DEFINISI
Vitiligo adalah suatu penyakit kulit autoimun herediter yang didapat dan
bersifat progresif, berbentuk makula-patch bulat berwarna putih seperti susu yang
dapat mengenai kulit dan/atau membran mukosa akibat amelanosis kulit.3
EPIDEMIOLOGI
Vitiligo dapat menyerang setiap individu dengan berbagai ras di seluruh
dunia. Diperkirakan prevalensinya sekitar 1-2% dari populasi dunia. Vitiligo
utamanya menyerang anak-anak dan semua usia, akan tetapi setengah dari
penderita berada pada usia dibawah 20 tahun. Onset tertinggi berada pada rentang
usia 10-30 tahun dengan rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan
setara.9-13 Berbeda dengan usia dewasa, vitiligo pada anak lebih cenderung
mengenai perempuan. Hanya 8% vitiligo pada usia dewasa memiliki riwayat
keluarga yang positif, sedangkan pada anak, riwayat positif sebanyak 12-35%.14
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Penyebab pasti dari vitiligo hingga kini masih belum diketahui. Hipotesis
terkini menyatakan bahwa faktor genetik memegang peranan penting terhadap
perkembangan penyakit vitiligo. Pada pasien dengan vitiligo non-segmental dan
riwayat keluarga positif menderita vitiligo, penyakit ini terjadi pada usia yang
lebih muda (rata-rata pada usia 24,8 tahun), sedangkan pada pasien dengan
riwayat keluarga negatif terjadi rata-rata pada usia 42,2 tahun.15 Vitiligo onset
sangat dini (dibawah usia 7 tahun) juga didapat pada anak-anak dengan riwayat
vitiligo yang positif.17
Penelitian
terkini
menunjukkan
bahwa
terdapat
dua
cara
yang
Antigen) yang berhubungan erat dengan vitiligo dengan riwayat keluarga yang
positif, onset terjadinya, tingkat keparahan penyakit, dan latar belakang etnis.
Patogenesis vitiligo dinyatakan dalam berbagai teori, yaitu teori autoimun,
teori stress oksidatif, dan teori neurogenik.3
Teori Autoimun
Teori autoimun didukung pada investigasi yang bersifat dasar dan klinis.3
Beberapa peneliti menyatakan bahwa peningkatan insiden autoimmune thyroiditis
pada pasien dengan vitiligo telah dideterminasi secara genetik. Lokus pada
kromosom 1 yang mengalami gangguan (Autoimmune susceptibility locus on
chromosome 1/AIS1), dikombinasi dengan faktor eksternal diduga memprovokasi
terjadinya reaksi autoimun yang berkembang menjadi autoimmune thyroiditis atau
yang lebih dikenal sebagai Tiroiditis Hashimoto.
Salah satu gangguan pada gen yang terletak pada kromosom 17p13
berkontribusi terhadap perkembangan beberapa penyakit autoimun: vitiligo
generalis, autoimmune thyroiditis, diabetes mellitus dengan ketergantungan
insulin, rheumatoid arthritis, psoriasis, anemia pernisiosa, systemic lupus
erythematosus, dan penyakit Addison. Berdasarkan penelitian terhadap protein
NALP1, gen yang memegang peranan terhadap imunitas seluler, variasi sequence
DNA pada gen ini berhubungan dengan peningkatan risiko untuk terkena vitiligo
generalis dan atau tiroiditis.19
Teori mengenai mekanisme imunitas seluler yang berhubungan dengan
kerusakan melanosit pada penyakit vitiligo kemungkinan disebabkan secara
langsung oleh sel T sitotoksik yang autoreaktif. Peningkatan jumlah CD8 + limfosit
sitotoksik reaktif terhadap MelanA/Mart1 (antigen melanoma yang dikenali sel
T), glikoprotein 100, dan tirosinase, telah dilaporkan pada pasien dengan vitiligo.
