Anda di halaman 1dari 20

Pengaruh Medium N-8 dan Intensitas Radiasi terhadap Kinematika Pertumbuhan

Chlorella vulgaris di dalam Fotobioreaktor


Fathiyah Zahra, Isna Muflihah, dan Rahma Hanifah
Program Studi Rekayasa Hayati, Sekolah Ilmu Teknologi Hayati
Institut Teknologi Bandung
Jl. Winayamukti No.1, Sumedang, Jawa Barat
Email : sith@sith.itb.ac.id

Abstract
Growth kinematics of cell can be determined empirically by specifying various growth parameters,
such as rate of specific growth and doubling time. Kinetic cell measurement generally is initiated
through culturing process which is supported by an appropriate medium selection for supplying
continuous nutrients in order to arrive at some point in a growth phase. The influence of medium
appropriateness can promote growth and enhance cell biomass under a relatively short time because
of the abundance of specific macroelements and microelements confined in medium given a proper
controlled-diffusion process. Hence, secondary factors like agitation and medium homogenitation
upon the irradiance of light can affect cell growth kinematics. Upon the allocation of N-8 medium
with volume of 720 mL and solar irradiance with intensity of 1620 Lux to Chlorella vulgaris culture
in photobioreactor, the observed rate of specific cell growth and doubling time are 0,1535/day and
12,01 days, respectively. These results can be thoroughly identified within a certain time interval, so
the true growth parameters outcome is valid. Therefore, rate of specific cell growth and doubling time
should be further correlated with cell dry weight measurement.

Abstrak
Kinematika pertumbuhan suatu sel dapat diukur melalui paramater pertumbuhan tertentu, seperti
perhitungan laju pertumbuhan spesifik dan doubling time. Pengukuran nilai kinetika suatu sel
umumnya diinisiasi melalui proses pengulturan sel ke dalam suatu jenis medium tertentu yang
memberikan kebutuhan nutrisi yang sesuai untuk sel dalam melajutkan setiap titik pada fasa
pertumbuhannya. Pengaruh ketepatan medium dapat mendukung proses pertumbuhan dan
perbanyakan biomassa sel dalam jumlah waktu yang singkat karena kondisi pemenuhan makroelemen
dan mikroelemen dalam suatu medium melalui proses penyerapan (difusi) terkontrol dengan baik.
Selain itu, faktor pendorong seperti agitasi dan homogenisasi larutan medium serta pencahayaan dapat
mempengaruhi kinematika pertumbuhan sel. Melalui pemberian medium N-8 bervolume 720 mL dan
pencahayaan berintensitas 1620 Lux pada kultur Chlorella vulgaris di dalam fotobioreaktor dapat
dihasilkan nilai laju pertumbuhan spesifik sel bernilai 0,1535/hari dan doubling time yang bernilai
12,01 hari. Hal ini dapat diteliti lebih lanjut melalui pembuatan kurva laju pertumbuhan yang dibuat
berdasarkan absorbansi pada interval waktu tertentu sehingga hasil nilai berat kering sel dapat
teridentifikasi. Dengan demikian, nilai laju pertumbuhan spesifik dan doubling time merupakan
parameter kinetika tumbuh yang berkaitan dengan nilai berat kering sel.
Kata Kunci: Nutrisi; Makroelemen; Agitasi; Homogenisasi; Spesifik

1. PENDAHULUAN

Chlorella sp. adalah mikroalga yang


termasuk ke dalam golongan alga hijau.
Chlorella sp. adalah jenis tumbuhan yang
belum mempunyai akar, batang dan daun
sebenarnya, tetapi sudah memiliki klorofil
sehingga bersifat autotrof. Bentuk sel
Chlorella sp. bulat dengan garis tengan sel
antara 2-8 m. Chlorella sp. berkembang biak
dengan cara membelah diri dan pembentukan
spora (Wirosaputro, 2002).
Chlorella sp. merupakan salah satu
jenis alga dari divisi chlorophyta. Jenis
mikrolaga ini memiliki beberapa keistimewaan
dimana Chlorella sp. mampu bertahan
terhadap segala perubahan alam sejak zaman
pre-kambium karena punya ketahanan genetis
dengan mekanisme perubahan DNA yang
sangat tinggi, serta bentuk, ukuran, dan sifat
dinding sel yang tersusun dari senyawa
selulosa dan lignin yang kuat. Hal ini membuat
Chlorella sp. mudah menyesuaikan diri pada
cuaca ekstrem dan bisa bertahan terhadap
pengaruh luar dalam waktu lama yang
membuat Chlorella sp. dapat ditemukan di
perairan tropis, sub tropis, sampai kutub
sekalipun (Surawiria, 2005). Salinitas 10-20
ppt merupakan salinitas optimum untuk
pertumbuhan Chlorella sp. Sedangkan suhu
optimum untuk pertumbuhan Chlorella sp.
adalah pada suhu 250C-300C (Djarijah, 1995).
Saat ini sekitar 80% dari kebutuhan
energi di dunia berasal dari bahan bakar fosil.
Namun, penggunaan bahan bakar fosil yang
tinggi menyebabkan pencemaran lingkungan
yang tinggi juga (Hallenbeck and Benemann,
2002). Selain itu, bahan bakar fosil juga
merupakan bahan bakar yang sulit diperbarui,
membutuhkan berjuta-juta tahun untuk
mendapatkannya kembali. Mikroalga adalah
salah satu spesies yang saat ini dikenal
potensinya sebagai penghasil minyak yang
dapat diperbarui sebagai bahan untuk bahan
bakar seperti diesel dan bensin (Chisti, 2007,
2008; Hu, et al., 2008; Rittmann, 2008;
Greenwell, et al., 2010; Mata, et al., 2010;
Chisti & Yan, 2011; Chisti, 2012; Jones dan
Mayfield,
2012).
Mikroalga
dapat

mengkonversi cahaya matahari dengan


tambahan karbondioksida menjadi energi
biokimia melalui fotosintesis. Banyak yang
mengembangkan mikroalga secara komersial
(Becker, 1994; Spolaore, et al., 2006), namun
biasanya hanya untuk aplikasi bernilai tinggi.
Beberapa manfaat digunakannya alga,
yaitu alga merupakan salah satu sumber energi
terbarukan, dapat dikembangbiakkan, selain
itu berpotensi untuk mengurangi tingkat emisi
dari bahan bakar, bila dibandingkan dengan
kebanyakan tanaman, tingkat produktivitasnya
lebih tinggi, tidak menghabiskan banyak
tempat apabila menggunakan fotobioreaktor,
dapat menghindari degradasi tanah dan air
tanah, dapat menggunakan air yang tidak layak
konsumsi, sehingga bermanfaat juga untuk
mengolah air limbah dan memanfaatkan area
sehingga lebih produktif, serta merupakan
sumber energi yang tidak berkompetisi dengan
sumber makanan (Becker, 1994).
Salah satu mikroalga yang saat ini
banyak dimanfaatkan untuk memfiksasi CO 2
adalah Chlorella vulgaris. Chlorella vulgaris
memiliki efisiensi hampir 8% dan memiliki
kandungan klorofil hingga 28,9 gram/kg berat
biomassa, paling tinggi jika dibandingkan
dengan seluruh mikroalga hijau bahkan
tumbuhan tingkat tinggi di dunia (Dianursanti,
2009). Oleh karena itu, Chlorella vulgaris
dapat memfiksasi CO2 dalam jumlah yang
sangat besar. Selama berfotosintesis, Chlorella
vulgaris mempunyai kemampuan untuk
tumbuh dan berkembang biak dengan cepat
(Becker, 2004; Wirosaputro, 2002).
Mengingat banyaknya manfaat dari
Chlorella vulgaris, dibutuhkan komersialisasi
pembudidayaan mikroalga sehingga butuh
penelitian
lebih
lanjut
mengenai
pembudidayaan mikroalga yang efisien, salah
satunya
membudidayakan
dengan
fotobioreaktor. Fotosintesis membutuhkan
cahaya sebagai sumber energi. Hanya cahaya
yang berkisar antara 400-700 nm yang efektif
untuk fotosintesis (Goldman, 1979; Gonzlez
dan Calb, 2002). Kemampuan alga untuk

mendapatkan cahaya yang cukup pada sistem


kultur bergantung pada jumlah radiasi yang
diterima pada permukaan penerima cahaya,
konsentrasi sel pada broth dan rasio
permukaan dengan volume bioreaktor (Gordon

dan Polle, 2007). Fotobioreaktor memiliki


bagian periferal yang dapat disinari dengan
baik dan bagian gelap yang tidak produktif
(Molina, et al., 2000).

