan pada akhirnya menstimulasi pusat
muntah yang terdapat di medula oblongata (Tamarapau et al. 2001).

C. Penanganan Kerusakan Produk Susu


Kontaminasi susu perlu dicegah sedini mungkin dengan menjaga kebersihan dan
kesehatan hewan perah. Agar susu yang diproduksi terjaga kebersihannya dan lebih tahan lama
dari kerusakan. Maka dapat dilakukan beberapa penanganan air susu, antara lain:
a. Pendinginan Susu
Pendinginan susu bertujuan agar terjadi penurunan suhu susu dari suhu ambing 37C ke
berbagai suhu yang lebih rendah untuk menahan mikroba perusak susu agar jangan berkembang,
sehingga susu tidak mengalami kerusakan dalam waktu yang relatif singkat. Pendinginan susu
biasanya menggunakan almari es atau alat pendingin khusus yang suhunya di bawah 10C.
b. Pasteurisasi Susu
Pasteurisasi merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mematikan
bakteri patogen. Namun, melalui pasteurisasi, bakteri yang berspora masih tahan hidup sehingga
susu pasteurisasi hanya memiliki masa kedaluwarsa sekitar satu minggu. Pasteurisasi dilakukan
dengan waktu tertentu seperti disajikan pada Tabel 2. Pasteurisasi tidak mengubah komposisi
susu sehingga komposisinya masih setara susu segar (Jay, 1996). Pasteurisasi umumnya
dilakukan pada suhu 72OC selama 15 detik.

Ada 3 cara pasteurisasi yaitu:


1. Pasteurisasi lama (law temperature, long time).
Pemanasan susu dilakukan pada temperatur yang tidak begitu tinggi dengan waktu yang relatif
lama (pada temperatur 62- 65C selama 1/2- 1 jam).
2.

Pasteurisasi singkat (high temperature, short time).

Pemanasan susu dilakukan pada temperatur tinggi dengan waktu yang relatif singkat (pada
temperatur 71,11 C selama 15 detik). Pada pasteurisasi ini juga dapat digunakan suhu 75 C
selama 15-16 detik dengan menggunakan alat pemanas berbentuk lempengan dimana suhu harus
dijaga sebaik mungkin.
3. Pasteurisasi dengan Ultra High Temperature (UHT)
Susu yang melalui proses UHT akan memiliki masa kedaluwarsa lebih panjang
dibandingkan dengan susu pasteurisasi. Pasteurisasi dengan UHT dilakukan pada suhu 125 C
selama 15 detik atau 131 C selama 0,5 detik. Susu dengan proses UHT akan steril karena
bakteri pembusuk, patogen, dan berspora akan mati sehingga susu aman dikonsumsi. Adapun
kasus keracunan setelah minum susu yang disebabkan oleh S. aureus terjadi disebabkan karena
kontaminasi selama penyimpanan maupun proses produksi.

c. Penggunaan bakteriosin
Bakteriosin merupakan antimikroba yang digunakan untuk menonaktifkan mikroba.
Pengendalian bakteri patogen dapat dilakukan dengan kombinasi antara bakteriosin yang
dihasilkan bakteri asam laktat dan suhu tinggi. Nisin dan bakteriosin merupakan antimikroba
yang dihasilkan oleh Lactococcus lactis subsp. lactis yang dapat menekan B. cereus dalam susu.
Nisin merupakan antimikroba alami yang sudah lama digunakan untuk mengendalikan bakteri
pembusuk dalam proses pasteurisasi susu sehingga sel vegetatif dan spora B. cereus tidak aktif
(Wandling et al. 1999).
III.

PENUTUP

Susu merupakan salah satu produk pangan yang sangat rentan terhadap kerusakan yang
disebabkan oleh keberadaan mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme yang menjadi penyebab
kerusakan pada susu antara lain golongan bakteri Pseudomonodaceae, Bacillaceae,
Enterobacteriaceae, Lactobacillaceae dan Sreptococcaceae, serta Micrococcaceae. Adapun cara
penanggulangan yang dapat dilakukan agar susu tidak mudah mengalami kerusakan yakni
dengan cara pendinginan, pasteurisasi serta penggunaan bakteriosin.

DAFTAR PUSTAKA
Aak, 1995. Petunjuk Praktis Berternak Sapi Perah, Kanisius, Yogyakarta.
Buckle, K. A. dkk. 1987. Ilmu Pangan. UI-Press, Jakarta.
David, E.P. 1999. Foodborne pathogens. Monograph no 6 Staphylococcus aureus. Oxoid.
Jawetz, E.J.L. dan E.A. Adelberg. 2001. Mikrobiologi kedokteran Edisi I. Diterjemahkan
oleh Penerjemah Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Salemba Medika, Surabaya.
Jawetz, E. 1996. Mikrobiologi Kedokteran edisi 20. EGC, Jakarta.
Jay, M.J. 1996. Modern Food Microbiology. Fifth Ed. International Thomson Publishing,
Chapman & Hall Book, Dept. BC.
Nataro, J.P. dan J.B. Kaper. 1998. Diarrhegenic Escherichia coli. Clinical Microbiol. Rev. 1(11):
1538.
Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Universitas Sumatera Utara
Press, Medan.
Supardi, I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan Pangan dan Keamanan Pangan.
Yayasan Adikarya Ikapi, Bandung.
Tamarapau, S., J.L. Mckillip dan M. Drake. 2001. Development of a multiplex polymerase chain
reaction assay for detection and differention of Staphylococcus aureus in dairy
products. J. Food Protect. 64(5): 664668.
Volk, W.A dan Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar. Erlangga, Jakarta.
Wandling, L.R., B.W. Sheldon, dan P.M. Foegeding. 1999. Nisin in milk sensitizes spores to heat
and prevents recovery of survivors. J. Food Protect. 65(5): 492498.
Widodo, S. 2010. Bakteri yang sering mencemari susu : deteksi, patogenesis, epidemiologi dan
cara pengendaliannya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Widodo, W. 2002. Bioteknologi Fermentasi Susu. Universitas Muhamadiyah, Malang.

Anda mungkin juga menyukai