Anda di halaman 1dari 12

PRODUKTIVITAS PERAIRAN

FOTOSINTESIS

Muhammad Iqbal
230110110076

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2013
FOTOSINTESIS
A. Fotosintesis

Produktivitas primer merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa


organik yang kaya akan energi dan berasal dari senyawa anorganik. Pada
umumnya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis, walaupun
sejumlah kecil produktivitas dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetik
(Nybakken 1992). Odum (1996) menambahkan produktivitas primer di suatu
sistem ekologi sebagai laju penyimpanan energi radiasi melalui aktivitas
fotosintesis dan kemosintesis dari produser atau organisme (terutama tumbuhan
hijau) dalam bentuk bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan pakan.
Sejalan dengan Nontji (2006) produktivitas primer dalam artian umum adalah laju
produksi bahan organik (dinyatakan dalam C= karbon) melalui reaksi fotosintesis
per satuan volume atau luas suatu perairan tertentu, yang dapat dinyatakan dengan
3
2
satuan seperti mg C/m /hari atau g C/m /tahun. Besarnya produksi itu sendiri
dikenal sebagai produksi primer, yang dapat dinyatakan dengan satuan seperti
3
gC/m . Tetapi dalam prakteknya, kedua istilah ini sering digunakan dengan saling
tukar.
Reaksi fotosintesis dapat terjadi pada semua tumbuhan yang mengandung
pigmen klorofil, dan dengan adanya cahaya matahari. Cahaya matahari
merupakan sumber dari segala energi yang menggerakan seluruh fungsi ekosistem
di bumi. Di laut, tumbuhan berklorofil dapat berupa rumput laut (seaweed), lamun
(seagrass), fitoplankton atau mikroflora bentik (benthic microflora). Rumput laut,
lamun dan mikroflora bentik, hanya terdapat di perairan tertentu saja, yakni pada
pesisir yang dangkal. Sebaliknya, fitoplankton terdapat diseluruh laut, dari
permukaan sampai dengan kedalaman yang dapat ditembus cahaya matahari, kirakira sampai kedalaman sekitar 100 meter. Oleh sebab itu, kontribusi fitoplankton
dalam produktivitas primer global adalah yang terbesar. Menurut SteemannNielsen (1975) diacu dalam Nontji (2006) kurang lebih 95% produktivitas primer
dilaut disumbangkan oleh fitoplankton. Sejalan dengan Wetzel (1983) bahwa di
dalam ekosistem akuatik sebagian besar produktivitas primer dilakukan
fitoplankton, dimana bantuan cahaya matahari melalui proses fotosintesis yang
hasilnya disebut dengan produksi primer.

Produktivitas primer pada dasarnya tergantung pada aktivitas fotosintesis


dari organisme autotrof yang mampu mentransformasikan karbondioksida
menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Oleh karena itu pendugaan
produktivitas primer alami didasarkan pada pengukuran aktivitas fotosintesis yang
terutama dilakukan oleh alga. Menurut Sumich (1994) aliran energi dalam
ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi energi oleh fitoplankton melalui proses
fotosintesis. Melalui proses ini fitoplankton mengakumulasi energi, energi yang
diakumulasi oleh fitoplankton inilah yang disebut produksi atau secara lebih
spesifik disebut produksi primer.
Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi
tanaman termasuk fitoplankton. Reaksi fotosintesis secara sederhana dapat
diringkas dalam persamaan umum sebagai berikut (Wetzel 1983) :
6CO2 + 12 H2O

C6H12O6 + 6O2

dari reaksi di atas, secara teoritis untuk mengukur laju produksi senyawa-senyawa
organik dapat diukur dengan cara mengetahui laju hilangnya atau munculnya
beberapa komponen yang ada dalam reaksi tersebut. Laju fotosintesis dapat
diukur dengan laju hilangnya CO2 atau munculnya O2. Pengukuran ini dalam
prakteknya yang digunakan hanya dua komponen yaitu CO2 dan O2 (Nybakken
1992).
Pada

umumnya

profil

vertikal

penyebaran

produktivitas

primer

mempunyai kurva yang menunjukkan adanya suatu nilai maksimum pada


kedalaman tertentu. Nilai maksimum yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam
bisa lebih baik daripada nilai maksimum yang terjadi pada lapisan permukaan,
karena bisa jadi intensitas cahaya yang masuk ke lapisan dalam sesuai dengan
kebutuhan fitoplankton untuk berfotosintesis (Khan 1980). Selanjutnya profil
penyebaran produktivitas primer secara vertikal tersebut sangat dipengaruhi oleh
kelimpahan atau penyebaran fitoplankton secara vertikal. Pada umumnya apabila
kelimpahan fitoplankton (sebagai organisme yang dapat berfotosintesis) besar,
maka nilai produktivitas primer juga akan besar.