2. MATERIAL DAN METODE


2.1 Inisiasi Kultur Sel Chlorella vulgaris
Medium N-8 dibuat dengan dalam gelas kimia
1 L. Di tempat terpisah, Chlorella vulgaris
sebanyak 80 mL dimasukkan ke botol kultur
kapasitas 1 L, kemudian ditambahkan kedalam
medium N-8 sebanyak 800 mL yang dibuat
sebelumnya serta bubuk ammonia sebanyak
0,23 gram. Setelah itu pH kultur ini dicek
dengan pH-meter untuk memastikan agar pH
kultur Chlorella vulgaris berada dalam rentang
pH 5-7. Kemudian kultur dipelihara dengan
aerasi berkecepatan sedang dan diberi
penyinaran dengan intensitas 5.000 10.000
Lux dengan cahaya matahari atau lampu.
2.2 Material
Chlorella vulgaris dalam percobaan ini
diperoleh dan dikondisikan terlebih dahulu
oleh pihak Laboratorium Instruksional
Rekayasa Hayati Institut Teknologi Bandung.
Zat kimia yang digunakan terdiri dari garam
seignett, larutan NPK, dan pereaksi nessler
(KI, HgCl2 pekat, NaOH 30%, akuades)
Medium N-8 digunakan sebagai medium
tumbuh dengan komposisi nutrien yang terdiri
dari makronutrien (mg/L) sebagai berikut:
KNO3 1000; KH2PO4 740; Na2HPO4.2H2O
260; CaCl2.2H2O 13; Fe-EDTA 10;
MgSO4.7H2O 50; dan mikronutrien (mg/L)
sebagai berikut: Al2(SO4).18H2O 3,58;
MnCl2.4H2O 12,98; CuSO4.5H2O 1,83, dengan
penambahan 2,88 mM NH4NO3. Pencahayan
dilakukan dengan penyinaran oleh cahaya
matahari dan penggunaan lampu TL digunakan
apabila kondisi pencahayaan kultur sedang
kurang baik. Praktikum ini akan cukup banyak
menggunakan
spektrofotometer
dalam
pengamatan optical density (OD) kultur

Chlorella vulgaris dan penentuan konsentrasi


ammonia di akhir percobaan.
2.3 Kondisi Kultur
Apabila kultur sel C. vulgaris sangat
padat, harus dilakukan pengenceran berulang
(serial dilution) untuk mengurangi kepadatan
sel tersebut. Tujuan dari metode serial dilution
untuk memperkirakan konsentrasi (jumlah
koloni, organisme, bakteri, atau virus) dari
sampel yang tidak diketahui dengan
menghitung jumlah koloni yang dibiakkan dari
pengenceran serial sampel (Ben-David dan
Davidson, 2014).
Sumber bahan cairan (zat terlarut)
untuk setiap langkah berasal dari bahan
diencerkan
dari
langkah
pengenceran
sebelumnya. Dalam seri pengenceran total
faktor pengenceran pada setiap titik adalah
produk dari faktor pengenceran sendiri dalam
setiap langkah pengenceran (Lewiston, 2012).
Faktor pengenceran akhir (DF) = DF1 * DF2 *
DF3 dst.
Setelah
dilakukan
pengenceran,
pengondisian kultur C. vulgaris dilakukan
dengan memasangkan fotobioreaktor di tempat
yang disinari cahaya sedang dengan intensitas
radiasi sebesar 1620 Lux. Aerator dengan
kecepatan sedang dipasangkan melalui bagian
bawah bioreaktor untuk mengalirkan gas
karbon dioksida. Selang kecil dipasangkan
pada bagian penutup bioreaktor untuk
mengalirkan udara ke luar.

2.4 Analisis Berat Kering


25 mL sampel kultur Chlorella
vulgaris di dalam botol kultur bervolume 1 mL
ditambahkan dengan 1-2 gram pereaksi garam
seignette dan 0,5 mL pereaksi Nessler (KI,
HgCl2 pekat, NaOH 30%, dan air). Setelah itu
campuran dikocok, lalu didiamkan selama 10
menit sehingga sampel berubah warna menjadi
kekuningan. Sampel tersebut diukur dengan
spektrofotometer dengan panjang gelombang
420 nm. Konsetrasi ammonia dihitung
berdasarkan kurva standar serapan dari
konsentrasi ammonia yang sudah diketahui.
2.5 Evaluasi Pertumbuhan
Selama 3 minggu, kultur C. vulgaris
diamati untuk diukur pertumbuhannya melalui
tiga parameter, yakni berat basah, berat kering,
dan optical density (OD). Ketiga parameter ini
diukur secara triplo tiap kali pengamatan. Nilai
berat
basah
diperoleh
dengan
cara
memasukkan sampel kultur Chlorella vulgaris
sebanyak 15 mL ke dalam botol falcon
sebanyak 15 mL, kemudian disentrifuga
dengan kecepatan putaran 4500 rpm. Setelah
disentrifuga, supernatan dibuang hingga
diperoleh endapan yang telah terpisah. Berat
basah Chlorella vulgaris didapatkan setelah
mencari selisih berat falcon berisi Chlorella
vulgaris dengan berat falcon kosong yang
sudah ditimbang sebelumnya. Berat kering
didapatkan dengan memanaskan falcon yang
berisi endapan hasil sentrifuga sampel kultur
Chlorella vulgaris di dalam oven bersuhu 60
o
C selama 1 hari. Berat kering didapat setelah
menimbang falcon berisi Chlorella vulgaris
yang sudah tidak mengandung air dan
dikurangi dengan berat falcon murni. Uji
spektrofotometri
dilakukan
untuk
mendapatkan optical density (OD) sampel
kultur Chlorella vulgaris. Sekitar 15 mL
sampel kultur Chlorella vulgaris diambil dan
dimasukkan ke dalam kuvet untuk dibaca nilai
absorbansi pada panjang gelombang 680 nm
(Myers, et al., 2013).
Nilai OD yang didapat digunakan
untuk mencari berat basah dan berat kering

dengan memasukkannya kedalam kurva baku


yang telah dibuat sebelumnya menggunakan
seri pengenceran larutan stok dengan densitas
100%, 50%, 25%, 12,5% dan 6,25%. Seri
pengenceran tersebut digunakan dalam
menentukan nilai OD dengan bantuan
spektrofotometer pada panjang gelombang 680
nm. Lalu kurva baku dibuat dengan sumbu-Y
sebagai nilai OD dan sumbu-X sebagai nilai
persentase pengenceran. Selanjutnya masingmasing larutan seri diukur berat basah dan
berat keringnya untuk dibuat kurva baku berat
basah dan berat kering dengan menggantikan
OD pada sumbu-Y.
Selain itu, intensitas radiasi cahaya
matahari yang diberikan pada proses
pengulturan diukur secara berkala dengan flux
meter.
2.6 Analisis Parameter Pertumbuhan
2.6.1. Indeks Pertumbuhan
Berat basah dan kering diukur dari
biomasa total. Indeks pertumbuhan (GI) adalah
estimasi relatif kapasitas yang berkorelasi
dengan data biomassa pada saat pengambilan
sampel pada kondisi awal. Hal ini dihitung
sebagai rasio akumulasi dan biomassa awal.
Akumulasi biomassa sesuai dengan perbedaan
antara massa final dan awal (Shuler dan Kargi,
1992).
GI =

Wf Wi
Wi

Dimana dalam persamaan ini, GI adalah


indeks pertumbuhan, sementara Wf adalah
massa sel akhir dan Wi adalah massa sel awal.
Baik Wf dan Wi diambil sebagai berat basah
maupun kering.
2.6.2. Laju pertumbuhan spesifik
Laju pertumbuhan spesifik ()
mengacu pada curamnya kurva, dan hal ini
didefinisikan sebagai tingkat kenaikan
biomassa dari populasi sel per unit biomassa
konsentrasi. Hal ini dapat dihitung dalam
kultur batch, karena selama jangka waktu
tertentu, tingkat peningkatan biomassa per unit
konsentrasi biomassa konstan dan terukur.

