INTERMODA
ABSTRAK
Transportasi intermoda merupakan proses integrasi sistem transportasi dan faktor yang
memungkinkan integrasi dari beberapa jaringan transportasi menuju bentuk yang lebih efisien
dan memiliki peranan penting dalam Sistem Logistik Nasional. Kinerja Sistem Logistik
Indonesia masih rendah dengan ditandai rasio biaya logistik terhadap nilai tambah di
Indonesia relatif lebih tinggi dibanding dengan negara pesaing, sehingga diperlukan reformasi
logistik yang komprehensif untuk dapat mengurangi biaya logistik. Dalam penerapannya
perlu dukungan pemerintah baik berupa peraturan dan perundangan dan infrastruktur maupun
dalam perkembangan sumber daya manusia.
Kata kunci : transportasi intermoda, reformasi logistik
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki jumlah pulau 17.499 pulau dan
luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2 dan panjang garis pantai 81.900 km serta
menempati peringkat ke-empat dari 10 negara berpopulasi terbesar di dunia jumlah penduduk
mencapai 237,6 juta jiwa (BPS, 2010). Banyaknya jumlah pulau, luasnya wilayah negara,
dan tingginya jumlah penduduk akan membutuhkan sarana dan prasarana transportasi yang
cukup kompleks untuk menghubungkan seluruh daerah di kepulauan ini. Sistem transportasi
Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan satu jenis moda transportasi saja melainkan
membutuhkan sistem transportasi intermoda (darat, laut dan udara) maupun intramoda secara
terintegrasi dalam pola transportasi multimoda (Lemhanas, 2012).
Di era globalisasi saat ini dalam menghadapi perdagangan bebas dunia terutama
ASEAN Free Trade (2015) memberikan perubahan yang signifikan dan berdampak luas bagi
perekonomian baik di Indonesia maupun di dunia. Salah satu dampaknya adalah semakin
ketatnya persaingan di sektor indutri. Kemampuan industri Indonesia saat ini dalam
memproduksi barang dan jasa dengan biaya lebih rendah dari pesaingnya masih sulit untuk
dilakukan. Hal ini disebabkan kinerja logistik Indonesia masih belum memuaskan dan masih
tingginya biaya logistik sehingga menghambat ketersediaan komoditas strategis dan bahan
pokok bagi masyarakat dan turunnya daya saing industri. Indonesia sebagai negara kepulauan
membutuhkan sistem logistik yang terintegrasi, efektif dan efisien guna meningkatkan daya
saing dan menjamin keberadaaan komoditi strategis dari kebutuhan pokok masyarakat secara
merata dan terjangkau (Mulyadi,2011).
Logistik dalam cetak biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia
(2008) didefinisikan sebagai penyediaan suatu barang yang dibutuhkan yang pengadaannya
dapat dilakukan langsung oleh pihak yang membutuhkan atau dilakukan oleh pihak lain.
Dalam perkembangannya, logistik merupakan suatu sektor atau bidang yang mengatur dan
mengontrol arus barang, energi, informasi, dan sumber daya lainnya, seperti produk, jasa dan
manusia, dari sumber produksi ke pasar yang semuanya saling terintegrasi satu sama lain
dalam sebuah sistem. Peranan penting yang dimilikinya ini membuat sebuah pelaku ekonomi
seperti perusahaan jasa maupun manufaktur akan sulit beraktivitas tanpa melibatkan sistem
logistik. Ketika sebuah sistem logistik tidak dapat berjalan dengan baik bisa mengakibatkan
kerugian baik materiil maupun non materiil (Firdaus, 2013).
