menguji keamanan, biasanya dilihat kandungannya. Misalnya dengan melihat tingkat toksisitasnya.
Contohnya buah mahkota dewa. "Dosisnya harus sekian, tidak boleh melebihi sekian, karena toksik."
Selain soal toksisitas, yang juga memengaruhi keamanan jamu adalah faktor penanganan pascapanen.
"Bagaimana cara mencuci, mengeringkan, dan menyimpan sampai menjadi jamu atau produk tertentu
(misalnya kapsul atau minuman instan) sangat berpengaruh. Kalau tidak benar, maka mikroba dan
aflatoksin jamur, justru bisa berakumulasi di dalam tubuh dan bisa berbahaya," lanjut Dyah.
Penanganan pascapanen harus berdasarkan standar yang benar. "Cara membersihkan, mengiris,
mengeringkan pun ada standarnya (Standar Nasional Indonesia). Temulawak dan jahe, misalnya, sudah
ada SNI-nya. Jadi, bagaimana penanganan pascapanen dan budidaya sudah ada standarnya."
Lebih lanjut Dyah mencontohkan mengenai ketebalan irisan. "Tak bisa sembarangan. Tergantung apa
yang diinginkan. Misalnya, kalau yang diinginkan minyak atsirinya, berarti irisan harus lebih tebal, dan
sebagainya." Begitu pula dengan cara mengeringkan dan menyimpan, juga tak boleh dianggap remeh.
"Kalau sudah lembap, bukannya mengobati atau mencegah, tapi mikroba yang masuk ke tubuh malah
akan bertambah. Kalau yang masuk mikroba yang patogen, bisa merusak," kata Dyah melanjutkan.
Yang jelas, Dyah menyarankan untuk tidak meninggalkan jamu. "Tidak semua industri jamu seperti itu,
kok. Banyak produk jamu yang bagus. Konsumen harus jeli memilih, mana jamu yang aman dan mana
yang tidak. Lagipula, negara kita ini sangat kaya dengan tanaman obat. Jadi, kitalah yang harus
memberdayakan."
LAYAK
KONSUMSI
Selain soal khasiat, yang juga harus diperhatikan sebelum mengonsumsi jamu adalah sisi keamanan.
"Memang sulit untuk mengetahui apakah ada kandungan bahan kimia di dalam produk jamu. Harus
melewati penelitian," jelas Dyah. Tapi, untuk melihat apakah jamu masih bagus (layak konsumsi) atau
tidak, bisa dilakukan. Salah satunya dengan melihat tanggal kadaluwarsa. "Juga dari penampakkan
serbuk jamunya sendiri. Serbuk yang bagus biasanya kering, tidak lembap."
Dyah juga menyarankan untuk memilih jamu yang sudah teregistrasi. "Ini paling tidak akan mengurangi
kemungkinan meminum jamu yang tidak jelas kandungannya. Akan lebih baik kalau minum jamu yang
diproduksi berdasarkan hasil penelitian dan proses pembuatannya benar (experiment-based dan
knowledge-based).
Minum jamu sebaiknya juga jangan sampai menjadi suatu ketergantungan. "Meskipun sifatnya lebih
untuk pencegahan, sebaiknya jangan setiap hari. Diberi selang waktu, misalnya minum dua hari sekali."
Yang tak kalah penting adalah konsumsi gizi yang baik, olahraga dan istirahat teratur. "Itu juga membantu
mencegah penyakit."