Anda di halaman 1dari 18

JURNAL KEUANGAN PUBLIK

Vol. 5, No. 1, Oktober 2008


Hal 1 - 17

DIMENSI EKONOMI-POLITIK PEMBANGUNAN INDONESIA1

Oleh:
Prof. Dr. Boediono2

1
2

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas EkonomiUniversitas Gadjah Mada
Prof. Dr. Boediono saat ini menjabat sebagai Gubernur Bank Indomesia

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

Yang saya hormati Ketua, Sekretaris dan


para Anggota Majelis Wali
Amanat Universitas Gadjah
Mada,
Yang saya hormati Ketua, Sekretaris dan
para Anggota Majelis Guru
Besar Universitas Gadjah Mada,
Yang saya hormati Ketua, Sekretaris dan
para Anggota Senat Akademik
Universitas Gadjah Mada,
Yang saya hormati Rektor, para Wakil
Rektor
Universitas
Gadjah
Mada,
Sivitas Akademika dan Para Hadirin yang
saya muliakan,
Suatu kebahagiaan yang tak
terhingga bagi saya dapat berdiri di sini
untuk menyampaikan beberapa pemikiran
saya kepada sidang Majelis yang terhormat ini. Apa yang akan saya sampaikan
di sini menyangkut masalah yang,
menurut pandangan saya, menyentuh
kepentingan kita semua sebagai warga
dari bangsa ini, dan bahkan kepentingan
anak-cucu kita. Masalah itu adalah
mengenai reformasi yang kita laksanakan.
Hampir sembilan tahun sudah
kini bangsa Indonesia menempuh jalur
perjalanan baru dalam sejarahnya, jalur
demokrasi dan pluralisme. Keputusan itu
kita ambil sendiri secara sadar sebagai
bangsa tanpa didikte oleh siapa pun.
Sekarang, setelah mengalami serentetan
peristiwa sosial-politik yang menentukan
sejarah bangsa dan bahkan dibarengi
dengan berbagai cobaan alam, dan masih
dalam suasana eforia reformasi yang
belum juga reda, kita sepatutnya menghela nafas dan merenung sejenak dan
menanyakan pada diri kita: ke mana
arus peristiwa dan perkembangan
selama ini akan membawa kita, apakah
kita akan sampai pada apa yang kita

impikan dulu sewaktu kita mengambil


sikap sejarah yang krusial itu? Are we
on the right track? Apakah ada yang
perlu kita koreksi?
Pertanyaan-pertanyaan besar ini
tentu tidak mungkin dijawab dalam satu
jam. Namun dengan segala kerendahan
hati perkenankan saya mengajak para
hadirin sekalian untuk bersama saya
mengeksplorasi beberapa segi penting
dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Saya
sangat sadar bahwa uraian saya
maksimal hanya akan dapat memberikan
jawaban parsial terhadap sebagian dari
pertanyaan-pertanyaan besar tersebut.
Saya akan memulai dengan
mengingat kembali apa sebenarnya yang
kita inginkan sewaktu kita menggulirkan
reformasi beberapa tahun lalu. Kemudian, berdasarkan itu dan mengacu
kepada hasil-hasil riset yang dapat kita
baca akhir-akhir ini, saya akan mencoba
mendefinisikan secara umum pengertian
jalur yang benar. Karena hanya
dengan menyepakati apa yang kita
maksud dengan the right track, baru
kita bisa menjawab apakah kita on the
right track. Sisa waktu yang tersedia
akan saya gunakan untuk mengupas
simpul-simpul kritis sepanjang jalur
perjalanan kita ke depan dan apa yang
seyogyanya kita lakukan dan siapkan
untuk menghadapinya.
Tuntutan Reformasi
Marilah kita mulai dengan mengajukan pertanyaan: sebenarnya apa
motif dasar yang mendorong kita sebagai
bangsa memutuskan untuk melakukan
perubahan mendasar dalam tata kehidupan
sosial-politik kita lebih dari delapan tahun lalu?
Untuk memperoleh perspektif
yang benar kita perlu mengingat kembali

Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia

peristiwa-peristiwa sebelumnya yang


membawa kita ke momen yang krusial
itu. Selama lebih dari 30 tahun menakhodai negara, Orde Baru telah berhasil
mengangkat kondisi kehidupan ekonomi
dan sosial di Indonesia secara sangat
berarti. Penghasilan per kapita meningkat dari sekitar hanya USD 70 pada
pertengahan 1960an menjadi lebih dari
USD 1000 pada pertengahan 1990an.
Prasarana yang langsung melayani masyarakat maupun yang mendukung
kegiatan ekonomi dibangun secara luas.
Kemiskinan menurun drastis dan berbagai
indikator kesejahteraan sosial mulai dari
harapan hidup, tingkat kecukupan gizi,
tingkat kematian ibu dan anak, sampai
ke tingkat partisipasi pendidikan, ketersediaan air bersih dan perumahan,
semuanya menunjukkan perbaikan yang
berarti. Indonesia menjadi contoh pembangunan yang sukses.3
Dengan perbaikan taraf hidup
seperti itu, mengapa timbul keresahan
dan tuntutan yang makin mengental
untuk perubahan di kalangan masyarakat atau, lebih tepatnya, diantara para
elite masyarakat? Jawabannya terletak
pada perkembangan di segi lain dari
kehidupan masyarakat Indonesia. Di
tengah kemajuan itu, terutama dalam
dasawarsa terakhir Orde Baru, tumbuh
persepsi di kalangan masyarakat, yang
makin mengental setiap hari, bahwa
praktek korupsi, penyalahgunaan kewenangan di jajaran pemerintahan dan
kroniisme di kalangan dunia usaha
makin meluas. Meskipun pers dikendalikan, ceritera mengenai hal itu terus
merebak dan kasus-kasus nyata terungkap. Rasa keadilan masyarakat terusik.
Namun dalam konstelasi politik yang

ada, saluran-saluran untuk kritik, disensi,


protes dan koreksi, tersumbat. Keresahan
dan ketidakpuasan berakumulasi, siap
meledak apabila ada pemicu.4
Dan pemicu itu akhirnya tiba.
Krisis keuangan yang mulai muncul
pada pertengahan 1997 terus memburuk
dan memasuki tahun 1998 berkembang
menjadi krisis ekonomi skala luas
dengan dampak negatif yang langsung
dirasakan oleh masyarakat banyak. Harga barang kebutuhan pokok naik tajam
dan PHK terjadi dimana-mana.5 Keresahan yang semula sebatas kalangan elite
berkembang menjadi ketidakpuasan
sosial yang akhirnya menjadi kerusuhan
masal. Indonesia memasuki tahap krisis
multidimensi dan perubahan politik
mendasar kemudian terjadi.
Dari peristiwa yang penuh
ketegangan dan hiruk-pikuk itu tidak
mudah untuk menyarikan aspirasi
masyarakat yang berkembang pada
waktu itu. Namun apabila kita telusuri
motif dasar gerakan reformasi, barangkali empat tema merangkum sebagian
besar dari tuntutan tersebut, yaitu: (1)
perbaikan ekonomi, (2) perbaikan tata
pemerintahan atau governance, (3)
supremasi hukum dan (4) demokrasi.
Singkatnya, masyarakat menginginkan
Indonesia yang makmur, bersih dari
KKN, taat hukum dan demokratis.6
Bukan tuntutan yang mudah, tapi itulah
keinginan rakyat.
The Right Track
Sekarang marilah kita kembali
kepada pertanyaan: Are we on the right
track? Agar jelas arah pembahasan saya,
perkenankan saya memberikan jawaban
4

ORourke (2002)
Johnson (1998)
6
ORourke (2002) atau Budiman dkk, eds (1999)
5

Hill (1996), World Bank (1993).