Dalam perkembangan Industri Logistik dunia, potensi pasar Logistik di Indonesia masih
dominan dinikmati para pelaku usaha logistik asing (global). Sementara pelaku usaha logistik
(supply chain) lokal, cenderung hanya sebagian kecil saja menggarap potensi pasar logistik
saat ini. Hal ini disebabkan karena karakater pelaku usaha lokal yang cederung jalan sendirisendiri atau kurang bisa bekerja sama antar pemain logistik yang satu dengan yang lainnya
sehingga dimanfaatkan sebagian pelaku supply chain global untuk terus mengembangkan
usahanya di Indonesia dengan membentuk anak perusahan baru dengan nama lokal
(Indonesia) dengan manajemen asal (putra) lokal. Akibatnya adalah industri logistik lokal
tidak pernah besar, karena selalu terbentur modal, (jaringan) pasar hingga kemampuan sumber
daya manusia (SDM). Kedua, masih lemahnya posisi tawar industri logistik nasional,
diperkirakan karena ada salah mind site (cara pandang) dari kebanyakan para pelaku nasional
terhadap industri logistik itu sendiri. (Anam, 2011).
Perkembangan kinerja sistem logistik di Indonesia terbilang lambat. Hasil survei Indeks
Kinerja Logistik (Logistics Performance Index / LPI) oleh Bank dunia tahun 2007, Indonesia
menduduki peringkat ke-43 dari 150 negara yang disurvei dan pada tahun 2010 posisi
Indonesia terus merosot ke peringkat 75 dan pada tahun 2012 menjadi urutan 59 diantara 155
negara yang disurvei dan berada di bawah kinerja beberapa negara ASEAN lainnya seperti
Singapura ( urutan ke-2), Malaysia (urutan ke-29), Thailand (urutan ke-35). Akibatnya adalah
sering terjadinya kelangkaan sembako, perbedaan harga yang mencolok antara Jawa dan luar
Jawa, ekspor terhambat karena biaya dari pabrik sampai pelabuhan sangat tinggi, dan harga
produk impor yang lebih murah dibanding barang sejenis dari dalam negeri (Mulyadi, 2011).
2
3. Infrastruktur transportasi dibangun oleh lembaga yang secara historis tidak berinteraksi
(Supriadi, 2013)
A. Permasalahan Sistem Logistik Nasional
Secara umum persoalan sistem logistik di Indonesia dikarenakan belum adanya
kesatuan visi yang mampu mendukung peningkatan daya saing pelaku bisnis dan peningkatan
kesejahteraan rakyat. Bahkan pembinaan dan kewenangan terkait kegiatan logistik masih
bersifat parsial dan sektoral serta belum terintegrasi di masing-masing kementrian atau
lembaga terkait, sementara koordinasi yang ada belum memadai. Secara lebih spesifik,
keadaan logistik nasional yang ada di Indonesia antara lain:
1. Komoditas penggerak utama (key commodity factor) belum terkoordinasi secara efektif,
belum adanya fokus komoditas yang ditetapkan sebagai komitmen nasional dan belum
optimalnya volume perdagangan ekspor dan impor, dalam perdagangan internasional
perusahaan-perusahaan Indonesia belum memiliki bargaining position yang memadai
untuk mengendalikan sistem perdagangan dan kapal-kapal Indonesia masih berperan
sebagai feeder. Kondisi ini diperburuk lagi oleh syarat-syarat transaksi perdagangan
Internasional yang sebagian besar masih menggunakan persyaratan FOB (Free On Board)
untuk ekspor dan CIF (Cost, Insurance and Freight) untuk impor yang menguntungkan
bagi devisa negara.
2. Infrastruktur transportasi nasional belum memadai baik dari segi kuantitas maupun
kualitas antara lain
a. Pelabuhan
(1). Belum adanya pelabuhan hub Internasional,
Walaupun Indonesia sudah memiliki beberapa pelabuhan utama yaitu Tanjung
Priok, tanjung Perak, Belawan dan Makasar namun belum memiliki pelabuhan
hub internasional sedangkan untuk beberapa negara Asia sudah ada kunjungan
langsung kecuali Eropa, Amerika, Afrika. Hal ini menuntut kesiapan pelabuhan
dan infrastruktur penunjangnya untuk dapat melayani kapal lebih besar.
(2). Rendahnya produktivitas dan kapasitas pelabuhan,
Produktivitas dan kapasitas pelabuhan semakin tidak mampu mengimbangi
peningkatan arus barang, baik domestik maupun internasional sehingga butuh
pengembangan kawasan pelabuhan.
