Epilepsi DLM Kehamilan
Epilepsi DLM Kehamilan
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua
bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi
terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda
sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%.1,2,3,4,5,6
Di Indonesia penelitian
epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka
prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila
penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta
penderita penyandang epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara
0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.6,7
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih dianggap sebagai
kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang kurang baik dari epilepsi
terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat anti epilepsi terhadap janin.7
Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan meningkat selama hamil, dengan beberapa
kemungkinan komplikasi-komplikasi pada saat kehamilan, persalinan dan pada janin.8
Dalam menghadapi kehamilan resiko tinggi seperti ini maka ibu hamil dengan epilepsi
sebaiknya dibutuhkan penanganan secara terpadu antara ahli kebidanan dan ahli saraf agar
dapat bebas dari serangan epileptik, serta ahli anak untuk memantau adanya gangguan
perkembangan dan kelainan kongenital.
Tulisan ini membicarakan mengenai epilepsi, pengaruh timbal balik epilepsi dan
kehamilan, efek samping obat antiepilepsi pada janin dan penanganan ibu hamil
penyandang epilepsi.
II. EPILEPSI
A. Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang
muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan
listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai
macam etiologi.9 Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama
epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal,
yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).10
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai
berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk
berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa
gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik
atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku
(psikologis).
penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.11
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya
epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi
menjadi 20%-30%.12
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen,
hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan
epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat
menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi.13,14,15
Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan
keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan
menopause.
epilepsi.
C. Klasifikasi
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981 dan
tahun 1989.16,17
International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi
epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
-
2. Serangan umum
a. Absans (Lena)
b. Mioklonik
c.
Klonik
d.
Tonik
e.
Atonik (Astatik)
f.
Tonik-klonik
kurang
lengkap).
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena
hanya ada dua kategori utama, yaitu
- Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di
otak.
-
Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada
kedua belahan otak.
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah :
1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik
- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal
-
b. Simptomatik
-
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
2. Umum
a. Idiopatik
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi Absans pada anak
- Epilepsi Absans pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
b. Simptomatik
- Sindroma West (spasmus infantil)
- Sindroma Lennox Gastaut
3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)
- Serangan neonatal
4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsia
- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)
spike)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan,
namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis
epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik
dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita
yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama
sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang
dapat
membantu
menegakkan
diagnosis
penderita
epilepsi
adalah
rekaman
elektroensefalografi (EEG).
D. Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan.
Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara
kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.
Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan
lancar.
dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi
secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin,
sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan
masih perlu penelitian lebih lanjut.18,19
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi
dari impuls.
kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara
serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses
sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenisjenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
Disini fungsi
Pada penderita
epilepsi didapatkan
18,19
- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan
pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian
yang saling terkait :
-
Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik
berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit
serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi
neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan
kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,
kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi
neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang
bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia,
stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari
fokus
dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai
dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara
intermiten menghambat discharge epileptiknya.
sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat
dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya
exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun
ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.20,21,22
Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik)
depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang
berkepanjangan disebut status epileptikus.
_____________________________________________________________________
Studi (tahun)
Kehamilan
Peningkatan(%) Tidak ada perubahan
Penurunan (%)
___________________________________________________________________________________
Burnett (1946)
19
42
52
6
Mc Clure (1955)
20
55
25
20
Sabin & Ozorn (1956)
55
33
53
15
Klingman (1957)
120
61
33
6
Knight & Rhind (1975)
84
45
50
5
Total kehamilan
298
Berat rata-rata (%)
50
42
8
___________________________________________________________________________________
Dikutip dari Donaldson dan Cartlidge 31,36
Peningkatan frekwensi serangan epilepsi ini tidak ada hubungan dengan jenis serangan,
usia wanita penyandang epilepsi, lama menderita epilepsi, obat anti epilepsi atau frekwensi
serangan pada kehamilan yang lalu.25
Wanita penyandang epilepsi yang makin sering mengalami serangan kejang setiap
bulannya sebelum hamil, frekwensi serangannya akan meningkat selama kehamilan,
sedangkan wanita penyandang epilepsi yang dalam waktu sembilan bulan tidak pernah
kejang atau hanya satu kali, tidak akan mengalami peningkatan serangan kejang selama
hamil.26
Penderita lebih dari dua tahun bebas serangan maka risiko timbulnya serangan
kehamilan, terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat trimester III.