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

terhadap pertanyaan ini sejak awal.


Dengan berbagai catatan penting yang
akan saya uraikan nanti, jawaban
terhadap pertanyaan tersebut adalah: ya,
kita di jalur yang benar. Ini sama sekali
tidak berarti bahwa kita sudah pasti akan
sampai pada tujuan yang kita inginkan.
Tidak ada jaminan seperti itu. Pada
setiap tahap dalam perjalanan, kita
sebagai bangsa harus melewati momen
pilihan dan titik persimpangan yang
memerlukan keputusan dan langkah
strategis. Marilah kita melihat lebih
dalam apa yang kita maksud dengan
the right track.
Tidak ada suatu jalur yang
paling benar. Sejarah mencatat bahwa
rute yang dilalui oleh berbagai bangsa
sangatlah beragam. Tetapi ini tidak
berarti bahwa kita tidak dapat mengidentifikasi pola-pola umum dalam
sejarah kemajuan bangsa-bangsa. Identifikasi pola-pola umum dan penjelasannya merupakan bagian penting dari
kegiatan para ahli sejarah dan ilmu
sosial lainnya. Sekarang sudah banyak
studi, baik teoritis maupun empiris, yang
dapat membantu kita untuk menjawab
pertanyaan: pola-pola umum mana yang
terbuka bagi kita. Bagi Indonesia pilihan
itu sebenarnya lebih mudah, karena
gerakan reformasi telah menjatuhkan
pilihannya pada jalur demokrasi.
Dalam literatur ekonomi-politik
terdapat kristalisasi pandangan mengenai garis besar proses transformasi dari
masyarakat
berpenghasilan rendah,
tertutup dan tidak demokratis menuju
masyarakat yang makmur, terbuka dan
demokratis.
Fondasi Ekonomi. Salah satu
kristalisasi
pandangan itu adalah
mengenai
fondasi
ekonomi
dari

demokrasi. Intinya adalah bahwa pada


tahap awal perjalanannya masyarakat
berpenghasilan rendah, tertutup dan
belum demokratis seyogyanya memusatkan
upayanya pada pembangunan ekonomi
lebih dahulu.7 Secara intuitif dalil ini
masuk akal karena pada tingkat
penghasilan rendah, masyarakat akan
disibukkan oleh kegiatan yang paling
mendasar, yaitu bagaimana memenuhi
kebutuhan hidupnya dari hari ke hari.
Kebutuhan atau (menggunakan jargon
ekonomi) permintaan akan demokrasi
akan bersemi pada tingkat hidup yang
lebih tinggi dan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi.8 Pengalaman berbagai
negara juga menunjukkan bahwa begitu
permintaan akan demokrasi ini merebak
dan memperoleh momentumnya, biasanya tidak bisa dihentikan lagi.9 Kita bisa
perdebatkan, tetapi menurut penilaian
saya Indonesia saat ini sudah mencapai
tahap ini.
Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi
merupakan faktor penentu penting bagi
keberlanjutan demokrasi. Suatu studi
yang banyak diacu menyimpulkan bahwa, berdasarkan pengalaman empiris
selama 1950-90, rejim demokrasi di
negara-negara dengan penghasilan per
kapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan
Purchasing Power Parity (PPP)-dolar
tahun 2001) mempunyai harapan hidup
hanya 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita 1500-3000 dolar,
demokrasi dapat bertahan rata-rata 18
tahun. Pada penghasilan per kapita di
7

Barro (2000), hal 104-7. Bremmer (2006)


menyebut faktor non-income (seperti pendidikan)
juga penting untuk persiapan berdemokrasi. Tetapi
secara umum faktor-faktor ini berkorelasi dengan
income.
8
Fukuyama (2006).
9
Bremmer (2006)

Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia

atas 6000 dolar daya hidup sistem


demokrasi jauh lebih besar dan
probabilitas kegagalannya hanya 1/500.10
Posisi Indonesia dimana? Apabila kita
hitung berdasarkan PPP-dolar 2006
penghasilan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 dolar sedangkan
batas kritis bagi demokrasi sekitar 6600
dolar. Kita belum 2/3 jalan menuju batas
aman bagi demokrasi. Kita akan kembali
membahas ini nanti.
Sejumlah studi empiris lain,
terutama oleh para ekonom, menyimpulkan bahwa demokrasi bukan penentu
utama prestasi ekonomi.11 Menurut pandangan ahli-ahli ini, terutama bagi
negara-negara berpenghasilan rendah,
rule of law lebih menentukan kinerja
ekonomi daripada demokrasi per se.
Apabila kesimpulan ini benar maka
negara-negara berpenghasilan rendah
dapat memacu pertumbuhan ekonominya, meskipun mereka belum siap
menerapkan demokrasi, asalkan mereka
dapat memperbaiki rule of law. Tetapi,
seperti yang saya singgung tadi, dengan
meningkatnya kemakmuran demokrasi
akan makin diminta oleh masyarakat.
Sementara itu, pada tahap ini demokrasi
juga makin penting bagi keberlanjutan
pembangunan ekonomi. Seorang ahli
ekonomi pembangunan kenamaan melihat demokrasi sebagai suatu metainstitution atau institusi induk yang dapat
menciptakan iklim yang kondusif bagi
tumbuhnya institusi-institusi lain yang
berkualitas, artinya efektif dan dengan
tatakelola atau governance yang baik.12
Hal ini penting mengingat konsensus
yang sekarang berkembang di kalangan

10

Zakaria (2003) , hal 69-70. Przeworski dan


Limongi (1997).
11
Barro (2002), Friedman (2005), Bab 13.
12
Rodrik (2000).

ahli dan praktisi adalah bahwa mutu


institusi atau governance merupakan
kunci
keberhasilan
pembangunan.
Apabila institusi yang baik menentukan
keberhasilan pembangunan, dan demokrasi
adalah sistem yang kondusif bagi
perkembangan institusi semacam itu,
maka demokrasi menjadi penentu bagi
pembangunan ekonomi. Pada tahap
kemajuan ekonomi yang makin tinggi,
pertumbuhan ekonomi akan makin
mengandalkan pada fleksibilitas sistem
ekonominya, kemajuan teknologi dan
peningkatan mutu faktor produksi, yang
kesemuanya bersumber dari inisiatif dan
inovasi oleh para pelaku ekonomi. Dan
kita tahu bahwa inisiatif dan inovasi
tumbuh paling subur di alam demokrasi.13
Jadi apa kesimpulan umum kita?
Pada
tahap
awal,
pembangunan
ekonomi diprioritaskan karena hal itu
akan sangat mengurangi risiko kegagalan
demokrasi.
Pada tahap selanjutnya
interaksi antara ekonomi dan demokrasi
makin erat dan keberadaan demokrasi
makin menentukan kinerja ekonomi dan
keberlanjutannya. Tetapi demokrasi
adalah tanaman jangka
panjang.
Menabur benih lebih dini lebih baik.
Dilema14. Dilema mendasar
yang dihadapi demokrasi, sejak Plato,
adalah bagaimana memadukan rasionalisme dengan populisme, pemerintahan
yang efektif dengan pemerintahan yang
representatif, teknokrasi dengan demokrasi.
Dilema ini sangat kongkrit, dan akut,
bagi demokrasi yang baru berkembang,
seperti di negara kita. Di satu sisi, kita
ingin memacu pembangunan ekonomi
yang pada hakekatnya memerlukan
langkah cepat dan kebijakan ekonomi
13
14