Periode waktu ini terjadi antara fase lag dan


fase stasioner. Selama periode ini, peningkatan
populasi sel sesuai dengan persamaan garis
lurus antara ln x dan t (Evans, 2003).
ln x = t + ln x0
=

ln x lnx 0
t

Dimana, xo adalah biomassa awal atau


densitas sel, x adalah biomassa atau kepadatan
sel pada waktu t, dan adalah tingkat
pertumbuhan spesifik. Mu dapat dihitung dari
hubungan di atas, yang merupakan kemiringan
garis antara ln x dan t.
2.6.3. Doubling time
Doubling time (dt) adalah waktu yang
diperlukan untuk konsentrasi biomassa dari
populasi sel suspensi meningkat dua kali lipat.
Salah
satu
kontras
terbesar
antara
pertumbuhan sel tanaman budidaya mengacu
tingkat pertumbuhan masing-masing. Waktu
penggandaan (dt) dapat dihitung sesuai dengan
persamaan berikut (Loyola-Vargas dan V
zquez-Flota, 2006).
td =

2.7 Analisis Statistikal


Analisis regresi digunakan untuk
mencari persamaan yang sesuai data. Setelah
persamaan regresi diperoleh, model dapat
digunakan untuk membuat prediksi. Salah satu
jenis analisis regresi adalah analisis linier.
Ketika koefisien korelasi menunjukkan bahwa
data dapat memprediksi hasil selanjutnya dan
data scatter plot membentuk garis lurus,
regresi linier sederhana dapat digunakan untuk
menemukan fungsi prediktif. Persamaan untuk
garisnya adalah y = mx + b. Sementara itu,
persamaan
fungsi
turunannya
adalah
y = a + bx (Schultz, 1993).
a=

b=

( y )( x 2 ) ( x )( xy)
n ( x 2 ) ( x ) 2
n ( xy ) ( x )( y)
n ( x 2 ) ( x ) 2

ln 2

3. HASIL
3.1 Analisis Pertumbuhan Berat Kering Sel C.
vulgaris
Proses pengulturan sel alga C.
vulgaris dengan medium N-8 bervolume 720
mL dilakukan selama 17 hari dengan interval
waktu pengukuran absorbansi sampel sel
sejumlah 1-2 hari. Eksperimen pengukuran
nilai absorbansi sel dilakukan melalui tiga kali

pengulangan sehingga diperoleh nilai rata-rata


absorbansi. Melalui perolehan nilai absorbansi,
dapat ditentukan berat kering sel C. vulgaris
dengan memasukkan nilai absorbansi yang
diperoleh ke dalam suatu persamaan kurva
baku berat kering sel yang tertera pada
Gambar 1. Hasil perolehan berat kering dan
absorbansi sel C. vulgaris dalam waktu 17 hari
dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 1 Berat Kering Sel C. vulgaris pada Medium N-8

Tabel 1 Absorbansi dan Berat Kering Sel C. vulgaris pada Medium N-8

Hari Ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Rata-Rata Nilai Absorbansi


0,05
0,04
0,034
0,018
0,003
0,017
0,019
0,045
0,102
0,283
0,535
0,278
0,532
0,888
1,157
1,47
1,768

Dalam pengukuran yang dilakukan,


terdapat penurunan nilai absorbansi sel yang
diikuti dengan kenaikan nilai sampai periode

Berat Kering Sel (g)


0,0002553
0,0002342
0,0002223
0,0001878
0,0001554
0,0001864
0,0001899
0,0002448
0,0003658
0,0007477
0,001278
0,0007371
0,001273
0,002022
0,00259
0,00325
0,00388

waktu tertentu hingga kenaikan absorbansi


tidak dapat diamati karena sudah bernilai
konstan. Penurunan ini terjadi pada saat awal

pengamatan dilakukan, yaitu dari hari ke-1


hingga hari ke-6 pengukuran. Pada hari ke-1
nilai absorbansi sel C. vulgaris bernilai 0,05,
hari ke-2 bernilai 0,04 dan dapat dilihat pada
Gambar 1, hari ke-3 bernilai 0,034, hari ke-4
bernilai 0,018 dan dapat dilihat pada Gambar
1, dan pada hari ke-5 bernilai 0,003.
Selanjutnya,
kenaikan
teramati
ketika
pengukuran pada hari ke-6 hingga hari ke-11
dilakukan. Absorbansi sel C. vulgaris pada
hari ke-6 bernilai 0,017, hari ke-7 bernilai
0,019, hari ke-8 bernilai 0,045, hari ke-9
bernilai 0,102 dapat dilihat pada Gambar 1,
hari ke 10 bernilai 0,283, dan pada hari ke-11
bernilai 0,535. Namun, penurunan kembali
teramati pada hari ke- 12 di mana absorbansi
sel C. vulgaris bernilai 0,278 dan dapat dilihat
pada Gambar 1. Pada pengukuran hari ke-13
hingga hari ke-17 kenaikan nilai absorbansi
kembali terjadi di mana, pada hari ke-13
pengukuran absorbansi bernilai 0,532, hari ke14 bernilai 0,888, hari ke-15 bernilai 1,157,
hari ke-16 bernilai 1,47 dan dapat dilihat pada
Gambar 1, dan pada hari ke-17 bernilai 1,768.
Percobaan yang dilakukan pada
pengukuran nilai absorbansi sel C. vulgaris
memberikan nilai perbandingan yang linier
terhadap berat kering sel. Hal ini ditunjukkan
oleh nilai kelinieran kurva baku berat kering
yang bernilai 0,959. Semakin besar nilai
absorbansi sel yang diperoleh, maka semakin
besar pula nilai berat kering sel dalam satuan
gram yang diperoleh. Hal ini dapat dijelaskan
melalui hukum Lambert Beer yang
menyatakan bahwa nilai absorbansi yang
diperoleh berbanding lurus dengan konsentrasi
sampel (dalam hal ini merupakan berat kering
sel), koefisien ekstinsi molar, dan panjang
lintasan cahaya pada monokromator di dalam
spektrofotometer (Nelson dan Cox, 2008).
Dengan demikian, terjadi penurunan nilai berat
kering sel yang diikuti dengan kenaikan
sampai periode tertentu hingga terjadi kembali
penurunan dan kenaikan sel yang teramati
pada pengukuran di hari tertentu.

Penurunan ini terjadi pada saat awal


pengamatan dilakukan, yaitu dari hari ke-1
hingga hari ke-6 pengukuran. Pada hari ke-1
nilai berat kering sel C. vulgaris bernilai
0,0002553 g, hari ke-2 bernilai 0,0002342 g,
hari ke-3 bernilai 0,0002223 g, hari ke-4
bernilai 0,0001878 g, dan hari ke-6 bernilai
0,0001554 g. Selanjutnya, kenaikan teramati
ketika pengukuran pada hari ke-7 hingga hari
ke-12 dilakukan. Berat kering sel C. vulgaris
pada hari ke-7 bernilai 0,0001864 g, hari ke-8
bernilai 0,0001899, hari ke-9 bernilai
0,0002448, hari ke-10 bernilai 0,0003658, hari
ke 11 bernilai 0,0007477 g dan pada hari ke-12
bernilai 0,001278 g. Namun, penurunan
kembali teramati pada hari ke- 13 di mana
berat kering sel C. vulgaris bernilai
0,0007371. Pada pengukuran hari ke-14
hingga hari ke-25 kenaikan nilai berat kering
kembali terjadi, di mana pada hari ke-14
pengukuran berat kering sel bernilai
0,0012731 g, hari ke-22 bernilai 0,0020229 g,
hari ke-23 bernilai 0,0025096 g, hari ke-24
bernilai 0,0032517 g, dan pada hari ke-25
bernilai 0,0038806 g. Tabulasi nilai absorbansi
dan berat kering sel C. vulgaris pada interval
pengukuran hingga hari ke-25 ditunjukkan
pada Tabel 1.
Dengan demikian, melalui nilai
absorbansi yang diperoleh dan berat kering
yang diperoleh, dapat digambarkan kurva laju
pertumbuhan spesifik beserta fasa-fasa yang
dilalui organisme alga C. vulgaris seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2. Fasa lag terjadi
pada hari ke-1 hingga hari ke-6 ketika
pengukuran dilakukan. Menurut literatur
(Shuler dan Kargi, 1992), fasa lag ditandai
dengan tidak terjadinya peningkatan atau
pertambahan jumlah biomassa hingga interval
waktu tertentu, biasanya sampai sel memasuki
awal fasa logaritmik. Namun, pada
pengamatan yang dilakukan, terjadi penurunan
jumlah biomassa sel alga yang digambarkan
melalui penurunan nilai berat kering sel dari
hari ke-1 hingga hari ke-6 pengukuran
sehingga seolah-olah terjadi fasa dekselerasi
progresif pada interval awal pengukuran yang