(3). Belum terintegrasinya manajemen pelabuhan
Pengurusan pergerakan barang dan dokumen masih dilakukan berbasis transaksi
karena belum adanya pelayanan jasa logistik yang terpadu antara badan pengatur
pelabuhan, pengusahaan pelabuhan, pengguna jasa pelabuhan, karantina dan
kepabean serta stake holder lain yang terkait yang berorientasi kelancaran arus
barang ekspor dan impor untuk keperluan industri.
b. Prasarana Jalan
terbatasnya kapasitas jalan pada beberapa lintas ekonomi seperti Trans Jawa dan
Sumatera telah berdampak pada bertambahnya waktu tempuh perjalanan sehingga
ruas-ruas jalan memerlukan peningkatan kapasitas dan pengembangan jaringan baru
secara bertahap.
c. Angkutan Kereta Api
Jalur kereta api masih menggunakan single track, banyaknya kondisi rel yang sudah
tua dan teknologi sudah usang, dan gerbong perlu segera diganti. Konsep bisnis yang
diterapkan untuk kereta api barang khususnya pengangkutan kargo kontainer masih
menerapkan sistem bisnis pengangkutan atau transporter, belum menggunakan
perspektif konsep bisnis logistik. Pemeliharaan baik sarana (gerbong dan lokomotif)
maupun prasarana kereta api yang belum memadai dan jadwal kereta api yang belum
sejalan dengan jadwal pengiriman barang ekspor / impor.
d. Angkutan sungai dan penyeberangan
Indonesia membutuhkan pelayanan dan tingkat keselamatan angkutan laut yang
memadai, angkutan sungai dan penyeberangan perlu berorientasi pada dinamika
lingkungan daerah dan bisnis, harga dinamis, kompetisi layanan, pola tarif ferry
kedepannya diharapkan berbasis pasar sehingga menuntut peremajaan armada kapal
dan peningkatan citra layanan angkutan penyeberangan.
e. Transportasi udara
Kenaikan volume angkutan udara dalam 30 tahun ini mengalami peningkatan.
Walaupun volume barang yang diangkut melalui angkutan udara masih relatif kecil,
namun nilai barang yang diangkut terus meningkat dari tahun ke tahun, baik untuk
pengiriman dalam negeri maupun luar negeri. Namun, saat ini fasilitas kargo masih
terbatas.
f. Transportasi Multimoda
Indonesia belum memiliki konsep multimoda di sektor angkutan barang dan belum
memiliki regulasi yang mengatur prosedur transportasi bagi barang berpindah moda.
Akses transportasi multimoda belum memadai, infrastruktur yang belum menunjang,
gedung transit yang belum memadai baik pelabuhan udara maupun pelabuhan laut.
3. Pelaku dan penyedia jasa logistik masih berdaya saing rendah karena terbatasnya jaringan
bisnis pelaku dan penyedia jasa logistik lokal sehingga pelaku multinasional lebih
dominan dan terbatasnya kualitas dan kemampuan pelaku dan penyedia jasa logistik
nasional,layanan logistik yang ditangani terfragmentasi dalam sebaran kegiatan
transportasi, pergudangan, freight forwading, kargo, kurir, shipping, konsultasi sehingga
5
tidak ada satu perusahaan nasional yang menguasai pasar secara dominan, kemampuan
penyedia jasa logistik masih terbatas baik dalam jaringan internasional maupun
permodalan, perijinan lisensi bagi LSP asing di Indonesia ada yang ditangani oleh
Kementrian Perdagangan, ada yang dari Kementrian Perhubungan bahkan Kementrian
Komunikasi dan Informatika.
4. Teknologi informasi dan komunikasi belum didukung oleh ketersediaan infrastruktur dan
jaringan yang handal, masih terbatasnya jangkauan jaringan pelayanan nonseluler, dan
masih terbiasa menggunakan sistem manual (paper based system) dalam transaksi
logistik,
5. Sumber Daya Manusia dan Manajemen logistik masih memiliki kompetensi rendah yang
disertai belum memadainya Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Bidang Logistik,
kelangkaan tenaga ahli,spesialis dan profesional dalam bidang logistik baik level
manajerial maupun operasional di sektor swasta maupun pemerintah. Standarisasi
kompetensi dan pengembangan SDM belum sesuai dengan yang diharapkan. Adanya
kesenjangan yang cukup lebar antara institusi pendidikan dan pelatihan yang ada dengan
kebutuhan dunia usaha.