Meningkatnya frekwensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi selama
kehamilan ini disebabkan oleh6:
A. Perubahan hormonal
Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat secara bertahap
selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga. Sedangkan kadar
hormon khorionik gonadotropin mencapai puncak pada kehamilan trimester pertama
yang kemudian menurun terus sampai akhir kehamilan.
10
11
Hal lain yang meningkatkan frekwensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi
selama kehamilan adalah faktor kesengajaan menghentikan makan obat karena takut efek
obat terhadap janin yang dikandungnya.
dengan epilepsi, 27% tidak meneruskan penggunaan obatnya dengan alasan ketakutan
akan efek samping (termasuk teratogenik) dan kekhawatiran pengaruhnya pada bayi yang
diberi ASI. Sebenarnya obat anti epilepsi di ASI jumlahnya relatif sedikit. Jadi pada
wanita penyandang epilepsi, obat anti epilepsi bukanlah kontraindikasi untuk pemberian
ASI.6,26
Pada
pemeriksaan CT Scan dan MRI kepala ditemukan edema difus dan perdarahan otak. Hal
ini harus segera diatasi dengan menurunkan tekanan darah misalnya dengan Ca channel
blocker, mengatasi edema dengan hiperventilasi dan pemberian kortikosteroid.31
12
Tabel 2. Komplikasi maternal dan janin pada wanita hamil penyandang epilepsi
_____________________________________________________________________________
Komplikasi maternal & janin
Epilepsi
Bukan epilepsi
_____________________________________________________________________________
Total kehamilan
371
125,423
Hiperemesis gravidarum
1%-3%
0,8%
Perdarahan pervaginam
5,1%
2,2%
Preeclampsia
7,5%
4,7%
Lahir dengan - SC
3,2%
1,1 %
- EF/EV
6,3%
2,4%
Usia gestasi < 37 minggu
8,9%
5,0%
Berat lahir < 2500 g
7,4%
3,7%
Hipoksia
1,9%
0,7%
Malformasi kongenital
4,5%
2,2%
Cleft lip or palate
1,1%
Angka Mortalitas Janin (per 1000 kelahiran)
Stillbirth
5,3
7,8
Perinatanal
31,8*
14,6
Kematian neonatal
29,3*
8,0
Kematian postnatal
5,3
3,4
____________________________________________________________________________
Dikutip dari Yerby Ms dkk dan Cartlidge 30,36
* P value <0,01
Sedangkan trauma
dapat
13
intra kranial, dimana setelah dilakukan induksi persalinan ternyata bayi yang meninggal
sudah mengalami maserasi.31
Bila status epileptikus timbul saat kehamilan biasanya sepertiga dari ibu-ibu dan
setengah dari janin tidak dapat diselamatkan dan harus segera diatasi tanpa memandang
kehamilannya.32,34
C. Pengaruh terhadap neonatus
Bayi lahir mati, kematian neonatal serta kematian perinatal didapatkan dua kali lipat lebih
banyak daripada populasi umum.6,35 Perdarahan pada neonatus terjadi dalam 24 jam
pertama dari awal kehidupan. Keadaan ini disebabkan kekurangan atau defisiensi faktor
pembekuan II, VII, IX dan X yang tergantung pada vitamin K. Defisiensi vitamin K
disebabkan oleh obat anti epilepsi secara kompetitif menghambat transpostasi vitamin K
melalui plasenta dan ditambah dengan kadar vitamin K yang rendah pada kehamilan.