Lihat Schumpeter (1976) dan Wittman (1989)


Analisa lebih lanjut, lihat Boediono (2005)

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

yang rasional, konsisten dan berwawasan jangka panjang short term pain for
long term gain. Di sisi lain, sistem politik
yang berjalan, karena mekanisme yang
belum mantap, tidak mendukung
pengambilan keputusan yang cepat dan
decisive. Risiko distorsi terhadap kebijakan
yang rasional juga tinggi karena tidak
jarang kepentingan sempit dan jangka
pendek mendominasi wacana pengambilan
keputusan di lembaga legislatif dan
bahkan eksekutif, tanpa ada mekanisme
koreksi yang efektif. Inilah sebabnya
mengapa para ahli berpendapat bahwa
kebijakan ekonomi, sampai batas
tertentu, perlu diinsulasikan dari hirukpikuk politik sehari-hari. Independensi
bank sentral, yang sekarang sudah
umum diterima, adalah satu perwujudan
dari pemecahan dilema ini. Apakah
pemecahan serupa dapat diterapkan di
bidang lain seperti kebijakan fiskal,
industri dan perdagangan atau lingkungan hidup, sekarang masih diperdebatkan
para ahli.
Yang penting, posisi strategis
mengenai imbangan antara teknokrasi
dan demokrasi harus diambil oleh setiap
bangsa pada setiap tahap perjalanannya.
Di masa Orde Baru, dengan plus dan
minusnya, proses kebijakan ekonomi
diproteksi dari proses politik sehari-hari,
paling tidak selama dua dasawarsa
pertama. Sekarang, format itu tidak
cocok lagi. Format yang baru harus kita
temukan dan posisi strategis yang pas
harus kita ambil. Ia tidak bisa dibiarkan
hanya sebagai hasil sampingan dari
proses politik praktis. Taruhannya terlalu
besar.
Kelompok Pembaharu. Sejarah
menunjukkan bahwa keberhasilan proses
transformasi menuju masyarakat yang

makmur, demokratis dan terbuka ditentukan oleh keberadaan kelompok


pembaharu. Kelompok inilah yang menjadi ujung tombak dan pengawal proses
transformasi itu. Tanpa kelompok
pembaharu, proses transformasi akan
berisiko mandeg atau keluar dari jalur
yang kita inginkan. Pertumbuhan
ekonomi membantu tumbuhnya kelompok pembaharu, tapi ia harus memenuhi
2 syarat, yaitu: (1) pertumbuhan itu
menyentuh dan dapat dinikmati oleh
sebagian besar rakyat (broad based) dan
(2) prosesnya lebih mengandalkan pada
kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif
dan ingenuitas sumberdaya ma-nusianya
dan bukan semata dari hasil penjualan
kekayaan alam, bantuan luar negeri atau
pada rezeki nomplok lainnya. Untuk
mendukung berkem-bangnya kelompok
pembaharu, pertum-buhan ekonomi
yang tinggi saja tidak cukup. Dua syarat
tersebut harus juga dipenuhi.
Siapakah kelompok pembaharu
itu dan apa peran mereka dalam proses
transformasi?15 Sejarah mencatat bahwa
kelompok ini bisa datang dari latarbelakang sosial yang berbeda. Di Inggris
pada tahap krusial transformasinya inti
dari kelompok pembaharu adalah para
pengusaha kaum bourgeoisie atau
kaum borjuis.
Istilah kaum borjuis
mempunyai konotasi buruk di negeri ini
karena dikaitkan dengan teori Marx yang
memposisikannya sebagai kelas yang
menguasai alat-alat produksi masyarakat
dan menggunakannya untuk mengeksploitir buruh. Dalam konteks teori sosial
non-Marxist kelompok ini diposisikan
lebih netral. Studi para ahli sejarah
ekonomi umumnya melihat bahwa di
15

Zakaria (2003) dan Bremmer (2006) memberikan


contoh-contoh di sejumlah negara. Sebagian dari
ilustrasi di sini diambil dari kedua sumber tersebut.

Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia

Inggris kelompok ini telah berperan


sebagai pembaharu sosial, pada awalnya
dalam meruntuhkan struktur feodal yang
ada dan selanjutnya menjadi ujung
tombak dan pengawal proses modernisasi dan demokratisasi16. Pola seperti
itu kemudian diikuti oleh beberapa
negara Eropa lainnya. Di Amerika Serikat
proses transformasi oleh kelompok ini
berlangsung lebih cepat karena dari
awal tidak ada struktur feodal yang harus
diruntuhkan.
Di negara-negara seperti Jerman
dan Jepang kaum borjuis, paling tidak
pada tahap awalnya, bukan penggerak
utama transformasi. Mereka tidak sekuat
dan seindependen rekan-rekannya di
Inggris atau Amerika Serikat. Di Jerman,
justru kaum birokrat (yang terdiri dari
para ex-aristokrat) yang menjadi kelompok
pembaharu. Jerman pada abad 19 mempunyai sistem birokrasi paling modern di
dunia dan, melalui reformasi birokrasi,
mereka menciptakan rule of law yang
mantap dan sistem jaminan sosial
modern. Di Jepang cikal-bakal dari
kelompok pembaharu adalah kaum
samurai yang mentransformasikan diri
menjadi motor penggerak modernisasi.
Di Jerman dan terutama di Jepang proses
modernisasi tidak serta merta melahirkan
demokrasi. Di kedua negara ini, demokrasi baru berakar setelah Perang Dunia
II. Dan prosesnya pun tidak sepenuhnya
berasal dari dinamika intern, tetapi
sebagian karena tekanan dari negaranegara penakluknya, khususnya Amerika
Serikat, yang menginginkan demokrasi
diterapkan di negara-negara tersebut.
Bagi negara berkembang barangkali akan terlalu lama untuk menunggu
terbentuknya kelompok pembaharu
secara alamiah seperti di negara-negara
16

Landes (1999)

tersebut. Negara berkembang seyogyanya


tidak mengandalkan satu atau dua
kelompok sosial saja sebagai kelompok
pembaharunya. Yang terbaik adalah
mendorong terbentuknya koalisi luas,
yang terdiri dari para demokrat dari
semua
segmen sosial.
Kelompok
pembaharu ini dapat meliputi unsurunsur reformis dari kaum pengusaha,
intelektual, profesional, birokrat, pemuda,
aktivis LSM dan lain-lain. Mereka diikat
oleh kesamaan platform, yaitu memperjuangkan nilai-nilai demokrasi seperti
hak asasi manusia, keterbukaan, kebebasan berusaha, good governance, rule of
law dan sebagainya.
Di sementara
negara berkembang, termasuk Indonesia,
kelompok semacam ini sudah mulai
terbentuk dan berperan, meskipun masih
terbatas. Mereka adalah elemen strategis
dalam proses modernisasi dan demokratisasi.
Jalur Yang Penuh Risiko. Proses
modernisasi dan demokratisasi adalah
perjalanan yang panjang dan penuh
risiko.17 Ada yang mengibaratkan alur
tranformasi itu sebagai kurva-J yang
menggambarkan risiko kegagalan yang
besar pada awal proses itu tetapi
kemudian berangsur menyurut pada
tahap selanjutnya.18 Ada yang menggambarkannya sebagai proses meniti jalur
yang penuh pusaran-pusaran vicious
circles dan, kalau beruntung, virtuous
circles.19 Ada pula yang menggambarkannya sebagai perjalanan di jalan yang
penuh persimpangan yang menuntut
keputusan yang benar.20 Proses sejarah
tidak mengenal belas kasihan. Hanya
17

