Anda di halaman 1dari 19

VITILIGO

Ramadhan Kurniawan, S.Ked


Bagian / Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
PENDAHULUAN
Sejak zaman dahulu, vitiligo telah dikenal dengan beberapa istilah yakni
shwetekusta, suitra, behak, dan beras. Kata vitiligo sendiri berasal dan bahasa
latin, yakni vitellus yang berarti anak sapi, disebabkan karena kulit penderita
berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah vitiligo mulai
diperkenalkan oleh Celsus, ia adalah seorang dokter Romawi pada abad kedua.1
Insidensi Vitiligo rata-rata hanya 1% di seluruh dunia. Penyakit ini dapat
mengenai semua ras dan kedua jenis kelamin, Pernah dilaporkan bahwa vitiligo
yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini
dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan oleh karena
masalah kosmetik. Penyakit juga dapat terjadi sejak lahir sampai usia lanjut
dengan frekuensi tertinggi (50% dari kasus) pada usia 1030 tahun.2
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun,
diduga ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secara poligenikatau
secara autosomal dominan. Berdasarkan laporan, didapatkan lebih dari 30% dari
penderita vitiligo mempunyai penyakit yang sama pada orang tua, saudara, atau
anak mereka. Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi pada kembar
identik.3
Saat ini vitiligo merupakan salah satu penyakit yang penting untuk
diketahui dan dibedakan dengan penyakit hipopigmentasi lainnya. Hal ini
dikarenakan vitiligo dapat menyebabkan masalah pada berbagai aspek seperti
estetik, kosmetik, dan pada tahap lanjut akan berdampak pada aspek psikososial. 4,5
Referat ini bertujuan untuk memahami lebih mendalam mengenai penyakit
vitiligo agar dapat diaplikasikan dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin dengan
tepat, sehingga penegakkan diagnosis dan tindakan apa yang mesti dilakukan
terhadap penderita penyakit ini dapat terlaksana dengan benar.

DEFINISI
Vitiligo adalah suatu penyakit kulit autoimun herediter yang didapat dan
bersifat progresif, berbentuk makula-patch bulat berwarna putih seperti susu yang
dapat mengenai kulit dan/atau membran mukosa akibat amelanosis kulit.3
EPIDEMIOLOGI
Vitiligo dapat menyerang setiap individu dengan berbagai ras di seluruh
dunia. Diperkirakan prevalensinya sekitar 1-2% dari populasi dunia. Vitiligo
utamanya menyerang anak-anak dan semua usia, akan tetapi setengah dari
penderita berada pada usia dibawah 20 tahun. Onset tertinggi berada pada rentang
usia 10-30 tahun dengan rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan
setara.9-13 Berbeda dengan usia dewasa, vitiligo pada anak lebih cenderung
mengenai perempuan. Hanya 8% vitiligo pada usia dewasa memiliki riwayat
keluarga yang positif, sedangkan pada anak, riwayat positif sebanyak 12-35%.14
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Penyebab pasti dari vitiligo hingga kini masih belum diketahui. Hipotesis
terkini menyatakan bahwa faktor genetik memegang peranan penting terhadap
perkembangan penyakit vitiligo. Pada pasien dengan vitiligo non-segmental dan
riwayat keluarga positif menderita vitiligo, penyakit ini terjadi pada usia yang
lebih muda (rata-rata pada usia 24,8 tahun), sedangkan pada pasien dengan
riwayat keluarga negatif terjadi rata-rata pada usia 42,2 tahun.15 Vitiligo onset
sangat dini (dibawah usia 7 tahun) juga didapat pada anak-anak dengan riwayat
vitiligo yang positif.17
Penelitian

terkini

menunjukkan

bahwa

terdapat

dua

cara

yang

memungkinkan penurunan vitiligo dalam keluarga dan kedua cara tersebut


berhubungan dengan usia terkena vitiligo. Vitiligo diturunkan secara autosomal
dominan pada pasien yang mengalami vitiligo onset dini (dibawah usia 30 tahun),
tetapi dengan penetrasi yang tidak sempurna. Akan tetapi, pada pasien yang
terkena vitiligo pada rentang usia diatas 30 tahun, vitiligo terjadi secara autosomal
resesif dan diakibatkan oleh berbagai faktor pemicu eksternal. 15,16 Bukti lain
menyatakan bahwa terdapat beberapa haplotipe HLA (Human Leucocytes