Keadaan ini dapat dicegah dengan memberikan vitamin K dosis tinggi pada minggu
terakhir kehamilan.5,6
vitamin K (10-20 mg/hari) ini diberikan pada 2-4 minggu terakhir. Perdarahan neonatus
harus diberi fresh frozen plasma untuk mengatasi koagulopati. 5,6
Bayi dari ibu yang mendapat phenobarbital akan mengalami risiko timbulnya drug
withdrawal 7 hari setelah partus, dengan gejala sebagai berikut kegelisahan, gemetar
(tremor), mudah terangsang (hipereksetibilitas), high pitch cry, nafsu makan yang besar
disusul dengan muntah-muntah.36 Gejala ini mulai timbul pada saat bayi telah
meninggalkan rumah sakit sehingga membuat kepanikan pada ibunya. Biasanya semua
gejala ini akan berakhir dalam 1 atau 2 minggu, kecuali hipereksitibilitas dapat berakhir 24 bulan.
Pada ibu yang mendapat asam valproat dan phenytoin selama hamil, bayinya dapat
mengalami serangan kejang intrauterin dan perinatal, juga retardasi mental dan gangguan
perkembangan bahasa.6 Malformasi kongenital ditemukan 1,25%-11,5% (normal 2%-3%)
pada yang mendapat obat anti epilepsi politerapi, penggunaan dosis tinggi obat anti
epilepsi dan kadar asam folat yang rendah.
Beberapa studi atau penelitian mendapatkan hampir sebagian besar malformasi
kongenital terjadi akibat pengaruh obat anti epilepsi yang diberikan pada wanita hamil
trimester pertama (18,9%), tetapi ada yang berpendapat karena memang sudah ada faktor
14
genetiknya.37 Tidak ada malformasi yang khas diakibatkan oleh pemakaian obat anti
epilepsi satu jenis tertentu.7,38
Ada dua kelompok malformasi kongenital yang dikenal yaitu malformasi mayor 2%3% (yang paling sering adalah celah orofacial, anomali jantung dan defek pada neural
tube) dan malformasi minor 15% (yang paling sering adalah hipertelorism, lipatan
epikantal, shallow philt, hipoplasia jari digital dan lipatan simian). Hanya saja dikatakan
defek neural tube (terutama spina bifida lumbosakral) yang diakibatkan asam valproat
(1%-2%) lebih banyak daripada karbamazepin (0,5%).39 Oleh karena itu ada yang
menyarankan agar dosis yang digunakan diturunkan pada wanita hamil penyandang
epilepsi.
Proses metabolisme obat anti epilepsi merupakan faktor utama yang potensial terhadap
teratogenitas janin.
berinteraksi dengan obat anti epilepsi tertentu diduga mempunyai pengaruh yang kuat pada
risiko teratogenitas.39
Kelainan distal digital hipoplasia merupakan tanda spesifik untuk teratogenitas dari
phenytoin. Dibandingkan obat anti konvulsan lain, tampaknya phenytoin paling banyak
disalahkan untuk malformasi kongenital ini, namun kelainan kongenital yang lebih sering
dijumpai (4 kali) seperti bibir sumbing atau celah palatum serta kelainan jantung biasanya
dapat diperbaiki dengan tindakan operatif. Hal yang mencemaskan adalah neuroblastoma
yang terjadi pada anak yang terpapar phenytoin in utero.
Wanita hamil penyandang epilepsi yang mendapat obat anti epilepsi karbamazepin
pada 35 bayi didapatkan 11% defek craniofacial, 26% finger nail hipoplasia dan 20%
perkembangan yang lambat.40
Berikut ini adalah beberapa sindroma obat anti epilepsi, yaitu:
-
Sindroma Hidantoin Fetal berupa dismorfi fascial, retardasi mental dan retardasi
perkembangan intrauterin.
timbul akibat
15
Sindroma Embriopati Primidone berupa dismorfi fascial, berat badan lahir rendah,
gangguan perkembangan dan defek jantung.
Sindroma Valproat berupa dismorfi fascial, finger nail hipoplasia, distress perinatal,
Apgar skor yang rendah, mikrosefali dan defisiensi perkembangan postnatal.
Sindroma Karbamazepine berupa dismorfi fascial, mikrosefali, kelainan jari kuku dan
gangguan perkembangan.
