Anda di halaman 1dari 30

METODOLOGI PEMAHAMAN ISLAM

Sejak Kedatangan Islam pada abad ke13 M hingga saat ini,


fenomena pemahaman keIslaman umat Islam indonesia masih
ditandai oleh keadaan amat fariatif. Kondisi pemahaman keislaman
serupa ini barangkali terjadi pula di berbagai negara lainnya. Kita
tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu
yang alami yang harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk
diambil hikmahnya, ataukah diperlukan adanya standard umum yang
perlu

diterapkan

dan

diberlakukan

kepada

berbagai

paham

keagamaan yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat


bervariasi tetapi tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam alQur'an dan al-Sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang
dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Kita

misalnya

melihat

adanya

sejumlah

orang

yang

pengetahuannya tentang Ke-Islaman cukup luas dan mendalam,


namun tidak terkoordinasi dan tidak tersusun secara sistematik. Hal
ini disebabkan karena orang tersebut ketika menerima ajaran Islam
tidak sistematik dan tidak terorganisasikan secara baik. Mereka
bisanya datang dari kalangan ulama yang belajar ilmu keislaman
secara otodidak atau kepada berbagai guru yang antara satu dan
lainnya tidak pernah saling bertemu dan tidak pula berada dalam
satu acuan yang sama semacam kurikulum. Akibat dari keadaan
demikian, maka yang bersangkutan tidak dapat melihat hubungan
yang terdapat dalam berbagai pengetahuan Islam yang dipelajarinya
itu, dan karena mereka tidak dapat ditugaskan mengajar di Perguruan
Tinggi misalnya, lantaran pengajaran Ke-Islaman di Perguruan Tinggi
biasanya menuntut keteraturan dan pengorganisasian sebagaimana
diatur dalam kurikulum dan silabus.
Selanjutnya kita melihat pula ada orang yang penguasaannya
terhadap salah satu bidang keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang
memahami disiplin ilmu keislaman lainnya, bahkan pengetahuan
yang bukan merupakan keahliannya itu dianggap sebagai ilmu yang
elasnya berada di bawah kelas ilmu yang dipelajarinya. Kita melihat
bahwa

ilmu

fiqhi

misalnya

pernah

menjadi

primadona

dan

mendapatkan perhatian cukup besar. Akibat dari keadaan demikian,


maka segala masalah yang ditanyakan kepadanya selalu dilihat dari

paradigma

ilmu

fiqhi.

Ketika

kepadanya

ditanyakan

tentang

bagaimana cara mengatasi masalah pelacuran misalnya, maka


jawabannya

adalah

dengan

pelacuran tersebut, karena

cara

memusnahkan tempat-tempat

dianggap sebagai tempat maksiat.

Padahal cara tersebut tidak akan memecahkan masalah, karena


masalah

pelacuran

bukan

sekedar

masalah

keagamaan

yang

memerlukan ketetapan hukumnya melainkan juga masalah ketenaga


kerjaan, kesenjangan sosial, struktur sosial, sistem perekonomian,
dan

sebagainya,

yang

dalam

cara

mengatasinya

memerlukan

keterlibatan orang lain.


Pada tahap berikutnya, pernah pula yang menjadi primadona
masyarakat adalah ilmu kalam (teologi), sehingga setiap masalah
yang dihadapinya selalu dilihat dari paradigma teologi. Lebih dari itu
teologi

yang

dipelajarinya

pun

berpusat

pada

Asy'ariyah

dan

Maturidiyah (Sunni), sedangkan paham lainnya dianggap sebagai


sesat. Akibat dari keadaan demikian, maka tidak terjadi dialog,
keterbukaan, saling menghargai dan sebagainya.
Setelah itu muncul pula paham keIslaman bercorak tasawuf
yang

sudah

mengambil

bentuk

tarikat

yang

terkesan

kurang

menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan duniawi dan


urusan ukhrawi. Dalam tasawuf ini, kehidupan dunia terkesan
diabaikan. Umat terlalu mementingkan urusan akhirat, sedangkan
urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan ummat
menjadi mundur dalam bidang keduniaan, materi dan fasilitas hidup
lainnya.
Dari beberapa contoh tentang pemahaman keislaman tersebut
di atas kita dapat memperoleh kesan bahwa hingga saat ini
pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial,
belum utuh dan belum pula komprehensif. Dan sekalipun kita
menjumpai

adanya

pemahaman

Islam

yang

sudah

utuh

dan

komprehensif, namun semuanya itu berlum tersosialisasikan secara


merata ke seluruh masyarakat Islam.
Penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang
mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang
tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan
bukan menjadi produsen. Kemampuan dalam menguasai materi

keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan dibidang


metodologi sehingga pengetahuan yang dimiliki dapat dikembangkan.

STUDI ISLAM
Dirasah Islamiyah atau Studi Keislaman (Islamic Studies),
secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari
hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan perkataan
lain usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami
serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal
yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran-ajarannya,
sejarahnya mapun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari.
Usaha mempelajari agama Islam tersebut kenyataannya bukan
hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga
dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keIslaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya mempunyai tujuan
yang berbeda-beda dengan tujuan studi Keislaman yang dilakukan
oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat
Islam, studi Ke-Islaman bertujuan untuk memahami dan mendalami
serta

membahas

melaksanakan

dan

ajaran-ajaran

Islam

mengamalkannya

agar
secara

mereka

dapat

benar,

serta

menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup (way of life).


Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi Ke-Islaman bertujuan
untuk

mempelajari

seluk

beluk

agama

dan

praktek-praktek

keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata


sebagai ilmu pengetahuan. Namun sebagaimana halnya dengan ilmuilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang
seluk beluk agama dan praktek-praktek keagamaan Islam tersebut
bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik
yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.
Para ahli studi ke-Islaman di luar kalangan umat Islam tersebut
dikenal sebagai kaum orientalis, yaitu orang-orang Barat yang
mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di dalamnya dunia
Islam. Dalam prakteknya studi ke-Islaman yang dilakukan oleh
mereka, terutama masa awal-awal mereka mengadakan studi tentang
Islam, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan

tentang kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan ajaran


agama Islam dan praktek-praktek pengamalan ajaran agama Islam
dalam kehidupan-sehari-hari umat Islam. Namun demikian, banyak
juga

diantara

para

orientalis

yang

memberikan

pandangan-

pandangan yang obyektif dan bersifat ilmiah terhadap agama Islam


dan umatnya. Tentu saja pandanganpandangan yang demikian itu
akan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi ke-Islaman di
kalangan umat Islam sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah masa
keemasan

Islam

kemunduruannya)
mendominasi

dan

umat

bahwa

kalangan

Islam

sudah

pendekatan

ulama

Islam

studi
lebih

memasuki

masa

ke-Islaman
cenderung

yang

bersifat

subyektif, apologis dan doktriner, serta menutup diri terhadap


pendekatan yang dilakukan oleh kalangan luar Islam yang bersifat
obyektif dan rasional. Dengan pendekatan subyektif apologis dan
doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang sumber dasarnya adalah
al-Qur'an dan al-Sunnah yang pada dasarnya bersifat rasional dan
adaptif terhadap tuntutan perubahan dan perkembangan zaman
telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta
tabu

terhadap

sentuhan-sentuhan

akal/rasional

dan

tuntutan

perubahan dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan keagamaan


serta sosial budaya umat Islam terkesan mandeg, membeku dan
ketinggalan zaman. Dan celakanya, keadaan yang demikian inilah
yang menjadi sasaran atau obyek studi dari kaum orientalist dalam
studi keIslamannya. Dengan pendekatan yang bersifat obyektif
rasional atau pendekatan ilmiah, mereka mendapatkan kenyataankenyataan bahwa ajaran agama Islam sebagaimana yang nampak
dalam fenomena dan praktek umatnya ternyata tidak rasional dan
tidak mampu menjawab tantangan zaman.
Dengan adanya kontak budaya modern dengan budaya Islam,
mendorong para ulama tersebut untuk bersikap obyektif dan terbuka
terhadap pandangan dari luar, yang pada gilirannya pendekatan
ilmiah yang bersifat rasional dan obyektif pun memasuki dunia Islam,
termasuk pula dalam studi keIslaman di kalangan umat Islam sendiri.
Dengan masuknya pendekatan tersebut, maka studi keIslaman
semakin berkembang dan menjadi sangat relevan dan dibutuhkan

oleh umat Islam, terutama dalam menghadapi tantangan dunia


modern yang semakin canggih dan era globalisasi saat ini.
BEBERAPA ASPEK TENTANG
AL-DIN (AGAMA)
I. AL-DIN (AGAMA)
A. Pengertian Agama
Ada tiga istilah yang dikenal tentang agama, yaitu: agama,
religi dan din.
Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta,
yang berasal dari akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata
gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah
kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk mencapai
kebahagiaan.
Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata
agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a
dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama
artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan
yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi
dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya.
Kata religi--religion dan religio, secara etimologi -- menurut
Winkler Prins dalam Algemene Encyclopaedie--mungkin sekali berasal
dari bahasa Latin, yaitu dari kata religere atau religare yang berarti
terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang
ber-religi
adalah orang yang senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang
dianggap suci. Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang berarti
berhati-hati, maka dimaksudkan bahwa orang yang ber-religi itu
adalah orang yang senantiasa bersikap hati-hati dengan sesuatu yang
dianggap suci.
Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu
tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu
tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata
kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung,
hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan
alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata
penyembahan tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada agama dan religi
terdapat empat unsur penting, yaitu: 1) tata pengakuan atau
kepercayaan terhadap adanya Yang Agung, 2) tata hubungan atau
tata penyembahan terhadap yang Agung itu dalam bentuk ritus,
kultus dan pemujaan, 3) tata kaidah/doktrin, sehingga muncul
balasan berupa kebahagiaan bagi yang berbuat baik/jujur, dan
kesengsaraan bagi yang berbuat buruk/jahat, 4) tata sikap terhadap
dunia, yang menghadapi dunia ini kadang-kadang sangat
terpengaruh (involved) sebagaimana golongan materialisme atau
menyingkir/menjauhi/uzlah (isolated) dari dunia, sebagaimana
golongan spiritualisme.
Selanjutnya, kata din--secara etimologi--berasal dari bahasa
Arab, artinya: patuh dan taat, undang-undang, peraturan dan hari
kemudian. Maksudnya, orang yang berdin ialah orang yang patuh dan
taat terhadap peraturan dan undang-undang Allah untuk
mendapatkan kebahagiaan di hari kemudian.
Oleh karena itu, dalam din terdapat empat unsur penting, yaitu:
1) tata pengakuan terhadap adanya Yang Agung dalam bentuk iman

