BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
Uvea merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang terdiri dari iris, korpus siliar, dan
koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea ikut memasok darah ke retina.
Uvea dibagi menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang terdiri dari iris dan badan siliar dan
uvea posterior yaitu koroid (Wijana, 1993; Vaughan et al, 2000). Dalam tulisan ini hanya
dibahas mengenai uveia anterior saja.
1.
Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa permukaan pipih dengan
apertura bulat di tengahnya yang disebut dengan pupil. Iris terletak bersambungan dengan
permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera okuli anterior dan kamera okuli
posterior, yang masing-masing berisi humor aqueus. Di dalam stroma iris terdapat sfingter
dan otot-otot dilator (Wijana,1993; Voughan et al,2000).
Secara histologis terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya terdapat lekukan-lekukan di
permukaan anterior yang berjalan radier yang dinamakan kripta. Di dalam stroma terdapat sel
pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan serabut saraf. Di permukaan anterior
ditutupi oleh endotel, terkecuali pada kripta, di mana pembuluh darah pada stroma dapat
berhubungan langsung dengan kamera okuli anterior. Di bagian posterior dilapisi oleh dua
lapisan epitel, yang merupakan lanjutan epitel pigmen retina. Warna dari iris tergantung dari
sel-sel pigmen yang bercabang yang terdapat di dalam stroma yang jumlahnya dapat berubahubah dan juga epitel pigmen yang jumlahnya tetap (Wijana,1993).
Ada 2 otot yang ada di dalam iris antara lain otot sfingter pupil (M. sphincter pupillae) yang
berjalan sirkuler, yang terletak di dalam dekat pupil dan dipersarafi oleh saraf parasimpatis
(N. III), dan otot dilatator pupil (M. dilatator pupillae) yang berjalan radier dari akar iris ke
pupil, terletak di bagian posterior stroma dan disarafi oleh saraf simpatis (Wijana, 1993)
Pasokan darah ke iris berasal dari circulux major iris. Kapiler-kapiler iris memiliki lapisan
endotel yang tak berlubang sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresin yang
disuntikkan secara intravena. Persyarafan iris adalah melalui serat-serat nervus siliare
(Voughan, 2000).
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada
prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatik yang
dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktifitas simpatik
(Voughan, 2000).
Cahaya yang mengenai mata diterima oleh sel-sel batang dan kerucut di retina, diteruskan
oleh N. II ke kiasma optikum, radiasio optika, setinggi korpus genikulatum lateral, serat
pupilomotor melepaskan diri ke brachium kolikulus superior, ke midbrain, komisura posterior
di daerah pretektalis, kemudian mengadakan semidikusasi dan keduanya menuju ke nucleus
Edinger Westphal di kedua sisi. Dari sini keluar saraf eferen (saraf parasimpatis) yang
memasuki N. III, ke ganglion siliaris, serat saraf postganglioner melalui Nn. siliaris brevis
(Wijana,1993).
Menurut Wijana (1993), bila seseorang melihat suatu objek pada jarak dekat, maka terjadi
trias akomodasi yaitu:
Kontraksi dari otot siliaris yang berguna agar zonula Zinii mengendor, lensa dapat
mencembung, sehingga cahaya yang datang dapat difokuskan ke retina.
Konstriksi dari otot rektus internus, sehingga timbul konvergensi dan mata tertuju
pada benda itu.
Konstriksi otot konstriksi pupil dan timbullah miosis, supaya cahaya yang masuk tak
berlebih, dan terlihat dengan jelas.
2.
Korpus Siliaris
Pada potongan melintang korpus siliare secara kasar berbentuk cincin segitiga yang
membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal iris ( 6mm). Terdiri dari dua
zona, yaitu zona anterior dengan permukaan berjonjot lekuk dan menonjol yang disebut
dengan pars pikata ( 2mm), dan zona posterior yang datar dengan permukaan licin disebut
pars plana ( 4mm). Processus siliaris ini berasal dari pars plikata. Processus siliaris ini
terutama terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vene-vena vorteks.
Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang sehingga membocorkan fluoresin yang
disuntikkan secara intravena. Ada dua lapis epitel siliaris: satu lapisan tanpa pigmen di
sebelah dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di
sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Prosessus siliaris dan
epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk humor aquaeus (Voughan, 2000;
Ghozie, 2002).
Korpus siliaris mengandung otot polos yang tersusun longitudinal, sirkular, dan radial. Otototot ini berfungsi untuk menarik dan mengendorkan serabut zonula Zinni, yang menghasilkan
perubahan tegangan pada kapsul lensa. Ketegangan kapsul lensa yang berubah akan
menyesuaikan kekuatan lensa mata sesuai dengan jarak benda yang dilihat agar bayangannya
tepat di retina (Ghozie, 2002).
