Dalam surat kabar Jawa Pos tanggal 14 April 2014, terdapat artikel yang berjudul Waspadai Jual Beli Suara (2014:2). Pemilu baru saja diselenggarakan pada tanggal 9 April 2014. Perhitungan cepat (quick count) sudah menunjukkan perolehan suara parpol, secara riil suara yang didapat partai baru diketahui 30 hari setalah pencoblosan melalui perhitungan manual. Terkadang, terdapat perbedaan perolehan suara antara quick count dan perhitungan manual. Hal ini dimungkinkan karena terjadi adanya kecurangan. Kecurangan yang terjadi adalah praktik jual beli suara. Menurut Said, kecurangan ini sulit dideteksi. Kecurangan itu dilakukan dengan membeli suara parpol lain yang tidak lolos parliamentary threshold. Artinya antar calon pada nomor urut tertentu membeli suara dari teman separtai agar memperoleh suara terbanyak. Menurut saya, kecurangan dalam perhitungan suara itu adalah hal yang buruk. Kecurangan itu tentu saja merugikan seluruh masyarakat. Jika terjadi hal tersebut, berarti hasilnya tidak sesuai dengan pilihan masyarakat. Ini mencerminkan buruknya pemilihan umum di Indonesia. Seharusnya perhitungan suara harus adil dan tidak boleh ada kecurangan. Masyarakat bisa menjadi tidak percaya terhadap pemerintahan yang ada. Kecurangan dalam bidang politik terutama dalam pemilihan umum ini adalah hal yang sangat tidak terpuji. Parpol yang menang tidak sesuai dengan pilihan rakyat. Masalah ini adalah hal yang menarik. Masyarakat menjadi tahu bagaimana jual beli suara itu. Masyarakat disadarkan bahwa hak pilih yang dimiliki itu harus digunakan, sehingga tidak terjadi kecurangan dalam pemilu. Namun yang disayangkan adalah tidak adanya ajakan nyata bagi para masyarakat untuk menanggapi kasus kecurangan ini.