kepada Allah, 2) tata hubungan terhadap Yang Agung tersebut dalam


bentuk ibadah kepada Allah, 3) tata kaidah/doktrin yang mengatur
tata pengakuan dan tata penyembahan tersebut yang terdapat dalam
al-Qur`an dan Sunnah Nabi, 4) tata sikap terhadap dunia dalam
bentuk taqwa, yakni mempergunakan dunia sebagai jenjang untuk
mencapai kebahagiaan akhirat.
Sedangkan menurut terminologi, din adalah peraturan Tuhan
yang membimbing manusia yang berakal dengan kehendaknya
sendiri untuk kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan pengertian din tersebut, maka din itu memiliki
empat ciri, yaitu: 1) din adalah peraturan Tuhan, 2) din hanya
diperuntukkan bagi manusia yang berakal, sesuai hadis Nabi yang
berbunyi: al-din huwa al-aqlu la dina liman la aqla lahu, artinya:
agama ialah akal tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal, 3)
din harus dipeluk atas dasar kehendak sendiri, firman Allah: la ikraha
fi al-din, artinya: tidak ada paksaaan untuk memeluk din (agama), 4)
din bertujuan rangkap, yakni kebahagiaan dan kesejahteraan dunia
akhirat.
B. Pembagian Agama
Dilihat dari segi sumbernya, maka agama secara keseluruhan
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Agama wahyu (agama samawi-heavenly religion) yaitu : agama
yang berasal dari Allah, disampaikan kepada manusia melalui
para Nabi dan Rasul-Nya. Contohnya : agama yahudi asli, Agama
Nasrani asli, dan agama Islam.
2. Agama Budaya (agama wadhi), yaitu agama yang bersumberkan
pada hasil pemikiran manusaia dalam membuat respos terhadap
tantangan alam melalui upacara-upacara tertentu. Contohnya :
agama Budha, agama Hindu, agama Konghucu dan sebagainya.
C. Ciri-ciri Agama
Agama wahyu dan agama budaya, masing-masing memiliki ciriciri tertentu, sehingga keduanya dapat dibedakan.
1. Ciri-ciri agama wahyu adalah :
a. Secara pasti dapat diketahui kapan lahirnya, sesuai dengan
kehadiran nabi/Rasul yang membawanya.
b. Disampaikan oleh seorang manusia yang dipilih oleh Allah sebagai
Nabi/Rasul-Nya.
c. Memiliki kitab suci sebagai pedoman yang bersih dari campur
tangan manusia.
d. Ajarannya serba tetap, tetapi tafsirannya dapat berubah sesuai
dengan kecerdasan dan kepekaan penganutnya.
e. Konsep ketuhanannya adalah tauhid (Monoteisme mutlak)
f. Kebenarannya bersfat universal, yaitu berlaku bagi setiap
manusia, masa dan keadaan.
2. Ciri-ciri agama budaya adalah :
a. Tumbuh secara kumalatif dalam masyarakat penganutnya.
b. Tidak disampaikan oleh seorang Nabi/Rasul Allah.
c. Umumnya tidak memiliki kitab suci, kalaupun ada, akan
mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarahnya.
d. Ajarannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal
fikiran masyarakatnya (penganutnya),

e. Konsep ketuhanan adalah dinamisme, animisme, politeisme,


honoteisme dan paling tinggi monoteisme nisbi.
f. Kebenaran ajarannya tidak universal, yaitu tidak berlaku bagi
setiap manusia, masa dan keadaan.
D. Fungsi dan Tujuan Agama
1. Fungsi Agama
Telah diketahui bahwa manusia itu dilahirkan dalam keadaan lemah
dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa, sebagaimana
firman Allah dalam Q.S. al-Nahl (16) : 78 yang artinya :

Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan


tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran,
penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang
mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi
oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun
dari luar dirinya. Godaan dan rayuan dari dalam diri manusia dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Godaan dan rayuan yang berusaha menarik manusia kedalam
lingkungan kebaikan, yang menurut istilah. Al-Gazali dalam
bukunya Ihya Ulumuddin disebut dengan malak al-hidayah yaitu
kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada
hidayah/kebaikan.
b. Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia
kepada kejahatan, yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan
malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha
menarik manusia kepada kejahatan.
Di sinilah letaknya fungsi agama dalam kehidupan manusia,
yaitu
membimbing
manusia
ke
jalan
yang
baik
dan
menghindarkannya dari kejahatan atau kemungkaran.
2. Tujuan Agama
a. Menegakkan kepercayaan manusia hanya kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa (tauhid).
b. Mengatur kehidupan manusia di dunia, agar kehidupannya
teratur dengan baik, sehingga dapat mencapai kesejahteraan
hidup, lahir dan batin dunia dan akhirat.
c. Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya
kepada Allah.
d. Menyempurnakan akhlak yang mulia.
E. Peranan Agama dalam Kehidupan
Dalam kehidupan manusia, agama sangat penting adanya,
karena itu, manusia sngat membutuhkan agama, terutama manusia
modern yang hidup dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat
penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah :
1. Karena agama merupakan sumber moral
2. Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
3. Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah
metafisika.

4. Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di


kala suka, maupun di kala duka.
Di dalam kehidupan sosial, agama dapat menyediakan support
(dukungan), menghibur, mendamaikan kembali; menyediakan
trancendental relationshif (hubungan dengan yang gaib) melalui
cult/worship (ibadah); dapat mensakralkan norma-norma dan nilainilai yang sudah mapan yang sudah ada dalam masyarakat; dapat
menyediakan standar-standar dalam hal norma-norma yang sudah
melembaga itu diuji kembali secara kritis, dan memberikan perasaan
identitas misalnya identitas sebagai orang Kristen, identitas sebagai
orang Islam dan sebagainya. Kesemuanya itu terkait erat dengan
pertumbuhan dan kematangan individu penganutnya.
F. Kebutuhan Manusia terhadap Agama
Mengapa manusia butuh agama ? adalah suatu pertanyaan yang
tidak mudah untuk dijawab. Namun, kita melihat potensi-potensi yang
dimiliki manusia, maka kita akan menemukan beberapa jawaban
terhadp pertanyaan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Manusia sebagai makhluk Allah memiliki banyak kelebihan
dibanding dengan makhluk yang yang lain; tetapi dibalik kelebihan
yang banyak itu, manusia
juga tidak luput dari banyak
kekurangan, kelemahan dan kemampuan yang terbatas. Manusia
terbatas pada alam sekitarnya, warisan keturunan dan latar
belakang kebudayannya/hidupnya,; yang menyebabkan adanya
perbedaan pandangan dalam menghadapi suatu masalah, bahkan
seringkali bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Pandangan yang simpang siur tersebut (subyektif) tidak akan
dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran, tetapi senantiasa
diliputi oleh kabut keragu-raguan (dzanny), sehingga manusia
senantiasa gagal dalam menentukan kebenaran secara mutlak, ia
tidak sanggup menentukan kebaikan dan keburukan (haq dan
batil), ia tidak dapat menentukan nilai-nilai semua hal yang
demikian itu adalah di luar bidang ilmu pengetahuan manusia.
Untuk mengatasi ataupun memberikan solusi terhadap kegagalan
manusia sebagai akibat dari kelemahannya, itu maka diperlukan
agama/wahyu yang berasal dari luar manusia, yakni Allah swt.
melalui para Nabi dan Rasul-Nya. Hal ini dapat terjadi karena Allah
swt. adalah Maha Sempurna, sehingga wahyu yang diturunkan-Nya
merupakan kebenaran mutlak dan bersifat universal yang tak
perlu diragukan lagi, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al

Baqarah (2) : 147,


yang








artinya : Kebenaran itu adalah berasal dari Tuhanmu, sebab itu
jangan sekali-kali kamu meragukannya.
2. Dalam diri manusia terhadap hawa nafsu, yang senantiasa
mengajak manusia kepada kejahatan, apalagi kalau hawa nafsu
tersebut sudah dipengaruhi oleh syaitan/iblis yang senantiasa
menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Jika manusia dapat
mengalahkan pengaruh hawa nafsu dan syaitan tersebut, maka ia
akan lebih tinggi derajatnya daripada malaikat; tetapi, jika ia
mengikuti ajakan hawa nafsunya dan syaitan tersebut, maka ia
akan turun derajatnya lebih rendah daripada binatang.
Untuk mengatasi pengaruh hawa nafsu dan syaitan itu, manusia
harus memakai senjata agama (iman), karena hanya agama
(imanlah) yang dapat mengatasi dan mengendalikan hawa nafsu
dan syaitan/iblis itu; sebab agama merupakan sumber moral dan
akhlak dalam Islam. Itulah sebabnya, missi utama manusia,

sebagaimana hadits beliau yang menyatakan: Hanya saja aku


diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Melawan hawa nafsu dan syaitan adalah jihad akbar, sebagaimana
dikatakan oleh Nabi saw. sewaktu kembali dari perang Badar: Kita
kembali dari jihad (perang) yang paling kecil menuju jihad yang
paling besar, para sahabat bertanya: adakah perang yang lebih
besar dari perang ini ya Rasulullah? Nabi menjawaab : ada, yakni
melawan hawa nafsu.
Di samping itu, ada hadits lain yang mengatakan: Tidak sempurna
iman seseorang di antara kamu sehingga hawa nafsunya sematamata mengikuti agama Islam yang kaubawa.
3. Manusia dengan akalnya semata, tidak mampu mengetahui alam
metafisika, alam akhirat yang merupakan alam gaib, dan berada di
luar jangkauan akal manusia, sebagaimana firmana Allah dalam
Q.S. al-Nahl (27) : 65,





Terjemahnya :
Menurut Ibnu Khaldun dalam Mukaddimahnya, bahwa akal
manusia mempunyai batas-batas kemampuan tertentu, sehingga
tidak boleh melampaui batas dan wewenangnya. Oleh karena itu,
banyak masalah yang tidak mampu dipecahkan oleh akal manusia,
terutama masalah alam gaib; dan di sinilah perlunya
agama/wahyu untuk meberikan jawaban terhadap segala masalah
gaib yang berada di luar jangkauan akal manusia. Di sinilah letak
kebutuhan manusia untuk mendapat bimbingan agama/wahyu,
sehingga mampu mengatasi segala persoalan hidupnya dengan
baik dan menyakinkan.
4. Para sainstis yang terlalu mendewakan ilmu pengetahuan -khususnya di Barat telah banyak yang kehilangan idealisme
sebagai tujuan hidupnya. Mereka dihinggapi penyakit risau gelisah,
hidupnya hambar dan hampa, karena dengan pengetahuan
semata, mereka tidak mampu memenuhi hajat hidupnya; sebab
dengan bekal ilmu pengetahuannya itu, tempat berpijaknya makin
kabur, karena kebenaran yang diperolehnya relatif dan temporer,
sehingga rohaninya makin gersang, sebagaimana bumi ditimpa
kemarau,
sehingga
membutuhkan
siraman
yang
dapat
menyejukkan. Di sinilah perlunya agama untuk memenuhi hajat
rohani manusia, agar ia tidak risau dan gelisah dalam menghadapi
segala persoalan hidup ini.
5. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak
memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat manusia.
Namun, dibalik semuanya itu, kemajuan ilmu pengetahuann dan
tekhnologi pula yang banyak menimbulkan kecemasan dan
ancaman keselamatan bagi umat manusia. Berbagai konflik yang
maha dahsyat terjadi diberbagai belahan dunia dewasa ini
merupakan dampak negatif dari pada kemajuan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi itu, dengan ilmu dan tekhnologi, manusia
memproduksi senjata, namun dengan senjata itu pula manusia
banyak menjadi korban. Di sinilah perlunya agama, karena hanya
agama (iman) lah
yang dapat mencegah agar ilmu dan
tekhnologi tersebut tidak berubah menjadi senjata makan
tuan/pagar makan tanaman. Agamalah yang mampu menjinakkan
hati manusia yang sesat, untuk berbuat baik kepada diri sendiri
dan kepada orang lain.