Procesus siliaris mengandung terutama pembuluh kapiler dan venanya yang menumpahkan
darahnya ke luar melalui vena vorticosa. Kapilernya besar dan mudah dirembesi larutan
suntikan fluresin. Pars plana terdiri atas selapis tipis otot siliaris dan pembuluh siliar yang
diselimuti epitel siliar. Serabut zonula berorigo di lekukan dari procesus siliaris (Ghozie,
2000).
Pembuluh darah dibadan siliar berasal dari sirkulus iridis mayor, sedang syaraf sensoris
berasal dari syaraf siliaris (Voughan, 2000; Ghozie, 2002).
II.
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare (pars plikata),
kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera (Ardy,
1993)
Menurut American Optometric Association (AOA) tahun 2004, uveitis anterior adalah suatu
proses inflamasi intraokular dari bagian uvea anterior hingga pertengahan vitreus. Penyakit
ini dihubungkan dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai penyakit sistemik seperti
juvenile rheumatoid, artritis, ankylosing spondilitis, Sindrom Reiter, sarcoidosis, herpes
zoster, dan sifilis.
III.
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis . Di Amerika Serikat
ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12 orang dari 100.000 penduduk per
tahun. Insidensinya meningkat pada usia 20-50 tahun dan paling banyak pada usia sekitar 30an (Sjamsoe, 1993; AOA, 2004)
Menurun AOA (2004), berdasarkan etiologinya ada beberapa faktor resiko yang menyertai
kejadian uveitis anterior antara lain, penderita toxoplasmosis dan yang berhubungan dengan
hewan perantara toxoplasma. Beberapa penyakit menular seksual juga meningkatkan angka
kejadian uveitis anterior seperti sifilis, HIV, dan sindroma Reiter.
IV.
KLASIFIKASI
Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis infeksius,
uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. Uveitis infeksius dapat
disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus. Uveitis non infeksius dapat disebabkan oleh agen
non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya), agen spesifik pada mata (oftalia
simpatika, uveitis imbas lensa), dan penyakit sistemik seperti Behcet, sarkoidosis, sindroma
Reiter, dll (Sjamsoe,1993).
Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan uveitis
endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan oleh trauma, operasi intra okuler,
ataupun iatrogenik. Sedangkan uveitis endogen dapat disebabkan oleh fokal ifeksi di organ
lain maupun reaksi autoimun ( Anonim,2008).
Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis anterior
dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis. Uveitis anterior akut
biasanya timbulnya mendadak dan perjalanan penyakitnya kurang dari 5 minggu. Sedangkan
yang kronik mulainya berangsur-angsur, dan perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan
maupun tahunan (Ardy, 1993).
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe granulomatosa
dan non granulomatosa. Tipe granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel epiteloid dan
makrofag. Sedangkan tipe non granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel plasma dan limfosit
(Ardy,1993; anonim, 2008).
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan ICD-9-CM dibagi atas:
V.
ETIOLOGI
Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara lain: autoimun,
infeksi, keganasan, dan lain-lain. Penyebab autoimun terdiri dari: artritis Rhematoid juvenile,
spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, kolitis ulseratif, uveitis terinduksi-lensa, sarkoidosis,
penyakit crohn, psoriasis. Penyebab infeksi terdiri dari: sipilis, tuberkulosis, lepra, herpes
zooster, hepes simpleks, onkoserkiasis, adenovirus. Untuk penyebab keganasan terdiri dari:
sindrom masquerada, retinoblastoma, leukemia, limfoma, melanoma maligna. Sedangkan
yang lainnya berasal dari: iridopati, uveitis traumatika, ablatio retina, gout, dan krisis
glaukomatosiklitik (Voughan, 2000).