Selama 35 tahun terakhir, pengukuran produktivitas primer di estuari


2
berkisar pada 6,8 530 gC/m /tahun (Kennish, 1990). Nilai produktivitas yang
lebih kecil dari kisaran ini diperoleh dari estuari yang keruh dan sebaliknya.
Boyton dalam Kennish (1990) menyatakan bahwa rata-rata produktivitas
2
fitoplankton dari 45 estuari yang diteliti adalah 190 gC/m /tahun, yang melebihi
2
rata-rata produktivitas perairan laut yaitu 100 gC/m /tahun, namun nilai tersebut
2
kurang dari produktivitas daerah upwelling yang bernilai 300 gC/m /tahun.
Besarnya produktivitas primer juga dapat menentukan tingkat kesuburan perairan.
Menurut Mason dalam Novotny dan Olem (1994) perairan yang memiliki
2
produktivitas primer antara 7-25 gC/m /hari tergolong oligotrofik, produktivitas
2
primer antara 75-250 gC/m /hari tergolong mesotrofik dan produktivitas primer
2
antara 350-700 gC/m /hari tergolong eutrofik.
Menurut Erwin (2011), beberapa produktivitas dapat diketahui secara
berurutan sesuai dengan peristiwa pembentukannya, yaitu :
a. Produktivitas primer kotor, yaitu laju total fotosintesis, termasuk bahan organik
yang habis digunakan dalam respirasi selama waktu pengukuran, dikenai sebagai
fotosintesis total atau asimilasi total.
b. Produktivitas primer bersih, yaitu penyimpanan bahan organik di dalam
jaringan-jaringan tumbuhan kelebihannya dari proses respirasi oleh tumbuhantumbuhan selama jangka waktu pengukuran, dikenal sebagai apparent fotosintesis
atau asimilasi bersih.
c. Produktivitas komunitas bersih adalah laju penyimpanan bahan organik yang
tidak digunakan oleh heterotrof (yakni produktivitas bersih penggunaan
heterotrof)
d. Produktivitas sekunder yaitu laju penyimpanan energi pada tingkat konsumen.

B. Faktor yang Mempengaruhi Fotosintesis (Produktivitas Primer)


Menurut Mahmuddin (2009), produktivitas pada ekosistem dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain:
1. Suhu
Berdasarkan gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan
meningkat dari wilayah kutub ke ekuator. Namun pada hutan hujan tropis, suhu
bukanlah menjadi faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi lamanya
musim tumbuh. Adanya suhu yang tinggi dan konstan hampir sepanjang tahun
dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuhan akan berlangsung lama, yang pada
gilirannya meningkatkan produktivitas. Suhu secara langsung ataupun tidak
langsung berpengaruh pada produktivitas. Secara langsung suhu berperan dalam
mengontrol reaksi enzimatik dalam proses fotosintetis, sehingga tingginya suhu
dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis. Sedangkan secara tidak
langsung, misalnya suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan
yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton.
Reaksi biokimia dalam sel fitoplankton umumnya dipengaruhi oleh suhu.
Peningkatan suhu terjadi secara eksponensial sampai pada batas maksimum.
Peningkatan ini biasanya bervariasi untuk masing-masing reaksi, yaitu antara 25o
40 C. Kisaran suhu tersebut mempengaruhi laju fotosintesis maksimal untuk
kemunitas fitoplankton (Harper 1992).
Dalam

berperan

sebagai

faktor

pendukung

produktivitas

primer

fitoplankton di laut, suhu perairan berinteraksi dengan faktor lainnya seperti


cahaya dan nutrien. Valiela (1995) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan
produktivitas primer di laut, suhu lebih berperan sebagai kovarian dengan faktor
lain daripada sebagai faktor bebas. Sebagai contoh, plankton pada suhu rendah
dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan
karbon yang besar. Ini disebabkan karena lebih efisiennya fitoplankton
menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi bila
sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Perubahan laju