Antigen) yang berhubungan erat dengan vitiligo dengan riwayat keluarga yang
positif, onset terjadinya, tingkat keparahan penyakit, dan latar belakang etnis.
Patogenesis vitiligo dinyatakan dalam berbagai teori, yaitu teori autoimun,
teori stress oksidatif, dan teori neurogenik.3
Teori Autoimun
Teori autoimun didukung pada investigasi yang bersifat dasar dan klinis.3
Beberapa peneliti menyatakan bahwa peningkatan insiden autoimmune thyroiditis
pada pasien dengan vitiligo telah dideterminasi secara genetik. Lokus pada
kromosom 1 yang mengalami gangguan (Autoimmune susceptibility locus on
chromosome 1/AIS1), dikombinasi dengan faktor eksternal diduga memprovokasi
terjadinya reaksi autoimun yang berkembang menjadi autoimmune thyroiditis atau
yang lebih dikenal sebagai Tiroiditis Hashimoto.
Salah satu gangguan pada gen yang terletak pada kromosom 17p13
berkontribusi terhadap perkembangan beberapa penyakit autoimun: vitiligo
generalis, autoimmune thyroiditis, diabetes mellitus dengan ketergantungan
insulin, rheumatoid arthritis, psoriasis, anemia pernisiosa, systemic lupus
erythematosus, dan penyakit Addison. Berdasarkan penelitian terhadap protein
NALP1, gen yang memegang peranan terhadap imunitas seluler, variasi sequence
DNA pada gen ini berhubungan dengan peningkatan risiko untuk terkena vitiligo
generalis dan atau tiroiditis.19
Teori mengenai mekanisme imunitas seluler yang berhubungan dengan
kerusakan melanosit pada penyakit vitiligo kemungkinan disebabkan secara
langsung oleh sel T sitotoksik yang autoreaktif. Peningkatan jumlah CD8 + limfosit
sitotoksik reaktif terhadap MelanA/Mart1 (antigen melanoma yang dikenali sel
T), glikoprotein 100, dan tirosinase, telah dilaporkan pada pasien dengan vitiligo.
Sel T CD8+ yang telah aktif banyak ditemukan pada perilesi vitiligo.3
Teori Stres Oksidatif
Teori stres oksidatif berbasis pada hipotesis yang mengarah pada
ketidakseimbangan antara kadar antioksidan dan radikal bebas toksik pada
melanosit penderita vitiligo. Peningkatan kadar oksidan yang diiringi dengan

penurunan kadar antioksidan menjadi penyebab kerusakan melanosit. Hal ini


dikarenakan adanya peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) seperti
peroksida (H2O2) yang dapat berefek pada kerusakan komponen sel. 20 Selain itu,
Kadar nitrit oksida (NO) juga meningkat baik pada melanosit yang dikultur
maupun serum penderita vitiligo. Hal ini juga memungkinkan hipotesis
autodestruction melanosit akibat peningkatan kadar NO.3
Teori Neurogenik
Perkembangan vitiligo terutama vitiligo segmental dapat dijelaskan dengan
teori neurogenik. Teori ini menyatakan bahwa lesi terjadi akibat dari pelepasan
abnormal dari mediator neurokimia yang menghambat melanogenesis (proses
pembentukan melanin) atau memiliki efek toksik yang menyebabkan kehancuran
melanosit.15 Hipotesis yang berkembang saat ini menyatakan bahwa terjadi
peningkatan kadar neuropeptida Y (NPY) dalam darah dan saraf pada lesi vitiligo.
NPY berhubungan dengan noradrenalin pada saraf dermal manusia dan diketahui
berpotensi untuk menghasilkan efek autonomik dan sebagai modulator potensial
respon simpatetik. Perubahan reaktivitas NPY diduga berkaitan dengan faktor
dalam onset dan progresi penyakit.21
Beberapa laporan kasus menyatakan bahwa pada beberapa pasien yang
menderita cedera saraf dan mengalami vitiligo memiliki area denervasi yang
hipopigmentasi dan depigmentasi. Sebagai tambahan, vitiligo segmental lebih
sering terjadi sesuai dengan dermatom, sehingga muncul hipotesis