6. Regulasi dan kebijakan masih bersifat parsial dan sektoral, cakupan aktivitas jasa logistik
terdiri dari berbagai sektor yang terpisah-pisah yang disertai oleh masih rendahnya
penegakan hukum, belum efektifnya koordinasi lintas sektoral dan belum adanya
lembaga yang menjadi integrator kegiatan logistik nasional. Pembinaannya tersebar di
berbagai kementrian sehingga dibutuhkan tata kelola yang kuat untuk mendukung
efektifitas pelaksanaan koordinasi dalam rangka menyelaraskan dan mengintegrasikan
seluruh kebijakan pengembangan sistem logistik nasional.(Cetak Biru, 2010)
Kondisi umum tersebut menjadi penyebab dari belum optimalnya kinerja sektor logistik
nasional yang tercermin dari tingginya biaya logistik dan pelayanan yang belum optimal,
sehingga hal ini sangat mempengaruhi daya saing dunia usaha di pasar global. Kinerja logistik
di Indonesia merupakan faktor yang sangat mempengaruhi daya saing industri nasional
(Firdaus, 2013).
B. Alternatif Solusi dari Permasalahan Sistem Logistik Nasional Guna Menciptakan
Efisiensi Biaya Logistik dalam Transportasi Intermoda.
1. Penyusunan Grand Design Sistem Transportasi Nasional (Sistranas)
Perumusan Sistem Transportasi Nasional yang efisien dan efektif bertujuan agar mampu
mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi nasional dalam rangka peningkatan
dan pemerataan kesejahteraan, sehingga akan terwujud ketahanan nasional yang tangguh.
6
Prinsip-prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan Grand Design Sistranas
adalah
a. Mengutamakan kepentingan nasional
Manusia menjadi aktor utama dalam keberhasilan suatu sistem..
b. Mendorong terwujudnya Indonesia sebagai negara kepulauan
Pengembangan pola transportasi negara maritim melalui penerapan konsep wilayah
depan (front land) dan wilayah dalam (hinterland) agar mampu memperkokoh
kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional dan dalam rangka mengembangkan
Sistem Logistik Nasional dan pelaksanaan MP3EI (Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)
c. Mendukung percepatan dan pemerataan pembangunan ekonomi di seluruh wilayah
nusantara
Sistem transportasi yang dibangun harus mampu membuka ketertutupan daerah
daerah tertinggal. Setiap daerah harus menjadi tujuan pendistribusian kemakmuran
dan menjadi sumber produksi yang akan dialirkan ke daerah lain.
d. Meningkatkan sinergitas pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antar
pemerintah daerah
Transportasi komoditas pokok dan strategis pada hakikatnya adalah urusan dan
tanggung jawab pemerintah daera kabupaten / kota. Jika tidak dijalin dengan baik
maka akan menimbulkan ketimpangan dan persaingan antar pemerintah daerah.
e. Meningkatkan daya saing nasional
Sistranas harus mampu menjalin konektivitas dengan dunia internasional tanpa
meninggalkan kepentingan nasional, menumbuhkan nilai tambah di setiap daerah
sehingga kekayaan lokal dapat di dayagunakan semaksimal mungkin dan mampu
bersaing di dunia Internasional (Lemhanas, 2012).
2. Pengembangan Sistem Transpotasi Intermoda (STI)
a. Reformasi Logistik Maritim Yang Terintegrasi
Upaya yang sudah dilakukan untuk memperbaiki sistem logistik melalui cetak biru
Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS) dan Masterplan Percepatan Perencanaan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang didalamnya terdapat program
Pendulum Nusantara, Short Sea Shipping, dan Indonesia Conectivity. PT Pelindo II
terus melakukan berbagai perbaikan melalui modernisasi pelabuhan, khususnya di
pelabuhan Tanjung Priok, melakukan perbaikan infrastruktur dan penambahan peralatan
bongkar muat untuk meningkatkan produktivitas dan layanan. Bahkan, untuk
menambah kapasitas Tanjung Priok, PT Pelindo II kini sedang membangun pelabuhan
Kalibaru (New Priok). Beberapa program strategis lainnya pun digelar oleh IPC (nama
7
baru Pelindo II), antara lain yaitu program peningkatan sumber daya manusia,
membangun Indonesia Logistics Community Service, pembangunan pelabuhan Sorong
sebagai West Pacific hub port, pembangunan pelabuhan Kiking sebagai pelabuhan
internasional di Kalimantan Barat, rencana akuisisi jalan tol Cibitung-Cilincing yang
menghubungkan pelabuhan dan area industri, sampai inisiasi model pendulum nusantara
untuk mengurangi disparitas harga barang antara Indonesia Timur dan Barat. Bahkan PT
Pelindo I juga telah melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding/MoU) dengan PT Perusahaan Pemborong Bangunan, Niaga, dan Industri
untuk mengembangkan kawasan industri di Kuala Tanjung yang terintegrasi dengan
pengembangan Pelabuhan Kuala Tanjung untuk meningkatkan konektivitas pelabuhan
dan daerah industri.
Program Tol laut (konektivitas laut) juga dilaksanakan untuk mengurangi disparitas
harga antara kawasan Barat dan Timur Indonesia,
implementasi tol laut yaitu pengadaan infrastruktur pelabuhan dan kapal serta
pembenahan sistem transportasi (Manfaat, 2014). Berdasarkan studi MGI (McKinsey
Global Institute), sebuah lembaga riset internasional yang menyebutkan, Apabila kita
dapat mengalihkan 50% saja pola distribusi barang Intra Pulau Jawa dan Jawa-Sumatera
dari angkutan darat ke angkutan laut maka akan ada penghematan biaya logistik sekitar
Rp300 triliun yang artinya sama dengan membantu menurunkan biaya logistik sebesar
3,69% dari GDP. Tidak kalah penting untuk digarisbawahi bahwa 44% dari total biaya
di Indonesia disumbang oleh Inventory Carrying Cost akibat dari rendahnya
keterandalan bagi pemasok barang dan disparitas yang lebar dari waktu tunggu.Dalam
rangka mewujudkan program tol laut, IPC melakukan perbaikan dari sisi soft
infrastructure yang membantu meningkatkan produktivitas dan menekan dwelling time
dan sisi hard infrastructure yaitu:
1). Mencanangkan pembangunan pelabuhan baru, pengembangan pelabuhan yang ada
serta re-modeling pelabuhan yang ada. Membangun sistem informasi antar pelabuhan
domestik yang menjamin semua pelabuhan dapat memonitor kinerja mereka mulai
dari kedatangan hingga keberangkatan kapal, dan berkomunikasi dengan satu sama
lain agar semua pelabuhan memiliki perencanaan yang lebih stabil dan dapat
menekankan fokus pada kinerja untuk mengurangi dwelling time dan biaya inventori.
Salah satunya melalui Elektronik Data Interchange (EDI) guna nemperlancar
8
pengiriman dari dan keluar negeri dan mekanisasi bongkar muat baik diterminal
kontener maupun di terminal konvesional guna mempercepat pergerakan barang dari
kapal ke dermaga dan sebaliknya dengan menambah alat bongkar muat misalnya
Crane Container. Namun sistem EDI belum maksimal dilakukan karena belum
dimanfaatkan sepenuhnya oleh pengguna jasa dan memilih secara manual karena
sistem ini perlu investasi dan ada orang atau pihak yang akan tersingkirkan.
Kebijakan mekanisasi kegiatan bongkar muat di pelabuhan belum sepenuhnya
terjadi, misalnya setidaknya ada belasan dokumen container transhipment di Priok,
yang harus diclearance di bea cukai, baru kemudian container transhipment bisa
dibawa atau dikapalkan ke Makassar. Tarif logistik yang dikenakan pada container
transhipment juga masih memakai dolar untuk stevedoring dan cargodoring
seharusnya rupiah saja untuk mengurangi beban pemilik barang.