penggandaan sel hanya pada suhu yang tinggi. Tingginya suhu memudahkan
terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton. Dalam kondisi konsentrasi fosfat
sedang di dalam kolom perairan, laju fotosintesis maksimum akan meningkat
pada suhu yang lebih tinggi.
2. Cahaya
Cahaya merupakan sumber energi utama bagi ekosistem. Cahaya memiliki
peran yang sangat vital dalam produktivitas primer, oleh karena hanya dengan
energi cahaya tumbuhan dan fitoplankton dapat menggerakkan mesin fotosintesis
dalam tubuhnya. Hal ini berarti bahwa wilayah yang menerima lebih banyak dan
lebih lama penyinaran cahaya matahari tahunan akan memiliki kesempatan
berfotosintesis

yang

lebih

panjang

sehingga

mendukung

peningkatan

produktivitas primer.
Di perairan cahaya memiliki dua fungsi utama yaitu pertama memanasi air
sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) yang selanjutnya
menyebabkan terjadinya percampuran massa dan kimia air, dan yang kedua
cahaya merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis alga dan tumbuhan air.
Apabila penetrasi cahaya dalam perairan semakin besar akan menyebabkan
semakin besarnya daerah berlangsungnya fotosintesis, sehingga kandungan
oksigen terlarut masih relatif tinggi pada lapisan air yang lebih dalam (Jeffries dan
Mills 1996).
Pada ekosistem terrestrial seperti hutan hujan tropis memilik produktivitas
primer yang paling tinggi karena wilayah hutan hujan tropis menerima lebih
banyak sinar matahari tahunan yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan
iklim sedang (Wiharto, 2007). Sedangkan pada eksosistem perairan, laju
pertumbuhan fitoplankton sangat tergantung pada ketersediaan cahaya dalam
perairan. Laju pertumbuhan maksimum fitoplankton akan mengalami penurunan
jika perairan berada pada kondisi ketersediaan cahaya yang rendah.
Hubungan antara intensitas cahaya dan produktivitas primer perairan
sangat nyata, dimana peningkatan intensitas cahaya secara proporsional sebanding
dengan peningkatan produktivitas primer. Semakin meningkatnya intensitas
cahaya akan mengakibatkan proses fotosintensis juga semakin meningkat sampai

mencapai puncak dimana cahaya dalam kondisi jenis (Riley dan Chester 1971;
Parson et al. 1984).
Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai
ke suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Hal ini berarti
bahwa fitoplankton yang produktif hanyalah terdapat di lapisan-lapisan air teratas
dimana intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman
penetrasi cahaya di dalam laut, yang merupakan kedalaman dimana produksi
fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa faktor, antara
lain absorbsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air,
pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik dan musim (Nybakken
1992). Hasil fotosintesis yang relatif besar dihasilkan dari lapisan permukaan
sampai pada kedalaman dengan nilai intensitas cahaya kurang lebih tinggal 1%
dari cahaya yang berada pada permukaan perairan yang disebut zona eufotik
(Parson et al. 1984). Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan
bertambahnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya
saturasi). Di atas nilai tersebut cahaya merupakan pembatas bagi fotosintesis
(cahaya inhibisi). Semakin ke dalam perairan intensitas cahaya akan semakin
berkurang dan merupakan penghambat sampai pada suatu kedalaman dimana
fotosintesis sama dengan respirasi (Neale 1987). Pada kedalaman perairan dimana
proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi
yang intensitas cahayanya tinggal 1% dari intensitas di permukaan perairan.
3. Air, curah hujan dan kelembaban
Produktivitas pada ekosistem terrestrial berkorelasi dengan ketersediaan
air. Air merupakan bahan dasar dalam proses fotosintesis, sehingga ketersediaan
air merupakan faktor pembatas terhadap aktivitas fotosintetik. Secara kimiwi air
berperan sebagai pelarut universal, keberadaan air memungkinkan membawa serta
nutrient yang dibutuhkan oleh tumbuhan.
Air memiliki siklus dalam ekosistem. Keberadaan air dalam ekosistem
dalam bentuk air tanah, air sungai/perairan, dan air di atmosfer dalam bentuk uap.
Uap di atmosfer dapat mengalami kondensasi lalu jatuh sebagai air hujan.
Interaksi antara suhu dan air hujan yang banyak yang berlangsung sepanjang

tahun menghasilkan kondisi kelembaban yang sangat ideal tumbuhan terutama


pada

hutan

hujan

tropis

untuk

meningkatkan

produktivitas.