Huntington (1968): Modernity breeds stability,


but modernization breeds instability.
18
Bremmer (2006)
19
Friedman (2002), Bab 13.
20
Zakaria (2003)

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

bangsa yang mempunyai pandangan ke


depan, keyakinan, keuletan dan kecerdasan yang dapat menyelesaikan perjalanannya. Yang lainnya tidak beranjak
dari posisi awalnya, atau menjadi negara
gagal (failed states) atau bahkan hilang
dari peta sejarah. Hukum Darwin juga
berlaku bagi seleksi antara bangsa.
Jalur Kita Ke Depan
Dalam uraian kita tadi, tersirat
risiko-risiko yang mungkin dihadapi oleh
bangsa yang hendak melaksanakan
modernisasi dan demokratisasi. Marilah
kita sekarang mencermati risiko-risiko
tersebut secara lebih mendalam, dan
sekaligus mengkaitkannya dengan kondisi
yang dihadapi bangsa kita dewasa ini.
Saya akan menguraikannya dibawah tiga
rubrik besar, yaitu:
(1) Kohesi sosial
(2) Kinerja ekonomi dan
(3) Kelompok pembaharu
Kohesi sosial. Syarat yang paling
mendasar bagi keberhasilan proses transformasi setiap bangsa adalah kemampuannya untuk mempertahankan eksistensi
dan keutuhannya sepanjang perjalanan.
Pada akhirnya kemampuan itu tergantung pada kekuatan kohesi sosialnya.
Setiap bangsa memiliki kapasitas kohesi
sosial yang berbeda. Ada bangsa yang
karena sejarah, kultur dan struktur
sosialnya mempunyai kohesi sosial
yang kuat dan tahan terhadap tekanan
dan bantingan. Jepang, Korea dengan
kultur yang homogen adalah contoh
untuk ini. Bangsa lain, seperti India dan
Indonesia, karena keragaman kultur dan
heterogenitas masyarakatnya, memiliki
daya tahan yang intrisik lebih rendah.
Bangsa lain yang kurang beruntung,
seperti Yugoslavia dan Irak, memiliki

sejarah
panjang
pertikaian
antar
kelompok didalamnya, sehingga begitu
orang
kuat
pemersatunya
tiada,
pertikaian muncul kembali dan bangsa
itu pecah.
Yang perlu diwaspadai, terutama
pada tahap-tahap awal yang rawan,
adalah bahwa suatu bangsa harus
pandai-pandai menjaga keseimbangan
antara kekuatan kohesi sosialnya di satu
sisi dan kecepatan perubahan yang ingin
dilaksanakannya di sisi lain.
Setiap
perubahan selalu membawa stress dan
strain. Imbangan mana yang paling
tepat bagi suatu bangsa, pada akhirnya
terpulang pada kenegarawanan dan
kearifan pemimpin bangsa atau kaum
elitenya.
Dari segi kekuatan kohesi
sosialnya Indonesia barangkali termasuk
dalam kelompok peringkat sedang. Kita
beruntung karena kita tidak mempunyai
sejarah perseteruan yang mendalam
antar kelompok, suku dan agama di
antara kita, seperti di Yugoslavia dan
Irak. Kita beruntung karena para pejuang kemerdekaan dan pendiri bangsa ini
telah berhasil menempa kesadaran
berbangsa yang sampai sekarang tetap
kokoh dan merupakan modal politik
bangsa. Namun kita patut selalu menyadari pula bahwa bangsa kita memiliki
keragaman budaya, agama, tradisi dan
bahkan temperamen yang berpotensi
menimbulkan perpecahan. Kita perlu
tetap ingat bahwa separatisme bukan hal
yang asing dalam sejarah kita sejak
kemerdekaan, meskipun tidak pernah
menjadi kekuatan dominan. Demokratisasi, desentralisasi, modernisasi dan
transformasi menuju keterbukaan, apabila
tidak dikelola dengan arif, dapat menciptakan kekuatan-kekuatan sentrifugal.
Sebaliknya, pendidikan, pertumbuhan

Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia

ekonomi yang tersebar (broad based)


dan penerapan good governance akan
memperkuat kohesi sosial.21
Yang juga perlu kita ingat
adalah bahwa modal politik berupa
kesadaran berbangsa yang diwariskan
oleh para pendahulu kita, meskipun
sampai sekarang masih tetap kuat,
dengan pergantian generasi akan terus
berkurang apabila tidak ada upaya sadar
untuk mengisinya kembali. Upaya nation
building dari para pendiri bangsa ini
belum selesai dan mungkin tidak pernah
selesai. Kita wajib meneruskannya,
meskipun (atau lebih tepatnya, justru
karena) kita hidup dalam era globalisasi.
Kita mendambakan suatu kesadaran
kebangsaan memaknai bahwa, apapun
perbedaan kita, kita tetap saudara,
bahwa lawan politik adalah lawan
bertanding dan bukan musuh yang harus
dilenyapkan. Seperti kata ki dalang:
Tego larane ora tego patine. Dudu
sanak dudu kadang, yen mati melu
kelangan.
Hanya apabila kita telah
mendekati kematangan berbangsa seperti itu kita dapat sedikit relaks dalam upaya
nation building kita. Tapi itu adalah
kemewahan yang barangkali baru akan
dinikmati oleh anak-cucu kita.
Stagnasi,
Kemunduran
dan
Krisis Ekonomi. Risiko besar lain yang
menghadang perjalanan transformasi
bangsa adalah stagnasi ekonomi, atau
kemunduran ekonomi atau, lebih serius
lagi, krisis ekonomi. Apabila ini terjadi
besar kemungkinan proses transformasi
akan kandas di tengah jalan. Tadi saya
mensitir sebuah studi yang mengatakan
bahwa sistem demokrasi di negara
dengan penghasilan per kapita rendah
(di bawah 6600 PPP-dolar 2006) rawan
21

Friedman (2002), Bab 12.

