Koran SINDO
Minggu, 28 Juni 2015 10:38 WIB
saya adalah ide singular, hanya ada satusatunya, yaitu kursi hijau yang itu,
yangadadikamarmama. Tapi khususnya dalam ilmu kimia tidak ada universal, partikular,
singular, karena hal-hal yang lebih khusus (partikular) itu senantiasa identik dengan yang
umum (universal).
Begitu juga dalam matematika, angka 2 berarti dua, kapansaja, dimanasaja, apakah dia
umum maupun khusus. Ketika ditambah dengan angka lain, hakikatnya langsung berubah,
misalnya 22, 2.000, 2.000.000 (semua berubah hakikat, bukan lagi dua). Begitu juga dengan
ide tentang Islam Nusantara. Beberapa waktu lalu, sebelum puasa, di depan Munas NU
diMasjid Istiqlal, Presiden Jokowi meluncurkan istilah baru itu.
Maksudnya tentu saja adalah Islam yang dipraktikkan di Indonesia, yang sejuk, damai,
inklusif, moderat, dan toleran. Istilah ini langsung jadi kontroversial. Mereka yang tidak
setuju melayangkan protes kepada Presiden Jokowi. Argumentasi mereka, Islam ya Islam,
tidak perlu ditambah embelembel, karena rujukannya sudah jelas: Alquran dan hadis. Yang
keluar dari itu malah bisa menjadi aliran sesat.
Tapi argumentasi seperti itu salah karena agama bukan tergolong ilmu kimia atau
matematika. Dalam ilmu kimia, memang benar tidak ada O2 lain dan dalam matematika tidak
ada angka 2 lain, selain yang sudah dimaksud dari sono- nya karena memang tidak ada
partikular atau singular yang berbeda dari universalnya. Namun agama bukan kimia dan juga
bukan matematika.
Analogi agama (termasuk Islam) yang lebih tepat adalah kursi bukan oksigen. Islam
yang universal memang ada, yaitu hakikat yang diturunkan oleh Allah SWT melalui
Rasulullah Muhammad SAW. Tapi ketika Islam itu dipraktikkan oleh manusia biasa,
langsung terjadi Islam yang partikular.
Masalahnya, dalammempraktikkanagama, manusia selalu mengandalkan pikirannya (satusatunya alat dalam sistem psiko-fisik manusia untuk menganalisis masalah), maka terjadilah
penafsiran. Ketika masuk unsur tafsir, masuklah faktor kebiasaan, adat, kesenangan,
kepentingan kelompok, kebudayaan, dan 1.001 faktor lain yang memecah-mecah
keuniversalan Islam menjadi partikular, bahkan individual atau singular.
Karena itulah ada Islam Sunni, Islam Syiah. Islam mazhab Syafii, Islam mazhab
Hambali, Islam Afghanistan, Islam Arab Saudi, dan Islam Nusantara. Di Nusantara
ada Islam Minangkabau yang patriarkat, Islam Tapanuli yang beradat persis
sama dengan Kristen Batak, Islam Jawa Tengah yang percaya kepada Nyai Loro
Kidul,
dan bertradisi selamatan seperti orang Hindu, Islam Kudus yang masjidnya
bermenara seperti kuil Hindu dan tempat wudunya berornamen arca Hindu, dan
masih banyak lagi. Semua itu tidak kehilangan hakikat keislamannya walaupun
tidak sama dengan Islam yang di Arab.
Pada suatu waktu di masa lalu, kebetulan saya dan dua orang Indonesia lain
pernah salat Idul Fitri di sebuah masjid di Birmingham, Inggris. Masjid itu adalah
masjid komunitas Pakistan setempat. Banyak penganan dijajakan (namanya juga
Lebaran), tetapi kami tidak tertarik karena penganan-penganan itu terlalu manis
buat lidah kami.
Maka kami pun langsung masuk dan duduk mengambil tempat di dalam masjid
dan mendengarkan khotbah dalam bahasa Urdu yang tidak kami pahami.
Untunglah ketika takbir dan salat dimulai, ayat Alfatihah yang dibacakan akrab di
telinga kami sehingga kami pun merasa khusuk seperti di rumah sendiri, sampai
tibalah saatnya di pengujung surat Alfatihah imam membaca ...
waladhdhoollin...,
maka dengan semangat 45 kami bertiga yang berislam Nusantara segera
menyahut keras-keras beramai-ramai ... amiiinnn . Tapi ternyata hanya kami
bertiga yang mengamini secara penuh semangat. Jamaah yang lain diam saja. Di
situlah kami bertiga menyadari bahwa Islam Nusantara ya hanya berlaku di
Indonesia dan tentunya Islam yang non-Nusantara tidak bisa dimasukkan ke
Indonesia, apalagi dengan cara paksaan dan kekerasan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia