A. Pengantar
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV & AIDS dalam DRAFT SRAN 2015-2019
Salah satu isu strategis di dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV &
AIDS Tahun 2015-2019 (SRAN 2015-2019) yang dikeluarkan oleh Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional adalah isu tentang pentingnya integrasi upaya penanggulangan HIV & AIDS
ke dalam sistem kesehatan yang berlaku di Indonesia. Hal ini merupakan isu baru yang
membedakan dengan SRAN sebelumnya. Integrasi dalam dokumen SRAN 2015-2019 sangat
kuat tampak pada keinginan untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV & AIDS
baik secara vertikal (pusat dan daerah) dan horizontal (lintas sektor dan lintas program)
dalam aspek tata kelola, pembiayaan, pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan obat
dan perlengkapan medik, pengembangan sistem informasi, pengelolaan dan penyediaan
layanan kesehatan dan penguatan partisipasi masyarakat. Berbagai bentuk integrasi dalam
berbagai aspek tersebut bisa ditemukan pada dokumen Draft SRAN 2015-2019 seperti di
bawah ini:
(1) Integrasi isu AIDS dengan pembangunan nasional dan daerah pada tingkat strategi
dan implementasi. Isu integrasi AIDS dengan pembangunan kesehatan khususnya
dilakukan dalam strategi nasioal dan operasional melalui berbagai inisiatif pokok
seperti LKB, PMTS, SUFA, PMTCT.
(2) Integrasi perencanaan HIV dalam skema pendanaan khusus atau terintegrasi dengan
sektor lain di dalam anggaran pemerintah. Perencanaan menjadi salah satu poin
pokok dalam integrasi HIV dengan sektor lain di dalam anggaran pemerintah.
(3) Integrasi layanan HIV ke dalam layanan kesehatan dasar dan rujukan, misalnya
integrasi HIV di puskesmas menjadi salah satu bentuk dari pendekatan fungsi pada
sektor-sektor layanan kesehatan dasar. Contoh lainya, Test HIV dan pengembangan
layanan CST untuk fasyankes yang telah dipilih, dikembangkan melalui program LKB,
PMTS, PITC dan PMTCT. Bentuk-bentuk integrasi ini menjadi strategi yang
dikembangkan untuk implementasi layanan HIV.
(4) LKB
merupakan
bentuk
integrasi
yang
dipilih
untuk
mencapai
pelayanan
Berbagai bentuk integrasi seperti di atas diharapkan bisa meningkatkan kinerja upaya
penanggulangan HIV & AIDS di masa mendatang terutama ketika pendanaan luar negeri
semakin berkurang. Demikian pula, pada masa lima tahun terakhir ini upaya untuk
membangun kebijakan yang bersifat lintas sektor dan lintas program juga semakin banyak
dan pendanaan dalam negeri cenderung meningkat. Kebijakan desentralisasi juga menjadi
dasar untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV & AIDS di masa mendatang.
Dalam dokumen SRAN 2015-2019, tujuan dari integrasi adalah sebagai berikut :
(1) Meningkatkan
cakupan
layanan
kesehatan
dengan
pengembangan
inisiatif
pencegahan secara aktif oleh Nakes melalui prosedur LKB, PITC, PMTS, dan PMTCT.
(2) Mengurangi biaya layanan dengan implementasi integrasi layanan dalam sistem
kesehatan dan sistem layanan komunitas.
(3) Meningkatkan keadilan dan aksesibilitas dalam pelayanan kesehatan dan masyarakat
(4) Meningkatkan peran dan tanggungjawab daerah di dalam penanggulangan HIV &
AIDS
(5) Mengurangi stigma dan diskriminasi khususnya di tingkat masyarakat.
Secara garis besar upaya integrasi yang tercantum dalam dokumen SRAN 2015-2019
bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat, menyediakan perlindungan
finansial bagi mereka yang mengalami situasi kesehatan tersebut dan peka terhadap
perubahan-perubahan kebutuhan kesehatan masyarakat. Diyakini bahwa tujuan tersebut
bisa dimungkinkan terwujud jika berbagai upaya integrasi ke dalam sistem kesehatan ini bisa
berjalan dengan baik.
program pencegahan HIV & AIDS di Indonesia bersifat vertikal, yang mengakibatkan
persoalan HIV dan AIDS dianggap sebagai persoalan sektoral oleh pemerintah daerah.