bahwa

mediator kimia tertentu dilepaskan dari ujung saraf yang mempengaruhi produksi
melanin. Lebih lanjut, produksi keringat dan vasokonstriksi meningkat pada patch
depigmentasi vitiligo, menunjukkan peningkatan aktivitas adrenergik.25

MANIFESTASI KLINIS
Tampilan terbanyak pada vitiligo adalah amelanotik total (sebagai contoh
gambaran seperti susu atau kapur putih) berbentuk makula dan patch yang
mengelilingi kulit normal. Karakteristik lesi memiliki sebaran yang biasanya
diskret, dapat berbentuk bulat, oval, ireguler, bahkan linier. Tepinya biasanya

konveks, seolah-olah proses depigmentasi menyebar mengelilingi kulit normal


berpigmen. Lesi biasanya membesar secara sentrifugal seiring dengan berjalannya
waktu, dan kisaran pembesarannya dapat berjalan dengan lambat ataupun cepat.
Makula dan patch vitiligo berdiameter dari millimeter hingga sentimeter serta
memiliki ukuran yang bervariasi dalam satu area. Akan tetapi, lesi inisial terjadi
paling sering pada tangan, lengan bawah, kaki, dan wajah. Jika vitiligo terjadi
pada wajah, seringkali distribusinya pada perioral dan periokular. Pada seseorang
yang berkulit putih, lesinya mungkin sulit dideteksi tanpa penggunaan lampu
Wood. Pada seseorang yang berkulit hitam, kontras antara area vitiligo dan
sekeliling kulit sangatlah jelas. Vitiligo biasanya asimtomatik walaupun terkadang
terasa gatal atau pruritus.1,2
KLASIFIKASI
Banyak sistem klasifikasi yang digunakan untuk menjelaskan vitiligo
secara umum. Ada dua bentuk klasifikasi mayor yang telah diketahui, yaitu
vitiligo segmental dan non-segmental. Vitiligo segmental biasanya ditandai
dengan amelanosis yang tidak melewati garis tengah tubuh, sedangkan vitiligo
non-segmental cenderung lebih simetris.1 Vitiligo segmental dan non-segmental
biasanya terdapat pada satu pasien yang sama, dengan keterlibatan >1% luas
permukaan tubuh (Body Surface Area).
Vitiligo non-segmental adalah bentuk penyakit yang tersering (85-90% dari
keseluruhan kasus), tapi untuk vitiligo segmental, dikarenakan terjadi pada onset
yang lebih awal, kasus ini mengenai sekitar 30% dari keseluruhan kasus anak.6,7

Gambar 1. Vitiligo Non-Segmental, ditandai dengan patch putih yang


simetris dan meluas seiring dengan bertambahnya waktu8

Gambar 2. Vitiligo Segmental, Ditandai dengan Patch Putih yang asimetris,


tidak melewati garis tengah tubuh8

Gambar 1. Distribusi lesi amelanotik pada vitiligo1


Klasifikasi yang ada saat ini juga membagi vitiligo menjadi 3 subklasifikasi,
yaitu vitiligo lokalis, generalis, dan universalis.1
Vitiligo Lokalis
1. Fokal, satu atau lebih makula pada satu area, tapi tidak menunjukkan distribusi
segmental yang jelas.

Gambar 3. Vitiligo lokalis (fokal) pada permukaan bokong3


2. Unilateral/segmental, satu atau lebih makula yang melibatkan segmen
unilateral pada tubuh, lesi biasanya terhenti dan tidak meluas sampai melewati
garis tengah tubuh.