Selain itu menurut Rosenbaum (2007) etiologi dari uveitis anterior digolongkan menurut
agen penyebab infeksi, seperti dalam tabel berikut:
Tabel 1. Etiologi uveitis anterior menurut golongkan agen penyebab infeksi
BACTERIAL/
SPIROCHETAL
Atypical
mycobacteri
a
Brucellosis
Cat scratch
disease
Leprosy
Leptospirosi
s
Lyme
disease
Propionibact
eri-um
Syphilis
Tuberculosis
Whipple's
disease
VIRAL
FUNGAL
PARASITIC
Cytomegalov
irus
Aspergillosi
s
Acanthamo
eba
Epstein-Barr
Blastomyco
sis
Cystercerco
sis
Herpes
simplex
Candidiasis
Onchocerci
asis
Herpes
zoster
Coccidioid
o-mycosis
Pneumocys
tis carinii
Human T
cell leukemia
virus
Cryptococc
osis
Toxocariasi
s
Histoplasm
osis
Toxoplasm
osis
Sporotricho
sis
Mumps
Rubeola
Vaccinia
HIV-1
West Nile
virus
Masih menurut Rosenbaum (2007) beberapa penyakit sistemik dapat berhubungan dengan
uveitis, penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah:
Spondyloarthritides
Crohn's disease
Sarcoidosis
Behcet's disease
Hypersensitivity reactions
Tubulointerstitial nephritis
Multiple sclerosis
Relapsing polychondritis
Sjgren's syndrome
Systemic vasculitis
Vogt-Koyanagi-Harada syndrome
AIDS
Blau syndrome
Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti: gigi, telinga, hidung,
tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan lain-lain. Trauma perforata
dan oftalmia simpatika juga dapat menyebabkan uveitis anterior (Wijana, 1993)
VI.
PATOFISIOLOGI
Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat mengenai satu atau ketiga bagian
secara bersamaan. Bentuk uveitis paling sering terjadi adalah uveitis anterior akut (iritis),
umumnya unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit, fotopobia dan penglihatan
kabur, mata merah, dan pupil kecil serta ireguler.
Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada oreng dewasa
dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui. Berdasarkan
patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-granulomatosa (lebih umum) dan
granulomatosa.
Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu iris dan
korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel
plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Pada kasus berat dapat
terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior (Vaughan, 2000).
Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus) yang memberi
makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris dan badan siliar, maka
timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah,
sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding
pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang
akan mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan
glaukoma. Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa
iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak
mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang,
sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh
darah, suhu menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak
ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea,
membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang
makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula
masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar
masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas normal 1520 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera okuli anterior, sehingga
alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat
trabekula yang meradang atau sakit (Wijana,1993)
Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anteror dan timbullah hifema (bila banyak
mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul banyak mengandung sel darah
putihnya). Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang menempel pada pupil dapat
juga menagalami organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlekatan ini
disebut sinekia posterior. Bila seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil
sehingga cairan yang dari kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke
kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan, disebut iris bombe dan menyebabkan sudut
kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan
iris pada lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel
radang yang menyebabkan organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan
siliar dapat pula menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan
karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan
dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat
mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang terdiri dari jaringan
ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang
lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina (Wijana, 1993).
VII.
GAMBARAN KLINIS
1.
Gejala Subyektif
Gejala subyektif uveitis anterior dapat berupa rasa nyeri, fotofobia , lakrimasi, dan mata
kabur. Masing-masing gejala akan dijelaskan di bawah ini (Ardy, 1993 ; Gunawan, 1993 )
Nyeri
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan saraf siliar bila
melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul.Lokalisasi nyeri bola mata, daerah
orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas nyeri tergantung
hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit
menentukan derajat nyeri.
Nyeri jarang dirasakan oleh penderita, kecuali telah terbentuk keratopati bulosa akibat
glaukoma sekunder
Ditandai dengan blefarospasmus. Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea
bukan karena sensitif terhadap cahaya. Derajat 3+4+ blefarospasmus menetap, ringan 1+2+
bila disinari dengan sinar yang kuat baru timbul bleforaspasmus. Lakrimasi disebabkan oleh
iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia.
Kabur
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat, atau hilang timbul, tergantung
penyebab.
Disebabkan oleh pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos, dan badan kaca depan
karena eksudasi sel radang dan fibrin.
Disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kelainan kornea seperti edema, lipatan
Descemet, vesikel epitel dan keratopati. Edema kornea akibat glaukoma sekunder dapat
mengalami kalsifikasi. Pada infeksi herpes simpleks terdapat edema menetap disertai
neovaskularisasi stroma perifer dan pannus kornea.
2.
Gejala Obyektif
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila diperlukan
angiografi fluoresen atau ultrasonografi. Menurut Ardy (1993) pada pemeriksaan akan
ditemukan hasil di bawah ini.
Hiperemi
Pemeriksaan dilakukan dengan iluminasi fokal dalam ruang gelap. Merupakan gambaran
bendungan pembuluh darah sekitar kornea atau limbus. Gambaran merupakan hiperemi
pembuluh darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna ungu.
Merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat meluas sampai
pembuluh darah konjungtiva.
Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan keratitis marginalis. Hiperemi
sekitar kornea disebabkan oleh peradangan pada pembuluh darah siliar depan dengan refleks
aksonal dapat difusi ke pembuluh darah badan siliar. Hubungan derajat hiperemi dengan
kelainan kornea mengikuti pembagian Hogan (1959).
Derajat 0 : Hiperemi sekitar kornea dan kelainan kornea tidak ada.
Derajat 1 : Hiperemi sekitar kornea dan edema kornea ringan.
Derajat 2 : Hiperemi sekitar kornea jelas dan difus, disertai hiperemi pembuluh darah
episklera dan konjungtiva. Edema stroma dan epitel kornea difus dengan lipatan membran
Descemet.
Derajat 3 : Hiperemi hebat sekitar kornea disertai hiperemi difus episklera dan konjungtiva.
Edema difus stroma dan epitel kornea, lipatan Descemet, vaskularisasi perifer disertai
permulaan fibrosis daerah tertentu stroma kornea.
Derajat 4 : Injeksi kornea, hiperemi pembuluh darah konjungtiva, kemosis. Edema hebat
stroma, keratitis bulosa dan vaskularisasi perifer.
Perubahan kornea
Keratik presipitat
Terjadi karena pengendapan agregasi sel radang dalam bilik mata depan pada endotel kornea
akibat aliran konveksi akuwos humor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel
kornea. Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan juga difus.
Keratik presipitat dapat dibedakan :
Jenis sel :
o lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus keabuan.
o limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil bulat batas
tegas, putih.
o makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat fagositosis
membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai mutton fat.
o halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut, retinitis/koroiditis,
uveitis intermedia. Uveitis anterior akut dengan etiologi penyakit sendi dan
infeksi fokal.
o kecil dan hanya beberapa, terdapat pada Sindrom Posner-Schlossman.
o mutton fat keabuan dan agak basah. Terdapat pada uveitis granulomatosa
disebabkan oleh tuberkulosis, sifilis, lepra, Vogt-Koyanagi-Harada dan
simpatik oftalmia. Juga ditemui padauveitis non granulomatosa akut dan
kronik yang berat. Mutton fat dibentuk oleh makrofag yang bengkak oleh
bahan fagositosis dan set epiteloid berkelompok atau bersatu membentuk
kelompok besar. Pada permulaan hanya beberapa dengan ukuran cukup besar
karena hidratasi dan tiga dimensi, lonjong batas tidak teratur. Bertambah lama
membesar, menipis dan berpigmen akibat fagositosis pigmen uvea, dengan
membentuk daerah jernih padaendotel kornea. Pengendapan Mutton fat sulit
mengecil dan sering menimbulkan perubahan endotel kornea
gambaranmerupakan gelang keruh di tengah karena pengendapan pigmendan
sisa hialin sel.
Kelainan kornea
Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan etiologi tuberkulosis, sifilis, lepra,
herpes simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan kornea.
Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descemet dan
neovaskularisasi kornea.
Gambaran edema kornea bcrupa lipatan Descemet dan vesikel pada epitel kornea. Harus
dibedakan dari keratitis profunda misalnya keratitis disciformis dengan edema menetap,
neovaskularisasi stroma perifer dan pannus.
Keratopati band akibat tekanan bola mata meninggi dan iridosiklitis pada anak.
Kekeruhan dalam bilik mata depan dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar protein, sel,
dan fibrin.
Efek tyndal
Efek tyndal menunjukkan ada atau menetapnya peradangan dalam bola mata
Kenaikan jumlah sel dalam bilik depan mata sebanding dengan derajat peradangan dan
penurunan jumlah sel sesuai dengan penyembuhan pada pengobatan uveitis anterior.
Terdapat efek Tyndall menetap dengan beberapa sel menunjukkan telah terjadi perubahan
dalam permeabilitas pembuluh darah iris.
Bila terjadi peningkatan efek Tyndall disertai dengan eksudasi sel menunjukkan adanya
eksaserbasi peradangan.
Sel
Sel radang berasal dari iris dan badan siliar. Pengamatan sel akan terganggu bila efek Tyndall
hebat. Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah dalam ruangan gelap dengan celah 1 mm
dan tinggi celah 3 mm dengan sudut 45. Dapat dibedakan sel yang terdapat dalam bilik mata
depan.
Jenis sel :
limfosit dan sel plasma bulat, mengkilap putih keabuan.
makrofag lebih besar, wama tergantung bahan yang difagositosis.
sel darah berwarna merah.
pigmen kecil dan coklat.
Fibrin
Dalam humor akuos berupa gelatin dengan sel, berbentuk benang atau bercabang, wama
kuning muda, jarang mengendap pada kornea.