Jadi, ilmu dan agama harus bergandengan tangan, akal dan


wahyu mesti sejalan, keduanya merupakan anugerah Allah untuk
manusia karena itu Nabi saw. menyatakan : bahwa ilmu itu adalah
jiwa dan tiangnya agama Islam.
Barang siapa menghendaki dunia, maka hendaklah ia berilmu
pengetahuan, dan barang siapa menghendaki akhirat, maka
hendaklah ia berilmu pengetahuan, dan barang siapa
menghendaki
keduanya
maka
hendaklah
ia
berilmu
pengetahuan.
Dari hadis tersebut, terlihat betapa pentingnya ilmu
pengetahuan dan agama itu untuk kehidupan manusia; karena itu
Allah berjanji untuk mengangkat derajat orang orang yang beriman
dan sekaligus berilmu pengetahuan, sebagaimana firman Allah dalam
Q.S. al-Mujadalah (38) : 11:
...
...














Terjemahnya :
Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan
berilmu pengetahuan beberapa derajat
Dalam surah Fathir (35) : 28, ditegaskan oleh Allah bahwa :
hanya saja yang akan takut kepada Allah di antara hambanya ialah
hamba-Nya yang beriman dan berilmu pengetahuan.
Karena itu, agama dan ilmu pengetahuan merupakan
kebutuhan primer setiap manusia. Ilmu pengetahuan untuk
memenuhi kebutuhan intelek /akal manusia, sedang agama untuk
memenuhi kebutuhan jiwa /hati manusia. Jika kebutuhan akal dan
jiwa itu terpenuhi secara seimbang, maka akan terwujudlah manusia
yang utuh, yaitu manusia yang mempunyai keseimbangan antara
kepentingan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, sebagaimana
tercantum dalam tujuan dan hakekat pembangunan Nasional
Indonesia.
II. AL-DIN (AGAMA) ISLAM
A. Pengertian Islam
Secara etimologi, kata Islam berasal dari bahasa Arab, diangkat
dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari kata salima itu,
dibentuk kata aslama yang artinya berserah diri, tunduk, patuh dan
taat. Kata aslama inilah yang menjadi pokok kata Islam, (aslama-yuslimu--islaman). Orang yang melakukan aslama atau masuk Islam
dinamakan muslim, yakni orang yang telah menyatakan dirinya
berserah diri, taat, tunduk dan patuh secara mutlak kepada Allah swt.
Orang yang demikian ini terjamin keselamatan hidupnya, baik di
dunia dan di akhirat.
Kata Islam adalah nama agama Allah yang tidak mempunyai
hubungan dengan orang tertentu, atau dengan golongan tertentu,
ataupun dengan negeri tertentu. Tetapi, nama Islam adalah
pemberian langsung dari Allah swt. sebagai nama agama wahyu yang
diturunkan kepada segenap umat manusia melalui Nabi Muhammad
saw. sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Maidah (5) : 3





Terjemahnya :
Aku (Allah) rela Islam sebagai agama bagi kamu sekalian.
Jadi, Islam sebagai nama agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. mengandung keistimewaan dan hikmah yang tinggi,
seklaigus merupakan petunjuk akan kebenaran, dan keabsahannya

sebagai agama wahyu murni dari Allah swt. tanpa campur tangan
manusia sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. Ali Imran (3) : 19:








Terjemahnya :
Sesungguhnya Dia (agama) yang sah di sisi Allah hanyalah
Islam
Jadi, Islam itu pada hakekatnya adalah agama Allah, yang
diperuntukkan bagi seluruh makhluknya, khususnya manusia. Karena
itu, manusia yang memiliki Islam sebagai agamanya, mereka akan
diterima oleh Allah, tetapi, bagi mereka yang memiliki agama selain
agama Islam, mereka akan ditolak oleh Allah, sebagaimana firman
Allah dalam Q.S. Ali Imran (3) : 85





Terjemahnya:
Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan
dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
Pernyataan Allah tersebut, dapat diterima secara rasional, oleh
karena :
1. Secara etimologi dapat dibuktikan bahwa kata Din sama dengan
Islam yang berarti patuh dan taat. Bahkan hadits Nabi saw.
menyatakan : Din adalah aqal, tidak ada Din bagi orang yang tidak
ber-aqal. Pernyataan Nabi ini dimaksudkan bahwa : kepatuhan dan
ketaatan secara sempurna akan muncul dari hasil pertimbangan
antara akal dan hati.
2. Secara logika, dapat dibuktikan bahwa Islam adalah satu-satunya
agama yang mengandung ajaran penyerahan diri secara penuh
dan mutlak hanya kepada Allah melalui pernyataan ikrar la ilaha
illa Allah yang dimanifestasikan dalam bentuk amaliah. Oleh
karena itu, logislah kalau Allah hanya mengakui Islam satu-satunya
agama yang benar.
3. Secara materi, Islam mencakup hablum min Allah dan hablum min
al-nas, sedangkan agama sebelumnya hanya mencakup hablum
min Allah saja. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama
yang paling lengkap dari agama-agama sebelumnya.
4. Secara historis, dibuktikan bahwa Islam merupakan agama yang
terakhir (akhir zaman) yang bertugas menggantikan agama
sebelumnya, yang masa berlakunya telah selesai dan telah
diinterpolasi oleh manusia. Kemudian Islam datang untuk
mengadakan
koreksi,
pembetulan
dan
penyempurnaan,
sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Taubah (9) : 33

Q.S. al-Shaf (61) :9

Q.S. al-Fathu (48) 28.

5. Secara hukum Evolusi dapat dibuktikan, karena hukum evolusi


menyatakan bahwa sesuatu akan berkembang secara evolusi, dari
yang kurang sempurna menuju kepada yang lebih sempurna.
Menurut syekh Muhammad Abduh dalam kitabnya Risalah al
Tauhid dan Tafsir al-Manar, bahwa wahyu dan kerasulan berkembang
secara evolusi dan mencapai kesempurnaannya pada wahyu yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir, demikian


juga rasul, sejak Nabi Adam, telah berkembang secara evolusi, dan
mencapai puncaknya pada rasul Muhammad saw. Karena itu Islam
sebagai agama terakhir, mengandung wahyu yang paling sempurna,
dan dibawa oleh rasul yang paling sempurna pula.
Sedangkan secara terminologi, Islam mengandung dua pengertian,
yaitu pengertian Islam secara khusus dan pengertian Islam secara
umum.
a. Yang dimaksud Islam secara khusus ialah : din (agama) yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw. berdasarkan al-Quran dan
sunnahnya, dilengkapi dengah hasil ijtihad ulama, yang
mengndung perintah-perintah, larangan-larangan, serta petunjukpetunjuk untuk kebahagian dan kesejahteraan manusia, di dunia
dan di akhirat.
b. Yang dimaksud Islam secara umum ialah : agama yang
disyariatkan oleh Allah dengan perantaraan para Nabi dan RasulNya, yang mengandung perintah-perintah, larangan-larangan,
serta petunjuk-petunjuk untuk kebahagian dan kesejahteraan
manusia, di dunia dan di akhirat.
Pengertian Islam secara umum tersebut, sejalan dengan beberapa
ayat al-Quran yang menegaskan bahwa agama Islam adalah agama
para Nabi dan Rasul Allah, sebagai contoh dapat dilihat berikut ini :
a. Islam adalah agama Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan
sebagainya, sebagaiman tercantum dalam Q.S. al-Haj (22) : 78



















Q.S. al-Baqarah (2) : 132




















Q.S. Ali Imran (3) : 67

al-Nisa (4) : 163.


b. Islam adalah agama Nabi Yusuf, sebagaimana tercantum dalam


Q.S. Yusuf (12) : 101.



















c. Islam adalah agama Nabi Sulaiman, sebagaimanatercantum dalam
Q.S. al-Naml (27) : 30-31.







)(30













)(31


d. Islam adalah agama Nabi Musa, sebagaiaman tercantum dalam


Q.S. al-Syura (42) : 13






























e. Islam adalah agama Nabi Isa, sebagaimana tercantum dalam Q.S.
Ali Imran (3) : 52.













Di samping Islam sebagai agama para Nabi dan Rasul Allah,
juga Islam merupakan agama alam semesta. Semua alam semesta ini

adalah muslim , dalam arti semuanya tunduk dan patuh (aslama)


terhadap Allah rab al-alamin, sebagaimana tercantum dalam Q.s.
Saba` (34) : 28



Q.s. Ali Imran (3) : 83.





















Islam mewajibkan kepada seluruh manusia untuk beriman kepada


para Nabi dan Rasul Allah serta kitab suci yang mereka bawa.
Meyakini Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul terakhir, ajarannya
mencakup seluruh agama wahyu sebelumnya, kitab sucinya (alQur`an) merupakan gabungan dari semua kitab suci agama wahyu
sebelumnya, sebagaimana firman Allah dalam Q.s. al-Bayyinah (98) :
2-3



(3)


( 2)











Terjemahnya:
(yaitu) seorang
rasul dari Allah (Muhammad) yang
membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur`an).
Di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus.
B. Karakteristik Agama Islam
Islam menjadi agama yang paling istimewa dibanding dengan
agama-agama yang lain, oleh karena ia memiliki karakteristik (ciri
khas) sebagai berikut:
1. Islam adalah agama fitrah. Maksudnya, adalah agama yang sesuai
dengan naluri manusia, pembawaan sejak lahir manusia, kodrat
manusia atau sifat asli manusia. Atau dengan kata lain, Islam
adalah agama yang manusiawi.
2. Islam adalah agama tauhid. Maksudnya, agama
yang
berlandaskan atas aqidah yang murni, yaitu ke-Esaan Allah secara
mutlak sebagai pangkal tolak dari seluruh pengamalan ajarannya.
Itulah sebabnya, Islam senantiasa berusaha memurnikan dirinya
dari unsur-unsur luar, yakni syirik (politeisme),
sebagaimana


tercantum dalam Q. s. al-Bayyinah (98) :4.