Gambar 4. Vitiligo segmental pada sebagian muka dan leher3


3. Mukosal, Keterlibatan vitiligo hanya pada membran mukosa saja.
Vitiligo Generalis
1. Vulgaris, patch depigmentasi meluas pada berbagai tempat pada tubuh yang
biasanya simetris.

Gambar 5. Vitiligo vulgaris pada dewasa3


2. Akrofasial, keterlibatan vitiligo pada ektremitas dan wajah.

Gambar 5. Vitiligo akrofasial3


3. Mixed/campuran, variasi kombinasi dari vitiligo segmental, akrofasial,
dan/atau vulgaris.
Vitiligo Universalis
Pada tipe ini, depigmentasi terjadi pada hampir atau seluruh tubuh. Sekitar
90% pasien vitiligo adalah tipe generalis. Vitiligo lokalis

jauh lebih sering

ditemukan dibandingkan vitiligo universal. Vitiligo segmental lebih sering terjadi


pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15-30% dari vitiligo pada
anak.

Gambar 6. Vitiligo mengenai hampir seluas permukaan tubuh3


PENEGAKKAN
DIAGNOSIS
Vitiligo sering
dihubungkan

dengan

kelainan autoimun. Kelainan endokrinopati yang paling sering dihubungkan


dengan vitiligo adalah disfungsi tiroid, baik itu hipertiroidisme (graves disease)
atau hipotiroidisme (tiroiditis Hashimoto). Vitiligo biasanya mendahului onset
dari disfungsi troid. Addison disease, anemia pernisiosa, alopecia areata, dan
diabetes mellitus juga terjadi dengan meningkatnya pasien vitiligo. Vitiligo bisa
jadi mempengaruhi melanosit yang aktif pada seluruh tubuh, termasuk sel pigmen
pada rambut, telinga bagian dalam, dan retina. Poliosis (leukotrichia) terjadi pada
beberapa pasien vitiligo. Rambut yang beruban terlalu dini dilaporkan terjadi pada
pasien vitiligo dan pada kerabat dekat mereka, gangguan pendengaran dan
penglihatan juga terjadi pada beberapa penderita vitiligo. Meningitis aseptik juga
dapat terjadi, meskipun jarang, dan diduga sebagai akibat dari kerusakan
melanosit leptomeningeal.
Depigmentasi yang menyerupai vitiligo dapat terjadi pada pasien dengan
melanoma maligna dan dipercaya sebagai akibat dari reaksi T cell mediated
terhadap antigen sel melanoma.2
Kelainan Penglihatan
Meskipun pasien dengan vitiligo biasanya tidak memiliki keluhan
penglihatan, namun pada pasien ini dapat ditemukan adanya kelainan okuler.
Abnormalitas pigmen pada iris dan retina dapat terjadi. Abnormalitas pada
choroid dilaporkan sampai 30% pasien vitiligo dan iritis pada hampir 5% pasien.
Uveitis sering mucul sebagai manifestasi okuler. Exophtalmus dapat terjadi pada
Graves disease yang menyertai pada vitiligo. Tajam penglihatan secara umum
tidak terpengaruh.2

10

Pemeriksaan lampu Wood pada Vitiligo


Pemeriksaan lampu Wood dilakukan pada jarak 10-12 cm dari lesi. Fungsi
normal dari melanin adalah untuk memblok dan mengabsorbsi sinar. Oleh karena
berkurangnya atau tidak adanya melanin pada epidermis pada lesi vitiligo, maka
sinar tidak dapat diblok dan diteruskan ke lapisan kulit yang lebih dalam.
Gambaran pada vitiligo dengan pemeriksaan lampu Wood ini adalah warna putih
kebiruan yang nyata dengan tepi yang berbatas tegas.26