Menurut Jordan (1995) dalam Wiharto (2007), tingginya kelembaban pada


gilirannya akan meningkatkan produktivitas mikroorganisme. Selain itu, proses
lain yang sangat dipengaruhi proses ini adalah pelapukan tanah yang berlangsung
cepat yang menyebabkan lepasnya unsure hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan.
Terjadinya petir dan badai selama hujan menyebabkan banyaknya nitrogen yang
terfiksasi

di

udara,

dan

turun

ke

bumi

bersama

air

hujan.

Namun demikian, air yang jatuh sebagai hujan akan menyebabkan tanah-tanah
yang tidak tertutupi vegetasi rentan mengalami pencucian yang akan mengurangi
kesuburan tanah. Pencucian adalah penyebab utama hilangnya zat hara dalam
ekosistem.
4. Nutrien
Tumbuhan membutuhkan berbagai ragam nutrient anorganik, beberapa
dalam jumlah yang relatif besar dan yang lainnya dalam jumlah sedikit, akan
tetapi semuanya penting. Pada beberapa ekosistem terrestrial, nutrient organic
merupakan faktor pembatas yang penting bagi produktivitas. Produktivitas dapat
menurun bahkan berhenti jika suatu nutrient spesifik atau nutrient tunggal tidak
lagi terdapat dalam jumlah yang mencukupi. Nutrient spesifik yang demikian
disebut nutrient pembatas (limiting nutrient). Pada banyak ekosistem nitrogen dan
fosfor merupakan nutrient pembatas utama, beberapa bukti juga menyatakan
bahwa CO2 kadang-kadang membatasi produktivitas. Produktivitas di laut
umumnya terdapat paling besar diperairan dangkal dekat benua dan disepanjang
terumbu karang, di mana cahaya dan nutrient melimpah. Produktivitas primer
persatuan luas laut terbuka relative rendah karena nutrient anorganic khusunya
nitrogen dan fosfor terbatas ketersediaannya dipermukaan. Di tempat yang dalam
di mana nutrient melimpah, namun cahaya tidak mencukupi untuk fotosintesis.
Sehingga fitoplankton, berada pada kondisi paling produktif ketika arus yang naik
ke atas membawa nitrogen dan fosfor kepermukaan.
5. Tanah

Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis


disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi
yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar (respirasi tanah). Jika
tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2) dari respirasi tanah
beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat (H2CO3 ) yang kemudian akan
mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-) dan sebuah ion hidrogen
bermuatan positif (H+). Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation hara
yang ada pada koloid tanah, kemudian bikarbonat bereaksi dengan kation yang
dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah melalui profil
tanah (Wiharto, 2007).
Hidrogen yang dibebaskan ke tanah sebagai hasil aktivitas biologi, akan
bereaksi dengan liat silikat dan membebaskan aluminium. Karena aluminium
merupakan unsur yang terdapat dimana-mana di daerah hutan hujan tropis, maka
alminiumlah yang lebih dominan berasosiasi dengan tanah asam di daerah ini.
Sulfat juga dapat menjadi sumber pembentuk asam di tanah. Sulfat ini dapat
masuk ke ekosistem melalui hujan maupun jatuhan kering, juga melalui aktivitas
organisme mikro yang melepaskan senyawa gas sulfur. Asam organik juga dapat
dilepaskan dari aktivitas penguraian serasah (Jordan, 1985 dalam Wiharto, 2007 ).
6. Herbivora
Menurut Barbour at al. (1987) dalam Wiharto (2007), sekitar 10 % dari
produktivitas vegetasi darat dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase
ini bervariasi menurut tipe ekosistem darat. Namun demikian, menurut
McNaughton dan Wolf (1998) bahwa akibat yang ditimbulkan oleh herbivore
pada produktivitas primer sangat sedikit sekali diketahui. Bahkan hubunga antar
herbivore dan produktivitas primer bersih kemungkinan bersifat kompleks, di
mana konsumsi sering menstimulasi produktivitas tumbuhan sehingga meningkat
mencapai tingkat tertentu yang kemudian dapat menurun jika intensitasnya
optimum.
Menurut Jordan (1985) dalam Wiharto (2007) menyatakan, bahwa
walaupun defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi,
hal ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman di daerah hutan hujan tropis.