2) Untuk mengurangi waktu tunggu dengan mempercepat pergerakan kontainer di
Pelabuhan Utama dengan diluncurkan sistem IT untuk mempercepat proses dokumen
di Tanjung Priok yaitu memberikan fokus pada fase sebelum perizinan pabean. Ratarata waktu untuk proses di Bea dan Cukai yang hanya satu hari sudah bisa bersaing
dengan standar internasional. Proses pengeluaran kontainer setelah Bea dan Cukai
akan memerlukan investasi lebih besar untuk perbaikan jalan, dan transformasi pada
industri angkutan container.dan berencana menerapkan tarif lebih tinggi bagi
pperusahaan yang menyimpan kontainer di dalam pelabuhan agar lebih banyak
tempat tersedia di pelabuhan (The World Bank, 2014).
3). Membangun industri pelayaran domestik yang memiliki kapasitas pembiayaan yang
mencukupi untuk membangun armada baru, termasuk galangan kapal nasional dalam
rangka menjamin ketersediaan kapal yang dibutuhkan. Peningkatan dalam kualitas
jasa klasifikasi kapal setara internasional juga sangat dibutuhkan agar pelayaran
nasional tidak memerlukan dual class untuk beroperasi di luar negeri.
4). Menyediakan dukungan lahan yang cukup di seluruh Indonesia untuk membangun
banyak pusat logistik dan dry port secara terkoordinasi dengan rencana
pengembangan industri dan pelabuhan. Termasuk pengembangan angkutan
multimoda yang menjaga konektivitas dari dan ke pelabuhan serta sistem pertukaran
informasi antar perusahan pelayaran, freight forwarder dan perusahaan truk untuk
mencocokkan permintaan dan penawaran
5). Change management, sistem birokrasi yang disederhanakan hingga penyediaan truck
booking system, sistem pengelolaan kontainer OPUS, Auto Gate serta layanan
pelabuhan 24/7 bagi semua pihak dan instansi yang terlibat didalamnya. Soal
regulasi dan meningkatkan sumber daya pendukung melalui penyempurnaan
peraturan-peraturan di Indonesia guna menarik investasi yang dibutuhkan di
pelabuhan sekunder dan jalur pelayaran untuk meningkatkan armada, termasuk di
dalamnya kajian tentang peraturan lokal untuk menghindari ketidakkonsistenan,
misalnya regulasi pembatasan peredaran truk antar daerah. Sistem pendidikan
nasional untuk meningkatkan kapasitas dan menyediakan talenta bagi industri
logistik juga dibutuhkan (Iqbal, 2014).
Upaya Menurunkan Biaya Logistik dapat digambarkan pada Gambar 1 (a-h) berikut ini:
Laut)
10
11
Rencana Aksi
Indikator
Mengurangi beban
dan
mengembangkan
jaringan transportasi
multimoda
Lanjutan Tabel 1.
2.
Meningkatkan
kelancaran angkutan
produksi menuju
pulau
3.
Mengembangkan
selat sunda
Meningkatnya pembangunan sarana dan prasarana Kereta Api
untuk angkutan
Kalimantan
4.
Meningkatnya
kapasitas dan
pelayanan KA
Rencana Aksi
Indikator
.
1.
Mengoptimalkan
peran bandara
berfungsi
sebagai Terminal
Hub Kargo
Internasional
2.
Meningkatkan
domestik
Meningkatkan pelayanan bandara, angkutan udara dan
kapasitas dan
pelayanan
bandara
Pada Tabel 1 dan 2 merupakan rencana pemerintah yang sudah dicanangkan dan perlu
penerapan yang optimal guna pencapaian hasil sesuai yang diharapkan.