Gambar 7. Gambaran pemeriksaan dengan menggunakan lampu Wood pada


penderita vitiligo26
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis vitiligo yang paling utama berasal dari pemeriksaan klinis. Akan
tetapi, dengan adanya hubungan antara vitiligo dengan kelainan autoimun lain,
maka beberapa pemeriksaan laboratorium sebagai screening dapat membantu,
meliputi pemeriksaan kadar TSH (thyroid stimulating hormone), antibodi
antinuclear, dan hitung sel darah lengkap. Selain itu perlu juga dipertimbangkan
pemeriksaan anti-tiroglobulin serum dan antibodi anti-tiroid peroksidase, terutama
ketika pasien memiliki tanda-tanda dan gejala dari penyakit tiroid. Antibodi antitiroid peroksidase, dianggap sebagai marker yang sensitif dan spesifik pada
kelainan tiroid autoimun.2
Histologi

11

Sesuai dengan definisinya, pada vitiligo terjadi kekurangan melanosit pada


kulit yang terkena lesi. Selain itu, infiltasi limfosit primer pada dermis superfisial,
perivaskuler, dan perifolikuler dapat dilihat pada tepi lesi vitiligo dan pada lesi
awal. Gambaran ini muncul karena terjadi proses cell-mediated immune berupa
perusakan melanosit pada vitiligo.2
Pemeriksaan Histopatologi

Gambar 6. Gambaran histopatologi pada vitiligo2


Gambar diatas merupakan biopsi kulit pada vitiligo aktif. Pada (A) dan (B)
tampak pigmentasi yang berkurang pada lapisan basalis (dengan pengecatan
Hematoksilin Eosin/HE dan Fontana Masson/FM stain pembesaran 100x dan
400x). Pada gambar C tampak pigmentasi epidermis residual pada lesi vitiligo,
dengan granul-granul melanin yang tersusun halus pada dermis bagian atas
(pengecatan FM pembesaran 400x).2
Pemeriksaan dengan Mikroskop Elektron
Kelainan kulit pada vitiligo juga dapat kita temukan pada pemeriksaan
dengan mikroskop elektron. Pada pemeriksaan ini terlihat hilangnya melanosit
dan melanosom pada keratinosit, juga terdapat perubahan dalam keratinosit:
spongiosis, eksositosis, basilarvacuopathy, dan apoptosis. Beberapa penulis
menjumpai infiltrat limfositik di epidermis.2

12

Gambar 8. Perbandingan melanosit normal(A) dan melanosit vitiligo(B)


menggunakan immunocytochemistry. (C) analisis Western blot menegaskan
bahwaekspresi Bcl-2 berkurangdalam dua baris melanosit vitiligo dibandingkan
dengan empat baris melanosit kontrol.27
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit-penyakit dengan hipomelanosis atau amelanosis dapat menjadi
diagnosis banding vitiligo. Pitiriasis versikolor, hipopigmentasi pasca inlamasi,
hipopigmentasi pasca inflamasi, ataupun morbus hansen tipe indeterminate.
Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat untuk membedakan vitiligo
dengan diagnosis banding yang lain.
Pitiriasis versikolor biasanya menyerang unexposed area, daerah tubuh yang
lebih lembab dan efektif untuk pertumbuhan jamur. Lesi memiliki skuama halus,
dan secara klinis ditemukan gejala khas yaitu gatal terutama saat berkeringat.
Pada pemeriksaan lampu Wood menunjukkan floresensi kuning atau kuning
kehijauan dan dengan pemeriksaan KOH, menunjukkan gambaran spaghetti and
meat ball appearence.
Beberapa kasus luka pasca trauma, seperti luka bakar, dapat ditemukan lesi
kronik yang menyembuh dengan hipopigmentasi dan berwarna putih. Penyakit ini
sulit dibedakan dengan vitiligo murni karena gambarannya yang hampir sama.
Secara klinis bisa dibedakan dengan melihat adanya folikel rambut, biasanya pada
vitiligo masih ditemukan folikel rambut.
Penyakit-penyakit inflamasi seperti psoriasis, dermatitis atopik, erupsi obat,
dan penyakit inflamasi pada kulit lainnya dapat menyebabkan proses