Tabel 3. Anomali yang berkaitan dengan sindroma janin obat anti epilepsi
____________________________________________________________________
Trimethadione Phenytoin Valproat Phenobarbital Karbamazepin
_________________________________________________________________________________
Alis berbentuk V
+
Hipertelorismus
+
+
+
+
+
Ptosis/strabismus
+
Lipat epikantal
+
+
+
+
+
Letak telinga rendah
+
+
+
+
Pangkal hidung lebar
+
+
+
+
Short upturn nose
+
+
+
Gigi irregular
+
Bibir menonjol
+
+
Mulut lebar
+
+
+
Bibir atas panjang
+
Down turned mouth
+
Shallow filtrum
+
+
Thin vermillion border
+
Hipoplasia jari distal
+
+
+
Kuku hiperkonveks
+
Jari bertumpuk
+
Lipatan simian
+
_______________________________________________________________________
Dikutip dari Yerby MS30
phenobarbital
sebagai obat anti epilepsi yang boleh diberikan selama kehamilan atau sama sekali di
berhentikan atau tidak mendapat pengobatan. Keputusan yang ekstrim ini dianggap tidak
mempertimbangkan banyak aspek seperti toleransi obat terhadap penderita, efek
penghancuran yang potensial terhadap phenobarbital pada janin dan penggantian obat anti
epilepsi lain ke phenobarbital. Saat ini di Perancis para dokter kandungan lebih menyukai
16
kelelahan uterus dan fisik akibat obat anti epilepsi, sehingga akhirnya dilakukan seksio
sesaria (dua kali lebih sering dari biasa).
indikasi untuk operasi, karena kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita
hamil penyandang epilepsi sehingga Hilesmaa membuat daftar indikasi seksio sesaria yang
dapat dilihat pada tabel 4.
17
_______________________________________________________________
Baseline
21,4
7,7
52
11
Trimester I
23,9
9,1
51,2
8
Trimester II
25
9,3
57,4
10
Trimester III
25,5
10,1
59,3
13
Partus
27,6
13
61,8
26
Post Partum
21,4
8
52,6
11
Berkurangnya % ikatan
29
69
19
+25
_____________________________________________________________________
Dikutip dari Yerby MS et al 36
18
Mengingat banyaknya efek samping obat anti epilepsi dan komplikasi pada kehamilan,
maka penanganan kehamilan dengan epilepsi meliputi:36,44
a. Pemeriksaan kadar obat anti epilepsi.
Kadar obat anti epilepsi dalam darah sebaiknya selalu dikontrol setiap bulan sebelum
terjadinya kehamilan sehingga penyesuaian dosis pada saat kehamilan bisa dilakukan.
Disini perlu kerjasama dengan ahli farmakologi klinik.
b. Penyuluhan pada wanita penyandang epilepsi usia remaja sebelum konsepsi mengenai:
- Risiko akibat
timbulnya
serangan selama
kehamilan
seperti
perdarahan,
Mencoba menghentikan obat anti epilepsi pada yang telah bebas kejang 2-3 tahun.
Berusaha menggunakan monoterapi dengan dosis terendah yang
efektif, bila
Jangan menghentikan atau mengganti obat anti epilepsi tanpa sepengetahuan dokter.
Mengukur kadar obat anti epilepsi bebas setiap trimester untuk menyesuaikan dosis
obat, terutama pada bulan terakhir dan menjelang persalinan untuk mencegah
19
timbulnya kejang pada waktu bersalin. Selanjutnya pemeriksaan obat anti epilepsi
ini harus diikuti sampai minggu ke-8 postpartum karena kadarnya dapat meningkat
dan menimbulkan toksisitas.
- Pemeriksaan USG untuk deteksi adanya kelainan janin (spina bifida, defek jantung
atau ekstremitas).
-
Vitamin K (20 mg/hari) harus diberikan 3 minggu sebelum masa persalinan sampai
persalinan untuk mencegah perdarahan pada neonatal.
gangguan perkembangan, terutama pada anak yang ibunya menderita epilepsi yang
sukar diatasi.
-
Pada umumnya ibu dapat menyusui bayinya namun bila terlihat efek sedasi,
gangguan minum dan menurunnya berat badan bayi maka dianjurkan untuk
memperpendek pemberian ASI tersebut. Penghentian obat anti epilepsi jangan
berlangsung mendadak karena dapat menimbulkan kejang pada neonatal.