Islam
menolak
segala
bentuk



penyembahan terhadap selain Allah la ma`buda illa Allah.
3. Islam adalah agama hanif (up right). Yakni agama yang
penganutnya harus tinggi budi pekertinya, lurus hatinya dan
senantiasa cenderung untuk berbuat kebaikan (amal saleh).
4. Islam adalah agama yang mudah/ringan. Tidak ada alasan bagi
seorang muslim (siapapun) untuk bermalas-malas mengamalkan
ajaran Islam, karena Islam bukanlah agama yang berat atau
kejam. Firman Allah yang artinya: Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (Q.s. alBaqarah (2) : 185).










Itulah sebabnya dalam agama Islam terdapat hukum rukhsah
(keringanan atau dispensasi) yang sengaja diberikan oleh Allah
kepada setiap muslim yang mengalami kesulitan dalam
melaksanakan ajaran Islam. Misalya, bagi muslim musafir
dibolehkan menjamak dan mengqashar shalat, dibolehkan berbuka
puasa; dan sebagainya.
5. Islam adalah agama yang moderat. Maksudnya, agama yang
sedang, agama yang lunak atau tengah-tengah, yaitu tengahtengah di antara dua faham yang ekstrim, baik ekstrim terlalu
keras, maupun ekstrim terlalu lunak. Sebagai contoh: orang Yahudi

sangat membenci Nabi Isa dan menganggapnya anak haram


karena ia lahir tanpa bapak; ibu nabi Isa (Maryam) dituduh
menyeleweng. Sebaliknya, orang Nasrani sangat mencintai nabi
Isa dan menyakininya sebagai Tuhan (Tuhan anak) sebagai salah
satu oknum dari Trinitas (Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruh
Kudus). Sedangkan Islam mengambil jalan tengah, dan menolak
kedua pandangan yang bertentangan secara ekstrim tersebut;
kelahiran nabi Isa tanpa ayah hanyalah bukti kekuasaan Allah
semata, sama halnya dengan terjadinya nabi Adam tanpa ibu dan
ayah. Nabi Isa tidak lebih dari seorang nabi dan rasul-rasul Allah
yang lain. Atas pandangan itulah, maka umat Islam disebut
ummatan wasathan yaitu umat penengah, sebagai tercantum
dalam Q.s. al-Baqarah (2) :143.








6. Islam adalah agama rasional. Maksudnya agama yang dapat
diterima oleh akal. Dalam hubungan ini, ajaran Islam dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
a. Ajaran Islam yang ma`qul artinya ajaran yang rasional (dapat
diterima oleh akal). Contohnya: Tuhan itu satu, seseorang tidak
menanggung dosa orang lain, dan sebagainya.
b. Ajaran Islam yang ghairu ma`qul yaitu ajaran yang di luar
jangkauan akal. Contohnya: rakaat shalat yang berbeda-beda,
hakekat zat Allah, mencium hajar aswad, dan sebagainya.
7. Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan Islam,
sekurang-kurangnya ditandai oleh adanya tiga keyataan:
a. Islam menghimpun semua kebenaran yang dibawa oleh para
Nabi dan Rasul Allah yang pernah lahir. Pokok-pokok ajaran
Taurat, Zabur dan Injil, semuanya tercantum dalam al-Qur`an.
b. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya
(termasuk dirinya sendiri), bahkan mengatur hubungan
manusia dengan seluruh makhluknya yang lain.
c. Adanya pengakuan dari Allah, bahwa Islam adalah agama yang
sempurna dan Dia sendiri yang menyempurnakannya,
sebagaimana tercantum dalam Q.s. al-Maidah (5):3.



















C. Tugas Pokok Agama Islam
1. Mendatangkan perdamaian di dunia, dengan membentuk
persaudaraan di antara sekalian agama di dunia.
2. Menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam agama yang
sudah-sudah.
3. Membetulkan kesalahan-kesalahan dalam agama sebelumnya,
menyaring mana yang benar dan meluruskan mana yang palsu.
4. Mengajarkan kebenaran abadi, yang sebelumnya tidak pernah
diajarkan, berhubung keadaan bangsa atau umat pada waktu itu
masih dalam tahap permulaan dari tingkat perkembangan mereka.
5. Memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani bagi umat manusia
yang selalu bergerak maju.
D. Kerangka Dasar Agama Islam
Agama Islam yang mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia, kerangka dasarnya dapat disederhanakan seperti berikut;
1. Aqidah Islam, yakni menyangkut masalah rukun iman atau teologi
dalam Islam.

2. Syariat Islam, yakni menyangkut masalah hukum dan ketentuan


dalam Islam, baik dalam kaitannya dengan Allah, dengan sesama
manusia dan dengan makhluk yang lain. Syari`at Islam mencakup
dua hal, yaitu: ibadah khusus atau ibadah mahdlah (murni), dan
ibadah umum atau muamalah dalam arti yang luas.
Ibadah khusus atau ibadah madlah adalah menyangkut rukun
Islam; sedangkan ibadah umum atau muamalah dalam arti yang
luas adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut:
a. Al-Ahwal al-Syakhsiyyah, yaitu peraturan yang mengatur hukum
perseorangan dan keluarga.
b. Mu`amalah dalam arti khusus, yaitu peraturan yang mengatur
hukum benda dan perjanjian.
c. Jinayat, yaitu peraturan yang mengatur tindak pidana dan
sekitarnya.
d. Al-Mukhashamat, yaitu pengaturan yang mengatur hukum
acara dan peradilan.
e. Al-Fiqh al-Dawliyyah, yaitu peraturan yang mengatur hukum
kekuasaan dan hubungan international.
f. Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, yaitu peraturan yang mengatur
hukum tatanegara dan administrasi negara.
3. Akhlak Islam, yaitu menyangkut masalah tata nilai, sifat perangai
dan budi pekerti seorang muslim, baik terhadap Allah, sesama
manusia dan terhadap alam yang lain.
Akhlak Islam merupakan buah dari pelaksanaan syariat Islam
yang berakar pada aqidah Islam.
Ketiga kerangka dasar agama Islam tersebut, bersumber pada
dua sumber pokok yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau Sunnah Nabi
saw. kemudian diperkaya oleh hasil ijtihad para ulama.
III. SUMBER HUKUM ISLAM
A. Al-Qur`an
1. Pengertian al-Qur`an
Secara etimologis, kata Qur`an adalah isim masdar (bentuk
infinitif) dari kata qaraa yaqrau quranan, yang berarti : bacaan. Dr.
Subhi al-Salih mengatakan : kata al-Qur`an itu berbentuk masdar
dengan arti isim maful yaitu maqru (dibaca), maksudnya al-Qur`an
itu harus dibaca. Dalam al-Qur`an sendiri ada pemakaian kata qur`an
dalam arti demikian, sebagai tercantum dalam surah al-Qiyamah
(75): 17, 18.



( 17)


(18)










Secara terminologi, al-Qur`an ialah: Kalam Allah swt. yang
merupakan mu`jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi
Muhammad saw., ditulis dimushaf, diriwayatkan dengan mutawatir,
dan membacanya adalah ibadah.
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-nabi selain Nabi
Muhammad saw., tidak dinamakan al-Qur`an seperti Zabur, Taurat
dan Injil juga Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti
Hadits Qudsi, tidak pula dinamakan al-Qur`an.
Al-Qur`an adalah sumber asasi yang pertama, norma dan nilai dalam
Islam, ia adalah himpunan firman Allah swt. untuk segenap umat
manusia di atas planet bumi ini, yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw. secara berangsur-angsur selama 23 tahun, yaitu
13 tahun sebelum hijrah sampai 10 tahun setelah hijrah.

2. Fungsi al-Quran
Al-Quran adalah wahyu Allah yang berfungsi sebagai berikut :
a. Mujizat bagi rasul Allah Muhammad saw, sebagaimana
tercantum dalam Q.S. al-Isra (17) : 88,













Q.S. Yunus (10) : 38.






Mujizat yang didatangkan para Nabi dan Rasul Allah ada dua
macam, yaitu hissy dan akly.
Hissy ialah yang didapat dengan pandangan mata, seperti
tongkat Nabi Musa, keluarnya air dari celah-celah jari Nabi
Muhammad, dan sebagainya.
Akly ialah yang didapatkan dengan mata hati, seperti
mengambarkan berita baik, baik secara sindiran, maupun secara
tegas dan menerangkan hakekat ilmu yang diperoleh dengan tidak
dipelajari.
Mujizat Nabi Muhammad yang bersifat hissy adalah : batu
kerikil bertasbih di tanganya, berbicara dengan serigala, datang
pohon kayu kepadanya, dan sebagainya. Sedangkan mujizat Nabi
Muhammad yang bersifat akly adalah: al-Quran. Al-Quran itu
suatu ayat hissiyah yang dapat dirasai pancaindera; tetapi akliyah
(bersifat akal), diam tidak berbicara, kekal sepanjang masa,
berkembang di dalam dunia.
Seluruh ayat al-Quran, baik dalam jumlah sedikit atau
banyak adalah mujizat atau setiap ayat al-Quran memiliki ijaz
segi balaghahnya yang tidak dapat ditandingi oleh siapapun. Itulah
sebabnya mujihad al-Quran telah menjadi salah satu sebab
penting bagi masuknya orang-orang Arab ke dalam agama Islam,
dan menjadi sebab penting pula bagi masuknya orang-orang
sekarang, dan (insya Allah) pada masa-masa yang akan datang.
Menurut Dr.Quraisy Shihab, M.A. ada tiga segi kemujizatan alQuran, yaitu:
1). Pemberitaan gaibnya, ini terbagi dua, 1) masa lampau dan 2)
masa yang akan datang; masa yang akan datang ini juga
terbagi dua, yaitu a) yang sudah terbukti dan b) yang belum
terbukti.
2). Isyarat-isyarat ilmiah yang menyangkut banyak hal, misalnya
penciptaan alam semesta, reproduksi manusia, dan sebagainya.
3). Dari segi bahasanya, baik balaghahnya maupun fashahahnya.
Secara umum hal ini, sekarang sudah sulit dibuktikan.
Ketiga segi kemujizatan al-Quran tersebut tidak dapat dibuktikan
tanpa mengaitkan dengan pribadi Nabi Muhammad.
Ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dnegan pemberitaan
gaib masa lampau (sejarah) seperti tentang kekuasaan di Mesir,
Negeri Saba, Tsamud, Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa
dan lain-lain, dapat memberikan keyakinan kepada kita bahwa alQuran adalah wahyu Allah bukan ciptaan manusia.
Ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan pemberitaan
gaib masa yang akan datang (ramalan-ramalan) dan sudah
terbukti atau dibuktikan oleh sejarah seperti tentang runtuhnya
bangsa Rumawi (Q.S.al-Rum (30) : 2,3,4.