3. Penerapan Green Supply Chain Management
Green Supply Chain Management adalah suatu pengintegrasian pemikiran lingkungan ke
dalam manajemen rantai pasokan, termasuk desain produk, bahan sumber dan seleksi, proses
manufaktur, pengiriman final produk kepada konsumen serta manajemen end-of-life produk
setelah masa pemanfaatannya.(Srivastava:2007). Metode yang dapat dilakukan perusahaan
dalam menerapkan Green Supply Chain Management yaitu :
a. Memahami pentingnya Green Supply Chain Management dengan melakukan
penghematan pemakaian sumber daya, mengeliminasi limbah, meningkatkan
produktivitas, green purchasing, green transportation (optimasi rute / jumlah /
kapasitas / bahan bakar, green moda transportasi), green warehousing (optimasi
jumlah/kapasitas/layout/ material handling), green inventory (optimasi
kuantitas/reorder point/forecasting, kolaborasi dengan pemasok dan ritel, menangani
dengan baik produk-produk yang dikembalikan, dan implementasi ISO 1400 seri
dengan bekerjasama dengan pemasok yang menyiapkan material yang green
packaging akan memudahkan penyusunan barang, dapat mengurangi penggunaan
14
material, meningkatkan utilasasi ruang gudang dan alat angkut, dan mengurangi
jumlah handling yang dibutuhkan.
b. melakukan perancangan produk yang ramah lingkungan (green design) dengan cara
merancang produk yang memperlakukan atribut lingkungan sebagai tujuan disain
dan bukan sebagai kendala. Hal ini bertujuan untuk menggabungkan atribut-atribut
tanpa mengorbankan kinerja, kualitas, fungsionalitas, dan masa manfaat produk.
Melakukan value engineering terhadap disain produk yang menggunakan bahan atau
proses yang berbahaya dengan tujuan meningkatkan fungsi produk dan menurunkan
biaya, dengan bekerjasama dengan para pemasok dan masukan pelanggan.
c. Melakukan integrasi remanufaktur dengan internal operasi perusahaan (green
operations). Green manufacturing and remanufacturing dengan cara meminimumkan
konsumsi energi dan sumber daya untuk mengurangi penggunaan sumber daya yang
tidak dapat diperbaharui. Menggunakan kembali (reusing) dan mendaur ulang
(recycling) dengan mengubah karakteristik bahan termasuk sifat fisik dan kimia
barang bekas (otomotif, elektronik, kertas) menjadi produk baru untuk mencegah
limbah, mengurangi konsumsi material baru, mengurangi penggunaan energi,
mengurangi polusi udara dan pencemaran air. Melakukan produksi ulang/ rekondisi
(remanufacturing) yaitu barang bekas direkondisi dengan perubahan beberapa bagian
atau pembongkaran sehingga dapat dipergunakan kembali sesuai fungsinya.
Mendisain jaringan Reverse logistics yang berkoordinasi dengan mitra supply chain
yang berkaitan dengan ketidakpastian kerusakan barang, lokasi penampungan,
penundaan dan spekulasi barang (Purnomo, 2013)
III. KESIMPULAN DAN SARAN
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah
1. Sistem logistik nasional Indonesia masih buruk tercermin dari rendahnya Indeks Kinerja
Logistik Indonesia yang menyebabkan biaya logistik Indonesia masih sangat tinggi
sehingga memerlukan penerapan pengembangan sistem logistik yang efektif dan efisien.
2. Permasalahan Sistem Logistik Nasional adalah Komoditas penggerak utama belum
terkoordinasi secara efektif, komoditas belum terfokus dan volume perdagangan ekspor
impor belum optimalnya; Infrastruktur transportasi nasional belum memadai baik dari
segi kuantitas maupun kualitas; Pelaku dan penyedia jasa logistik masih berdaya saing
rendah; Teknologi informasi dan komunikasi belum didukung oleh ketersediaan
infrastruktur dan jaringan yang handal, terbatasnya jangkauan jaringan pelayanan
nonseluler, dan masih terbiasa menggunakan sistem manual; Sumber Daya Manusia dan
15
tingginnya biaya logistik Indonesia, baik dukungan peraturan dan perundangan yang
progresif dan infrastruktur yang memadai sehingga dapat menjadi landasan bagi
sumber daya manusia dan manajemen logistik yang profesional dan perlu membentuk
dewan logistik nasional yang berfungsi sebagai koordinator, integrator, regulator
dalam mewujudkan sistem logistik nasional yang terintegrasi, efektif dan efisien.
16