terhadap kegagalan. Saya juga sebutkan


bahwa prioritas utama bagi negaranegara berpenghasilan rendah seyogyanya adalah tumbuh untuk secepatnya
meninggalkan daerah penuh risiko ini.
Stagnasi, apalagi kemunduran ekonomi,
akan meningkatkan lagi risiko kegagalan
demokrasi yang sudah tinggi bagi
negara-negara tersebut. Krisis ekonomi
hampir pasti akan menjatuhkan rejim
politik yang ada yang akan menimbulkan
diskontinuitas dalam perjalanan bangsa
itu.
Pengalaman Indonesia sendiri
membuktikan dalil tersebut. Mari kita
menoleh ke belakang sejenak.22 Pada
masa Demokrasi Parlementer 1950-1958
ketidakstabilan politik yang dicerminkan
oleh kabinet yang terlalu sering berganti
mengakibatkan kebijakan ekonomi yang
terputus-putus dan tidak efektif. Problema
defisit ganda defisit APBN dan neraca
pembayaran tak tertangani dengan
baik, stabilitas ekonomi makin memburuk
dan pertumbuhan ekonomi lambat.23
Karena tidak dapat memberikan manfaat
nyata bagi masyarakat banyak, sistem
politik yang ada makin kehilangan
legitimasinya. Kegagalan di bidang
ekonomi,
menyebabkan
eksperimen
demokrasi kita yang pertama setelah
kemerdekaan gagal.
Sistem politik yang menggantikannya, Demokrasi Terpimpin dan
padanannya di bidang ekonomi, yaitu
Ekonomi Terpimpin 1959-1965
menjanjikan pemerintahan yang lebih
stabil dan peran negara yang lebih besar
dalam
pengendalian
kehidupan
ekonomi. Namun sistem ini juga tidak

22

Sebagian besar dari materi yang disajikan di sini


mulai dari tahun 1950an sampai masa sekarang
diambil dari Boediono (2005).
23
Higgins (1957)

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

dapat
memberikan
hasil
yang
didambakan masyarakat.
Inflasi lepas
kendali, produksi nasional merosot dan
kehidupan sehari-hari semakin berat.
Pada waktu itu bangsa kita sebenarnya
mengalami suatu krisis ekonomi yang
berat, yang akhirnya bermuara pada
perubahan sistem politik.24
Bagi
generasi yang mengalami masa itu
(termasuk saya sendiri) tentu masih ingat
betapa sulitnya kehidupan sehari-hari
pada waktu itu. Namun, di tengahtengah kesulitan hidup itu kita, terutama
mereka yang
muda usia, juga
merasakan adanya suatu kebanggaan
yang luar biasa di hati kita masingmasing sebagai warganegara dari bangsa
yang, di arena internasional, disegani
dan terkadang ditakuti. Namun itu
semua tidak mengubah berlakunya dalil
bahwa kemerosotan ekonomi, apalagi
krisis ekonomi, berakibat fatal terhadap
suatu orde politik.
Masa Orde Baru 1966-1998
adalah masa kestabilan politik yang
terpanjang dalam sejarah Indonesia
merdeka. Kestabilan politik itu telah
memungkinkan
dilaksanakannya
kebijakan ekonomi yang konsisten dan
berkesinambungan. Hasilnya berupa
pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata
7% selama tiga dasawarsa yang
dibarengi dengan stabilitas ekonomi
yang cukup mantap, pemba-ngunan
infrastruktur
besar-besaran
yang
memperlancar kegiatan ekonomi dan
makin menyatukan Indonesia serta
perbaikan yang berarti dari berbagai
indikator sosial dan pembangunan
manusia. Pada gilirannya semua perbaikan itu makin memperkuat stabilitas
24

Sumber yang terbaik untuk masa ini adalah


Bulletin of Indonesian Economic Studies yang
diterbitkan setiap empat bulan sejak tahun 1965.

10

politik, sampai terjadi krisis ekonomi


pada tahun 1997. Suatu prestasi sosialekonomi yang, kalau kita jujur, sangat
mengesankan.25
Orde ini akhirnya jatuh karena
konfluensi dari paling tidak tiga
perkembangan, yaitu: akumulasi dari
kepengapan politik, makin meluasnya
kroniisme dan korupsi, dan pada tahap
akhirnya, kondisi kehidupan yang berat
sebagai akibat dari krisis ekonomi. Krisis
tersebut menyingkap kelemahan dan
kerentanan institusional yang sebelumnya terselubung oleh tempo ekonomi
yang tinggi. Lembaga-lembaga penting
penyangga kehidupan ekonomi dan
masyarakat serta pemerintahan mengalami paralisis atau semi-paralisis dengan
akibat antara lain respons kebijakan
yang tidak koheren terhadap krisis.
Kemudian terjadilah reaksi berantai yang
membawa Indonesia ke jurang krisis
yang lebih dalam.
Masa Orde Baru memberikan
paling tidak tiga pelajaran. Pertama,
kinerja ekonomi yang berkesinambungan disertai perbaikan taraf hidup
masyarakat luas merupakan syarat wajib
(necessary conditions) bagi kelangsungan
hidup suatu orde politik. Kedua, dalam
jangka panjang selain kinerja ekonomi
yang mantap, kelangsungan hidup suatu
orde politik ternyata juga ditentukan
oleh faktor-faktor lain, yaitu keterbukaannya dan mutu tatakelola atau
governance-nya (sufficient conditions).
Ketiga, dalil bahwa krisis ekonomi yang
berat diikuti oleh pergantian orde politik
kembali terbukti.
Alur sejarah kita menggambarkan suatu progresi proses challenge and
response. Pada akhir masa Demokrasi
Parlementer rakyat mendambakan pe25

Hill (1997)

Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia

merintahan yang stabil dan kuat untuk


memecahkan masalah bangsa. Respons
yang timbul adalah orde Demokrasi
Terpimpin yang menjanjikan pemerintahan yang kuat dan stabil. Pemerintahan memang tidak lagi jatuh bangun,
tetapi kehidupan ekonomi makin memburuk. Pada akhir masa orde ini tuntutan
masyarakat yang paling dominan adalah
perbaikan ekonomi. Orde Baru berhasil
menjawab tuntutan ini dengan mewujudkan perbaikan ekonomi dan sosial
yang mengesankan, tetapi gagal merespons
tuntutan lain yang makin mengkristal,
yaitu dambaan akan demokrasi, keterbukaan, pemberantasan KKN dan penegakan hukum.
Orde Reformasi kemudian lahir,
dan jangan lupa Universitas Gadjah
Mada ikut membidaninya! Orde ini
mencoba menjawab tantangan tersebut.
Sampai saat ini sudah ada empat
presiden yang, dengan gaya beliau
masing-masing dan dalam konteks situasi
kongkrit yang dihadapi, telah berupaya
melaksanakan amanah ini dengan
sebaik-baiknya. Pergantian presiden tidak
mengganti orde politik. Suatu pertanda
baik bagi kestabilan sistem politik. Di
negeri ini demokrasi sudah mekar dan
bersemi, meskipun unsur-unsurnya belum
berfungsi sepenuhnya seperti yang kita
inginkan. Keterbukaan dan kebebasan
berpendapat, dengan plus dan minusnya, sudah merupakan bagian dari
kehidupan kita sehari-hari dan di bidang
ini Indonesia diakui yang paling maju di
kawasan ini. Pemberantasan KKN secara
sistematik sudah bergulir, meskipun ada
sementara kalangan yang masih meragukan keberlanjutannya. Kerangka reformasi
di bidang hukum sudah mulai kelihatan
bentuknya dan langkah-langkah awal
sudah diambil, meskipun kepastian