Terdapat pada iridosiklitis akut dan berat karena eksudasi fibrin ke dalam bilik depan mata
(iritis plastik).
Hipopion
Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata depan bawah. Pengendapan terjadi
bila derajat sel dalam bilik depan lebih dari 4+.
Hipopion dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut dengan sebutan sel lekosit berinti
banyak, biasanya karena rematik, juga pada penyakit Behcet, dan fakoanafilaktik.
Hipopion harus dibedakan dari pseudohipopion yang disebutkan juga kelompok sindrom
masquerade. Untuk membedakan harus dilakukan pemeriksaan dengan pupil yang telah
dilebarkan dengan midriatik. Sindrom Masquerade disebabkan oleh iridoskisis, atrofi iris
esensial, limfoma maligna, leukemi, sarkoma sel retikulum, retinoblastoma, pseudoeksfoliatif
dan tumor metastasis.
Hiperemi iris
Merupakan gejala bendungan pada pembuluh darah iris. Edema dan eksudasi pada stroma
iris, keadaan ini dipermudah karena iris kaya dengan pembuluh darah sehingga struktur iris
normal hilang dan gambaran iris kusam coklat keabuan.
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak terlihat karma
ditutupi oleh eksudasi sel.
Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis dengan gambaran hiperemi radial
tanpa percabangan abnormal.
Miosis pupil
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi akibat peradangan
langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat disertai nyeri.
Nodul iris
Nodul tidak sesuai karena pengendapan agregasi sel dalam stroma tidak selalu menimbulkan
kerusakan jaringan. Dibentuk oleh limfosit, sel plasma dan jarang makrofag. Dapat ditemui
pada iritis atau iridosiklitis kronik. Nodul iris tidak selalu menunjukkan peradangan
granulomatosa.
Nodul Kocppe
Lokalisasi pinggir pupil, banyak, menimbul, bundar, ukuran kecil, jernih, warna putih
keabuan. Proses lama nodul Kocppe mengalami pigmentasi baik pada permukaan atau lebih
dalam merupakan hiasan dari iris.
Nodul Busacca
Merupakan agregasi sel yang tcrjadi pada stroma iris nodul Koeppe, terlihat scbagai benjolan
putih pada permukaan depan iris. Juga dapat ditemui bentuk kelompok dalam liang setelah
mengalami organisasi dan hialinisasi. Nodul Busacca merupakan tanda uveitis anterior
granulomatosa.
Granuloma iris
Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris. Granuloma iris merupakan kelainan
spesifik pada peradangan granulomatosa seperti tuberkulosis, lepra dan lain-lain. Ukuran
lebih besar dari kelainan pada iris lain. Terdapat hanya tunggal, tebal padat, menimbul, warna
merah kabur, dengan vaskularisasi dan menetap. Bila granuloma hilang akan meninggalkan
parut karena proses hialinisasi dan atrofi jaringan.
Sinekia iris
Merupakan perlengkapan iris dengan struktur yang berdekatan pada uveitis anterior karena
eksudasi fibrin dan pigmen, kemudian mengalami proses organisasi sel radang dan fibrosis
iris.
Sinekia posterior
Merupakan perlengketan iris dengan kapsul depan lensa. Perlengketan dapat berbentuk
benang atau dengan dasar luas dan tebal. Bila luas akan menutupi pupil, dengan pemberian
midriatika akan berbentuk bunga. Bila eksudasi fibrin membentuk sinekia seperti cinein, bila
seklusi sempurna akan memblokade pupil (iris bombe). Kelainan ini dapat dijumpai pada
uveitis granulomatosa atau nongranulomatosa, lebih sering bentuk akut dan subakut, dengan
fibrin cukup banyak. Ditemui juga pada bentuk residif bila efek Tyndall berat.
Belum terjadi proses organisasi, sehingga sinekia posterior lebih mudah lepas dengan
midriatika, dengan meninggalkan jejak pigmen sedikit banyak pada kapsul depan lensa.
Sinekia posterior dibentuk oleh jaringan fibrotik keabuan tanpa distorsi pupil tetapi dengan
perubahan pinggir pupil.
Sinekia anterior
Perlengketan iris dengan sudut irido-kornea, jelas terlihat dengan gonioskopi. Sinekia anterior
timbul karena pada permulaan blok pupil sehingga akar iris maju ke depan menghalangi
pengeluaran akuos, edema dan pembengkakan pada dasar iris, sehingga setelah terjadi
organisasi dan eksudasi pada sudut iridokornea menarik iris ke arah sudut.
Sinekia anterior bukan merupakan gambaran dini dan determinan uveitis anterior, tetapi
merupakan penyulit peradangan kronik dalam bilik depan mata.
