Anda di halaman 1dari 7

Tugas Kelompok Pengauditan 2

Jasa Asurans dan Atestasi

Kelompok
Bella Lailatus S

(13/ 347668/EK/19430)

Pramud Prwitasari
Pramudita

(13/347625/EK/19409)

Laksmi Candra
C
NS

(13/349657/EK/19544)

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

Aturan mengenai independensi dan integritas eksternal auditor mulai ditegaskan sejak
kasus Enron yang terjadi pada tahun 2002. Jatuhnya Enron disebabkan karena KAP Arthur
Andersen memberikan jasa audit dan konsultasi managemen dalam periode yang sama untuk
tahun buku yang sama. Masalah dimulai ketika jasa konsultasi yang diberikan auditor
eksternal sekaligus menjadi upaya untuk menutupi kebobrokan yang terjadi dalam laporan
keuangan Enron. Saat itu, KAP Arthur Andersen tidak ingin melewatkan kesempatan untuk
memberikan jasa lain pada saat yang bersamaan karena pada dasarnya jasa konsultasi dan
jasajasa nonaudit merupakan jasa yang imbalannya lebih besar daripada jasa audit.
Akibatnya mereka justru kehilangan integritas dan independensi yang akhirnya membuat
Enron dan KAP tersebut jatuh ketika skandal mereka diketahui publik. Oleh karena itu,
beberapa negara menerbitkan aturan untuk mencegah terulangnya tragedi tersebut. Indonesia
menerbitkan UU no 5 Tahun 2011 dan Amerika Serikat menerbitkan Sarbanes Oxley Act.
Aturan mengenai jasa Kantor Akuntan Publik di Indonesia diatur dalam UU nomor 5
tahun 2011. Jasa yang dapat dilakukan oleh kantor akuntan publik dijelaskan dalam Pasal 3
sebagaimana dijabarkan dibawah ini,
1.

Jasa Assurans yang meliputi jasa audit atas informasi keuangan historis, jasa
reviu atas informasi keuangan historis, jasa asurans lainnya(baca: Pasal 3 Ayat 1)

2.

Jasa lain yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan, dan manajemen sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan(baca: Pasal 3 ayat 3)

Selanjutnya, independensi akuntan publik dalam memberikan jasa diatur melalui


Pasal 28 UU nomor 5 Tahun 2011. Pasal tersebut menyatakan bahwa untuk menjaga
independensi, akuntan publik dan KAP harus menghindari benturan kepentingan. Salah satu
bentuk benturan kepentingan adalah ketika akuntan publik memberikan jasa asurans dan jasa
lain dalam periode yang sama untuk tahun buku yang sama(baca: Pasal 28 ayat 2c).
Ketentuan lebih lanjut mengenai benturan kepentingan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri setelah berkonsultasi dengan Komite Profesi Akuntan Publik(baca: Pasal 28 ayat 3).
Selain mengatur mengenai jasa yang dapat diberikan dan independensi akuntan
publik, UU no 5 tahun 2011 mengatur mengenai larangan akuntan publik dan kantor akuntan
publik. Akuntan publik dilarang memberi jasa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), untuk jenis jasa pada periode yang sama yang telah dilaksanakan oleh Akuntan
Publik lain,
kecuali untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya(baca: Pasal 30 ayat 1c), memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) dalam masa pembekuan izin(baca: Pasal 30 ayat 1d), serta
memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) melalui KAP
yang sedang dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin(baca: Pasal 30 ayat 1e).
Dari penjelasan diatas, diketahui bahwa akuntan publik dan kantor akuntan publik
dilarang melakukan jasa assurans dan jasa lainnya yang berkaitan dengan akuntansi,
keuangan, dan manajemen dalam periode yang sama untuk tahun buku yang sama karena
dapat mengganggu independensi seorang akuntan publik dan KAP yang brsangkutan. Pada

dasarnya, peraturan yang tertera di UU no 5 Tahun 2011 ini disarikan dari Sarbanes Oxley
Act. Terkait jasa yang dapat diberikan oleh akuntan publik dan KAP, pada dua peraturan
tersebut ditemukan persamaan bahwa harus ada pembatasan jasa audit dan jasa non-audit
yang dilakukan oleh eksternal auditor untuk menjaga adanya kemungkinan conflict of interest
yang dapat menyangsikan integritas dan independensi pelaksanaan audit(baca: UU no 5
Tahun 2011 pasal 28 dan 30 serta SOA Section 201, 202, dan 206). Namun, perturan yang
ada pada UU no 5 tahun 2011 dipandang terlalu general. Itu dibuktikan dengan masih
diperlukannya pasal peralihan dan peraturan tambahan seperti peraturan pemerintah maupun
peraturan menteri yang didalamnya terdapat aturan tambahan secara terperinci, berbeda
dengan Sarbanes Oxley Act yang mengatur dengan detail pada setiap section.

LAMPIRAN
1. Sarbanes Oxley Act 2002 Tittle II Section 201

2. Sarbanes Oxley Act 2002 Tittle II Section 202

3. Sarbanes Oxley Act 2002 Tittle II Section 206

2. UU no 5 Tahun 2011

REFERENSI
https://www.sec.gov/about/laws/soa2002.pdf
https://kuntowibi.wordpress.com/2013/01/16/102/
http://lmfeui.com/data/S-OX%20Indonesia%20utk.%20Majalah.pdf
http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2011_5.pdf

Anda mungkin juga menyukai