Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia
Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia
Oleh:
Prof. Dr. Boediono2
1
2
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas EkonomiUniversitas Gadjah Mada
Prof. Dr. Boediono saat ini menjabat sebagai Gubernur Bank Indomesia
ORourke (2002)
Johnson (1998)
6
ORourke (2002) atau Budiman dkk, eds (1999)
5
10
yang rasional, konsisten dan berwawasan jangka panjang short term pain for
long term gain. Di sisi lain, sistem politik
yang berjalan, karena mekanisme yang
belum mantap, tidak mendukung
pengambilan keputusan yang cepat dan
decisive. Risiko distorsi terhadap kebijakan
yang rasional juga tinggi karena tidak
jarang kepentingan sempit dan jangka
pendek mendominasi wacana pengambilan
keputusan di lembaga legislatif dan
bahkan eksekutif, tanpa ada mekanisme
koreksi yang efektif. Inilah sebabnya
mengapa para ahli berpendapat bahwa
kebijakan ekonomi, sampai batas
tertentu, perlu diinsulasikan dari hirukpikuk politik sehari-hari. Independensi
bank sentral, yang sekarang sudah
umum diterima, adalah satu perwujudan
dari pemecahan dilema ini. Apakah
pemecahan serupa dapat diterapkan di
bidang lain seperti kebijakan fiskal,
industri dan perdagangan atau lingkungan hidup, sekarang masih diperdebatkan
para ahli.
Yang penting, posisi strategis
mengenai imbangan antara teknokrasi
dan demokrasi harus diambil oleh setiap
bangsa pada setiap tahap perjalanannya.
Di masa Orde Baru, dengan plus dan
minusnya, proses kebijakan ekonomi
diproteksi dari proses politik sehari-hari,
paling tidak selama dua dasawarsa
pertama. Sekarang, format itu tidak
cocok lagi. Format yang baru harus kita
temukan dan posisi strategis yang pas
harus kita ambil. Ia tidak bisa dibiarkan
hanya sebagai hasil sampingan dari
proses politik praktis. Taruhannya terlalu
besar.
Kelompok Pembaharu. Sejarah
menunjukkan bahwa keberhasilan proses
transformasi menuju masyarakat yang
Landes (1999)
sejarah
panjang
pertikaian
antar
kelompok didalamnya, sehingga begitu
orang
kuat
pemersatunya
tiada,
pertikaian muncul kembali dan bangsa
itu pecah.
Yang perlu diwaspadai, terutama
pada tahap-tahap awal yang rawan,
adalah bahwa suatu bangsa harus
pandai-pandai menjaga keseimbangan
antara kekuatan kohesi sosialnya di satu
sisi dan kecepatan perubahan yang ingin
dilaksanakannya di sisi lain.
Setiap
perubahan selalu membawa stress dan
strain. Imbangan mana yang paling
tepat bagi suatu bangsa, pada akhirnya
terpulang pada kenegarawanan dan
kearifan pemimpin bangsa atau kaum
elitenya.
Dari segi kekuatan kohesi
sosialnya Indonesia barangkali termasuk
dalam kelompok peringkat sedang. Kita
beruntung karena kita tidak mempunyai
sejarah perseteruan yang mendalam
antar kelompok, suku dan agama di
antara kita, seperti di Yugoslavia dan
Irak. Kita beruntung karena para pejuang kemerdekaan dan pendiri bangsa ini
telah berhasil menempa kesadaran
berbangsa yang sampai sekarang tetap
kokoh dan merupakan modal politik
bangsa. Namun kita patut selalu menyadari pula bahwa bangsa kita memiliki
keragaman budaya, agama, tradisi dan
bahkan temperamen yang berpotensi
menimbulkan perpecahan. Kita perlu
tetap ingat bahwa separatisme bukan hal
yang asing dalam sejarah kita sejak
kemerdekaan, meskipun tidak pernah
menjadi kekuatan dominan. Demokratisasi, desentralisasi, modernisasi dan
transformasi menuju keterbukaan, apabila
tidak dikelola dengan arif, dapat menciptakan kekuatan-kekuatan sentrifugal.
Sebaliknya, pendidikan, pertumbuhan
22
dapat
memberikan
hasil
yang
didambakan masyarakat.
Inflasi lepas
kendali, produksi nasional merosot dan
kehidupan sehari-hari semakin berat.
Pada waktu itu bangsa kita sebenarnya
mengalami suatu krisis ekonomi yang
berat, yang akhirnya bermuara pada
perubahan sistem politik.24
Bagi
generasi yang mengalami masa itu
(termasuk saya sendiri) tentu masih ingat
betapa sulitnya kehidupan sehari-hari
pada waktu itu. Namun, di tengahtengah kesulitan hidup itu kita, terutama
mereka yang
muda usia, juga
merasakan adanya suatu kebanggaan
yang luar biasa di hati kita masingmasing sebagai warganegara dari bangsa
yang, di arena internasional, disegani
dan terkadang ditakuti. Namun itu
semua tidak mengubah berlakunya dalil
bahwa kemerosotan ekonomi, apalagi
krisis ekonomi, berakibat fatal terhadap
suatu orde politik.
Masa Orde Baru 1966-1998
adalah masa kestabilan politik yang
terpanjang dalam sejarah Indonesia
merdeka. Kestabilan politik itu telah
memungkinkan
dilaksanakannya
kebijakan ekonomi yang konsisten dan
berkesinambungan. Hasilnya berupa
pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata
7% selama tiga dasawarsa yang
dibarengi dengan stabilitas ekonomi
yang cukup mantap, pemba-ngunan
infrastruktur
besar-besaran
yang
memperlancar kegiatan ekonomi dan
makin menyatukan Indonesia serta
perbaikan yang berarti dari berbagai
indikator sosial dan pembangunan
manusia. Pada gilirannya semua perbaikan itu makin memperkuat stabilitas
24
10
Hill (1997)
11
12
13
14
15
laman kita sendiri dan pengalaman negaranegara lain yang mengikuti jalur ini, kita
memperoleh gambaran mengenai jalan
yang kemungkinan akan kita lalui ke
depan.
Pada tahap awal faktor ekonomi
sangat menentukan. Kemungkinan kegagalan demokrasi sangat tinggi pada
tingkat penghasilan per kapita rendah
dan secara progresif menurun dengan
kenaikan penghasilan. Ekonomi dapat
tumbuh tanpa demokrasi, selama rule of
law dapat ditegakkan. Pada tingkat
kemakmuran yang lebih tinggi, demokrasi pada gilirannya akan makin
menjadi penentu keberlanjutan peningkatan kemakmuran. Hubungan positif
timbal balik antara ekonomi dan
demokrasi makin kuat.
Pada setiap tahap, peran kelompok pembaharu, yaitu suatu koalisi
kekuatan lintas kelompok masyarakat
yang disatukan oleh platform yang
mendukung modernisasi dan demokratisasi, sangat krusial. Kelompok ini akan
tumbuh subur dalam lingkungan ekonomi yang tumbuh secara tersebar (broad
based) dan dilandasi oleh tatakelola
yang baik dan iklim usaha yang sehat.
Risiko yang paling mendasar
bagi Indonesia adalah bagaimana
menjaga eksistensi dan keutuhan bangsa
sepanjang perjalanan transformasinya.
Kita memiliki modal politik yang cukup
untuk ini, tetapi ia harus terus-menerus
dipupuk kembali dan diperkuat. Program
penguatan kesadaran berbangsa dan
nation building harus tetap menjadi
bagian integral dari pembangunan
Indonesia. Keikutsertaan kita dalam
globalisasi tidak boleh melengahkan kita
dalam nation building.
Risiko besar kedua yang kita
hadapi adalah tingkat kemakmuran
16
Ungkapan Terimakasih
Terlalu banyak pihak yang
berhak menerima apresiasi dan rasa
terimakasih saya untuk saya sebut satu
per satu. Untuk mengurangi risiko ada
yang terlewatkan perkenankan saya
menyampaikan rasa terimakasih yang
tulus kepada semua sejawat dan rekan
kerja di lingkungan Fakultas Ekonomi
dan Universitas Gadjah Mada atas
kerjasama dan persahabatan kita selama
ini. Di Kampus Biru ini saya dibentuk
dan dibesarkan. Universitas Gadjah
Mada sudah menjadi bagian dari diri
saya. Saya juga ingin menyampaikan
rasa terimakasih kepada semua rekan
kerja dan sahabat di berbagai instansi di
Jakarta atas kerjasama dan persahabatannya selama ini. Dengan segala
keterbatasan, kita bersama-sama telah
berupaya memberikan yang terbaik bagi
bangsa. Keluarga saya meminta saya
untuk tidak menyampaikan terimakasih
bagi mereka. Tidak perlu, kata mereka.
Mereka hanya meminta saya untuk
memberikan lebih banyak perhatian dan
waktu bagi mereka. Untuk sementara
ini, nampaknya permintaan ini belum
dapat saya penuhi. Terakhir saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh hadirin yang telah berkenan meluangkan
waktu untuk hadir pada acara hari ini.
17
18