Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
AL-QURAN SEBAGAI
OBAT SEGALA PENYAKIT
Iftith
Perbincangan
mengenai
al-Quran
atau
penawar)
terhadap penyakit, hingga saat ini masih menjadi perbicangan yang menarik.
Apalagi, ketika wacana itu dilanjutkan dengan fungsinya (al-Quran) sebagai rahmat
(karunia) Allah. Benarkah al-Quran itu memiliki kegunaan yang seperti itu, dan
apakah nilai kegunaannya bersifat mutlak atau relatif? Inilah yang kemudian memicu
para mufassir (para tafsir) al-Quran untuk menjelaskannya dengan berbagai ragam
pendekatan dan metodenya. Tetapi, ketika kita cermati, semuanya bermuara pada
satu
pendapat,
bahwa
efektivitas
bergantung
kegunaan
pada
manusia
al-Quran
yang
Dan Kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi obat (penawar) dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah kepada orangorang yang zalim selain kerugian. (QS al-Isr/17: 82)
Tafsr al-Mufradt
: Kami turunkan. Maksudnya Kami (Allah) wahyukan ayat-ayat Kami
melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad s.a.w. bagi seluruh
hamba Kami, yang semuanya telah terkodifikasi di dalam kitab suci
al-Quran.
: Dari al-Quran. Kata min dalam ayat ini, menurut pendapat
yang rjih (kuat) menjelaskan (bayniyyah) jenis dan spesifikasi yang
dimiliki al-Quran. Kata min di sini tidak bermakna sebagian
(badhiyyah) yang mengesankan bahwa di antara ayat-ayat al-Quran
ada yang tidak termasuk syif` (obat atau penawar) sebagaimana
yang dirjihkan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah.
Kata min pada ayat ini seperti hal yang terdapat dalam firman-Nya:
Al-dhh (Penjelasan)
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakanbahwa sesungguhnya al-Quran
itu merupakan obat (penawar) dan rahmat bagi kaum yang beriman. Bila seseorang
mengalami keraguan, penyimpangan dan kegundahan yang terdapat dalam hati,
maka al-Quran-lah yang menjadi obat (penawar) semua itu. Di samping itu al-Quran
merupakan
rahmat
yang
membuahkan
kebaikan
dan
mendorong
untuk
melakukannya. Kegunanaan itu tidak akan didapatkan kecuali bagi orang yang
mengimani (membenarkan) serta mengikutinya. Bagi orang yang seperti ini
(beriman), al-Quran akan berfungsi menjadi obat (penawar) dan sekaligus rahmat
baginya. Adapun bagi orang kafir yang telah dengan sengaja mezalimi diri
sendiri dengan sikap kufurnya, maka tatkala mereka mendengarkan dan membaca
ayat-ayat al-Quran, tidaklah bacaan ayat-ayat al-Quran itu tidak akan berguna bagi
mereka, melainkan mereka bahkan akan semakin jauh dan semakin bersikap
kufur, karena hati mereka telah tertutup oleh dosa-dosa yang mereka perbuat. Dan
yang menjadi sebab bagi orang kafir menjadi semakin jauh dari kesembuhan dari
penyakit dan rahmat Allah itu bukanlah karena (kesalahan) bacaan aya-ayat (alQuran)-nya, tetapi karena (disebabkan oleh) sikap mereka yang salah terhadap alQuran. Sebagaimana firman Allah Subhanhu wa Tala:
Katakanlah: Al-Quran itu adalah petunjuk dan obat (penawar) bagi orang-orang
yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada
sumbatan sedang al-Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah
orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh. (QS Fushshilat/41: 44)
Dan apabila diturunkan suatu surat maka di antara mereka ada yang berkata:
Siapakah di antara kamu yang bertambah iman dengan surat ini? Adapun orangorang yang beriman maka surat ini menambah iman sedang mereka merasa
gembira. Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit maka
dengan surat itu bertambah kekafiran mereka di samping kekafiran dan mereka
mati dalam keadaan kafir. (QS at-Taubah/9: 124-125)
Dan
masih
banyak
ayat-ayat
yang
menjelaskan
tentang
hal
ini.
Abdurrahman As-Sadi misalnya berkata pula dalam menjelaskan ayat ini: AlQuran mengandung obat (penawar) dan rahmat. Dan ini tidak berlaku untuk semua
orang, namun hanya berlaku bagi orang yang beriman yang membenarkan ayatayat-Nya dan berilmu dengannya. Adapun bagi orang-orang zalim yang tidak
membenarkan dan tidak mengamalkan maka ayat-ayat tersebut tidaklah
menambah bagi mereka kecuali kerugian. Karena hujjah telah ditegakkan kepada
mereka dengan ayat-ayat itu.
Obat (penawar) yang terkandung dalam al-Quran bersifat umum, meliputi
obat (penawar) hati dari berbagai syubhat kejahilan berbagai pemikiran yang
merusak penyimpangan yang jahat dan berbagai tendensi yang batil. Sebab ia
memahami,
menghayati
dan
mengamalkna
isi
al-Quran.
Maka
pertanyaan
penting
lainnya
adalah
apakah
al-Quran
dapat
hal
ini
para
ulama
menukilkan
dua
pendapat:
Ada
yang
mengkhususkan penyakit hati dan ada pula yang menyebutkan penyakit jasmani
dengan cara meruqyah ber-taawudz dan semisal dengannya. Ikhtilaf ini disebutkan
al-Qurthubi dalam kitabnya: Al-Jmi li Ahkmil Qurn. Demikian pula disebutkan
oleh asy-Syaukani dalam kitab Fathul Qadr, dengan pernyataannya: Dan tidak ada
penghalang untuk membawa ayat ini kepada dua makna tersebut. Pendapat ini
semakin ditegaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Zdul Mad: AlQuran adalah obat (penawar) yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani
demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Dan tidaklah tiap orang diberi keahlian
dan taufiq untuk menjadikan sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat
dengan dan meletakkan pada penyakit yang dideritanya dengan penuh kejujuran
dan keimanan, berupa penerimaan yang sempurna dan keyakinan yang kokoh dan
menyempurnakan syarat-syaratnya, niscaya penyakit apa pun akan menjadi tawar
(sembuh) karena kehendak-Nya. Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu
menghadapi kehendak Dzat yang memiliki langit dan bumi (Allah) yang telah
menciptakannya. Jika diturunkan kepada gunung maka ia akan menghancurkannya.
Atau diturunkan kepada bumi maka ia akan membelahnya. Maka tidak satu pun jenis
penyakit baik penyakit hati maupun jasmani melainkan dalam al-Quran ada cara
yang membimbing untuk berobat dan dan menghilangkan sebab-sebab yang
mengakibatkan terjadinya. Sebagaimana yang bisa dipahami dari firman Allah,
berkenaan dengan sikap Nabi Ibrahim a.s.:
Dan apabila aku (Ibrahim) sakit, Dia (Allah)-lah yang menyembuhkan diriku. (QS
asy-Syuar/26: 80).
Inilah yang oleh para pakar tafsir disebut sebagai sikap tawakkal dari
seorang hamba (yang direpresentasikan oleh Nabi Ibrahim a.s.). Ketika suatu saat
dirinya sakit, dia yakin bahwa Allahlah yang berkuasa untuk memberikan
kesembuhan. Sehingga, semua obat (penawar) termasuk al-Quran tidak akan
bermakna apa pun tanpa ridha Allah.
Berikut ini kami sebutkan beberapa riwayat berkenaan tentang pengobatan
dengan (media/sarana) al-Quran. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.. Beliau (Aisyah r.a) berkata:
.
Nabi s.a.w. telah disihir, hingga seakan-akan beliau berangan-angan telah berbuat
sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, hingga ketika beliau berada di
sampingku, beliau berdoa kepada Allah dan selalu berdoa, kemudian beliau
bersabda: Wahai Aisyah, apakah kamu telah merasakan bahwa Allah telah
memberikan fatwa (menghukumi) dengan apa yang telah aku fatwakan (hukumi)?
Jawabku; Apa itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Dua orang laki-laki telah
datang kepadaku, lalu salah seorang dari keduanya duduk di atas kepalaku dan
satunya lagi di kakiku. Kemudian salah seorang berkata kepada yang satunya;
Menderita sakit apakah laki-laki ini? temannya menjawab; Terkena sihir. salah
seorang darinya bertanya; Siapakah yang menyihirnya? temannya menjawab;
Labid bin al-Asham seorang Yahudi dari Bani Zuraiq. Salah satunya bertanya;
Dengan benda apakah dia menyihir? temannya menjawab; Dengan rambut yang
terjatuh ketika disisir dan seludang mayang kurma. Salah seorang darinya
bertanya; Di manakah benda itu di letakkan? temannya menjawab; Di dalam
sumur Dzi Arwan. Kemudian Rasulullah s.a.w. mendatangi sumur tersebut bersama
beberapa orang sahabatnya, beliau pun melihat ke dalam ternyata di dalamnya
terdapat pohon kurma, lalu beliau kembali menemui Aisyah dan bersabda: Wahai
Aisyah! seakan-akan airnya berubah bagaikan rendaman pohon inai atau seakanakan pohon kurmanya bagaikan kepala setan. Aku bertanya; Wahai Rasulullah,
tidakkah anda mengeluarkannya? beliau menjawab: Tidak, sesungguhnya Allah
telah menyembuhkanku dan aku hanya tidak suka memberikan kesan buruk kepada
orang
lain
dari
peristiwa
itu.