( 3)

( 2)
















(4)

berpecah belahnya Kristen (Q.S. al-Maidah (5) : 14

























juga menjadi bukti kepada kita bahwa al-Quran adalah wahyu
Allah swt.
Ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dnegan ilmu pengetahuan
dapat menyakinkan kita bahwa al-Quran adalah firman-firman
Allah, tidak mungkin ciptaan manusia, apabila ciptaan Nabi
Muhammad yang ummi (Q.S. al-Araf (7) : 158,



yang hidup pada awal abad keenam Masehi.
Bahasa al-Quran yang sangat indah dan susunan katanya
yang rapi, tidak dapat ditemukan pada buku-buku bahasa Arab
lainnya. Gaya bahasa yang luhur tapi mudah dimengerti
merupakan ciri dari gaya bahasa al-Quran.
Karena gaya bahasa yang demikian itulah, maka Umar bin
Khattab masuk Islam setelah mendengar al-Quran awal surah
Thaha yang dibicara oleh adiknya Fatimah, Abul Walid, diplomat
Quraisy waktu itu, terpaksa cepat-cepat pulang begitu mendengar
beberapa ayat dari surah Fushshilat yang dikemukakan Rasul Allah
Muhammad saw. sebagai jawaban atas usaha-usaha bujukan dan
diplomasinya. Bahkan Abu Jahal musuh besar Nabi karena
mendengar surah al-Dhuha yang dibaca Nabi.
Tepat apa yang dinyatakan al-Quran, bahwa seseorang tidak
menerima kebenaran al-Quran sebagai wahyu Allah disebabkan
oleh salah satu dari dua sebab, yaitu :
1). Tidak berfikir dengan jujur dan sungguh-sungguh. Hal ini
disebut al-maghdhub (dimurkai Tuhan) karena tahu kebenaran,
tetapi tidak mau menerima kebenaran itu.
2). Tidak sempat mendengar dan mengetahui al-Quran secara
baik. Hal ini disebut al-Dhallin (orang sesat) karena tidak
menemukan kebenaran itu.
Sebagai jaminan bahwa al-Quran itu wahyu Allah, maka alQuran sendiri
menantang setiap manusia untuk membuat satu
surah saja yang senilai dengan al-Quran (lihat Surah al-Baqarah
(2) : 23,24).
b. Pedoman hidup bagi setiap manusia, khususnya yang sudah
muslim, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Ba qarah (2): 185
dan Q.S. al-Nisa (4): 105 al-Maidah (5) : 49, 50 al-Jatsiyah (45) : 20.
Sebagai pedoman hidup, al-Qur`an banyak mengemukakan
pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam
hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia, dan manusia
dengan alam yang lain. Di dalamnya terdapat peraturan-peraturan
seperti: beribadah langsung kepada Tuhan, kewarisan, pendidikan
dan pengajaran, kepemimpinan, berperang, pidana, dan aspekaspek kehidupan lainnya yang oleh Allah dijamin dapat berlaku
dan dapat sesuai pada setiap tempat dan setiap waktu,
sebagaimana tercantum dalam Q.s. al-A`raf (7): 158; al-Anbiya
(21): 107; Saba (35) : 28.

Setiap muslim diperintahkan untuk melakukan seluruh tata


nilai tersebut dalam kehidupannya, sesuai Q.s. al-Baqarah (2): 208;
al-An`am (6): 153; al-Taubah (9): 51.
Sikap memilih sebagian dan menolak sebagian tata nilai itu
dipandang oleh al-Qur`an sebagai bentuk pelanggaran dan dosa,
sesuai
Q.s.
al-Ahzab
(33):
36;
al-Baqarah
(2):
265.
Melaksanakannya dinilai ibadah, sesuai Q.s. al-Nisa (4): 69; alAhzab (33): 71; al-Nur (24): 52; memperjuangkannya dinilai
sebagai perjuangan suci, sesuai Q.s. al-Taubah (9): 41; al-Shaf (61):
10-13; mati karenanya dinilai sebagai mati syahid, sesuai Q.s. Ali
Imran (3): 157; 169; hijrah karena memperjuangkannya dinilai
sebagai pengabdian (3): 195; dan tidak mau melaksanakannya
dinilai sebagai zhalim, fasik, dan kafir, sesuai Q.s. al-Maidah (5):
44, 45, 47.
c. Sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab
Allah yang sebelumnya, sebagaimana tercantum dalam Q.s. alMaidah (5): 48, 15; al-Nahl (16): 64, dan bernilai abadi.
Sebagai korektor, al-Qur`an banyak mengungkapkan
persoalan-persoalan yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil dan
lain-lain yang dinilai oleh al-Qur`an tidak sesuai dengan ajaran
Allah yang sebenarnya. Baik menyangkut segi sejarah orang-orang
tertentu,
hukum-hukum,
prinsip-prinsip
ketuhanan,
dan
sebagainya. Sebagai contoh koreksi-koreksi yang dikemukakan alQur`an antara lain sebagai berikut:
1). Tentang ajaran Trinitas, tercantum dalam Q.S. al-Maidah (5): 75.
2). Tentang Isa, tercantum dalam Q.S. Ali Imran (3): 49, 59; alMaidah (5): 72.
3). Tentang penyaliban Isa, tercantum dalam Q.S. al-Nisa (4): 157,
158.
4). Tentang ajaran Sulaiman, tercantum dalam Q.s. al-Baqarah (2):
102.
5). Tentang ajaran Harun, tercantum dalam Q.s. Thaha (20): 90-94,
dan lain-lain.
d. Sarana peribadatan
Al-Qur`an merupakan sarana peribadatan yang sangat tinggi
nilainya, karena dengan membaca al-Qur`an saja Allah akan
memberikan pahala yang berlipat ganda, apalagi kalau
mengamalkan kandungannya.
Mengenai pahala orang yang membaca dan mendengarkan
al-Qur`an dinyatakan oleh Allah dalam Q.S. al-A`raf (7): 204, yang
artinya: Dan apabila dibacakan al-Qur`an maka dengarkanlah
baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat
rahmat.
Al-Qur`an adalah bacaan yang paling baik bagi orang yang
beriman, karena di samping mendapat pahala yang berlipat
ganda, juga dapat menjadi obat dan penawar bagi orang yang
gelisah jiwanya.
Ibnu Mas`ud berkata: Jika jiwamu gelisah, maka bawalah
hatimu ke tiga tempat, yaitu: 1) ke tempat orang yang membaca
al-Qur`an, engkau baca al-Qur`an atau engkau dengar baik-baik
orang yang membacanya; 2) engkau pergi ke majelis pengajian
yang mengingatkan hatimu ke pada Allah; dan 3) engkau cari
waktu atau tempat yang sunyi, di sana engkau berkhalwat
menyembah Allah; umpamanya di waktu tengah malam buta, di
saat orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan
shalat malam minta kepada Allah ketenangan jiwa, ketenteraman

fikiran dan kemurnian hati; seandainya jiwamu belum juga diberi


hati yang lain, sebab hati yang engkau pakai itu, bukan hatimu
lagi.
c. Penyempurnaan kitab-kitab Allah terdahulu
Kitab-kitab Allah sebelum al-Qur`an, tidak berlaku universal,
hanya sesuai dengan masa dan tempat di mana kitab-kitab itu
diturunkan. Karena itu, al-Qur`an datang untuk menyempurnakan,
sebagaimana firman Allah dalam Q.s. al-Maidah (5): 3, yang
artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu
dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuredhai
Islam jadi agamamu.
Berdasarkan penegasan al-Qur`an tersebut, ditambah
dengan kenyataan obyektif dari kitab-kitab Allah sebelum alQur`an yang sudah diinterpolasi oleh manusia, maka kita tidak
boleh lagi beriman kepada apa yang dinamakan kitab Zabur,
Taurat dan Injil yang ada di permukaan bumi kita dewasa ini.
Iman kepada kitab-kitab Allah sebelum al-Qur`an itu, hanya
berarti kitab wajib percaya bahwa sebelum al-Qur`an Allah telah
pernah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para Nabi dan RasulNya; tidak mengharuskan kita untuk mengikuti ajarannya, sebab ia
telah mansukh (terhapus) dan digantikan oleh ajaran al-Qur`an.
Dengan demikian; al-Qur`anlah satu-satunya kitab suci yang wajib
kita imani dan kita ikuti ajarannya sebagai jalan keselamatan yang
sesungguhnya.
3. Sejarah Kodifikasi al-Qur`an
Allah menjamin kemurnian dan kesucian al-Qur`an (lihat Q.S.
al-Hijr, 15:9), akan selamat dari usaha-usaha pemalsuan,
penambahan dan pengurangan-pengurangan.
Di samping itu, dalam catatan sejarah, juga dapat dibuktikan
bahwa proses penulisan dan kodifikasi al-Qur`an dapat menjamin
kesuciannya secara meyakinkan.
Al-Qur`an telah selesai ditulis sejak Nabi masih hidup. Begitu
wahyu turun kepada Nabi, beliau langsung memerintakan para
sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati.
Begitu mereka ditulis, mereka juga menghafalnya sekaligus
mengamalkannya.
Pada awal pemerintahan khalifah Abu Bakar al-Shiddiq atas
inisiatif Umar Ibnu Khattab al-Qur`an telah dikodifikasi menjadi
sebuah mushaf oleh Zaid bin Tsabit; berdasarkan alasan adanya
peristiwa perang Yamamah yang menewaskan 70 penghafal alQur`an, sehingga dikhawatirkan jika peristiwa itu berlanjut
penghafal
al-Qur`an
akan
punah/langka
yang
dapat
mengakibatkan hilangnya keaslian dan kemurnian al-Qur`an.
Al-Qur`an hasil kodifikasi Zaid bin Tsabit itu diserahkan
kepada khalifah Abu Bakar dan tetap di tangan Abu Bakar sampai
ia meninggal, kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khattab
dan tetap ada di sana selama pemerintahannya. Sesudah beliau
wafat Mushaf (al-Qur`an) itu dipindahkan ke rumah Hafsah, putri
Umar, istri Rasulullah saw. sampai masa kodifikasi al-Qur`an di
zaman khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan timbul
pertikaian tentang qiraat (bacaan) al-Qur`an. Kalau pertikaian
tersebut dibiarkan saja, akan mendatangkan peselisihan dan
perpecahan yang tidak diinginkan di kalangan kaum muslimin.
Karena itu, Utsman bin Affan berupaya untuk menghilangkan