Sel T CD8+ yang telah aktif banyak ditemukan pada perilesi vitiligo.3
Teori Stres Oksidatif
Teori stres oksidatif berbasis pada hipotesis yang mengarah pada
ketidakseimbangan antara kadar antioksidan dan radikal bebas toksik pada
melanosit penderita vitiligo. Peningkatan kadar oksidan yang diiringi dengan
bahwa
mediator kimia tertentu dilepaskan dari ujung saraf yang mempengaruhi produksi
melanin. Lebih lanjut, produksi keringat dan vasokonstriksi meningkat pada patch
depigmentasi vitiligo, menunjukkan peningkatan aktivitas adrenergik.25
MANIFESTASI KLINIS
Tampilan terbanyak pada vitiligo adalah amelanotik total (sebagai contoh
gambaran seperti susu atau kapur putih) berbentuk makula dan patch yang
mengelilingi kulit normal. Karakteristik lesi memiliki sebaran yang biasanya
diskret, dapat berbentuk bulat, oval, ireguler, bahkan linier. Tepinya biasanya
dengan
10
11
12
13
14
lesi yang lebih luas, kortikosteroid topikal potensi sedang tanpa fluorinasi sering
digunakan.
Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat digunakan untuk memonitor respon
terapi. Jika respon tidak tampak setelah penggunaan selama 3 bulan, terapi harus
dihentikan. Semakin gelap kulit pasien dengan vitiligo, semakin besar
kemungkinan responnya terhadap kortikosteroid topikal.3
Imunomodulator Topikal
Takrolimus topikal ointment 0,03 persen hingga 0,01 persen efektif untuk
repigmentasi kulit pada penderita vitiligo jika digunakan dua kali sehari, terutama
untuk lesi di wajah dan leher. Telah dilaporkan bahwa penggunaannya bersamaan
dengan Ultraviolet B (UVB) atau terapi laser excimer (308 nm). Takrolimus
ointment diperkirakan secara umum lebih aman untuk anak dibandingkan
kortikosteroid topikal.3 Pada dewasa, efikasi penggunaan terapi imunomodulator
hanya terbatas pada wajah dan leher saja, sedangkan untuk daerah tubuh lainnya
seperti pada batang tubuh menunjukkan hasil yang bervariasi.22
Kalsipotriol Topikal
Kalsipotriol topikal 0,005% menghasilkan repigmentasi yang bisa diterima
secara kosmetik pada penderita vitiligo.3 Kalsipotriol topikal atau sintetik vitamin
D3 ini bisa menginduksi hasil yang mirip saat diterapi radiasi dengan sinar UV
(pembengkakan melanosit pada epidermis dan meningkatkan aktivitas enzim
tirosinase yang berdampak pada peningkatan sintesis melanin pada epidermis). 23
Terapi kalsipotriol ini juga bisa dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal
misalnya betametason dipropionat 0,05%. Pada penelitian terkini, kombinasi
keduanya menimbulkan efek repigmentasi dengan onset yang lebih cepat dan efek
samping minimal.24
Fototerapi
Terapi ini berprinsip untuk menginduksi pembentukan melanin dengan
bantuan sinar ultraviolet (UV), baik A ataupun B. Secara biologis, UVB lebih
efektif dibandingkan UVA. Mekanisme pasti bagaimana UVB bisa menginduksi
repigmentasi masih belum diketahui pasti, tetapi diduga UVB memilik efek
imunomodulasi, stimulasi pertumbuhan dan proliferasi melanosit.
Pada tahun 1940, 8-metoxypsoralen dikombinasikan dengan UVA (PUVA)
diperkenalkan sebagai terapi vitiligo. PUVA dapat diberikan secara topikal
ataupun oral. Setelah lesi disinari dengan UVA, psoralen secara kovalen mengikat
15
DNA dan menginduksi replikasi sel. PUVA juga dapat menstimulasi enzim
aktivitas enzim tirosinase (enzim esensial untuk menginduksi sintesis melanin)
pada kulit yang tidak terkena. Mekanisme bagaimana PUVA menimbulkan efek
repigmentasi pada vitiligo masih belum sepenuhnya diketahui. Penggunaan PUVA
bisa sering dan mencakup waktu hingga berbulan-bulan. Kira-kira sebesar 7080% pasien yang diterapi dengan PUVA menunjukkan respon (repigmentasi),
tetapi persentase pasien dengan repigmentasi total kurang dari 20%. Pada pasien
dengan vitiligo generalis, terapi dengan UVB spektrum sempit (Narrow Band
Ultra Violet B/NB-UVB) lebih efektif dibandingkan dengan terapi PUVA (67
berbanding 46 persen). Jika terapi dengan NB-UVB setelah 6 bulan tidak
menunjukkan kemajuan, terapi ini sebaiknya dihentikan.3
Laser
Terapi laser telah dipelajari pada beberapa percobaan, dan ditemukan bahwa
terapi ini paling efektif ketika diberikan tiga kali seminggu, dengan periode terapi
lebih dari 12 minggu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil repigmentasi yang
memuaskan. Dosis inisial adalah 50-100 ml/cm 2. Sebagaimana standar fototerapi,
laser menghasilkan hasil terapi paling baik pada wajah, dan area yang kurang
responsif pada tangan dan kaki.