VI. SARAN
Merencanakan untuk :
1. Pembentukan kelompok kerja (POKJA) antara bagian kebidanan dan bagian saraf
dengan melibatkan dokter spesialis anak (saraf anak) dan dokter farmakologi klinik.
2. Pelatihan bagi dokter yang ikut mengobati, merawat dan medampingi wanita
penyandang epilepsi, supaya dapat memberikan penyuluhan dasar penanganan wanita
penyandang epilepsi sebelum konsepsi.
3. Pemeriksaan kadar obat anti epilepsi oleh bagian farmakologi klinik.
4. Pemakaian obat yang dianjurkan mengingat efek samping obat anti epilepsi yang
kurang baik, tentunya yang murah dan mudah didapat.
kategori teratogenisitas beberapa obat anti epilepsi pada wanita hamil yaitu yang
termasuk kategori C (karbamazepin dan klonazepam) dan kategori D (trimethadione,
asam valproat, phenytoin dan phenobarbital.45 Beberapa obat anti epilepsi baru seperti
20
Di Inggris, hanya
36
VII. RINGKASAN
Pada wanita hamil terjadi perubahan-perubahan secara fisiologis, endokrinologis dan
psikologis. Peningkatan estrogen, gangguan keseimbangan elektrolit, faktor stress dan
perubahan metabolisme obat anti epilepsi dapat meningkatkan serangan epilepsi pada
waktu kehamilan.
Begitu juga janin yang dikandung wanita penyandang epilepsi yang mengkonsumsi
obat anti epilepsi mempunyai risiko untuk terjadinya malformasi kongenital lebih
banyak dari wanita bukan penderita epilepsi karena adanya efek teratogenik obat.
Bayi lahir mati, kematian neonatal dan kematian perinatal dua kali lebih tinggi dari
populasi umum. Perlu diadakannya penyuluhan pada wanita usia reproduksi penderita
epilepsi terhadap pemeriksaan antenatal yang teratur, kontrol terhadap epilepsinya,
pemantauan kadar obat anti epilepsi, pengawasan persalinan, memantau adanya
gangguan perkembangan dan kelainan kongenital.
VIII. RUJUKAN
1. American Academy of Neurology Quality Standards Subcommittee. Practice parameter:
management issues for women with epilepsy (summary statement). Neurology, 1998; 51: 944-8
2. Martin PJ, Millac PA. Pregnancy, epilepsy, management and outcome: a 10 year
perspective. Seizure, 1993; 2: 277-80
3. Janz D. The teratogenic risk of antiepileptic drugs. Epilepsia, 1975; 16: 159-169
4. Nelson KB, Ellenberg JH. Maternal seizure disorder, outcome of pregnancy and
neurologic abnormalities in the children. Neurology, 1982; 32: 1247-1254
5. Ramson, Dombrowski, Evans, Ginsburg. Contemporary therapy in obstetrics and
gynecology. Philadelphia: WB Saunders, 2002: 115-8
6. Yerby MS, Devinsky O. Epilepsy and pregnancy, Neurological Complications of
pregnancy Ed. By Devinsky O. Raven Press, New York, 1994:45-63
7. Yerby MS, Leavitt A, Erickson BS, et. al. Antiepileptics and the development of congenital
anomalies. Neurology, 1992; 42: 132-140
21
8.
9. Pellegrino TR. Seizures and Status epilepticus in adults. In: Tintinali JE, Ruiz E, Krome
RL. Emergency Medicine. 4th ed. Mc Graw Hill. New York, 1996: 456-67
10.
11. Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Kelompok studi epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (Perdossi) 2003.
12.
Gram L, Dam M. Epilepsy explained. 1st edition. Munksgaard, Copenhagen, 1995: 30-31
13. Morrell MJ. Epilepsy in women : The Science why it is special. Neurology, 1999; 53:
542-548
14.
S26
Morrell MJ. Guidelines for the care of women with epilepsy. Neurology, 1998;51:S21-
15.