Selain itu, banyak pohon mengembangkan alat pelindung terhadap herbivora


melalui produksi bahan kimia tertentu yang jika dikonsumsi oleh herbivora
memberi efek yang kurang baik bagi herbivora.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tingkat produktivitas primer
perairan dalam ekosistem, faktor lingkungan berpengaruh terhadap segala
aktivitas yang terjadi di lingkungan. Beberapa pengaruh yang menentukan
kandungan klorofil dan produktivitas primer adalah kedalaman, kecerahan,
kecepatan arus, suhu, salinitas, fosfat, dan nitrit. Fitoplankton yang hidup dalam
perairan merupakan penyokong produktivitas primer. Pengukuran tingkat
produktivitas primer suatu perairan alami harus berdasarkan besarnya aktivitas
fotosintesis oleh bakteri dan alga (Odum, 1971 dalam Wijayanti dkk, 2009).
C. Metode Pengukuran Produktivitas Primer
Pengukuran produktivitas primer pada umumnya didasarkan pada reaksi
fotosintesis. Beberapa metode pengukuran produktivitas primer adalah: metode
panen yang cocok untuk ekosistem pertanian; pengukuran oksigen, misalnya
dengan metode botol gelap dan botol terang, untuk ekosistem perairan; metode
pH, yang cocok untuk ekosistem perairan; metode klorofil, yang pada dasamya
adalah mengukur kadar klorofil; metode radioaktif; dan metode CO2 (Vryzas,
2008).
Menurut Wiryanto (2001), produktivitas primer dapat diukur dengan
beberapa cara, misalnya dengan metode C14, metode klorofil, dan metode oksigen
(Michael1995). Metode oksigen dengan botol gelap terang banyak digunakan,
meskipun hasilnya terbatas dalam botol (Odum, 1993). Boehme (2000)
memperkenalkan metode oksigen melalui pembacaan kurva oksigen harian.
Dengan metode ini sampel yang diteliti tidak dibatasi ukurannya dan dapat diukur
setiap saat, namun ada kemungkinan terjadi persinggungan oksigen di atmosfer
dan di dalam air. Banyaknya model perhitungan produktivitas primer perairan
mengakibatkan hasil yang didapat berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA
Djumara, Noorsyamsa. 2007. Modul 3 Sumber Daya Alam Lingkungan
Terbarukan dan Tidak Terbarukan Diklat Teknis Pengelolaan Lingkungan
Hidup di Daerah (Environmental Assesment and Management). Jakarta.
Effendi. 2007.
Mahmuddin.

2009.

Wordpress.com

Produktivitas

Primer

Ekosistem.

http://mahmuddin.

/2009/09/09/produktivitas-primer-eksosistem/

Diakses

pada tanggal 10 Oktober 2013, pada pukul 19.00 WIB


Mahmudi, M. 2005.Produktivitas Peraiaran. Fakultas Perikanan Universitas
Brawijaya. Malang
Nybakken, J., 1992. Biologi Laut. Gramedia Pustaka Raya. Jakarta.
Sinurat, Gokman. 2009. Skripsi: Studi Tentang Nilai Produktivitas Primer Di
Pangururan Perairan Danau Toba. Departemen Biologi. Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Sudaryanti. 2004. Produktivitas Perairan (Sekunder). Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang.
Vryzas. 2008. Sejarah dan Ruang Lingkup Ekologi dan Ekosistem. www.
google.com. Diakses tanggal 10 Oktober 2013. Pukul 19.00 wib
Wiadnyana, Ngurah Nyoman. 2003. Peranan Plankton Di Dalam Ekosistem
Perairan Indonesia, Lautan Red Tide. Pusat Penelitian Oseanografi (POG)
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta.

Wiryanto, A P. 2001. Produktifitas Primer Perairan Waduk Cengklik Boyolali.


www. google.com. Diakses tanggal 10 Oktober 2013. Pukul 19.00 wib

Anda mungkin juga menyukai