hukum masih tetap menjadi keluhan


utama dari para investor.
Menurut hemat saya, kita sekarang berada pada jalur menuju tuntutan
reformasi, meskipun masih banyak PR
yang belum selesai. Risiko utama yang
kita hadapi pada tahap ini adalah apabila kita sebagai bangsa kehilangan
gairah dan stamina untuk melanjutkan
perjalanan kita, atau apabila kita kehilangan kepercayaan atau kesabaran pada
proses reformasi yang kita jalankan, atau
apabila kita asyik terlena dalam eforia
dan hingar-bingar demokrasi sehingga
melupakan tujuan reformasi yang sebenarnya. Apabila itu terjadi, maka itu
sungguh sebuah tragedi (lagi) dalam
sejarah bangsa kita. Pengalaman kita
menunjukkan
bahwa
kemungkinankemungkinan seperti itu bukanlah sekedar
risiko teoritis.
Marilah kita kaitkan kondisi kita
saat ini dengan hasil-hasil penelitian
empiris yang telah saya singgung di
muka. Kenyataan yang perlu kita waspadai adalah bahwa dari segi penghasilan per kapita, kita masih berada pada
zona risiko tinggi untuk keberhasilan
demokrasi. Seperti yang telah saya
sebutkan penghasilan per kapita Indonesia pada tahun 2006 (atas dasar PPPdolar 2006) diperkirakan sekitar 4000
dolar, masih agak jauh dari batas aman
6600 dolar. Strategi yang terbaik adalah
untuk secepatnya meninggalkan zona
bahaya ini. Marilah kita berhitung sejenak. Seandainya kita, dengan segala upaya
kita, berhasil menumbuhkan ekonomi
kita dengan 7% setahun, maka dengan
laju pertumbuhan penduduk 1,2%
setahun penghasilan per kapita kita akan
tumbuh dengan sekitar 5,8% setahun.
Dengan laju ini kita akan mencapai
ambang zona aman dalam 9 tahun.

11

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

Apabila PDB kita tumbuh di bawah 7%


waktu untuk mencapai zona aman bagi
demokrasi tentu lebih panjang lagi. Yang
perlu kita garis bawahi adalah bahwa 9
tahun adalah waktu yang cukup lama
untuk mengawal demokrasi Indonesia
yang baru mekar. Risiko-risiko yang
saya sebutkan tadi dapat terjadi. Tanpa
harus mengorbankan demokratisasi yang
kita
jalankan,
hambatan-hambatan
terhadap pertumbuhan ekonomi yang
timbul karena proses demokrasi atau,
apalagi, karena ekses-eksesnya, harus
kita hilangkan. Kita harus berani mengambil posisi strategis yang jelas
mengenai imbangan antara teknokrasi
dan demokrasi. Ini semua justru demi
keberlanjutan demokrasi itu sendiri.
Kelas Pembaharu. Seperti yang
telah saya sebutkan tadi, salah satu
simpul kritis dalam pembangunan
demokrasi adalah terciptanya suatu kelas
pembaharu yang handal yang berperan
sebagai pendorong dan pengawal
demokratisasi. Saya ingin tegaskan
bahwa demokrasi di sini harus kita
artikan secara substantif dan mencakup
tidak hanya mekanisme formal demokrasi (pemilihan umum yang bebas dan
terbuka, multi-partai, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, peran pers dan organisasi kemasyarakatan dan sebagainya), tetapi juga
nilai-nilai dasar yang memberi sukma
pada demokrasi. Pembedaan antara
demokrasi dalam arti mekanisme formalnya dan demokrasi dalam arti substantif,
teramat penting karena tidak jarang kita
merasa bahwa hampir semua persyaratan formal demokrasi telah kita
penuhi, tetapi kita kecewa karena dalam
kehidupan nyata kita belum merasakan
suasana demokrasi seperti yang dijan-

12

jikan konseptornya atau seperti yang


dinikmati oleh masyarakat di negara
demokrasi yang telah mapan. Itu adalah
kasus demokrasi tanpa sukma.
Tanpa adanya kelas pembaharu
yang handal proses demokratisasi akan
menghasilkan demokrasi tanpa sukma,
atau berhenti di tengah jalan, atau
berjalan tanpa arah atau, lebih buruk,
melahirkan antitesis dari demokrasi.
Kemungkinan-kemungkinan ini pernah
terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa.
Saya akan mengambil beberapa contoh.
Pengalaman Sejarah. Haiti adalah
sebuah republik yang secara formal
demokratis selama lebih dari 200 tahun
setelah mendapatkan kemerdekaan dari
Perancis pada tahun 1804. Sekarang
Haiti tetap negara miskin dengan
penghasilan per kapita USD 450 dan
hampir selalu dirundung kekacauan setiap
pergantian pemerintahan (yang dalam
kenyataan memerintah dengan cara yang
jauh dari kaidah-kaidah demokrasi).
Masalah utamanya, menurut hemat saya,
adalah karena tidak pernah ada kelompok masyarakat yang mampu berperan
sebagai pengawal demokrasi beserta
nilai-nilai dasarnya.
Kontraskan Haiti dengan India.
Pada saat kemerdekaannya India adalah
juga negara yang miskin (penghasilan
per kapita sekitar USD 50) dengan
berbagai keterbelakangan sosial dan
struktur masyarakat yang feodal. India
beruntung karena sewaktu dibawah
jajahan Inggris cukup banyak kaum elitenya berkesempatan untuk mendapatkan
pendidikan modern dan menduduki
posisi-posisi di birokrasi pemerintah
kolonial. Sebagian juga berhasil menjadi
pelaku-pelaku tangguh di bidang industri

Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia

dan perdagangan. Pada saat kemerdekaannya kelompok elite ini memutuskan


untuk mengadopsi demokrasi dan
berkomitmen untuk mengawalnya. Apabila ada satu orang yang merupakan
pengejawantahan komitmen itu, ia
adalah Nehru. Nehru adalah seorang
demokrat sejati. Menghadapi realitas
sosial yang jauh dari ideal untuk demokrasi, dan pada waktu para pengamat
pada tahun 1950an dan 1960an ramairamai meng-kontraskan prestasi ekonomi
India yang medioker dengan pertumbuhan ekonomi Republik Rakyat Cina
yang spektakuler, Nehru dan para elite
India tetap tegar pada komitmennya pada
demokrasi.26 Hasilnya, di India demokrasi,
dengan segala kelebihan dan kekurangannya, merupakan realita hidup selama
enampuluh tahun, di Cina masih berupa
cita-cita, sampai sekarang.
Sejarah juga mencatat bagaimana demokrasi dibajak di tengah
jalan karena kelompok pengawalnya
tidak cukup kuat menghadapi pihak antidemokrasi.27 Jerman pada masa Republik
Weimar (1919-1933) adalah negara
demokratis dan bukan negara miskin.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan
(hiperinflasi dan kemudian depresi) dan
ketidakberdayaan pemerintah untuk
menanganinya menyebabkan Hitler dan
partai Nazi-nya, yang menjanjikan pengakhiran kesengsaraan itu, meraih suara
mayoritas dalam pemilihan umum. Krisis
ekonomi telah sangat memperlemah
kelas menengah, pembawa panji demokrasi. Melalui proses demokrasi Hitler
mengambil kendali negara, dan dari
sana ia membunuh demokrasi.
Bagaimana di Indonesia? Kelompok pembaharu di Indonesia barangkali
26
27

Das (2002), Bab 19 dan 21.


Friedman (2002), Bab 11.

masih jauh lebih kecil daripada di India.