pertikaian tersebut dengan jalan menulis kembali al-Qur`an


dengan memakai lahjah (dialek) aslinya yaitu lahjah bahasa Arab
Quraisy. Untuk itu, Utsman bin Affan membentuk lajnah (panitia)
penulis dan kodifikasi al-Qur`an, yang diketahui oleh Zaid bin
Tsabit, anggotanya adalah Abdullah bin Zubair, Sa`id bin `Ash dan
Abd. al-Rahman bin Haris bin Hisyam.
Tugas panitia ini ialah mengkodifikasi al-Qur`an, yakni
menyalin dari mushaf yang disimpan di rumah Hafsah menjadi
sebuah mushaf yang berdialek bahasa Arab Quraisy. Hasil
kodifikasi panitia ini, sebanyak lima buah mushaf. Empat buah
diantaranya dikirim ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah (masingmasing satu buah mushaf), dan satu buah ditinggalkan di Madinah,
untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan Mushaf alImam.
Mushaf-mushaf al-Qur`an tersebut tidak berbaris dan tidak
bertitik. Tetapi, karena telah mempergunakan dialek Qurisy, maka
pada umumnya orang Quraisy dapat membacanya dan mengerti
kandungannya. Namun, setelah masuknya orang-orang di luar
Jazirah Arab ke dalam Islam, maka mulai timbul kesalahfahaman
dalam membaca dan mengartikan al-Qur`an sehingga timbul
usaha untuk melengkapi dan menyempurnakan penulisannya dan
penyeragaman bacaannya. Usaha itu dilakukan oleh Abu Aswad alDualy dengan membuat tanda baca yaitu memberi baris akhir
kalimat dengan satu titik di atas (a), satu titik di bawah (1), satu
titik samping (u), dan dua titik untuk tanda dua baris.
Usaha selanjutnya, dilakukan oleh Nashir bin Ashim dengan
memberi titik pada huruf al-Qur`an; dan kemudian disempurnakan
oleh al-Khalil bin Ahmad dengan memberi baris secara sempurna,
yaitu huruf waw yang kecil di atas untuk tanda dhammah, huruf
alif kecil untuk tanda fathah, huruf ya kecil untuk tanda kasrah,
kepala huruf syin untuk tanda sy`iddah, kepala huruf ha untuk
sukun, dan kepala huruf `ain untuk hamzah. Kemudian tandatanda ini dipermudah, dipotong dan ditambah sehingga menjadi
bentuk yang ada sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, timbul usaha untuk
menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur`an, sehingga muncul
terjemahan dan menafsirkan al-Qur`an menurut bidang ilmu;
bahkan kini muncul pembahasan al-Qur`an menurut disiplin ilmu
yang ada dengan mengumpulkan semua ayat yang ada
hubungannya dengan disiplin ilmu tersebut. al-Qur`an pertama
kali dicetak pada tahun 1644 di Hamburg (Jerman).
Dewasa ini,
al-Qur`an
telah
mampu
menunjukkan
kehebatannya serta keasliannya, dan mampu pula menjadikan
dirinya sebagai pegangan dan rujukan pelbagai ilmu pengetahuan,
berdasarkan adanya kesadaran manusia bahwa al-Qur`an adalah
kitab Allah yang asli serta penuh dengan kandungan ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Salah satu faktor yang dapat mendukung keaslian dan
kehebatan al-Qur`an ialah perjanjian sejarah kodifikasi al-Qur`an
yang sangat meyakinkan serta dukungan kemudahan penerimaan
al-Qur`an dari generasi ke generasi serta penghafalan al-Qur`an
dari zaman ke zaman yang berfungsi sebagai kontrol yang sangat
meyakinkan terhadap keaslian al-Qur`an tersebut.
Di samping itu, faktor yang turut mendukung keaslian al-Qur`an
adalah karena al-Qur`an mengandung sistem tasyrik yang sangat

indah, yaitu (1) thabi`iyah (bersifat alami), (2) ma`qul (bersifat logis),
(3) wawathan (bersifat tengah-tengah, tidak ekstrim), (4) dinamik
tidak bersifat statis, yakni senantiasa mendorong ke arah kemajuan,
(5) realistis tidak utopis,
yakni berdasarkan kenyataan, tidak
menghayal dalam mengemukakan sesuatu.
4. Kandungan al-Qur`an
Al-Qur`an mengandung beberapa pokok persoalan, kesemuanya
tercakup dalam surah al-Fatihah, antara lain meliputi:
a. Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Hari
Kemudian, Qadha dan Qadar, dan sebagainya.
b. Prinsip-prinsip syari`ah, baik mengenai ibadah khusus, seperti
shalat, zakat, puasa dan haji; maupun mengenai ibadah umum,
seperti
perekonomian,
pemerintahan,
pernikahan,
kemasyarakatan, dsb.
c. Janji dan ancaman (tabsyir dan tandzir), yaitu janji terhadap orang
yang berbuat baik dengan balasan kebaikan (syurga), dan
ancaman terhadap orang yang berbuat dosa/kejahatan dengan
balasan siksa (neraka).
d. Kisah para Nabi/Rasul Allah serta umat-umat terdahulu, guna
menjadi I`tibar (perhatian) bagi kita, agar kita dapat mengambil
pelajaran daripadanya.
e. Konsep ilmu pengetahuan, baik pengetahuan tentang masalah
ketuhanan (agama), manusia, masyarakat, maupun pengetahuan
tentang alam semesta.
B. AL-SUNNAH/AL-HADITS
1. Pengertian al-Sunnah/al-Hadits
Secara etimologis, sunnah berarti jalan atau tradisi,
kebiasaan, adat istiadat; dapat juga berarti undang-undang atau
peraturan yang tetap berlaku, cara yang diadakan, jalan yang
telah dijalani, keterangan.
Sedangkan hadits secara etimologi berarti berita atau
khabar, seperti : falya`tu bihaditsin mitslihi; dekat, seperti: hadits
sl-ahl bi al-Islam; baru, seperti : Allah Qadim mustahil Hadits.
Secara terminologi, al-Sunnah dan al-Hadits dianggap
identik, yaitu perbuatan, perkataan dan taqrir (keizinan) Nabi
Muhammad saw.
Ada yang berpendapat, antara al-Sunnah dengan al-hadits
berbeda dari segi penggunaannya, tetapi tidak berbeda dalam
tujuannya.
2. Kedudukan al-Sunnah
Al-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah
al-Qur`an. Setiap orang yang beriman kepada al-Qur`an sebagai
sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus pula beriman
kepada al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam juga. Banyak ayatayat al-Qur`an yang dapat dijadikan alasan yang pasti tentang hal
ini, misalnya:
a. Setiap mukmin harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya (Q.s.alNisa, (4):59).
b. Kepatuhan kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah
(Q.s. Ali Imran, (3): 31).
c. Orang yang menyalahi sunnah akan mendapatkan siksa (Q.s.
al-Anfal, (8): 13).
d. Berhukum dengan Sunnah adalah ciri orang yang beriman (Q.s.
al-Nisa, (4): 65).

Apabila Sunnah/Hadits tidak berfungsi sebagai sumber


hukum, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan-kesulitan
sebagai berikut:
a. Kesulitan
dalam
melaksanakan
shalat,
ibadah
haji,
mengeluarkan zakat, dan lain sebagainya; karena ayat-ayat alQur`an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan
umum, dan yang menjelaskan secara terperinci adalah
Sunnah/Hadits.
b. Kesulitan dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak,
muhtamal dan sebagainya, yang mau tidak mau memerlukan
Sunnah untuk menjelaskannya; karena apabila penafsiran
terhadap ayat-ayat seperti itu hanya didasarkan kepada
pertimbangan rasio, maka akan melahirkan penafsiran yang
sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
c. Kesulitan dalam hal mengikuti pola hidup Nabi, karena pola
hidup Nabi hanya dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya.
Pada hal kewajiban mengikuti pola hidup Nabi adalah perintah
al-Qur`an.
d. Kesulitan dalam hal menghadapi masalah kehidupan yang
bersifat teknis, karena adanya peraturan-peraturan yang
diterangkan oleh Sunnah/Hadits yang tidak ada dalam alQur`an, seperti kebolehan memakan bangkai ikan dan belalang,
yang dalam al-Qur`an bangkai itu haram.
3. Hubungan al-Sunnah dengan al-Qur`an
Dalam hubungannya dengan al-Qur`an maka al-Sunnah
berfungsi sebagai berikut:
a. Bayan tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum,
mujmal dan musytarak. Seperti hadits: Shalluw kama
raaitumuni ushalli (shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihatku shalat), adalah merupakan tafsiran daripada ayatayat al-Qur`an yang umum, yaitu Aqimuw al-shalah
(kerjakanlah shalat).
b. Bayan taqrir, yaitu memperkokoh dan memperkuat pernyataan
al-Qur`an. Seperti Hadits yang berbunyi: Shuwmuw li ru`yatihi
wa afthiruw li ru`yathi (berpuasalah karena melihat bulan dan
berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat alQur`an surah al-Baqarah (2):185).
c. Bayan tawdhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu
ayat al-Qur`an, seperti pernyataan Nabi: Allah tidak
mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik hartahartamu yang sudah dizakati; adalah tawdhih (penjelasan)
terhadap ayat al-Qur`an dalam surah al-Taubah (9): 34.
4. Perbedaan al-Qur`an dan al-Hadits sebagai Sumber Hukum
Sekalipun al-Qur`an dan al-Hadits sama-sama sebagai sumber
hukum Islam, namun di antara keduanya terdapat perbedaanperbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai berikut:
a. Al-Qur`an adalah qath`i (mutlak) nilai kebenarannya,
sedangkan al-Hadits adalah dhanni (relatif), kecuali hadits
mutawatir.
b. Seluruh ayat al-Qur`an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup,
sedangkan hadits tidak seluruhnya dapat dijadikan sebagai
pedoman hidup; karena di samping ada hadits yang tasyri
ada juga hadits yang ghairu tasyri, di samping ada hadits
yang shahih ada pula hadits yang dha`if dan seterusnya.
c. Al-Qur`an sudah pasti autentik lafadz dan maknanya,
sedangkan hadits tidak.