13

penyembuhan dengan gambaran hipopigmentasi pada kulit. Diperlukan anamnesis


mendalam untuk menyingkirkan diagnosis banding ini.
Untuk morbus hansen tipe indeterminate, lesi biasanya berbentuk patch
hingga plak hipopigmentasi, tetapi disertai dengan hipoestesi-anestesi pada lesi.
PENATALAKSANAAN
Banyak pilihan terapi yang tersedia untuk pasien dengan vitiligo.
Kebanyakan dari terapi ditujukan untuk mengembalikan pigmen kulit. Semua
pendekatan yang ada memiliki keuntungan dan kekurangan, dan tidak selalu tepat
pada semua pasien dengan vitiligo.
Sunscreen
Sunscreen atau yang lebih dikenal sebagai tabir surya dapat mencegah luka
terbakar akibat sinar matahari kemungkinan dapat mengurangi photodamage.
Sunscreen juga mengurangi kulit yang terbakar akibat sinar matahari dan
mengurangi kontras dengan lesi vitiligo.
Kosmetik
Banyak diantara pasien terutama yang mengalami vitiligo fokal di wajah,
leher, ataupun tangan berobat secara kosmetik sebagai treatment utama.
Kebanyakan dari mereka mengharapkan dapat memperoleh kulit yang sama persis
dengan kulit sehat setelah diobati secara kosmetik.
Kortikosteroid Topikal
Pemakaian kortikosteroid topikal diindikasikan sebagai terapi untuk vitiligo
dengan area yang terbatas dan seringkali digunakan sebagai terapi lini pertama
untuk anak-anak. Lesi pada wajah, leher, dan ekstremitas (kecuali jari jari-jari
tangan dan jempol kaki) berespon dengan sangat baik dengan penggunaan
kortikosteroid topikal. Tidak diketahui secara pasti mengapa lesi kulit di wajah
pada penderita vitiligo memiliki respon yang lebih baik dibandingkan daerah
lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya permeabilitas kulit wajah
terhadap kortikosteroid, jumlah melanosit residual yang lebih luas pada kulit
wajah yang tidak terlibat, atau karena kerusakan melanosit lebih mudah
diperbaiki.
Lesi yang terlokalisir dapat diobati dengan kortikosteroid potensi tinggi
dengan fluorinasi selama 1-2 bulan pemakaian, setelah adanya perbaikan dosis
secara bertahap diturunkan dengan cara penggantian kortikosteroid topikal potensi
tinggi menjadi yang berpotensi lebih rendah. Pada anak-anak dan pasien dengan

14

lesi yang lebih luas, kortikosteroid topikal potensi sedang tanpa fluorinasi sering
digunakan.
Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat digunakan untuk memonitor respon
terapi. Jika respon tidak tampak setelah penggunaan selama 3 bulan, terapi harus
dihentikan. Semakin gelap kulit pasien dengan vitiligo, semakin besar
kemungkinan responnya terhadap kortikosteroid topikal.3
Imunomodulator Topikal
Takrolimus topikal ointment 0,03 persen hingga 0,01 persen efektif untuk
repigmentasi kulit pada penderita vitiligo jika digunakan dua kali sehari, terutama
untuk lesi di wajah dan leher. Telah dilaporkan bahwa penggunaannya bersamaan
dengan Ultraviolet B (UVB) atau terapi laser excimer (308 nm). Takrolimus
ointment diperkirakan secara umum lebih aman untuk anak dibandingkan
kortikosteroid topikal.3 Pada dewasa, efikasi penggunaan terapi imunomodulator
hanya terbatas pada wajah dan leher saja, sedangkan untuk daerah tubuh lainnya
seperti pada batang tubuh menunjukkan hasil yang bervariasi.22
Kalsipotriol Topikal
Kalsipotriol topikal 0,005% menghasilkan repigmentasi yang bisa diterima
secara kosmetik pada penderita vitiligo.3 Kalsipotriol topikal atau sintetik vitamin
D3 ini bisa menginduksi hasil yang mirip saat diterapi radiasi dengan sinar UV
(pembengkakan melanosit pada epidermis dan meningkatkan aktivitas enzim
tirosinase yang berdampak pada peningkatan sintesis melanin pada epidermis). 23
Terapi kalsipotriol ini juga bisa dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal
misalnya betametason dipropionat 0,05%. Pada penelitian terkini, kombinasi
keduanya menimbulkan efek repigmentasi dengan onset yang lebih cepat dan efek
samping minimal.24
Fototerapi
Terapi ini berprinsip untuk menginduksi pembentukan melanin dengan
bantuan sinar ultraviolet (UV), baik A ataupun B. Secara biologis, UVB lebih
efektif dibandingkan UVA. Mekanisme pasti bagaimana UVB bisa menginduksi
repigmentasi masih belum diketahui pasti, tetapi diduga UVB memilik efek
imunomodulasi, stimulasi pertumbuhan dan proliferasi melanosit.
Pada tahun 1940, 8-metoxypsoralen dikombinasikan dengan UVA (PUVA)
diperkenalkan sebagai terapi vitiligo. PUVA dapat diberikan secara topikal
ataupun oral. Setelah lesi disinari dengan UVA, psoralen secara kovalen mengikat