Salah satu penyebab dominannya kebijakan pusat, selain anggaran adalah akses
terhadap data. Sebagian besar data yang digunakan sebagai dasar untuk penyusunan
program, dikelola oleh pemerintah pusat sehingga apa yang disebut sebagai evidence-
Selain itu, secara kelembagaan Komisi Penanggulangan AIDS adalah inisiatif pemerintah
pusat yang kemudian mengalami penyesuaian karena adanya kebijakan desentralisasi
pemerintahan
di
Indonesia
mulai
2001.
Secara
struktural,
KPA
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota memang tidak langsung dibawah KPA Nasional, namun dari sisi
program, desain dan agenda program KPA Daerah merupakan refleksi dari kebijakan
program KPAN. Terlebih dengan minimnya dana (yang sebagian besar untuk biaya nonprogram) dan terbatasnya sumber daya manusia di tingkat KPA Daerah, kebergantungan
akan program dari KPAN masih besar. Program GF-ATM dan Indonesia Partnership Fund,
misalnya semakin memperkuat relasi pusat-daerah ini. Beberapa KPA Daerah
menunjukkan respon dan perkembangan tingkat kelembagaan yang berbeda. Di daerah
di mana masyarakat sipilnya aktif, misalnya Jawa Timur, Sumatera Utara dan Bali, KPAnya
daerah cenderung lebih aktif.
Terkait relasi KPAN dengan KPAP/KPAD, sekalipun secara struktural KPAN bukan atasan
KPAP/KPAD, dalam relasi suatu proyek, KPAP/KPAD bisa berperan sebagai lembaga
pelaksana KPAN yang bertindak sebagai pemegang kontrak dengan donor. Akibatnya,
sering Perda yang ada hanya sebagai dokumen kebijakan yang tidak ditindaklanjuti
dengan mekanisme pendanaan yang jelas dan program yang sesuai kondisi daerah.
Perubahan pembagian kekuasaan dan wewenang pusat dan daerah yang tidak diimbangi
dengan pembagian sumber daya yang mencukupi ke daerah, menyebabkan kebijakan
desentralisasi menyisakan banyak permasalahan dalam hal keseimbangan antara
pembagian kekuasaan dan kewenangan yang berkonsekwensi pada isu pembagian
sumber daya yang cukup antara pusat dan daerah.
Hingga kini masih ada kesulitan untuk merubah pola pikir dari project oriented atau
budget oriented kepada performance based-budgeting dan client oriented.
Paradigma orientasi proyek ini masih kuat mengakar dalam benak para pengambil
kebijakan. Berakhirnya GF pada 2015 membuktikan para pemangku kepentingan menjadi
khawatir dan tidak punya inisiatif untuk melakukan perubahan-perubahan pengelolaan
dari project oriented menjadi performance based-budgeting dan client oriented.
Faktor ini di banyak tempat membuat layanan tidak berjalan, mati suri atau diam di
tempat ketika projek berakhir, kecuali di daerah-daerah yang pemerintah daerahnya
memiliki kepedulian terhadap isu HIV & AIDS.
approach dan menciptakan lingkungan kondusif untuk pelayanan STD dan HIV/AIDS
(kebijakan, bimbingan teknis, peningkatan kapasitas, riset aksi dan surveillance).
dengan alokasi untuk layanan AIDS yang mencapai 43 % pada tahun 2013. Banyak
daerah telah mengalokasikan dana APBD tapi untuk program dan layanan masih
terbatas. Komitmen daerah untuk menganggarkan dana APBD untuk sektor kesehatan
mengalami peningkatan akan tetapi alokasi untuk program dan layanan AIDS masih
sangat terbatas.
Lahirnya UU BPJS menjadi alternatif baru untuk pembiayaan perawatan, pengobatan dan
dukungan terhadap ODHA walaupun cakupan yang dicover oleh BPJS belum
komprehensif, misalnya; obat ART, test viral load. Selain itu, sistem kapitasi yang
diberlakukan untuk program pencegahan di level layanan primer berpotensi untuk
dijadikan sumber pendanaan program pencegahan HIV/AIDS tergantung pada prioritas
daerah.