terlihat pada Gambar 2. Hal ini disebabkan


oleh ketiadaan cahaya berupa sinar matahari
dengan intensitas yang cukup yang nantinya
akan dibutuhkan oleh sel C. vulgaris untuk
melakukan fotosintesis. Menurut literatur
(Dasa, et al., 2011), pertumbuhan alga
merupakan pertumbuhan bertipe miksotropik
di mana terdapat kombinasi dari pertumbuhan
secara autotrofik dengan heterotropik sehingga
organisme alga dapat menggunakan karbon
dan energi dari sumber yang bermacammacam dibandingkan dengan menerapkan
proses autotrof secara kontinu. Pada percobaan
yang dilakukan, tidak digunakan gula sebagai
sumber karbon pada komposisi medium N-8
sehingga cahaya matahari dengan intensitas
yang cukup dibutuhkan untuk menghasilkan
glukosa. Cahaya matahari dengan panjang
gelombang yang tepat bernilai 400-700 nm,
yaitu cahaya PAR (photosynthtetically active
radiation) diperlukan dalam penginisiasian
proses fotosintesis di dalam sel kloroplas alga
demi pembentukan sumber karbon dan
nitrogen sebagai penyusun utama biomassa
alga hijau. Ketiadaan cahaya matahari dengan
intensitas yang cukup alga pada hari ke-1
hingga hari ke-6 pengukuran menyebabkan
menurunnya laju pertumbuhan spesifik alga
karena proses fotosintesis tidak berjalan. Hal
tersebut lebih lanjutnya dapat mengurangi
ketersediaan karbon di dalam alga sehingga
proses metabolisme yang menghasilkan
polisakarida penyusun dinding sel seperti
glukosa, manosa, dan fukosa terhambat.
Sintesis dinding sel baru tidak dapat dilakukan
dan pertambahan biomassa alga tidak akan
teramati karena tidak terdapat pembentukan
sel baru (Meindl dan Loos, 1982).
Selanjutnya, fasa logaritmik sel alga
C. vulgaris terjadi pada hari ke-7 hingga hari
ke-12 lalu berhenti pada hari ke-13 untuk
berlanjut kembali pada hari ke-14. Penurunan
yang terjadi disebabkan oleh ketiadaan cahaya
matahari dengan intensitas yang cukup
sehingga proses fotosintesis tidak dapat
berjalan pada alga. Pada interval pengukuran
ini juga terjadi peningkatan absorbansi dan

berat kering sel secara eksponensial. Hal ini


disebabkan oleh keberlimpahan medium N-8
yang berisi elemen makronutrien dan
mikronutrien yang tinggi. Oleh karena medium
ini banyak mengandung sumber nitrogen
dalam konsentrasi tinggi senilai 1000 mg/L
larutan medium, pembentukan sel baru C.
vulgaris juga terjadi secara cepat karena
nitrogen merupakan sumber utama penyusun
protein yang kemudian akan digunakan sel
dalam membangun jaringan baru, enzim untuk
membantu sintesis dinding dan organel sel,
dan reseptor cahaya (Chiai, et al., 2013).
Selain itu, cahaya matahari dengan intensitas
yang cukup juga diberikan sehingga
keberlangsungan proses fotosintesis dapat
berjalan secara optimal.
Setelah sel C. vulgaris mengalami fasa
eksponensial, terdapat fasa linier yang terjadi
pada hari ke-23 hingga hari ke-25 pengukuran.
Pada fasa ini, pertambahan biomassa atau
berat kering sel C. vulgaris terjadi pada laju
yang konstan. Hal ini disebabkan oleh
pengurangan konsentrasi makroelemen serta
mikroelemen yang terdapat di dalam medium
sehingga penyerapan dan distribusi nutrien ke
dalam sel alga terhambat dan nilai
pertambahan biomassa bernilai konstan. Selain
itu, sel juga mulai melepas zat-zat yang
bersifat toksik yang terlebih lanjutnya dapat
menghambat pertumbuhan sel dan peningkatan
biomassa pada akhir fasa linier yang akan
mengawali fasa dekselerasi progresif (Shuler
dan Kargi, 1992). Pengamatan pada fasa
stasioner dan fasa kematian (death phase)
tidak dilakukan pada pengamatan ini karena
kurangnya interval waktu pengamatan.

3.2 Analisis Laju Pertumbuhan Spesifik dan


Doubling Time C. vulgaris
Pada fasa logaritmik dan fasa linier,
perhitungan nilai laju pertumbuhan spesifik sel
C. vulgaris dapat dilakukan. Penarikan garis
lurus pada persamaan garis di awal fasa
logaritmik dan di akhir fasa linier

menghasilkan nilai kemiringan tertentu


(gradien) yang nantinya akan menjadi nilai
laju pertumbuhan spesifik sel per interval
waktu pengukurannya. Dalam percobaan kali
ini, laju pertumbuhan spesifik sel alga C.
vulgaris
yang
ditumbuhkan
pada
fotobioreaktor dengan komposisi medium N-8
bernilai 0,152/hari. Sementara itu, doubling
time sel alga C. vulgaris bernilai 12,55 hari.
Hal ini tidak sesuai dengan literatur (Hamedi,
et al., 2012) yang menyatakan bahwa laju
pertumbuhan spesifik sel C. vulgaris yang
ditumbuhkan pada medium N-8 bernilai
0,0037/hari dengan doubling time bernilai 6,67
hari. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan
oleh perbedaan volume medium dan inokulan
sel C. vulgaris yang dikulturkan ke dalam
bioreaktor batch. Volume medium N-8 yang
digunakan dalam percobaan bernilai 720 mL
dengan inokulan sel C. vulgaris berjumlah 80
mL, sedangkan pada literatur (Hamedi, et al.,
2012), volume medium yang digunakan
bernilai 450 mL dengan sel C. vulgaris
sejumlah 50 mL. Dengan volume medium
percobaan yang bernilai 1,6 kali lebih besar
dibandingkan dengan volume medium pada
literatur,
seharusnya
diperoleh
laju
pertumbuhan spesifik pada percobaan yang

bernilai 1,6 kalinya dari nilai laju pertumbuhan


spesifik sel alga pada literatur (Hamedi, et al.,
2012). Begitu pula dengan nilai doubling time
yang diperoleh. Nilai doubling time di dalam
percobaan seharusnya bernilai 1,6 kali lebih
kecil dibandingkan dengan nilai doubling time
pada literatur (Hamedi, et al., 2012).
Ketidaksesuaian data laju pertumbuhan
spesifik dan doubling time disebabkan oleh
pengaruh faktor eksternal berupa intensitas
cahaya yang kurang pada saat awal proses
pengulturan sel dilakukan. Hal ini akan
memperlambat fasa lag dan akan mengurangi
nilai laju pertumbuhan spesifik C. vulgaris
sehingga
terjadi
penurunan
perolehan
biomassa pada awal waktu pengukuran
dilakukan. Selain itu, perbedaan perlakuan
seperti laju volumetrik aerasi dan pengaturan
pH medium juga memiliki peran penting pada
tingkat ketahanan sel. Laju aerasi dengan
kecepatan sedang mencegah terjadinya
kerusakan sel karena memperkecil rate of
shear sel dan pH medium yang tepat bagi
pertumbuhan berpengaruh besar terhadap
kemampuan penyerapan mikronutrien serta
makronutrien secara optimal (Fischer dan
Alfermann, 1995).