15

DNA dan menginduksi replikasi sel. PUVA juga dapat menstimulasi enzim
aktivitas enzim tirosinase (enzim esensial untuk menginduksi sintesis melanin)
pada kulit yang tidak terkena. Mekanisme bagaimana PUVA menimbulkan efek
repigmentasi pada vitiligo masih belum sepenuhnya diketahui. Penggunaan PUVA
bisa sering dan mencakup waktu hingga berbulan-bulan. Kira-kira sebesar 7080% pasien yang diterapi dengan PUVA menunjukkan respon (repigmentasi),
tetapi persentase pasien dengan repigmentasi total kurang dari 20%. Pada pasien
dengan vitiligo generalis, terapi dengan UVB spektrum sempit (Narrow Band
Ultra Violet B/NB-UVB) lebih efektif dibandingkan dengan terapi PUVA (67
berbanding 46 persen). Jika terapi dengan NB-UVB setelah 6 bulan tidak
menunjukkan kemajuan, terapi ini sebaiknya dihentikan.3
Laser
Terapi laser telah dipelajari pada beberapa percobaan, dan ditemukan bahwa
terapi ini paling efektif ketika diberikan tiga kali seminggu, dengan periode terapi
lebih dari 12 minggu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil repigmentasi yang
memuaskan. Dosis inisial adalah 50-100 ml/cm 2. Sebagaimana standar fototerapi,
laser menghasilkan hasil terapi paling baik pada wajah, dan area yang kurang
responsif pada tangan dan kaki.
Depigmentasi
Monobenzil eter dari hidrokuinon (Monobenzon) merupakan satu-satunya
agen depigmentasi yang ada untuk depigmentasi sisa kulit yang normal pada
pasien dengan vitiligo berat. Monobenzon merupakan toksin fenol yang merusak
melanosit epidermis setelah penggunaan yang lama. Monobenzon kemudian dapat
menghasilkan depigmentasi yang seragam dan merata yang secara kosmetik dapat
lebih diterima oleh banyak pasien. Monobenzon tersedia dalam bentuk cream 20%
dan dapat diformulasikan pada konsentrasi hingga 40%. Individu yang
menggunakan monobenzon harus menghindari kontak langsung dengan orang lain
selama 1 jam setelah pemberian terapi, oleh karena kontak langsung dapat
menyebabkan terjadinya depigmentasi pada kulit yang tersentuh. Monobenzon
juga bisa jadi mengiritasi dan menimbulkan sensitisasi alergi.
Autolog Thin Thiersch Grafting