Oklusi pupil
Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membran radang pada pinggir pupil.
Eksudasi protein dalam bilik depan mata disertai tarikan hebat dacrah pupil.
Proses organisasi sehingga membran radang berubah menjadi membran fibrotik dengan
neovaskularisasi.
Pada kasus yang berat karena kontraksi dan retraksi membran fibrovaskular dapat
menyebabkan eversi epitel pigmen sehingga terjadi ektropion uvea.
Atrofi iris
Terlihat derajat tertentu dari bendungan dan hiperemi stroma, sehingga iris kehilangan
struktur normal, karena mengalami fibrosis karena hilang dan homogenisasi struktur iris
berupa depigmentasi.
Atrofi iris dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral terdapat pada iridosiklitis akut
disebabkan oleh virus, terutama herpetik.
Kista iris
Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah kecelakaan, bedah mata dan
insufisiensi vaskular. Kista iris melibatkan stroma yang dilapisi epitel seperti pada epitel
kornea.Pada beberapa keadaan, epitel yang melapisi kista keratinisasi sehingga lesi diisi oleh
bahan keratin, yang terlihat seperti mutiara.
Dikenal 3 bentuk perubahan pada lensa akibat uveitis anterior, yaitu: pengendapan set radang,
pigmen dan kekeruhan lensa.
Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi pengendapan pada kapsul lensa.
Pada pemeriksaan lampu celah ditemui kekeruhan kecil putih keabuan, bulat, menimbul,
tersendiri atau berkelompok pada permukaan lensa.
Pengendapan pigmen
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul depan lensa,
menunjukkan bekas sinekia posterior yangtelah lepas. Sinekia posterior yang meny,erupai
lubang pupil disebut cincin dari Vossius.
Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat peradangan uvea dan proses
degenerasi-proliferatif karena pembentukan sinekia posterior. Luas kekeruhan tergantung
pada tingkat perlengketan lensa-iris, hebat dan lamanya penyakit.
Akibat perlengketan iris terjadi pencairan serat.
Terjadi perubahan degeneratif di depan kapsul depan dan subkapsul belakang. Predileksi
daerah sentral menunjukkan telah timbul reaksi hipersensitivitas daerah lensa tersebut
terhadap stimuli toksik metabolik. Kekeruhan subkapsul belakang dapat disebabkan
pemberian kortikosteroid lokal atau sistemik.
Kekeruhan lensa (katarak) sering merupakan penyulit uveitis anterior kronik atau residif.
Reaksi radang pada uveitis anterior lebih sering mempercepat kekeruhan pada katarak senilis.
Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, eksudat fibrin dan sisa kolagen, di
depan atau belakang, difus, berbentuk debu, benang, menetap atau bergerak. Agregasi
terutama oleh sel limfosit, plasma dan makrofag.
Iridosiklitis dapat dibedakan dari iritis dengan ditemui sel dan kekeruhan di ruang belakang
lensa dan badan kaca depan akibat eksudasi badan siliar.
Kekeruhan badan kaca tidak berkurang melainkan akan bertambah. Bila lebih banyak sel
melekat terlihat penebalan benda kaca dan terpisah.
Pada kasus uveitis anterior residif dan kronik tidak terkontrol, akan mengalami regresi dan
pemecahan jaringan kolagen, pencairan dan retraksi, sehingga mengakibatkan lepas badan
kaca. Efek Tyndall dan set dalam ruang belakang badan kaca akibat masuknya eksudasi
radang melalui hialod belakang yang rusak. Badan kaca yang mengalami kerusakan akan
membentuk perlengkctan dan kckeruhan bersama set radang dan membentuk eksudat berupa
salju, tipikal pada uveitis intermedia, dan posterior. Kekeruhan ini akan bertambah
membundar, keabuan, mengkilap bergerak di atas badan kaca perifer.
Pada uveitis anterior tidak begitu berat, terjadi perubahan bagian depan badan kaca, tetapi
dapat meluas ke seluruh badan kaca dan setelah mengalami proses regresi organisasi dapat
menimbulkan penyulit vitreo-retina.
Tekanan bola mata pada uveitis anterior dapat rendah (hipotoni), normal atau meningkat
(hipertoni).
Hipotoni
Hipotoni menetap karena perubahan badan siliar dan dapat mengakibatkan atrofi bola mata.
Normotensi
Hipertoni
Hipertoni dini ditemui pada uveitis hipertensif akibat blok pupil dan sudut irido-kornea oleh
sel radang dan fibrin yang menyumbat saluran Schlemm dan trabekula. Hipertoni dijumpai
juga pada uveitis disebabkan oleh virus herpes simpleks, zoster dan sindrom Posner
Schlossman.