0
0
0
0
0
Berat Kering Sel (g) 0
0
0
0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617
Waktu (hari)

Gambar 2 Laju Pertumbuhan Spesifik C. vulgaris

4. DISKUSI
4.1 Ketepatan Pemilihan Medium dalam
Pertambahan Biomassa Sel Alga
Medium yang umumnya digunakan
dalam pengulturan alga yaitu medium Chu-10,
WC, LC oligo, N-8, dan SH4. Masing-masing
medium memberikan keuntungan dan
kekurangan
tersendiri
yang
dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan spesifik alga
dan pertambahan biomassa sel (Mandalam dan
Palsson, 1998). Hal ini disebabkan oleh
kandungan makroelemen dan mikroelemen
yang berbeda jenisnya pada tiap-tiap medium
diikuti dengan jumlah konsentrasi yang
berbeda. Menurut hasil percobaan yang
diperoleh, nilai berat kering rata-rata sel C.
vulgaris bernilai 0,00015 gram/720 mL larutan
medium dengan laju spesifik pertumbuhan
bernilai 0,1535/hari dan doubling time yang
bernilai 12,01 hari. Hal ini tidak sesuai dengan
literatur (Hamedi, et al., 2012) yang
menyatakan bahwa melalui penggunaan
medium N-8 pada kultur C. vulgaris di dalam
fotobioreaktor, diperoleh berat kering sel C.
vulgaris sebesar 0,05 g/500 mL larutan
medium serta laju pertumbuhan spesifik
bernilai 0,0037/hari dan doubling time yang
bernilai 6 hari.
Perbedaan nilai parameter yang
dihasilkan ini kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan volume medium dan inokulan sel
C. vulgaris yang dikulturkan ke dalam
fotobioreaktor. Volume medium N-8 yang
digunakan dalam percobaan bernilai 720 mL
dengan inokulan sel C. vulgaris berjumlah 80
mL, sedangkan pada literatur (Hamedi, et al.,
2012), volume medium yang digunakan
bernilai 450 mL dengan sel C. vulgaris
sejumlah 50 mL. Dengan volume medium
percobaan yang bernilai 1,6 kali lebih besar
dibandingkan dengan volume medium pada
literatur,
seharusnya
diperoleh
laju
pertumbuhan spesifik pada percobaan yang

bernilai 1,6 kalinya dari nilai laju pertumbuhan


spesifik sel alga pada literatur (Hamedi, et al.,
2012). Begitu pula dengan nilai doubling time
yang diperoleh. Nilai doubling time di dalam
percobaan seharusnya bernilai 1,6 kali lebih
kecil dibandingkan dengan nilai doubling time
pada literatur (Hamedi, et al., 2012).
Ketidaksesuaian data laju pertumbuhan
spesifik dan doubling time disebabkan oleh
pengaruh faktor eksternal berupa intensitas
cahaya yang kurang pada saat awal proses
pengulturan sel dilakukan. Hal ini akan
memperlambat fasa lag dan akan mengurangi
nilai laju pertumbuhan spesifik C. vulgaris
sehingga
terjadi
penurunan
perolehan
biomassa pada awal waktu pengukuran
dilakukan. Selain itu, perbedaan perlakuan
seperti laju volumetrik aerasi dan pengaturan
pH medium juga memiliki peran penting pada
tingkat ketahanan sel. Laju aerasi dengan
kecepatan sedang mencegah terjadinya
kerusakan sel karena memperkecil rate of
shear sel dan pH medium yang tepat bagi
pertumbuhan berpengaruh besar terhadap
kemampuan penyerapan mikronutrien serta
makronutrien secara optimal (Fischer dan
Alfermann, 1995).
Selanjutnya menurut literatur (Chia, et
al., 2013), melalui penggunaan medium Oligo
LC, Chu-10, dan WC diperoleh berat kering
sel C. vulgaris senilai 17, 16, dan 11 pg/200
mL larutan medium. Hal ini membuktikan
bahwa konsentrasi nitrogen yang dikandung di
dalam medium berbanding lurus dengan
densitas sel C. vulgaris yang dihasilkan.
Misalnya saja, di antara kelima medium yang
telah disebutkan, medium N-8 memiliki
kandungan nitrogen dengan konsentrasi paling
tinggi dibandingkan medium lainnya dengan
nilai 1000 mg/L dalam bentuk KNO3 dan dapat
dilihat pada Tabel 2 (Hamedi, et al., 2012).
Kandungan nitrogen dalam jumlah konsentrasi
yang amat sedikit dijumpai pada medium WC
dengan nilai 85,01 mg/L dalam bentuk NaNO 3.

Sementara itu, pada medium lainnya seperti


Oligo LC, kadar nitrogen bernilai 140,03 mg/L
yang terdapat dalam bentuk Ca(NO3)2, KNO3,
(NH4)6Mo7O24.4H2O, pada medium SH4
bernilai 200 mg/L dalam bentuk (NH4)2SO4,
dan pada medium Chu-10 bernilai 232 mg/L
dalam bentuk Ca(NO3)2.4H2O (Chia, et al.,
2013). Sehingga urutan keefektivitasan
medium yang tepat dalam mendukung
perbanyakan densitas sel C. vulgaris dan laju
pertumbuhan spesifik di dalam fotobioreaktor
sistem tertutup yaitu medium N-8, SH4, Oligo
LC, Chu-10, dan WC secara berturut-turut.

Tabel 2 Komposisi Medium N-8 (Hamedi, et al., 2012)

Makronutrien
KNO3
KH2PO4
Na2HPO4.2H2O
CaCl2.2H2O
FeEDTA
MgSO4.7H2O
Mikronutrien
Al2(SO4)3.18H2O
MnCl2.4H2O
CuSO4.5H2O

Kadar nitrogen dalam jumlah banyak


dibutuhkan C. vulgaris dalam proses
perbanyakan biomassa karena nitrogen
merupakan komponen utama yang dibutuhkan
dalam pembentukan protein. Sementara itu,
pada literatur (Safi, et al., 2014) menyatakan
bahwa kandungan terbanyak dalam satuan
berat kering sel C. vulgaris adalah protein
dengan nilai sebesar 42-58%. Namun, hal ini
bertentangan dengan literatur (Oh-Hama dan
Miyachi, 1988) yang menyatakan bahwa unsur
karbon merupakan penyusun utama pada sel
C. vulgaris dengan kadar sebesar 51,4-72,6%
dari berat kering sel. Unsur nitrogen yang
terkandung di dalam sel C. vulgaris ditemukan

Konsentrasi (mg/L)
1000
740
260
13
10
30
Konsentrasi (mg/L)
3,58
12,98
1,83

hanya bernilai 6,2-7,7% dari berat kering sel.


Perbedaan kandungan nitrogen yang signifikan
ini kemungkinan besar disebabkan oleh
pengambilan sampel sel C. vulgaris yang
dilakukan pada fasa pertumbuhan yang
berbeda sehingga menyebabkan kandungan
nitrogen yang terdapat di dalam sel berbeda.
Selain itu, penyerapan nutrisi juga merupakan
faktor yang bergantung pada suhu, pH
medium, cahaya, dan densitas populasi sel
(Kaplan, et al., 1986).
Protein yang terkandung di dalam sel
berperan penting dalam pertumbuhan sel yang
meliputi perbaikan dan perawatan sel,

pengaturan motorik dan aktivitas selular,


pentransimisian
sinyal
kimiawi,
dan
pertahanan sel terhadap zat asing. Selain
protein, kandungan karbon dalam bentuk
polisakarida juga dibutuhkan dalam sintesis
dinding sel alga dan kloroplas yang umumnya
tersusun oleh 1 ->3 glukan,selulosa, amilosa,
dan amilopektin (Becker, 1994). Kandungan
karbon ini tidak terdapat di dalam kebanyakan
medium yang digunakan dalam pertumbuhan
alga, tetapi dapat diperoleh oleh alga melalui
proses fotosintesis dengan bantuan cahaya
berintensitas tertentu.
Selain dipengaruhi oleh komponen
makroelemen, ternyata laju pertumbuhan dan
berat kering sel C. vulgaris juga dipengaruhi
oleh kandungan mikroelemen yang terdapat
dalam medium. Menurut literatur (Syrett,
1962), keberadaan mikroelemen dalam bentuk
Fe dan Mg penting dalam mendukung proses
pembentukan klorofil. Perbanyakan klorofil ini
akan mengoptimalisasi proses fotosintesis
yang berlangsung sehingga produksi glukosa
bernilai maksimal. Glukosa ini nantinya akan
digunakan oleh sel sebagai komponen utama
penyusun dinding sel baru sehingga
perolehannya akan berbanding lurus dengan
pertambahan biomassa sel.