d. Apabila al-Qur`an berbicara tentang masalah-masalah aqidah


atau hal-hal yang gaib, maka setiap muslim wajib
mengimaninya. Tetapi, tidak harus demikian apabila masalahmasalah tersebut diungkapkan oleh hadis.
Berdasarkan
perbedaan-perbedaan
tersebut,
maka
penerimaan seorang muslim terhadap al-Qur`an hendaknya
didasarkan atas keyakinan yang kuat. Sedangkan penerimaannya
terhadap hadis harus didasarkan atas keragu-raguan (dugaandugaan) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi
ragu apakah hadits itu betul berasal dari Nabi atau tidak, karena
adanya proses sejarah kodifikasi hadits yang tidak cukup
memberikan jaminan keyakinan, sebagaimana jaminan keyakinan
terhadap al-Qur`an.
5. Sejarah Singkat Perkembangan al-Hadits
Para muhadditsin membagi perkembangan hadits itu kepada
tujuh periode, yaitu:
a. Periode wahyu dan pembentukan hukum (masa Nabi: 13 SH 10
H).
Pada periode ini, Nabi melarang menulis hadits secara umum,
karena dikhawatirkan terjadinya percampuran antara al-Qur`an
dengan hadits (pendapat umum). Menurut Dr. Quraisy Shihab,
M.A., larangan tersebut disebabkan karena kurangnya fasilitas
dan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk menulis, serta
kurangnya sahabat yang dapat menulis . Nabi hanya
memperkenanankan menulis hadits secara pribadi bagi
Abdullah Ibn Amr Ibn Hazm.
b. Periode pembatasan riwayat (masa al-Khulafa al-rasyidin : 11
40 H).
Pembatasan riwayat (kisah israiliyat) dilakukan oleh para
sahabat Nabi waktu itu, guna mencegah kemungkinan
timbulnya hadits palsu, sedangkan perhatian mereka
difokuskan kepada kodifikasi al-Qur`an.
c. Periode pencarian hadits (masa generasi tabi`in dan sahabatsahabat muda: 41-akhir abad I H).
Pada masa ini ekspansi kekuasaan Islam sangat meluas,
sehingga umat Islam banyak menghadapi persoalan baru yang
belum tegas dalam al-Qur`an, karena itu hadist Nabi sangat
dibutuhkan untuk mendampingi al-Qur`an, maka sahabatsahabat muda berupaya untuk mencari dan mengumpulkan
hadits-hadits Nabi sebagai langkah awal kodifikasi hadits pada
periode berikutnya.
d. Periode kodifikasi atau pembukuan hadits (permulaan abad II
H).
Hadits-hadits yang berhasil dikumpulkan pada periode
sebelumnya, kemudian dikodifikasi pada periode ini atas
inisiatif Umar Ibn Abd al-Azi, khalifah yang kedelapan dari
Dinasti Umayyah.
e. Periode penyaringan dan seleksi hadits (awal abad III H sampai
selesai)
Masa ini merupakan masa keemasan dari perkembangan hadits
Nabi, karena pada masa inilah munculnya berbagai disiplin ilmu
hadits, dan munculnya hadits-hadits Nabi yang dapat dijadikan
hujjah (dalil) serta hadits-hadits yang tidak dapat dijadikan
hujjah, sebagai hasil ijtihad dari pada ulama hadits. Berbagai
kitab hadits telah berhasil disusun oleh ulama selektor hadits

6.
a.

b.

c.

pada masa ini, misalnya: kitab al-shahihain, rawah al-khamsah,


kutub al-sittah dan rawah al-sab`ah, dan seba-gainya.
f. Periode penyusunan kitab-kitab koleksi hadits (awal abad IV H
sampai jatuhnya Bagdad pada tahun 656 H atau 1258 M.)
g. Periode pembuatan kitab syarah dan takhrij hadits serta
penyusunan kitab-kitab koleksi hadits yang lebih umum, yang
dilakukan oleh ulama-ulama hadits dan fiqh sesudah jatuhnya
Bagdad (656 H) sampai masa renaissance dalam pemikiran
ajaran Islam, dan masih berlangsung sampai sekarang ini.
Macam-Macam Hadits
Dari segi bentuknya, hadits dapat dibagi tiga macam:
1). Hadits qauly yaitu hadits yang berbentuk perkataan Nabi.
2). Hadits fi`ly yaitu hadits yang berbentuk perbuatan Nabi.
3). Hadits taqriry yaitu hadits yang berbentuk keizinan atau
ketetapan Nabi. Yakni apabila Nabi menyaksikan perbuatan
sahabatnya, sedang beliau tidak menegurnya, maka diamnya
Nabi tersebut dianggap sebagai keizinan Nabi terhadap
perbuatan tersebut.
Dari segi jumlah orang yang meriwayatkannya, hadits dapat dibagi
tiga macam:
1). Hadits mutawatir, ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang
banyak kepada orang banyak, yang menurut akal sehat tidak
mungkin mereka bersepakat dusta serta disampaikan dengan
jalan indera.
2). Hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang
banyak kepada orang banyak, tetapi tidak sampai kepada
derajat mutawatir, baik dari segi jumlahnya, maupun karena
tidak disampaikan dengan jalan indera.
3). Hadits ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau
lebih, tetapi tidak sampai kepada derajat masyhur.
Dari segi kualitasnya, hadits dapat dibagi empat macam:
1). Hadits sahih, yaitu hadits yang sehat dari segi sanad dan
matannya, diriwayatkan oleh orang yang baik, kuat hafalannya,
jujur, adil dan bijaksana.
2). Hadits hasan, yaitu hadits yang memenuhi persyaratan hadits
sahih, kecuali dari hafalan, pembawanya kurang kuat
hafalannya.
3). Hadits dha`if, yaitu hadits yang lemah, baik karena terputus
sanadnya atau salah seorang pembawanya kurang baik atau
karena terdapat cacat di dalamnya.
4). Hadits maudhu`, yaitu hadits palsu, yakni hadits yang dibuat
oleh seseorang dan dikaitkan sebagai sabda atau perbuatan
Nabi.
Berdasarkan hasil penelitian para ulama hadits dari kalangan
Sunni, mereka sepakat menetapkan bahwa kitab Sahih Bukhari
dan Sahih Muslim sebagai kitab hadits yang mempunyai nilai
tertinggi, kemudian diikuti oleh kitab Sunan Tirmizi, Musnad Imam
Ahmad.

7. Masalah Hadits-hadits Maudhu` (palsu)


Munculnya hadits palsu di kalangan masyarakat Islam
disebabkan oleh motif-motif sebagai berikut:
a. Karena politik dan kepemimpinan
b. Karena fanatisme golongan dan bahasa
c. Karena kejahatan untuk sengaja mengotori ajaran Islam

d. Karena dorongan untuk berbuat baik, tetapi bodoh tentang


agama
e. Karena keanehan-keanehan sejarah dan lain-lain
e. Karena soal-soal fiqh dan pendapat dalam bidang ilmu kalam
atau teologi.
f. Dan lain-lain
Sesuatu hadits dapat diketahui palsu, bilamana hal-hal berikut
diketahui pula, yaitu:
a. Pengakuan pembuatnya
b. Perawinya sudah terkenal sebagai pembuat hadits palsu
c. Matan (isi)nya bertentangan dengan akal pikiran yang sehat
d. Matannya bertentangan dengan ketentuan agama, aqidah Islam
e. Matannya bertentangan dengan agama yang sudah qath`I
(mutlak)
f. Matannya mengandung obral pahala dengan amal yang sangat
sederhana
g. Matannya bertentangan dengan fakta sejarah
h. Matannya mengandung kultus individu.
C. AL-IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, kata ijtihad berasal dari bahasa Arab, yaitu
dari kata ijtihada, artinya mencurahkan tenaga, memeras pikiran,
berusaha sungguh-sungguh, bekerja semaksimal mungkin.
Maksudnya pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan
sesuatu.
Secara terminologi, ijtihad ialah usaha yang sungguhsungguh oleh seseorang (beberapa orang) ulama yang memiliki
syarat-syarat tertentu, untuk merumuskan kepastian hukum
tentang sesuatu (beberapa) perkara tertentu yang belum
ditetapkan hukumnya secara eksplisit dalam al-Qur`an dan alSunnah. Atau dengan kata lain, ijtihad adalah penggunaan akal
sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu kepastian hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Qur`an
dan al-Sunnah.
Menurut Mahmud Syaltut, ijtihad atau al-ra`yu mencakup
dua pengertian, yaitu:
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang
tidak ditentukan secara eksplisit oleh al-Qur`an dan al-Sunnah.
b. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan
mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits.
Dasar untuk melaksanakan ijtihad adalah al-Qur`an antara
lain ayat 48 surah al-Maidah, dan beberapa hadits Nabi antara lain
hadits tentang dialog Nabi dengan Mu`adz Ibn Jabal ketika ia
diangkat oleh Nabi menjadi gubernur Yaman.
2. Lapangan Ijtihad
Secara ringkas, lapangan ijtihad dapat dibagi tiga perkara,
yaitu:
a. Perkara yang sama sekali tidak ada nashnya (ketentuannya)
dalam al-Qur`an dan Sunnah
b. Perkara yang ada nashnya, tetapi tidak qath`I wurud dan
dalalahnya (zhanny)
c. Perkara hukum yang baru tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.

Pembatasan lapangan ijtihad seperti ini sama dengan apa yang


diikuti oleh sistem hukum positif, karena selama undang-undang
menyatakan dengan jelas, maka tidak boleh ada penakwilan dan
perubahan terhadap nash-nashnya dengan dalil bahwa jiwa
undang-undangnya menghendaki adanya perubahan tersebut,
sekalipun seandainya hakim (mujtahid) sendiri berpendapat bahwa
undang-undang tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan karena
sumber undang-undang tersebut adalah majelis perundangundangan sendiri, sedang wewenang hakim (mujtahid) hanya
terbatas pada pemberian keputusan berdasarkan undang-undang
tersebut bukan untuk mengadili undang-undang itu sendiri.
Perlu diketahui, bahwa ijtihad seorang mujtahid tidaklah selalu
sama dengan hasil mujtahid lainnya. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:
a. Perbedaan pengkajian dan lingkungan suatu dalil dan sistem
yang dipakainya.
b. Situasi masyarakat dan lingkungan di mana seorang mujtahid
itu tinggal. Hal ini sangat mempengaruhi seorang mujtahid di
dalam berijtihad.
c. Sejauhmana kebijaksanaan dan wawasan ilmu Islam yang
dimiliki oleh orang mujtahid.
3. Pembagian Ijtihad
Secara garis besarnya, ijtihad dapat dibagi kepada dua bagian,
yaitu ijtihad fardi (individual) dan ijtihad jama`I (kolektif).
Ijtihad fardi ialah: setiap ijtihad yang dilakukan oleh perorangan
terhadap suatu perkara dan belum ada keterangan bahwa semua
mujtahid lain menyetujuinya.
Ijtihad semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh Rasulullah
kepada Mu`az ketika Rasul mengutus beliau untuk menjadi qadhi
di Yaman. Dan sesuai pula ijtihad yang pernah Umar bin Khattab
katakan kepada Abu Musa al-Asy`ari, kepada Syuraih, di mana
Umar dengan tegas mengatakan kepada Syuraih: Apa-apa yang
belum jelas bagimu di dalam al-Sunnah, maka berijtihadlah
padanya dengan menggunakan daya pikiranmu. Dan kata Umar
kepada Abu Musa al-Asy`ari: Kenalilah penyerupaan-penyerupaan
dan tamsilan-tamsilan dan qiyaskanlah segala urusan sesudah itu.
Ijtihad jama`i ialah: semua ijtihad dalam sesuatu perkara yang
disepakati oleh semua mujtahidin.
Ijtihad semacam inilah yang dimaksud oleh hadits Ali pada
waktu beliau menanyakan kepada Rasul tentang sesuatu urusan
yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya
dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Ketika itu Nabi bersabda:
Kumpulkanlah orang-orang berilmu dari orang-orang mukmin
untuk menghadapi masalah itu, dan jadikanlah masalah itu
sebagai bahan musyawarah di antara kamu dan janganlah kamu
memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang.
Contoh dari ijtihad jama`i ialah kesepakatan sahabat Nabi
mendukung/ mengakat Abu Bakar sebagai khalifah dan
kesepakatan mereka terhadap tindakan Abu Bakar yang menunjuk
Umar sebagai penggantinya. Juga kesepakatan mereka menerima
anjuran Umar supaya al-Qur`an ditulis di dalam mushaf, pada hal
yang demikian itu belum pernah dilakukan di masa Rasul.
Kedua macam ijtihad di atas dibenarkan oleh syara` dan
dihargainya dengan tinggi.

4. Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur`an dan al-Sunnah, ijtihad, sebagai
sumber Islam yang ketiga, terkait dengan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat
melahirkan keputusan yang absolut. Sebab ijtihad merupakan
aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk
pikiran manusia yang relatif, maka keputusan daripada suatu
ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin
berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain.
Berlaku untuk satu masa, tempat tapi tidak berlaku pada
masa/tempat yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan ibadah mahdhah. Sebab
urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasul-Nya.
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur`an
dan al-Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktorfaktor motivasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan
bersama dan lain-lain yang menjadi ciri dan jiwa daripada
ajaran Islam.
5. Syarat-syarat dan Tindakan Mujtahid
a. Syarat-syarat mujtahid
Seorang yang akan menjadi mujtahid haruslah memenuhi
beberapa syarat, antara lain:
1). Menguasai bahasa Arab
2). Menguasai isi al-Qur`an dan Ulum al-Qur`an (ilmu-ilmu alQur`an)
3). Menguasai hadits-hadits Nabi dan Ulum al-Hadits (ilmu alQur`an)
4). Menguasai kaidah-kaidah fiqi (usul al-fiqhi)
5). Mengetahu rahasia dan tujuan hukum Islam
6). Menguasai hasil-hasil ijtihad ulama terdahulu
7). Menguasai ilmu pengetahuan modern
8). Jujur dan ikhlas
9). Menguasai hukum-hukum berpikir (logika dan dialektika).
Syarat-syarat tersebut, dimaksudkan adalah yang berkenan
dengan masalah yang akan diijtihadkan oleh mujtahid itu
sendiri.
b. Tingkat Mujtahid
Bila dilihat dari segi kepribadian dan kebebasan serta
ketergantungan seorang mujtahid dengan mujtahid-mujtahid
yang lain, maka para mujtahid itu dapat dibagi menjadi
beberapa tingkatan, yaitu:
1). Mujtahid mutlak, yaitu imam-imam dalam mazhab dan
fuqaha-fuqaha lain yang mengikuti cara mereka dalam
mengambil hukum dari dua sumber pokok yaitu al-Qur`an
dan al-Sunnah.
2). Mujtahid mazhab, yaitu kawan-kawan atau murid Imamimam tersebut (imam mujtahid mutlak), yang boleh jadi
dalam beberapa persoalan kecil mereka bisa berbeda
pendapatnya
dengan
imam-imam
tersebut,
tetapi
bagimanapun juga tidak menyimpang dari dasar-dasar
hukum yang ditetapkan oleh mereka.

3). Mujtahid terbatas, yaitu di mana ijtihadnya terbatas dalam


persoalan-persoalan yang sudah dibicarakan, maka tidak
dibahas lagi.
4). Ahli takhrij, yaitu ijtihadnya hanya terbatas dalam mencari
alasan-alasan, pendapat-pendapat dalam mazhab untuk
mengilangkan kejanggalan dan kesamaran. Jadi ia hanya
menguaraikan pendapat yang belum jelas.
5). Ahli tarjih, yaitu mereka yang memperbandingkan antara
pendapat-pendapat yang berbeda-beda dan yang diterima
dari imam-imam mereka kemudian menguatkan salah
satunya, karena lebih kuat riwayatnya atau lebih sesuai
dengan qiyas, atau lebih mencerminkan rasa keahlian.
6). Fuqaha taqlid semata-mata, tanpa mengadakan usaha-usaha
penguatan atau pemilihan antara pendapat-pendapat yang
berbeda-beda.
6. Metode Berijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para mujtahid telah membuat
metode-metode, antara lain sebagai berikut:
a. Qiyas = reasoning by analogy, yaitu menetapkan sesuatu
hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh alQur`an al-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu
yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur`an atau alSunnah karena ada ilat (sebab) yang sama. Contoh: Menurut
al-Qur`an surah al-Jum`ah (62) : 9, seseorang dilarang jual beli
pada saat mendengar azan jum`at. Bagaimana hukumnya
perbuatan-perbuatan lain (selain jual beli) yang dilakukan pada
saat mendengar azan jum`at ?
Dalam al-Qur`an dan al-Sunnah, hal itu tidak dijelaskan, maka
dalam hal ini, ulama berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu,
kalau jual beli dilarang karena dapat mengganggu shalat
jum`at, maka demikian pula halnya dengan perbuatanperbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat jumat juga
dilarang.
Selain itu, Rasul Allah saw. pernah memberi contoh dalam
menentukan hukum dengan dasar qiyas tersebut. Yaitu ketika
Umar bin Khattab berkata kepada Rasul Allah saw.: Hari ini saya
telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium isteri,
padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul:
bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang
berpuasa ? Jawab Umar: tidak apa-apa. Sabda Rasul: kalau
begitu teruskanlah puasamu.
b. Ijma` = konsensus = ijtihad kolektif, yaitu persepakatan ulamaulama Islam dalam menentukan hukum sesuatu masalah
ijtihadiyah.
Ketika Ali Ibn Abi Thalib mengemukakan kepada Rasul Allah
saw. tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak
dibicarakan oleh al-Qur`an dan al-Sunnah, maka Rasul
menyatakan: kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian
jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah.
Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang
kemungkinan dapatnya dicapai atau tidak ijma` tersebut,
karena umat Islam sudah sangat besar dan berada di seluruh
pelosok bumi termasuk para ulamanya.
c. Istihsan = preference, yaitu menetapkan hukum sesuatu
persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran

Islam, seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Para ulama


menyebut istihsan ini sebagai qiyas khafi (analogi samar-samar)
atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan
qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan
umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih
salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek, maka
kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar
istihsan antara lain surah al-Zumar (39) : 18.
d. Mashalih al-Mursalah = Utility, yaitu menetapkan hukum
sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan
kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari`at.
Perbedaan antara istihsan dengan mashalih al-mursalah ialah:
istihsan mem-pertimbangkan dasar kemaslahatan (kebaikan)
itu dengan disertai dalil al-Qur`an atau al-Sunnah yang umum,
sedang
mashalih
al-Mursalah
mempertimnagkan
dasar
kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil secara
eksplisit dalam al-Qur`an atau al-Sunnah.
7. Ijtihad Dewasa ini
Banyak orang berpendapat bahwa pintu ijtihad sudah
tertutup. Pendapat ini tidak benar, karena permasalahanpermasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat, silih
berganti, dari hari ke hari bahkan dari saat ke saat, di mana
permasalahan-permasalahan tersebut perlu pemecahan hukum
yang pasti, kita mau kembali kepada nash-nash al-Qur`an atau alSunnah pun tidak ada. Oleh karena itu, maka ijtihad sangat perlu
dan sangat erat kaitannya dengan permasalahan-permasalahan
tersebut, sebab ijtihad pada dasarnya adalah daya upaya karya
otak para mujtahid untuk menemukan dalil hukum tentang
sesuatu masalah yang tidak jelas nashnya di dalam al-Qur`an dan
al-Sunnah.
Ulama ushul berkata: tanahi al-nushush wa `adamu tanahi alwaqai`i artinya: Nash-nash telah tiada, sementara peristiwa yang
harus diselesaikan nash semakin menjadi-jadi.
Lebih jelas lagi Imam Abu al-Hasan Muhammad Ibnu Yusuf
berkata: (terjemahan), sesungguhnya nash-nash agama walaupun
banyak, namun dia terbatas dalam arti tidak dapat menerima
tambahan lagi, sedangkan kejadian yang dihadapi manusia tidak
berkesudahan, untuk menghadapi kejadian-kejadian itu, perlu
kembali kepada ijtihad, maka dari itu ijtihad adalah satu hal yang
tidak dapat kita hindari di dalam menghadapi setiap
perkembangan.
Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan oleh ulamaulama Hambali bahwa tidak satu pun berlaku di dunia ini kecuali di
dalamnya ada orang-orang yang mampu berijtihad. Dengan
adanya orang tersebut, agama akan terjaga dan upaya pengacuan
agama pun dapat dicegah.
Imam Abu Zahrah berkata: kita tidak tahu siapa yang dapat
menutup pintu yang telah dibuka oleh Allah bagi perkembangan
akal dan pikiran manusia. Bila ada orang berkata pintu ijtihad
tertutup adalah pendapat yang tidak berdalil dan sama sekali tidak
dapat dibenarkan.
Pendapat tersebut di atas adalah benar berdasarkan hal-hal
berikut:
a. Beberapa ayat al-Qur`an memerintahkan agar manusia
menggunakan akalnya dengan bebas atau dengan kata lain
Islam menjamin hurriyat al-fikri wa al-aqli.

b. Al-Qur`an dan al-Sunnah memberikan bimbingan kepada


manusia supaya akal dan pikirannya tidak tersesat, dan juga
memerintahkan supaya selama hidupnya manusia selalu
mencari ilmu.
c. Al-Qur`an tetap utuh dan terpelihara untuk selamanya.
d. Bahan-bahan untuk memurnikan hadits dan sunnah Nabi
semakin lengkap.
e. Ilmu alat untuk berijtihad kian lengkap dan kian memberikan
kemudahan.
Semua hal tersebut menunjukkan bahwa Allah swt. senantiasa
membuka pintu ilmu dan hidayah-Nya bagi manusia, dan
menunjukkan bahwa pintu ijtihad itu tetap terbuka. Rasul Allah saw.
bersabda yang artinya:
Sesungguhnya Allah swt. akan membangkitkan di setiap penghujung
seratus tahun di tengah-tengah umat ini orang yang akan
membarukan agamanya. (H.R. Abu Daud di dalam sunnahnya dan alHakim di dalam al-Mustadrak, menurut al-Hafidh Abu al-Fadhi al-Iraqy
isnad hadits sahih).
Termasuk dalam pembaharuan (mujaddid) dan pembela yang haq
ini, ialah orang-orang yang mampu berijtihad.

Anda mungkin juga menyukai