Depigmentasi
Monobenzil eter dari hidrokuinon (Monobenzon) merupakan satu-satunya
agen depigmentasi yang ada untuk depigmentasi sisa kulit yang normal pada
pasien dengan vitiligo berat. Monobenzon merupakan toksin fenol yang merusak
melanosit epidermis setelah penggunaan yang lama. Monobenzon kemudian dapat
menghasilkan depigmentasi yang seragam dan merata yang secara kosmetik dapat
lebih diterima oleh banyak pasien. Monobenzon tersedia dalam bentuk cream 20%
dan dapat diformulasikan pada konsentrasi hingga 40%. Individu yang
menggunakan monobenzon harus menghindari kontak langsung dengan orang lain
selama 1 jam setelah pemberian terapi, oleh karena kontak langsung dapat
menyebabkan terjadinya depigmentasi pada kulit yang tersentuh. Monobenzon
juga bisa jadi mengiritasi dan menimbulkan sensitisasi alergi.
Autolog Thin Thiersch Grafting
16
17
PROGNOSIS
Vitiligo merupakan penyakit kronis, dan prognosis vitiligo cukup beragam.
Onset penyakit yang berkembang cepat dapat diikuti oleh periode stabil atau
perkembangan lambat. Hingga 30% pasien dapat terjadi repigmentasi spontan
pada beberapa area, khususnya area-area yang sering terekspos sinar matahari.
Perkembangan penyakit yang cepat pada vitiligo dapat mengarah pada
depigmentasi luas dengan kehilangan pigmen secara menyeluruh pada kulit dan
rambut, tapi tidak pada mata. Pengobatan vitiligo yang disesuaikan dengan
penyakit yang mendasarinya (seperti penyakit tiroid) tidak berpengaruh pada
prognosis vitiligo. Satu hal yang cukup mengejutkan adalah rendahnya angka
kejadian keratosis solaris, SCCIS, SCC infasif, atau BCE pada bercak vitiligo.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bolognia, J. L., Jorizzo, J. L., Schaver, J. V. Dermatology 3 rd Edition. New
York: Elsevier Saunders, 2012.
18
19
21. Al Abadie, M. S. K., Senior, H. J., Bleehen, S. S., et al. Neuropeptide and
Neuronal Marker Studies in Vitiligo. British Journal of Dermatology, 1994;
131 (2): 160-5.
22. Choi, C. W., Chang, S. E., Bak, H., et al. Topical Immunomodulators are
Effective for Treatment of Vitiligo. J Dermatol, 2008.; 35 (8): 503507.
23. Tomita Y, Torinuki W, Tagami H. Stimulation of Human Melanocytes by
Vitamin D3 Possibly Mediates Skin Pigmentation After Sun Exposure. J
Invest Dermatol, 1988; 90(6): 882884.
24. Kumaran, M. S., Kaur, I., Kumar, B. Effect of Topical Calcipotriol,
Betamethasone Dipropionate and Their Combination in The Treatment of
Localized Vitiligo. J Eur Acad Dermatol Venereol, 2006; 20 (3): 269273.
25. Kovacs, S. O. Vitiligo. J Am Acad Dermatol. 1998; 38: 647-66.
26. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Disease of The Skin 10th ed.
Saunders Elsevier: Philadelpia, 2006., hal. 860-862.
27. Boissy, R. E., Manga, P. Review on the Etiology of Contact/Occupational
Vitiligo. Pigment Cell Res, 2004; 17: 208214.