4.2 Ketepatan Pemilihan Bioreaktor dalam


Kultur Alga
Fotobioreaktor
sebagai
reaktor
pengultur alga memiliki beberapa keuntungan,
diantaranya dapat mengultivasi alga dengan
lingkungan yang terkontrol sehingga bisa
mendapatkan potensi produktivitas yang
tinggi, dapat mengefisiensikan cahaya dan
meningkatkan produktivitas dengan baik
dibuktikan dengan tingginya densitas alga
hingga 10 sampai 20 kali lipat lebih tinggi
daripada bag kultur dan bisa lebih, memiliki
sistem transfer gas fotobioreaktor yang lebih

baik, dapat mengurangi penguapan pada


medium pertumbuhan, dapat menyeragamkan
suhu, mengurangu terjadinya kontaminasi,
meningkatkan efisiensi tempat bisa disimpan
vertikal, horizontal, dalam ruangan maupun
luar ruangan, dengan adanya teknologi berupa
tube-self cleaning dapat mengurangi kecacatan
(Burns, 2014).
Pengulturan juga bisa dilakukan dalam
kolam biasa, tetapi jika sistem yang digunakan
adalah sistem tertutup (dengan menggunakan
fotobioreaktor), faktor-faktor seperti suhu,
intensitas cahaya, transfer gas, dan besarnya
perbandingan luas area dengan volume dapat
dikontrol dengan lebih baik. Selain itu, dengan
menggunakan kultur fotobioreaktor, genetik
murni dan unggulnya dapat dipertahankan,
serta dapat mengurangi kemungkinan untuk
terkena parasit. Salah satu kelemahan
fotobioreaktor adalah harga jualnya yang
tinggi karena biaya perawatannya juga tinggi
sehingga dapat menjadi penghambat bagi
industri bahan bakar alga (Carvalho, et al.,
2006).
Fotobioreaktor dapat didefinisikan
sebagai sistem kultur yang melewatkan cahaya
melalui dinding reaktor untuk mencapai
seluruh sel yang dikultivasi (Trenci, 2004).
Fotobioreaktor juga dapat mengurangi risiko
kontaminasi dan kekurangan air dan
menyediakan kontrol yang lebih besar pada
variabel yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroalga (Davis, et al., 2011). Kegunaan
pencampur statis dalam tabung fotobioreaktor
salah satunya adalah dapat meningkatkan
produktivitas biomassa dan mengurangi
pengaruh fotoinhibisi (Ugwu, et al., 2005).
Fotobioreaktor dalam ruangan membutuhkan
pencahayaan yang dapat memancarkan sinar
tampak, seperti sinar pada 400-700 nm. Lampu
fluorescent, LED, dan LED cahaya putih
sering digunakan (Tang, et al., 2011).
Salah satu ketentuan untuk mendesain
sebuah bioreaktor adalah bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas baik secara
volumetrik maupun secara luas lahan, efisiensi

fotosintesis, dan biaya yang dibutuhkan lebih


sedikit (Tredici, 2004). Beberapa faktor yang
harus diperhatikan adalah perbandingan
permukaan dengan volume, orientasi dan
inklinasi, pertukaran gas, pencampuran,
sirkulasi, kontrol temperatur, dan material
yang
digunakan
untuk
pembuatan
fotobioreaktor (Burns, 2014).
Sebuah fotobioreaktor membutuhkan
perbandingan permukaan dengan volume yang
tinggi karena akan meningkatkan konsentrasi
sel dan produktivitas volumetrik yang lebih
tinggi, sehingga dapat mengurangi biaya
panen, preparasi medium dan perawatan kultur
(Tredici, 2004). Namun, konsentrasi sel yang
terlalu
tinggi
dapat
menyebabkan

fotobioreaktor mengalami perubahan drastis


pada peningkatan oksigen, penyerapan CO 2,
kekurangan nutrisi dan ekskresi metabolit,
yang akan menyebabkan efek negatif dalam
jangka waktu yang lama pada kultur. Selain
itu, fotobioreaktor menjadi tidak produktif jika
di scale up pada ukuran industri.
Fotobioreaktor dapat menggunakan sistem
vertikal dan dimiringkan pada kemiringan
tertentu untuk memaksimalkan pencahayaan.
Inklinasi secara signifikan memengaruhi
produktivitas pada daerah lintang yang lebih
tinggi. Namun, ditemukan juga bahwa
fotobioreaktor yang menghadap ke selatan dan
dimiringkan bisa mendapatkan produktivitas
volumetrik yang tinggi (Tredici, 2004).

Ilustrasi fotobioreaktor dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Bentuk dari tabung horizontal fotobioreaktor (Jorquera, et al., 2010)

Untuk menghasilkan laju fotosintesis


yang tinggi, perlu juga diatur keseimbangan
CO2 dan O2 yang masuk sehingga dapat
memicu karboksilasi enzim pada alga (Pulz,
2001). Pengocokan juga penting untuk
mencegah pengendapan sel, mencegah
stratifikasi termal, memecah gradien difusi,
mendistribusikan nutrisi pada medium, dan
menyediakan suplai CO2 yang cukup, serta
memastikan pencahayaan pada semua sel pada
kultur (Weissman, et al., 1988). Secara umum,
kultur sel mikrorganisme rentan terhadap
pengocokan
mekanik,
karena
dapat
menyebabkan hydrodynamic shear stress dan

menyebabkan
kerusakan
pada
sel
(Bronnenmeier dan Markl, 1982). Bahan yang
dipilih untuk membuat fotobioreaktor haruslah
bersifat non-toksik terhadap mikroorganisme,
memiliki kekuatan mekanik yang tinggi dan
ketahanan yang tinggi terhadap cuaca, tembus
cahaya, stabilitas kimia, serta mudah
dibersihkan (Tredici, 2004).
4.3 Ketepatan Pemberian Intensitas Radiasi
Cahaya dalam Pengulturan C. vulgaris
Umumnya, mikroalga menggunakan
cahaya bertipe PAR (photosynthetically active

radiation) dengan panjang gelombang 400-700


nm untuk fotosintesis. Panjang gelombang
diserap oleh mikroalga berbeda tergantung
pada jenis spesies. Misalnya, mikroalga hijau
menyerap energi cahaya untuk fotosintesis
melalui klorofil sebagai pigmen utama akan
menyerap energi cahaya pada kisaran 450-475
nm dan 630-675 nm dan karotenoid sebagai
pigmen aksesori menyerap energi cahaya dari
400-550 nm. Beberapa penelitian melaporkan
pertumbuhan mikroalga dalam panjang
gelombang cahaya yang berbeda. Cahaya
merah (600-700 nm) dan lampu biru (400-500
nm) merangsang pertumbuhan mikroalga dan
tingkat
pertumbuhan
serta
mengubah
kandungan lipid mikroalga sesuai dengan
intensitas cahaya (Chen et al., 2011).
Secara umum, proses pertumbuhan
mikroalga Chlorella sp. mengikuti pola
pertumbuhan pada kultur bakteri yang meliputi
beberapa fase: fase lag (belum terlihat
peningkatan laju pertumbuhan), fase akselerasi
atau eksponensial (terjadi peningkatan laju
pertumbuhan), fase linear (laju pertumbuhan
konstan), fase retardasi atau dekselerasi (laju
pertumbuhan mulai menurun), fase stasioner
(laju pertumbuhan tidak meningkat sama
sekali), dan fase penurunan atau kematian (laju
pertumbuhannya negatif) (Ullman, 2012).
Namun, pada kurva tumbuh yang telah
diperoleh terdapat beberapa kasus khusus
sehingga kurva tumbuh yang terbentuk tidak
sepenuhnya berbentuk sigmoid. Dari kurva
tumbuh yang diperoleh, antara t = 0 sampai
dengan t = 8 terjadi fase lag, antara t = 8
sampai dengan t = 10 terjadi fase eksponensial,
antara t = 10 sampai dengan t = 11 terjadi fase
yang menyerupai fase kematian. Dikatakan
sebagai fase yang menyerupai kematian karena
penurunan biomassa yang terjadi tidak
disebabkan oleh faktor internal pertumbuhan
Chlorella
sp., melainkan adanya faktor
gangguan dari luar yaitu terjadinya penurunan
intensitas cahaya matahari yang sangat
signifikan pada saat t = 11. Setelah t = 11,
kurva tumbuh kembali mengikuti bentuk
sigmoid, tetapi tanpa melalui fase lag kembali