Tetapi ia berkembang cepat, terutama
sejak masa reformasi dan khususnya di
kalangan kaum muda. Kita juga punya
satu plus dibanding India kondisi
stratifikasi dan mobilitas sosial di
Indonesia jauh lebih baik. Oleh karena
itu kita semestinya tidak boleh terlalu
pesimis mengenai prospek perkembangan demokrasi di Indonesia. Pertanyaan yang relevan adalah bagaimana
kelompok ini dapat lebih didorong untuk
memperkuat proses modernisasi dan
demokratisasi di negara kita. Mengenai
hal ini perkenankan saya menyampaikan
sekedar pemikiran awal.
Pertumbuhan Ekonomi. Langkah
yang paling efektif untuk memperkuat
kelompok pembaharu, kembali lagi,
adalah memacu pertumbuhan ekonomi
yang tersebar (broad based), karena dari
situlah awal terciptanya kelas menengah.
Sebaliknya, kemunduran ekonomi dan
krisis ekonomi harus dihindari karena
dari situlah awal dari kepunahan kelas
menengah. Saya telah singgung bahwa
selain pertumbuhan ekonomi itu harus
tersebar, ia harus memenuhi satu syarat
lain, yaitu bersumber dari kegiatankegiatan enterpreunerial dalam iklim
kompetisi yang sehat28. Hal ini penting
karena akhirnya ia menentukan kelas
menengah macam apa yang akan
timbul. Pengalaman di sejumlah negara,
dan sebagian dari pengalaman kita
sendiri, mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berasal dari rezeki
nomplok hasil penjualan kekayaan alam
(seperti minyak) dapat menciptakan
kelas menengah, tetapi lebih berupa
kelompok konsumen kelas menengah.
Kelompok ini belum tentu kelas mene28

Parente dan Prescott (2000)

13

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

ngah yang mempunyai komitmen untuk


mengawal demokrasi. Demikian pula
pertumbuhan ekonomi yang didasarkan
pada praktek-praktek kroniisme, kolusi
antara penguasa dan pengusaha serta
praktek-praktek monopolistik lainnya. Ia
mungkin dapat menghasilkan laju yang
tinggi, tapi ia tidak akan sustainable
karena tidak akan melahirkan kelas
menengah yang mau memperjuangkan
demokrasi, good governance dan kepastian hukum. Yang muncul bukanlah
kelompok pembaharu tetapi kelompok
pemburu rente, bukan sistem ekonomi
pasar yang penuh vitalitas tetapi kapitalisme palsu atau ersatz capitalism, yang
lebih kompatibel dengan oligarki daripada dengan demokrasi.
Pengembangan UKM.
Selain
menciptakan iklim usaha dan iklim
kompetisi yang sehat pemerintah dapat
memacu terbentuknya kelompok pembaharu dengan mendorong perkembangan
kelompok wirausaha yang tangguh
melalui program-program khusus untuk
menghilangkan kendala-kendala yang
dihadapi oleh usaha kecil dan menengah untuk mengakses pembiayaan,
teknologi, layanan infrastruktur
dan
pasar. Pengusaha kecil dan menengah
adalah embrio dari kelas menengah
yang tangguh.
Karenanya program
pengembangan UKM merupakan elemen
penting dalam upaya pengembangan
demokrasi.
Pribumi-Non Pribumi. Satu permasalahan khusus dan sensitif yang
dihadapi Indonesia sejak kemerdekaan
adalah hubungan pengusaha pribumi
dan nonpribumi. Saya tidak berpretensi
dapat menyarankan solusi untuk permasalahan yang rumit ini. Saya hanya bisa

14

mengatakan bahwa persoalan ini seyogyanya dibahas secara terbuka dan


dicarikan
pemecahannya
bersama.
Menurut pandangan saya, untuk kepentingan pembangunan Indonesia dalam
jangka panjang, tidak ada solusi lain
kecuali menyatukan kedua kekuatan itu
untuk membangun bangsa. Upaya itu
harus menjadi bagian dari program besar
integrasi bangsa, dengan mengikis
secara bertahap tapi sistematis sekat
sosio-ekonomi-kultural antara kedua
kelompok ini. Masing-masing kelompok, atau lebih tepatnya kaum elite dari
masing-masing kelompok, harus lebih
membuka diri dan mengambil inisiatif
untuk saling menjangkau dan dengan
kejujuran mencari titik-titik temu,
dengan seluas mungkin melibatkan
generasi
mudanya.
Negara
patut
mendorong dan memfasilitasi secara adil
dan sungguh-sungguh proses ini.
Thailand dan Filipina, dengan cara
mereka masing-masing, sudah melangkah lebih maju daripada kita. Malaysia
barangkali belum terlalu jauh dari kita.
Kita harus melihat proses ini sebagai
bagian integral dari perjalanan panjang
bangsa.
Pendidikan. Langkah penting lain
untuk membentuk kelompok pembaharu
yang handal adalah melalui pendidikan.
Inilah yang terjadi di India. Ini pulalah
yang terjadi di Indonesia di jaman
Belanda, meskipun dengan jumlah yang
jauh lebih kecil. Dengan segala keterbatasannya di masa penjajahan, pendidikan yang bermutu telah melahirkan
kelompok elite yang tangguh. Di alam
kemerdekaan, dengan segala kemudahan dan peluang yang terbuka, tidak ada
alasan mengapa hasil serupa, atau yang
lebih baik lagi, tidak terjadi. Sayangnya

Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia

di negara kita hal itu belum terjadi.


Mengapa? Kuncinya terletak pada materi
pendidikan yang pas dan proses belajarmengajar yang efektif. Keduanya masih
perlu terus kita upayakan. Ada dua
catatan penting di sini. Pertama, penyediaan pendidikan bermutu bagi elite
bangsa harus didasarkan pada sistem
seleksi terbuka berdasarkan prestasi atau
merit system dan bukan berdasarkan
hak-hak dan kedudukan istimewa. Kedua,
agar demokrasi mengakar, pendidikan
elite itu harus tetap dibarengi dengan
pelaksanaan program pendidikan dasar
yang bermutu dan terbuka lebar bagi
semua anak Indonesia. Di bidang
pendidikan, masih banyak pekerjaan
rumah yang harus kita selesaikan.
Keterbukaan. Faktor pendukung
penting lain bagi perkembangan kelas
pembaharu adalah keterbukaan dengan
dunia luar. Semakin terbuka dan semakin
terintegrasi negara tersebut dengan
komunitas dunia, semakin subur pertumbuhan kelas pembaharu di negara itu.
Arus informasi, manusia, barang dan
jasa serta investasi dari luar adalah
katalis bagi perkembangan kelompok
pembaharu. Indonesia sekarang tergolong negara yang paling bebas dari segi
arus informasi. Sepanjang yang bisa kita
lihat tidak ada hambatan sistemik bagi
wartawan, akademisi, pengusaha, profesional, LSM asing untuk masuk ke Indonesia. Ini semua dapat dipastikan akan
sangat membantu tumbuhnya kelompok
pembaharu di negeri ini. Risiko keamanan memang ada, dan akan selalu ada.
Tetapi, demi tujuan yang lebih besar,
masalah itu harus tetap dikelola secara
proporsional. Keikutsertaan Indonesia di
banyak forum, baik regional maupun
global, telah dan akan makin membuka