Sistem rayonisasi dalam BPJS bisa menghambat ODHA untuk mengakses layanan yang
sesuai kebutuhan di tempat ODHA berada.
C. Rekomendasi untuk Perbaikan Draft SRAN 2015- 2019 terkait dengan Integrasi
Penanggulangan HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan
Catatan awal: rekomendasi yang dipaparkan di bawah ini berfokus pada dua hal. Pertama,
sistematika penulisan terkait dengan integrasi di dalam Draft SRAN. Kedua, bentuk integrasi
yang efektif dan bisa diadopsi sesuai dengan konteks Indonesia. Namun rekomendasi kedua
ini perlu menunggu hasil dari penelitian tahap I : Integrasi Penanggulangan HIV dan AIDS
dalam Kerangka Sistem Kesehatan Nasional yang akan selesai pada Desember 2014.
Dalam mengkaji dokumen SRAN 2015-2019, meski upaya integrasi sudah disebutkan
sebagai langkah strategis untuk mengoptimalkan kinerja upaya penanggulangan HIV & AIDS
di masa mendatang tetapi di dalam dokumen tersebut belum bisa ditemukan definisi dan
konsep integrasi ke dalam sistem kesehatan secara tegas. Hal ini penting karena tujuan
dan bentuk integrasi ditentukan oleh definisi dan konsep yang perlu disepakati sebelumnya.
Berbagai bentuk integrasi yang disebutkan dalam dokumen masih terbatas pada gejalagejala yang diharapkan daripada sebuah konsep yang memiliki dasar yang kuat. Untuk itu,
perlu untuk mengembangkan kejelasan konsep integrasi upaya penanggulangan HIV & AIDS
ke dalam sistem kesehatan yang berlaku di Indonesia. Pengembangan konsep ini penting
karena secara sistematis bisa digunakan untuk memandu operasionalisasi rencana aksi
penanggulangan HIV dan AIDS baik pada tingkat nasional maupun daerah. Meski demikian,
integrasi tidak bisa dipandang sebagai tujuan, melainkan merupakan sarana untuk
mengoptimalkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
Terdapat banyak definisi integrasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks lokal1.
Merujuk pada Shigayeva, Atun, McKee dan Coker (2010), definisi integrasi yang lebih sesuai
untuk digunakan di dalam SRAN 2015-2019 adalah: sebuah struktur dan fungsi yang
berhubungan dengan penguatan dan keberlanjutan sistem kesehatan beserta komponenkomponennya untuk menjamin penggunaan sumber daya yang efektif, efisien, dan adil.
Sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional, maka kerangka pikir untuk integrasi ke dalam
1
Lihat: Richard Cooker, et al., A Conceptual and Analytical Approach to Comparative Analysis of Country case
studies: HIV and TB Control programmes and Health System integration. Health Policy and Planning 2010: 25;
121 133, bdk Rifat Atun et al., Integration of targeted health interventions into health systems: A conceptual
framework for analysis Health Policy and Planning 2010: 25; 104 -111; A. Conseil S.et al., Integration of health
systems and priority health interventions: a case study of the integration of HIV and TB control programmes
into the general health system in Vietnam. Health Policy and Planning, 2010 ; 25 suppl1: i32-i36; R. Windisch,D.
de Savigny, G.Onadja et al., HIV treatment and reproductive health in the health system in Burkina Faso:
Resource allocation and the need for integration. Reproductive Health Matters, 2011:19; 163 -175.
sistem kesehatan berbasis pada tujuh komponen; (1) regulasi dan tata kelola; (2)
pembiayaan; (3) upaya kesehatan; (4) informasi strategis, (5) sumberdaya manusia, (6)
penyediaan obat dan perlengkapan medik dan (7) pemberdayaan masyarakat.
Kerangka untuk memahami konsep integrasi ini didasarkan pada pemahaman bahwa upaya
penanggulangan AIDS sebagai sebuah intervensi kesehatan yang spesifik dan diinisiasi dan
dikembangkan secara vertikal perlu diintegrasikan ke dalam berbagai komponen sistem
kesehatan yang berlaku dan menjadi dasar bagi upaya pembangunan kesehatan di
Indonesia agar bisa lebih mampu untuk meningkatkan derajat kesehatan kelompok yang
terdampak dan masyarakat secara umum, memberikan perlindungan finansial yang lebih
besar dan peka terhadap perubahan kebutuhan dari kelompok tersebut dan masyarakat.