Kemudian
beliau
memerintahkan
seseorang
membawanya (barang yang dipakai untuk menyihir) lalu menguburnya. (HR Bukhari
dari Aisyah, Shahh al-Bukhriy, VII/178, hadits no. 5766)
Nabi s.a.w. telah disihir. Dan berkata Al-Laits; Hisyam menulis surat kepadaku
bahwa dia mendengarnya, dia anggap dari bapaknya dari Aisyah r.a. berkata; Nabi
s.a.w. telah disihir hingga terbayang oleh beliau seolah-olah berbuat sesuatu
padahal tidak. Hingga pada suatu hari Beliau memanggil-manggil kemudian berkata:
Apakah kamu menyadari bahwa Allah telah memutuskan tentang kesembuhanku?.
Telah datang kepadaku dua orang, satu diantaranya duduk dekat kepalaku dan yang
satu lagi duduk di dekat kakiku. Yang satu bertanya kepada yang lainnya; Sakit apa
orang ini?. Yang lain menjawab; Kena sihir. Yang satu bertanya lagi; Siapa yang
menyihirnya?. Yang lain menjawab; Labid bin Al-Asham. Yang satu bertanya lagi;
Dengan cara apa?. DIjawab; Dengan cara melalui sisir, rambut yang rontok saat
disisir dan putik kembang kurma jantan. Yang satu bertanya lagi; Sekarang sihir
itu diletakkan dimana?. Yang lain menjawab; Di sumur Dzarwan. Maka Nabi s.a.w.
pergi mendatangi tempat tersebut kemudian kembali dan berkata kepada Aisyah
setelah kembali; Putik kurmanya bagaikan kepala-kepala setan. Aku bertanya;
Apakah telah baginda keluarkan?. Beliau berkata: Tidak, karena Allah telah
menyembuhkan aku. Namun aku khawatir bekasnya itu dapat memengaruhi
manusia, maka sumur itu aku urug (timbun). (HR Muslim dari Aisyah, Shahh
Muslim, VII/14, hadits no. 5832)
Hadits
ini
disamping
diriwayatkan
Bukhari
dalam Shahh
al-Bukhariy
dan Muslim dalam Shahh Muslim, juga diriwayatkan oleh Asy-Syafii, dalam Musnad
asy-Syafii, hal 1401, hadits no. 289; Al-Asfahani dalamDal`ilun Nubuwwah, VI/247.
Al-Alka`i juga meriwayatkannya dalam Syarah Ushl Itiqd Ahlis Sunnah, namun di
dalamnya ada tambahan bahwa Aisyah berkata: Dan turunlah (ayat): qul adzu
bi rabbil falaq,hingga selesai bacaan surah tersebut.
Demikian pula yang diriwayatkan Bukhari dalam Shahih al-Bukhriy dari Abu
Said Al-Khudriy r.a.. Beliau berkata:
Ada rombongan beberapa orang dari sahabat Nabi s.a.w. yang bepergian dalam
suatu perjalanan hingga ketika mereka sampai di salah satu perkampungan
Arab, penduduk setempat mereka meminta agar bersedia menerima mereka
sebagai tamu penduduk tersebut, namun penduduk menolak. Kemudian kepala suku
kampung tersebut terkena sengatan binatang lalu diusahakan segala sesuatu untuk
menyembuhkannya namun belum berhasil. Lalu diantara mereka ada yang berkata:
Coba kalian temui rombongan itu semoga ada diantara mereka yang memiliki
sesuatu. Lalu mereka mendatangi rombongan dan berkata: Wahai rombongan,
sesunguhnya kepala suku kami telah digigit binatang dan kami telah mengusahakan
pengobatannya namun belum berhasil, apakah ada di antara kalian yang dapat
menyembuhkannya? Maka berkatalah seorang dari rombongan itu: Ya, demi Allah
aku akan mengobati, namun demi Allah kemarin kami meminta untuk menjadi tamu
kalian, namun kalian tidak berkenan. Maka aku tidak akan menjadi orang yang
mengobati kecuali bila kalian memberi upah. Akhirnya mereka sepakat dengan
imbalan puluhan ekor kambing. Maka dia berangkat dan membaca Alhamdulillh
rabbil lamn (QS al-Ftihah) seakan penyakit lepas dari ikatan tali padahal dia pergi
tidak membawa obat apapun. Dia berkata: Maka mereka membayar upah yang
telah mereka sepakati kepadanya. Seorang dari mereka berkata: Bagilah kambingkambing itu! Maka orang yang mengobati berkata: Jangan kalain bagikan hingga
kita temui Nabi s.a.w., lalu kita ceritakan kejadian tersebut kepada Beliau (Nabi)
s.a.w., dan kita tunggu apa yang akan Beliau perintahkan kepada kita. Akhirnya
rombongan itu pun menghadap Rasulullah s.a.w., lalu mereka ceritakan peristiwa
tersebut. Beliau pun berkata: Kamu tahu dari mana kalau al-Ftihah itu bisa
sebagai ruqyah (obat)? Kemudian Beliau melanjutkan: Kalian telah melakukan
perbuatan
upah
kambing-kambing
tersebut dan
Beberapa orang sahabat Nabi s.a.w. melewati sumber mata air dimana terdapat
orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di
sumber mata air tersebut datang dan berkata; Adakah di antara kalian seseorang
yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada
seseorang yang tersengat binatang berbisa. Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi
ke tempat tersebut dan membacakan al-ftihah dengan upah seekor kambing.
Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa
kambing itu kepada teman-temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan
hal itu, mereka berkata; Kamu mengambil upah atas kitbullh? setelah mereka
tiba di Madinah, mereka berkata; Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas
kitabullah. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya upah yang paling
berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitbullh. (HR Bukhari dari
Abdullah bin Abbas, Shahh al-Bukhriy, VII/170, hadits no. 5737)
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah s.aw. bersabda:
Sebaik-baik obat adalah al-Qur`an. (HR Ibnu Majah dari Ali bin Abi Thalib, Sunan
ibn Mjah, IV/538, hadits no. 3501)
Dan hadits:
Al-Quran adalah obat. (HR al-Qadhai dari Ali bin Abi Thalib, Musnad asy-Syihb alQadhi, I/46, hadits no. 28)
Kedua adalah hadits itu dinilai dhaif oleh para ulama hadits. Antara lain oleh
Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitab Silsilah al-Ahdts adh-Dhafah wa alMaudhah, IV/63, hadits no. 1559 dan (kitab) Shahh wa Dhaf Al-Jmi ash-Shaghr,
XVIII/212, hadits 4135.
An-Natjah (Kesimpulan)
Al-Quran diwahyukan oleh Allah, antara lain sebagai obat (penawar) dan
rahmat (karunia) bagi orang-orang yang beriman. Dan, meskipun al-Quran bisa juga
dibaca oleh orang-orang tidak beriman, fungsinya sebagai obat (penawar) dan
rahmat tidak akan dirasakan oleh mereka. Bukan karena kesalahan al-Qurannya,
tetapi karena mereka tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan obat (penawar)
dan rahmat dari Allah melalu (media/sarana) al-Quran itu.
Oleh karena itu, para ulama menjelaskan, bahwa untuk mendapatkan
pengobatan dan rahmat Allah melalu media/sarana al-Quran, setiap orang harus
memenuhi persyaratan utamanya, yaitu: iman. Tanpa persyaratan utama itu, maka
fungsi al-Quran sebagai obat (penawar) dan rahmat dari Allah tidak akan pernah
diperoleh oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun.
Dari penjelasan inilah, (kemudian) para ulama menjelaskan bahwa faktor
utama yang akan mengakibatkan seseorang akan memeroleh kesembuhan dari
setiap penyakit dan rahmat dari Allah adalah: iman. Semakin kokoh iman
seseorang, maka dengan media/sarana al-Quran, seseorang akan lebih bisa
berharap untuk mendapatkan kesembuhan dari setiap penyakit dan rahmat dari
Allah. Dan sebaliknya, dengan (modal) keimanan yang lemah, seseorang akan
mengalami kesulitan untuk mendapatkan kesembuhan dari semua penyakit yang
menimpanya dan (juga) harapan untuk memeroleh rahmat dari Allah, karena
lemahnya modal yang dimiliki. Apalagi ketika seseorang itu sama sekali tidak
memiliki iman, maka harapan untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang
diderita dan perolehan rahmat dari Allah dapat diprediksi sama sekali tidak akan
pernah diperoleh.
Maka dari itu, agar kita bisa memeroleh kesembuhan dari semua penyakit
yang tengah kita alami melalu pengobatan yang kita lakukan dengan media/sarana
al-Quran dan juga harapan kita untuk menggapai rahmat dari Allah, kita (mulai saat
ini) tidak boleh tidak, harus memerkokoh keimanan kita, sebagai prasyarat utama
untuk menggapai kesembuhan (obat) dan rahmat dari Allah melalui proses
pembacaan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan kitab suci al-Quran.
Wallhu Alamu bish-Shawb.