pikiran kita terhadap praktek-praktek


terbaik di dunia dan sangat berguna bagi
upaya kita untuk membangun institusiinstitusi pendukung modernisasi dan
demokratisasi. Investasi dari luar negeri,
terutama dari negara-negara yang
menjunjung tinggi asas-asas good
governance di negaranya, perlu kita buka
lebar, bukan hanya untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi kita, tetapi juga
untuk meningkatkan mutu institusiinstitusi bisnis dan pemerintahan kita.
Ingat tidak jarang dunia usaha kita
belajar praktek-praktek terbaik dari
interaksi dan kemitraan mereka dengan
perusahaan-perusahaan asing. Ingat pula
bahwa perbaikan kinerja birokrasi kadangkala dipicu dan dipacu oleh adanya
keluhan atau protes dari perusahaanperusahaan asing yang beroperasi di
sini. Dalam hal keterbukaan, menurut
hemat saya, kita sudah di jalur yang
benar. Jangan kita putar kembali jarum
jam.29
Rekapitulasi
Sekarang marilah kita rekapitulasi
apa saja yang telah kita bicarakan
sampai saat ini.
Kita memulai dengan bertanya
ke mana perjalanan yang kita lakukan
selama hampir sembilan tahun ini akan
membawa kita? Apakah kita pada jalur
yang akan membawa kita ke tujuan
reformasi atau tidak? Jawabannya, dengan
sejumlah catatan penting, adalah: ya,
kita pada jalur yang benar. Kita telah
menjatuhkan pilihan, yaitu memilih jalur
demokrasi untuk membangun bangsa
kita. Dengan pilihan tersebut, serta
dengan menarik pelajaran dari penga29

Tragedi kemunduran Argentina karena menutup


diri diceriterakan secara dramatis oleh Rojas
(2002).

15

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

laman kita sendiri dan pengalaman negaranegara lain yang mengikuti jalur ini, kita
memperoleh gambaran mengenai jalan
yang kemungkinan akan kita lalui ke
depan.
Pada tahap awal faktor ekonomi
sangat menentukan. Kemungkinan kegagalan demokrasi sangat tinggi pada
tingkat penghasilan per kapita rendah
dan secara progresif menurun dengan
kenaikan penghasilan. Ekonomi dapat
tumbuh tanpa demokrasi, selama rule of
law dapat ditegakkan. Pada tingkat
kemakmuran yang lebih tinggi, demokrasi pada gilirannya akan makin
menjadi penentu keberlanjutan peningkatan kemakmuran. Hubungan positif
timbal balik antara ekonomi dan
demokrasi makin kuat.
Pada setiap tahap, peran kelompok pembaharu, yaitu suatu koalisi
kekuatan lintas kelompok masyarakat
yang disatukan oleh platform yang
mendukung modernisasi dan demokratisasi, sangat krusial. Kelompok ini akan
tumbuh subur dalam lingkungan ekonomi yang tumbuh secara tersebar (broad
based) dan dilandasi oleh tatakelola
yang baik dan iklim usaha yang sehat.
Risiko yang paling mendasar
bagi Indonesia adalah bagaimana
menjaga eksistensi dan keutuhan bangsa
sepanjang perjalanan transformasinya.
Kita memiliki modal politik yang cukup
untuk ini, tetapi ia harus terus-menerus
dipupuk kembali dan diperkuat. Program
penguatan kesadaran berbangsa dan
nation building harus tetap menjadi
bagian integral dari pembangunan
Indonesia. Keikutsertaan kita dalam
globalisasi tidak boleh melengahkan kita
dalam nation building.
Risiko besar kedua yang kita
hadapi adalah tingkat kemakmuran

16

ekonomi bangsa kita yang masih rendah


sehingga risiko kegagalan demokrasi masih
tinggi. Pada tahap ini Indonesia sebaiknya memberikan prioritas tertinggi bagi
upaya memacu pertumbuhan ekonomi
dan sejauh mungkin menghindari krisis
ekonomi. Untuk mendukung kinerja
ekonomi, kita harus berani menarik garis
strategis mengenai imbangan yang pas
antara teknokrasi dan demokrasi. Apabila hasil riset yang ada dapat kita jadikan
pegangan, Indonesia masih akan memerlukan waktu paling tidak sembilan tahun
lagi untuk mencapai zona aman bagi
demokrasinya. Sementara itu, berbagai
kerawanan akan bersama kita dan
demokrasi yang baru mekar ini perlu
dikawal.
Risiko besar ketiga adalah apabila kelompok pembaharu yang handal
tidak dapat berkembang. Apabila ini
terjadi proses transformasi akan mandeg
di tengah jalan atau membelok salah
arah. Pengalaman sejarah kita dan negara lain mengindikasikan bahwa timbulnya KKN, kroniisme dan praktek monopolistik merupakan faktor risiko besar
yang menghadang kita. Kita tidak boleh
mengulang pengalaman pahit kita.
Kelompok pembaharulah yang diharapkan mengawal proses tranformasi agar
tetap berjalan, dan berjalan di jalur yang
benar. Perkembangan kelompok ini
dapat dan perlu didorong dengan: (1)
menjaga agar pertumbuhan ekonomi
tersebar dan ditopang oleh good
governance dan iklim usaha yang sehat,
(2) mendorong perkembangan UKM, (3)
mengupayakan penyatuan kekuatan
pribumi dan non-pribumi, (4) menyediakan
pendidikan bermutu bagi kelompok
pembaharu dan (5) tetap menjaga keterbukaan dan interaksi kita dengan dunia
luar.

Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia

Itulah inti dari pembahasan kita


hari ini. Semua langkah yang saya
sebutkan hanya akan membuahkan hasil
dalam jangka panjang. Generasi kita
ditakdirkan untuk menanam, anak-cucu
kita yang memanen.

Demikianlah seluruh uraian saya.


Semoga Tuhan selalu melimpahkan
rakhmat-Nya kepada kita semua.
Terimakasih.

Ungkapan Terimakasih
Terlalu banyak pihak yang
berhak menerima apresiasi dan rasa
terimakasih saya untuk saya sebut satu
per satu. Untuk mengurangi risiko ada
yang terlewatkan perkenankan saya
menyampaikan rasa terimakasih yang
tulus kepada semua sejawat dan rekan
kerja di lingkungan Fakultas Ekonomi
dan Universitas Gadjah Mada atas
kerjasama dan persahabatan kita selama
ini. Di Kampus Biru ini saya dibentuk
dan dibesarkan. Universitas Gadjah
Mada sudah menjadi bagian dari diri
saya. Saya juga ingin menyampaikan
rasa terimakasih kepada semua rekan
kerja dan sahabat di berbagai instansi di
Jakarta atas kerjasama dan persahabatannya selama ini. Dengan segala
keterbatasan, kita bersama-sama telah
berupaya memberikan yang terbaik bagi
bangsa. Keluarga saya meminta saya
untuk tidak menyampaikan terimakasih
bagi mereka. Tidak perlu, kata mereka.
Mereka hanya meminta saya untuk
memberikan lebih banyak perhatian dan
waktu bagi mereka. Untuk sementara
ini, nampaknya permintaan ini belum
dapat saya penuhi. Terakhir saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh hadirin yang telah berkenan meluangkan
waktu untuk hadir pada acara hari ini.

17

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

18

Anda mungkin juga menyukai