Tabel 2. Perbedaan Uveitis Granulomatosa
dan Non Granulomatosa
Non granulomatosa
Granulomatosa
Onset
Akut
Tersembunyi
Sakit
Nyata
Fotofobia
Nyata
Ringan
Penglihatan kabur
Sedang
Nyata
Merah
sirkumkorneal
Nyata
Ringan
Putih halus
Kelabu besar
Sinekia posterior
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Nodul iris
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Uvea anterior
Perjalanan
Akut
Menahun
Rekurensi
Sering
Kadang-kadang
Presipitat keratik
Pupil
Tempat
(Vaughan, 2000)
VIII.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang mendalam umumnya tidak diperlukan untuk uveitis anterior,
apalagi untuk tipe non-granulomatosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis
dapat berguna demikian juga antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes ini dan
gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosa etiologinya (Vaughan, 2000)
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung dalam penegakan diagnosa dan
etiologi adalah radiografi thorak dan fluorescent treponemal antibody absorption (FTAABS). Berikut adalah pemeriksaan dan indikasi pada penegakan diagnosa dan etiologi uveitis
anterior menurut George (2007) dan AOA (2004):
Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus dan mengetahui
keganasan seperti limfoma dan leukimia.
MRI pada kepala akan membantu dalam penegakan cases of intraocular (CNS)
lymphoma.
Pada pasien dengan indikasi sarkoidosis dan pada pemeriksaan radiografi thorak
negatif, pemeriksaan CT thorak untuk mengetahui hilar adenopathy.
IX.
DIAGNOSIS BANDING
Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada tahi mata dan
umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris.
Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan
fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zooster
dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya.
Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan korneanya beruap.
X.
TERAPI
Menekan peradangan,
Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di luar
mata.
Pada refrat ini akan dibahas terapi spesifik dan terapi non spesifik untuk uveitis anterior
menurut Sjamsoe (1993).
1.
Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada uveitis yaitu midriatiksikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.
Midriatik-sikloplegik
Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja dengan menghambat
neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior
sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu:
o Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris
o Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang dapat
meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma sekunder.
o Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.
Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior menuruut AOA (2004) antara
lain:
o Atropine 0,5%, 1%, 2%
o Homatropin 2%, 5%
o Scopolamine 0,25%
o Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.
Kortikosteroid
Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang bermanfaat
pada uveitis. Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak
ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti inflamasi, efek samping
dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan
intra okular dengan kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan
kortikosteroid pada uveitis:
o Lokal : Tetes mata, dan injeksi peri okular
o Sistemik
Lokal
Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik sikloplegik lokal adalah paling logis
dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek samping yang minimal. Dan
apabilaterjadi komplikasi, maka obat ini dapat segera distop.
Tetes mata
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat kornea sebagai sawar
terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat topikal akan
tergantung pada:
a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian
Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi
pula efek antiinflamasinya.
b. Jenis kortikosteroid
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat dexametason,
betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat
medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra,
konjungtiva dan kornea superfisial.
c. Jenis pelarut yang dipakai
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel yang
terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel
lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih
mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus
kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat
kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic.
d. Bentuk larutan
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi. Keuntungan bentuk suspensi
adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi
kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai.
Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasiseperti: Glaukoma, katarak,
penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.
Injeksi peri-okular
Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun bentuk short acting berupa
solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan secara
maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal.
Indikasi injeksi peri-okular adalah :
1. Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka injeksi peri-okular
dapat dianjurkan.
2. Uveitis unilateral.
Sistemik
Imunosupresan
Sitostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter terhadap steroid. Di
RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,10,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini
dipertahankan selama 23 bulan lalu diturunkan sampai 58 mg selama 3 bulan dan dosis
maintenance kurang dari 5 mg/hari, sampai 612 bulan. Selain itu juga dipakai preparat
Kolkhisindosis 0,5 mg1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/hari. Selama terapi
sitostatika kita hams bekerja sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita
hams mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan trombosit lebih dari
100.000/mm3 selama dalam pengobatan.
Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik dibandingkan kortikosteroid,
tetapi pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia,
gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi oportunistik, keganasan
dan kerusakan kromosom.
Indikasi sitostatika:
1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable
2. Penyakit Behcet
3. Oftalmia simpatika
4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis)
Kontra indikasi sitostatika :
1. Uveitis dengan etiologi infeksi
2. Bila tidak ada :
Internist/hematologist
Fasilitas monitoring sumsum tulang
Fasilitas penanganan efek samping akut
Siklosporin A
Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif baik yang tidak
menimbulkan efek samping terlalu berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T
tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan
terjadi penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat fungsi sel
makrofag, sel monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum
tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika.
Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah spesifik dengan:
Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara umum produksi
limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF). Secara umum CsA
tidal( menghambat fungsi sel B.
Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis IL-2.
Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer cell) dengan
menekan produksi interferon, di mana interferon dalam mempercepat proses
pematangan dan sitolitik sel NK.
Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga tidak
mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan elaborasi IL-1.
1.
Terapi Spesifik
Toxoplasmosis
Pirimetamin :
Dosis awal 75100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari selama 36 minggu.
Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim) :
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim selama 46 minggu. Preparat sulfa mencegah konversi asam
paraaminobenzoat menjadi asam folaL Preparat pirimetamin bekerja menghambat
terbentuknya tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk
metabolisme karbon. Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang,
maka kontrol darah tepi tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk
mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari.
Klindamisin :
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat sulfa. Secara invivo
pada experimen obat ini dapat menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina.
Dosis: 3 kali 150300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg
dilaporkan memberi hasil baik.
Spiramisin :
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang minimal. Obat ini
kurang efektif dalam mencegah rekurensi.
Minosiklin :
Infeksi virus
Herpes simplex :
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti asiklovir dan
sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid
bersama antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 23 minggu yang
kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir
intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
Herpes zoster :
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 1014 hari. Kortikosteroid
sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada
uveitis anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal.
Sitomegalovirus :
Berat badan. Bila berat badan naik dengan cepat berarti ada penumpukan air, karena
adanya Na retensi, makanya pada pemberian kortekosteroid yang lama harus disertai
pemberian KCl.
Pemeriksaan kadar gula dalam darah, harus dilakukan satu kali dalam setiap minggu
Berhasil tidaknya pengobatan tergantung oleh daya tahan tubuh serta adanya virulensi dari
faktor penyebab iridosiklitis. Oleh karenanya pemberian kortikosteroid tidak akan berhasil
apabila tidak disertai pengobatan penyebabnya. Keadaan umum diperbaiki untuk
memperbaiki daya tahan tubuh. Istirahat di tempat tidur, terlindung dari cahaya, tidak boleh
membaca, dilarang minum alkohol (dapat menyebabkan hiperemi), memakan makanan yang
mudah dicerna, dan memakai kaca mata hitam. Selain itu jangan lupa memeriksa bagianbagian tubuh yang lain seperti: gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus
digestivus, kulit, dan bagian lain. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab dan juga
mengobati penyebab tersebut (Wijana, 1993).
XI.
KOMPLIKASI
Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma, band
keratopathy, dan cystoid macular edema (CME) (AOA,2004).
Katarak subcapular posterior merupakan salah satu komplikasi dari pengobatan uveitis
anterior berupa penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang (AOA, 2004).
Glaukoma sekunder yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, antara lain:
(AOA, 2004)
Cortikosteroid topikal yang digunakan pada terapi dapat meningkatkan tekanan intra
okular
Band keratopathi terjadi pada uveitis yang lama. Terjadi karena penumpukan calsium pada
kornea anterior (AOA, 2004).
Edema kistoid makuler dapat terjadi pada uveitis anterior yang lama. CME mungkin
disebabkan karena penurunan kadar prostaglandin (AOA, 2004).
XII.
PROGNOSIS
DAFTAR PUSTAKA
American Optometric Association, 2004, Anterior Uveitis, dalam Optometric Clinical
Practice Guideline, American Optometric Association, St. Louis
Anonim, 2007, Uveitis Anterior, http://exdeathhealth.blogspot.com/2008/03/uveitisanterior.html
Ardy, H., 1993, Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior, dalam Cermin Dunia Kedokteran no
87. sept 1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 47-54
Ghozie, M., 2002, Kornea, Uvea, dan Lensa, dalam Hand Book of Ophtalmology,
Yogyakarta
Hodge, W. G., 2000, Traktus Uvealis & Sklera, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan
Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 155-174
Riodan, P., 2000, Anatomi & Embriologi Mata, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan
Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 1-29
Rosenbaum, J,T, 2007, Up to Date: Canada, http://www.uptodate.com
Sjamsoe, S., 1993, Penatalaksanaan Uveitis, dalam Cermin Dunia Kedokteran no 87. sept
1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 55-58
Suhardjo dan Gunawan, S., 1993. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada HLAB27 positif, FK UGM, Yogyakarta
Wijana, N., 1993, Uvea, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta: 126-153
Diposkan oleh dr.elfriadi di 01.02