sebab sel-sel Chlorella sp. sebenarnya sudah


beradaptasi dengan kondisi medium di dalam
bioreaktor. Pada t = 11 sampai dengan t = 12
terjadi fase linear yang kemudian diakhiri
dengan fase retardasi atau dekselerasi pada
saat t = 12 sampai dengan t = 14. Pada kurva
tumbuh ini tidak ditemukan fase stasioner dan
fase kematian karena adanya keterbatasan
waktu yang digunakan untuk proses kultivasi
Chlorella sp.
Adanya bentuk kurva yang tidak
sempurna sigmoid pada kurva tumbuh dan
kurva yang tidak cukup linear pada kurva
logaritmik pada Gambar 4 disebabkan oleh
kondisi pencahayaan yang kurang memadai
sehingga biomassa yang terbentuk mengalami
penurunan. Menurut (ClmentLarosire,
2014), biomassa Chlorella vulgaris dapat
mengalami penurunan konsentrasi pada
rentang berat kering bernilai 1,3 3,45 g
dalam satuan per volume saat kondisi
pencahayaan dan konsentrasi karbon dioksida
rendah. Akan tetapi, pemberian intensitas
cahaya yang terlalu tinggi juga dapat
mengakibatkan
terjadinya
peristiwa
fotoinhibisi yang juga dapat menurunkan
produksi biomassa sel. Jika cahaya dapat
diberikan pada intensitas yang memadai
kemungkinan produksi biomassa sel dapat
berjalan dengan baik sehingga kurva
logaritmik yang terbentuk dapat menjadi lebih
linear seperti yang ditunjukkan pada Gambar
4 dibandingkan dengan hasil yang telah
diperoleh.
Nilai doubling time selama 13,30 hari
sebanding dengan eksperimen yang dilakukan
oleh (Choul-Gyun Lee, 1994), yang
melakukan kultur Chlorella vulgaris dalam
medium N-8 dengan intensitas cahaya sebesar
1055.7-2295 mol/m2s yang mencapai
doubling time hanya pada waktu 15-20 jam.
Perbedaan iradiansi dan periode pencahayaan
sangat mempengaruhi laju pertumbuhan
Chlorella
vulgaris,
dengan
semakin
bertambahnya
iradiansi,
maka
laju
pertumbuhan akan mengalami peningkatan

(Bouterfas, et al., 2002; Watson, et al., 2004 ;


Meseck, et al., 2005 dalam Syafebadi, 2011).
Pengaturan intensitas cahaya perlu dilakukan
untuk mendapatkan hasil yang baik, karena
dengan berkurangnya intensitas cahaya, C.
vulgaris akan mengalami penurunan laju
pertumbuhan, sedangkan kelebihan intensitas
cahaya dapat menyebabkan terjadinya
peristiwa fotooksidatif yang menyebabkan

-6

kerusakan sel (Syefabadi, 2011). Chlorella


vulgaris yang terus tumbuh akan mengalami
self shading atau dengan kata lain cahaya yang
didapat tidak dapat terdistribusi secara merata
karena telah pekatnya warna sel Chlorella
vulgaris yang terus tumbuh. Intensitas cahaya
yang minim ketika C. vulgaris mengalami self
shading menyebabkan sulitnya cahaya untuk
masuk ke bagian dalam reaktor (Zahir, 2011).

10

11

12

13

-6.5
-7

ln biomassa (g)

-7.5
-8
-8.5

t (hari)

Gambar 4 Fase Logaritmik Eksponensial Pertumbuhan Chlorella vulgaris


(dengan plot data biomassa pada t = 11)
-6.4
-6.6

10

11

12

13

-6.8
-7
-7.2

ln biomassa (g) -7.4


-7.6
-7.8
-8
-8.2
-8.4

t (hari)

Gambar 5 Fase Logaritmik Eksponensial Pertumbuhan Chlorella vulgaris


(tanpa plot data biomassa pada t = 11)

Kurva tumbuh dapat digunakan untuk


menentukan laju pertumbuhan spesifik ()
sebagai salah satu parameter kinetika
pertumbuhan Chlorella sp. Laju pertumbuhan
spesifik pada Chlorella sp. bergantung pada

beberapa faktor utama seperti intensitas


cahaya, kondisi kultur, seperti pH dan
temperatur, komposisi nutrien, ketersediaan
dan konsumsi karbon dioksida (Filali, et al.,
2011; Burlew, 1953). Nilai laju pertumbuhan

spesifik ini dapat dihitung menggunakan


persamaan umum yang dimodelkan oleh
Monod atau menggunakan kurva logaritmik
pada fase eksponensial sehingga memberikan
nilai laju sebesar 0,21/hari.
Laju pertumbuhan spesifik diukur
pada fase eksponensial dan fase linear karena
pada fase tersebut laju pertambahan biomassa
sel mengalami peningkatan yang signifikan
hingga mencapai nilai yang maksimum pada
fase linear. Laju pertumbuhan spesifik yang
3480 Lux pada pkl. 11.13 WIB, dan
2370 Lux pada pkl. 13.35 WIB) pada proses
kultivasi Chlorella sp. yang mengakibatkan
laju fotosintesis untuk produksi biomassa tidak
optimal. Faktor lain yang mungkin
menyebabkan
tidak
optimalnya
laju
pertumbuhan spesifik adalah tidak adanya
pengaturan laju aerasi udara dan diameter
bubble yang terbentuk di dalam bioreaktor
sehingga ada kemungkinan terjadinya fluktuasi
laju aerasi yang tidak terkontrol. Hal ini dapat
menurunkan koefisien transfer oksigen ke
dalam sel-sel Chlorella sp. dan menurunkan
laju fotosintesis untuk produksi biomassa sel.
C.
vulgaris
sendiri
diketahui
melakukan fotosintesis optimal pada intensitas
cahaya sebesar 3960 Lux dan menghasilkan
densitas sel tertinggi pada percobaan yang
dilakukan oleh Gong, et al., 2004). Sementara
itu, pada percobaan ini, intensitas cahaya yang
terukur adalah 5290 Lux pada pukul. 09.30
pagi, 3660 Lux pada pukul. 11.13 WIB dan
2350 Lux pada pukul. 13.35 siang. Terdapat
kemungkinan bahwa pada percobaan ini
intensitas cahaya yang mengenai kultur lebih
sesuai dibandingkan dengan intensitas cahaya
kultur pada literatur yang menghasilkan
pertambahan biomassa bernilai sekitar 2,5 kali
lipat dibandingkan kontrol.
5. KESIMPULAN
Optimalisasi
nilai
parameter
pertumbuhan seperti laju pertumbuhan spesifik
dan doubling time pada mikroalga dapat
dilakukan melalui penentuan kondisi kultur

diperoleh tergolong cukup rendah jika


dibandingkan dengan nilai laju yang diperoleh
dari
percobaan-percobaan
yang
telah
dilakukan oleh beberapa peneliti lain, seperti
maxsebesar 0,61 0,09 hari -1 pada kondisi
aerasi oleh udara atmosferik (Lohman, et al.,
2015) dan sebesar 0,72 0,03 hari-1 pada
kondisi temperatur ruang 25 C (Bamba, et al.,
2015). Hal ini dapat terjadi karena adanya
ketidakstabilan intensitas cahaya matahari
senilai (5290 Lux pada pukul. 09.30 WIB,
yang tepat. Pengondisian ini dapat dilakukan
melalui pemilihan jenis bioreaktor yang tepat,
penentuan jenis medium yang tepat, dan
pemberian intensitas cahaya yang tepat.
Fotobioreaktor diketahui mampu memberikan
pencahayaan dengan radiasi yang tepat
sehingga dapat mempengaruhi perbanyakan
biomassa C vulgaris dengan melibatkan
penambahan nilai laju spesifik pertumbuhan
dan pengurangan doubling time. Selain itu,
pencahayaan dengan intensitas cahaya sebesar
1620 Lux juga dapat memberikan efek yang
signifikan bagi optimalisasi proses fotosintesis
C.vulgaris sehingga produksi senyawa karbon
yang digunakan dalam strukturisasi dinding sel
baru bernilai maksimum. Penggunaan medium
yang tepat berjenis medium N-8 dengan
konsentrasi tertentu juga dapat memberikan
asupan nitrogen yang banyak sehingga
pertambahan biomassa C.vulgaris terjadi
karena didukung oleh fasa logaritmik yang
berlangsung lama.

6. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis berterimakasih kepada Kepala
Laboratorium Instruksi Institut Teknologi
Bandung Jatinangor terhadap kontribusi
perlengkapan eksperimen dan pengetahuan
yang berkaitan dengan pengulturan mikroalga.

7. REFERENSI

Bamba, B. S. B., Lozano, P., Adj, F.,


Ouattara, A., Vian, M. A., Tranchant,
C., dan Lozano, Y. 2015.
Effects of Temperature and Other
Operational Parameters on Chlorella
vulgaris Mass Cultivation in a
Simple and Low-Cost Column
Photobioreactor.
Applied
Biochemistry
and
Biotechnology, 177(2): 389-406
Becker,

E.W.
1994.
Microalgae:
Biotechnology and Microbiology.
Cambridge: Cambridge University
Press

Ben-David, A. dan Davidson, C. E. 2014.


Estimation Method for Serial Dilution
Experiments.
Journal
of
Microbiological Methods. 107 (1): 214221
Burlew, J. S. 1953. Algalculture, From
Laboratory to Pilot Plant. Carniage:
Washington Publication

Burns, Alexander. 2004. Photobioreactor


Design for Improved Energy Efficiency
of Microalgae Production. Journal of
Chemical Engineering. 1: 1-5
C.Y. Chen, K.L. Yeh, R. Aisyah, D.J. Lee, dan
J.S.
Chang.
2011.
Cultivation,
Photobioreactor Design and Harvesting
of Microalgae For Biodiesel Production:
A Critical Review. Bioresources
Technology. 102: 7181.
Chiai, M.A., Lombardil, A.T., dan MELO2,
M. 2013. Growth and Biochemical
Composition of Chlorella vulgaris in
Different Growth Media. Biological
Sciences. 85(4): 1-7
ClmentLarosire, B., Lopes, F., Gonalves,
A., Taidi, B., Benedetti, M., Minier, M.,
dan Pareau, D. 2014. Carbon Dioxide
Biofixation by Chlorella vulgaris at
Different CO2 Concentrations and Light
Intensities. Engineering Life Sciences.
14(5): 509-519

Dasa, P., Leia, W., Aziz, S.S., dan Obbarda,


J.P. 2011. Enhanced Algae Growth in
Both Phototrophic and
Mixotrophic Culture under Blue
Light. Bioresource Technology. 1
02(4): 3883-3887
Dianursanti. 2009. Simulated Flue Gas
Fixation for Large-Scale Biomass
Production of Chlorella vulgaris.
International Journal for Algae. 11:
351-358
Evans, D.E., Coleman, J.O.D., dan Kearns, A.
2003. Plant Cell Culture. New York:
Bios Sciences Publication
Fischer, A.U., dan Alfermann, W. 1995.
Cultivation of Photoautotrophic Plant
Cell Suspensions in
the Bioractor:
Influence of Culture Conditions.
Journal of Biotechnology. 41: 19-28
Gong, Q., Y. Feng, L. Kang, M. Luo, dan J.
Yang. 2014. Effects of Light and pH on
Cell Density of Chlorella vulgaris.
Energy Procedia 61: 2012-2015
Hallenbeck, P.C., dan Benemann, J.R. 2002.
Biological
Hydrogen
Production:
Fundamentals and Limiting Processes
International Journal of Hydrology
Energy. 27: 1185 1193
Hamedi, S., Mahdavi, M.A., dan Gheshlaghi,
R. 2012. Lipid Content and Biomass
Production of
Chlorella vulgaris is
Affected by Growth Conditions.
Iranian Conference on Renewable
Energy
and
Distributed
Generation.2(12): 64-68
Jones C. S., Mayfield S. P. 2012. Algae
Biofuels: Versatility for the Future of
Bioenergy.
Current
Opinions
Biotechnology. 23: 346351
Jorquera, O., Kiperstok A., Sales, E.A.,
Embirucu, M., dan Ghirardi M.L. 2010.

Comparative
Energy
Life-Cycle
Analyses of Microalgal Biomass
Production in Open
Ponds and
Photobioreactors.
Bioresource
Technology. 101: 1406 - 1413
Kaplan, D., Richmond, A. E., Dubinsky, Z.,
dan Aaronson, S. 1986. Algal
Nutrition. Boca Raton: CRC Press
Lewiston. 2012. How to Make Simple
Dilutions and Solutions. (Online).
Tersedia:
http://abacus.bates.edu/~ganderso/biolog
y/resources/dilutions.html
[Diakses
tanggal 17 November 2015]
Lohman, E. J., Gardner, R. D., Pedersen, T.,
Peyton, B. M., Cooksey, K. E., dan
Gerlach, R. 2015. Optimized Inorganic
Carbon Regime for Enhanced Growth
and Lipid Accumulation in Chlorella
vulgaris. Biotechnology for Biofuels.
8(1): 82
Loyola-Vargas, V.M., Vzquez-Flota F. 2006.
Plant Cell Culture Protocols. Tokyo:
Humana, Totowa, halaman 318
Mandalam, R.K., dan Palsson, B. 1998.
Elemental Balancing of Biomass and
Medium Composition Enhances
Growth Capacity in High-Density
Chlorella vulgaris Cultures.
Biotechnology
and
Bioengineering. 59(5): 1-6
Molina Grima, E., Acien Fernandez, F.G.,
Garcia Camacho, F., Camacho Rubio,
F. &Chisti,
Myers, J. A., Curtis, B. S., dan Curtis, W. R.
2013. Improving Accuracy of Cell and
Chromophore
Concentration
Measurements Using Optical Density.
BMC Biophysics. 6 (4): 118-128

Schultz, L. 1993. The World Almanac and


Book of Facts 1993. New York: Pharos
Books

Ullmann, A. 2012. Selected Papers in


Molecular Biology. Cambridge: Elsevier

Shuler,M.L., Kargi, F. 1992. Bioprocess


Engineering: Basic Concept. Prentice
Hall Int. Inc., NJ, USA.

Weissman, J.C. dan Goebel, R.P. 1988.


Photobioreactor
Design:
Mixing,
Carbon
Utilization, and Oxygen
Accumulation.
Biotechnology and
Bioengineering. 31: 336 344

Syafebadi, J., Ramezanpour, Z., dan Khoeyi,


Z. A. 2011. Protein, Fatty Acid, and
Pigment Content of Chlorella vulgaris
Under Different Light Regimes. Journal
of Applied
Phycology.
23(4):
721-726

Wirosaputro, S. 2002. Chlorella untuk


Kesehatan Global, Teknik Budidaya dan
Pengolahan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Syrett, P.J. 1962. Nitrogen Assimilation. New


York: Academic Press
Tredici, M.R. 2004.Mass production of
microalgae. Handbook of microalgal
culture: biotechnology and applied
phycology. Oxford: Blackwell
Publishing, halaman 178214

Zahir, F. N. 2011. Peningkatan Produksi


Biomassa Chlorella vulgaris dengan
Perlakuan
Mikrofiltrasi
pada
Sikulasi Aliran Medium Kultur sebagai
Bahan Baku Biodiesel. Depok: Fakultas
Teknik Kimia UI

Anda mungkin juga menyukai