Integrasi mencakup dimensi integrasi struktural dan fungsional dari sistem kesehatan. Secara
struktural, integrasi mengandaikan adanya pembagian peran dan tanggung jawab dan
hubungan yang jelas diantara pemangku kepentingan strategis di dalam penanggulangan
HIV dan AIDS di dalam kerangka kebijakan dan regulasi yang berlaku atau diacu di dalam
sistem kesehatan nasional2. Sementara itu secara fungsional, berbagai fungsi atau kompunen
upaya penanggulangan HIV dan AIDS mencerminkan dan menggunakan berbagai
komponen di dalam sistem kesehatan sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
pembangunan kesehatan di Indonesia.
Seberapa besar jauh tingkat integrasi yang diharapkan dari upaya penanggulangan AIDS ke
dalam sistem kesehatan akan bergantung pada konteks eksternal dari sistem kesehatan dan
upaya penanggulangan HIV dan AIDS ini seperti faktor kebijakan desentralisasi dan situasi
ekonomi, sosial, demografi dan epidemiologi dari suatu wilayah. Dengan demikian, tingkat
integrasi fungsional penanggulangan HIV dan AIDS ini akan berbeda-beda tergantung oleh
situasi dan konteks daerahnya masing-masing. Meskipun demikian, secara struktural
integrasi penanggulangan AIDS akan mengacu pada kebijakan desentralisasi yang berlaku
secara nasional. Gambaran model integrasi yang bisa dikembangkan bisa dilihat pada
gambar di bawah ini.
Shigayeva, Rifat Atun, Martin McKee and Richard Coker, Health Systems, Communicable disease and
Integration, Health Policy and Planning, 2010:25: 14-120.
*politik;
ekonomi,demografi,
legislasi, sosial
budaya, teknologi
epidemiologi, inisiatif
global,
Pembiayaan
Kontekx Eksternal*
Regulasi dan
Tata Kelola
Upaya
Kesehatan
SDM
Informasi
Strategis
Obat dan
Perlengkapan
medik
Pembiayaan
Upaya Kesehatan
Pemberdayaan
Masyarakat
SDM
Informasi Strategis
Pemberdayaan
Masyarakat
Dengan menggunakan kerangka berpikir seperti dig atas, maka kami merekomendasikan
beberapa hal di bawah ini untuk dipertimbangkan di dalam merancang upaya
mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan seperti
yang tergambar dalam naskah SRAN 2015-2019. Rekomendasi-rekomendasi untuk upaya
melakukan integrasi adalah sebagai berikut:
a) Komponen Regulasi dan Tata Kelola
Pada
dasarnya
komponen
regulasi
dan
tata
kelola
di
dalam
upaya
Diadaptas dari Richard Cooker, et al., A Conceptual and Analytical Approach to Comparative Analysis of
Country case studies: HIV and TB Control programmes and Health System integration. Health Policy and
Planning 2010: 25; 121 133
10
Selama ini sudah cukup banyak kebijakan dan peraturan yang dikembangkan
untuk mendukung penyelenggaraan penanggulangan HIV dan AIDS tetapi masih
ditemukan berbagai hambatan di dalam pelaksanaan baik dari struktur dan isi
peraturan maupun di dalam pelaksanaannya karena belum dirancang dalam
peraturan dan regulasi yang telah dikembangkan dalam sistem kesehatan
nasional. Oleh karena itu, secara mendasar sangat mendesak untuk dilakukannya
sinkronisasi dan penguatan implementasi kebijakan dan regulasi yang telah
dikeluarkan di level nasional dan daerah sebagai dasar untuk melakukan upaya
penanggulangan HIV dan AIDS. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas peran,
tanggung jawab dan relasi antar komponen, antar sektor, antar program dan
regulasi nasional dan daerah dalam penanggulangan AIDS. Sebagai contoh,
memperkuat regulasi tentang kelembagaan pengelolaan penanggulangan HIV &
AIDS yang diatur dalam PP 75 tahun 2006 dan Permendagri 20 tahun 2007
dengan mengacu pada UU Kesehatan, UU Otonomi Daerah, PP No. 38 Tahun
2007 dan Permenkes 21 tahun 2013 tentang Upaya Penanggulangan AIDS.