S8
Wodley CS., Schwatzkroin PA. Hormonal effects on the brain. Epilepsia, 1998; 39: S2-
16. The commission on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic
seizures. Epilepsia, 1981; 22: 489-501
17. The commission on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy. Proposal for revised classification of epilepsies and epileptic syndromes. Epilepsia,
1989; 30: 389-99
18. Cotman CW, et. al. Excitatory Aminocid neurotransmission. In: Bloom, FE & Kupfer
DJ: Psychopharmacology. The fourth generation of progress. Raven Press, New York, 1995:
75-85
19.
235
20.
21. Adams RD, Victor M. The nature of the discharging lesion. In Priciples of Neurology. 5
th ed. Mc. Graw Hill, 1993: 284-286
22.
23. Bjerkedal T. Bahne S. The course and outcome of pregnancy in women with epilepsy.
Acta obstet gynec Scand, 1973; 52: 245-8
24. Yerby M, Koepsell T, Daling J. Pregnancy complications and outcomes in a cohort of
women with epilepsy. Epilepsia, 1985; 26: 631-5
22
25.
78
Shorvon SD. Epilepsi untuk dokter umum. PT Ciba Geigy Pharma Indonesia, 1988: 7-
26. Knight AH, Rhind EG. Epilepsy and pregnancy: A study of 153 patients. Epilepsia,
1975; 16: 99-110
27. Remillard G, Dansky L, Anderman E, et. al. Seizure frequency during pregnancy and the
puerperium. In epilepsy, pregnancy and the child. New York. Raven Press: 15-26
28. Tanganelli P., Regesta G. Epilepsy, pregnancy and mayor birth anomalies: an Italian
prospective, controlled study. Neurology, 1992; 42: 89-93
29. Hilesmaa VE, Teramo K, Granstrom ML, Bardy AH. Serum folate concentrations in
women with epilepsy. BMJ, 1983; 187: 577-9
30.
31.
Donaldson JO. Eclampsia. In: Devinsky O, eds.
pregnancy. New York: Raven Press, 1994 : 25-33
32.
Neurological Complications of
Hilesmaa VK. Pregnancy and birth with epilepsy. Neurology, 1992; 42: 8-11
33.
Delgado-Escueta AV, Janz D. Pregnancy and teratogenesis in epilepsy. Neurology,
1992; 42: 7
34.
65
35. Yerby MS, Freil PN, Mc Cormick K. Antiepileptic drug disposition during pregnancy.
Neurology, 1992; 42
36.
Cartlidge NEF.
Philadelphia: 529-533
neurologic disorders.
37. Durner M, Greenberg DA, Delgado Escueta. Is there a genetic relationship. Neurology,
1992: 63-67
38. Yerby MS. Pregnancy and teratogenesis, women and epilepsy ed. by trimble MR, John
Wiley and Son. England, 1991: 167-192
39. Lindhout D, Omtzigt JGC, Cornel MC. Spectrum of neural tube defects in 34 infants
prenatally exposed to antiepileptic drugs. Neurology, 1992; 42: 111-118
40. Jones KL, Locro RFF, Johnson KA, Adams J. Pattern of malformations in the children
of women treated with carbamazepine during pregnancy. The New England Journal of medicine,
1989: 1661-1666
41. Leppik IE. Epilepsy and the woman of childbearing potential, annual courses of
American academy of neurology. New York cith, 1993: 223-1 s.d. 223-11
23
42. Waters CH, Belai Y, Gott PS, Shen P, et. al. Outcomes of pregnancy associated with anti
epileptic drugs. Ach. Neurology, 1994; 51: 250-253
43. Yerby MS. Therapeutic Considerations in pregnancy dalam AAN Course # 245 on
clinical
epilepsy. New York, 1993: 109-128
44. Delgado-Escueta AV, Janz D. Consensus: Preconception Counseling, Management and
care of the pregnant woman with epilepsy. Neurology, 1992; 42: 149-160
45. Khoury AD, Sibai BM. Neurologic diseases In: Complications in pregnancy.
Philadelphia: WB Saunders; 1994: 509-14
46. Mamoli D, Ratti S, Battino D. Epilepsy and pregnancy Neurol Sci 2003; 23:
267-269