11
b) Komponen Pembiayaan
sumber
pembiayaan,
pengalokasian
dana
dan
mekanisme
c)
Belajar dari pengalaman integrasi layanan HIV dan AIDS selama ini, ada beberapa
layanan khususnya yang bersifat preventif (tes dan konseling HIV, PMTCT,
penyediaan metadon, atau penapisan IMS) dan kuratif (pengobatan IMS, terapi
ARV dan pengobatan IO) telah terintegrasi dengan baik layanan kesehatan primer
yang tersedia. Namun demikian, ada pula integrasi kegiatan yang bersifat
12
sebagai
dasar
pengambilan
keputusan
pada
tingkat
Salah satu ketimpangan utama dalam ketersediaan informasi strategis selama ini
adalah terkonsentrasinya data program (epidemilogi, kinerja program, status
kesehatan) di tingkat nasional sehingga tidak memungkinkan daerah untuk
melakukan perencanaan program. Oleh karena itu, dengan mengintegraskan ke
dalam SIKNAS/SIKDA, daerah memiliki akses sumber data yang memadai untuk
mengembangkan perencanaan penanggulangan HIV dan AIDS berbasis data
wilayah.
13
yang bekerja di sektor kesehatan saja tetapi juga melibatkan mereka yang bekerja
di sektor non-kesehatan seperti petugas lapangan, kader, manajer kasus, konselor
dan pendamping ODHA. Mengintegrasikan sumber daya manusia untuk
penanggulangan HIV dan AIDS perlu sekali untuk memperhatikan situasi ini
mengingat sumber daya manusia ini memiliki peran yang sangat strategis untuk
memastikan pelayanan kesehatan bisa diakses dan dimanfaatkan oleh mereka
yang membutuhkan.
Kualitas sumber daya manusia yang bekerja dalam penanggulangan HIV dan
AIDS yang diharapkan adalah SDM yang responsif terhadap kebutuhan kesehatan
masyarakat/individual, bekerja secara efisien, dan memiliki kompeten manajerial
dan teknis yang memadai. Berbagai pengembangan kapasitas yang telah
dilakukan di dalam penanggulangan HIV dan AIDS perlu disesuaikan atau
diselaraskan dengan sistem pengembangan SDM yang ada di sistem kesehatan
yang ada misalnya pelatihan aparatur atau pelatihan teknis yang diselenggarakan
oleh
Pusdiklat
Kemenkes
atau
pengembangan
kapasitas
SDM
yang
14
Untuk itu upaya untuk melibatkan (engage) populasi terdampak HIV dan AIDS,
masyarakat sipil dan swasta menjadi sangat stategis di dalam penanggulangan
HIV dan AIDS ini. Kemitraan pemerintah, masyarakat sipil dan swasta perlu
ditunjukkan secara konkrit di dalam pengembangan, implementasi dan
monitoring/evaluasi kebijakan dan program yang ada dengan melalui mekanisme
yang telah ada seperti musrenbang, forum KPAN/D, jaringan masyarakat sipil, dan
asosiasi bisnis.
Peran yang lebih besar pada SKPD untuk penguatan kapasitas ekonomi dan sosial
dari ODHA dan populasi kunci perlu diperkuat dalam SRAN 2015-2019 dengan
mengoptimalkan jaringan kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat
sipil. Kemitraan ini seperti halnya dalam sektor kesehatan bisa diwujudkan mulai
dari pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan sampai menciptakan
lingkungan yang mendukung untuk mengurangi efek pengembangan usaha,
seperti pendidikan dan pelatihan untuk pekerja dan masyarakat sekitar usaha
mereka mengenai persoalan HIV dan AIDS. Peran media dapat melakukan
edukasi khalayak luas terkait penanggulangan HIV dan AIDS dalam sistem
kesehatan di Indonesia dikembangkan dengan membangun MOU dengan
lembaga media sebagai bagian dari kebijakan KIE.
Peran masyarakat sipil lain yang perlu memperoleh perhatian yang lebih besar
untuk mendorong integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem
kesehatan adalah perguruan tinggi. Tidak banyak perguruan tinggi di Indonesia
yang memberikan perhatian terhadap permasalahan HIV dan AIDS sebagai
masalah
kesehatan
masyarakat
15
melalui
penelitian,
pengajaran
maupun
16