16

Thin split-thickness grafts pada terapi vitiligo ini didapatkan dengan


menggunakan skalpel atau dermatom dan kemudian ditempatkan diatas lokasi
kulit resipien yang telah disiapkan dengan cara yang sama atau dengan
dermabrasi. Luas area kulit yang dapat digunakan dengan terapi ini antara 6-100
cm2. teknik ini juga telah berhasil digunakan untuk vitiligo pada bibir.
Keuntungan teknik ini adalah cangkok kulit yang dapat melibatkan area kulit yang
cukup luas dengan waktu yang relatif singkat. Akan tetapi, pertimbangannya
adalah terapi ini membutuhkan anestesi total dan ada resiko timbulnya scar
hipertrofi pada lokasi donor maupun resipien.
Suction Blister Grafts
Pada terapi ini dilakukan pemisahan antara epidermis yang viabel dari
dermis dengan produksi suction blister yang akan memisahkan kulit secara
langsung pada dermal-epidermal junction. Epidermis berpigmen kemudian
diambil dan digunakan untuk menutup kulit resipien yang telah disiapkan dengan
cara dikelupas dengan menggunakan liquid nitrogen blister. Keuntungan dari
suction blister grafts adalah pembentukan scra yang minimal oleh karena bagian
dermis tetap intak baik pada daerah donor maupun resipien. Akan tetapi,
kebanyakan dokter tidak memiliki perlengkapan mekanis yang diperlukan untuk
memproduksi blister pada daerah donor.3

17

Gambar 9. Algoritma penatalaksanaan vitiligo.3

PROGNOSIS
Vitiligo merupakan penyakit kronis, dan prognosis vitiligo cukup beragam.
Onset penyakit yang berkembang cepat dapat diikuti oleh periode stabil atau
perkembangan lambat. Hingga 30% pasien dapat terjadi repigmentasi spontan
pada beberapa area, khususnya area-area yang sering terekspos sinar matahari.
Perkembangan penyakit yang cepat pada vitiligo dapat mengarah pada
depigmentasi luas dengan kehilangan pigmen secara menyeluruh pada kulit dan
rambut, tapi tidak pada mata. Pengobatan vitiligo yang disesuaikan dengan
penyakit yang mendasarinya (seperti penyakit tiroid) tidak berpengaruh pada
prognosis vitiligo. Satu hal yang cukup mengejutkan adalah rendahnya angka
kejadian keratosis solaris, SCCIS, SCC infasif, atau BCE pada bercak vitiligo.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bolognia, J. L., Jorizzo, J. L., Schaver, J. V. Dermatology 3 rd Edition. New
York: Elsevier Saunders, 2012.

18

2. Wolff, K., Johnson, R. A. Fitzpatricks Color Atlas And Synopsis Of Clinical


Dermatology 6th Ed. New York: Mcgraw Hill, 2009, hal. 335-341.
3. Ortonne J. P, Bahdoran P., Fitzpatrick T. B., Mosher D. B., Hori Y.
Hypomelanoses dan Hypermelanoses. Dalam: Fitzpatrick T. B., Freedberg I.
M., Eisen A. Z., Wolff, K., Austen, K. F., Goldsmith, L. A. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine 7th ed. New York: Mc Graw-Hill, 2008.
4. Shameer, P., Prasad, P. V. S., dan Kaviarasan, P. K. Serum Zinc Level in
Vitiligo: A Case Control Study. Indian Journal of Dermatology, Venereology
and Leprology, 2005; 71: (3), hal. 206207.
5. Paller, A. S., Mancini, A. J. Hurwitz Pediatrics Dermatology. Toronto:
Elsevier Saunders, 2011.
6. Hann, S. K., Lee, H. J. Segmental Vitiligo: Clinical Findings in 208 Patients.
J Am Acad Dermatol, 1998; 35: 671-4.
7. Taeb, A., dan Picardo, M. The Definition and Assessment of Vitiligo: A
Consensus Report of The Vitiligo European Task Force. Pigment Cell Res.
2007; 20: 27-35.
8. Taeb, A., dan Picardo, M. Clinical Practice: Vitiligo. N Engl J Med, 2009;
360: 160-9.
9. Kovacs, S. O. Vitiligo. J Am Acad Dermatol, 1998; 38: 647-66.
10. Huggins, R. H., Schwartz, R. A., dan Janniger, C. K. Vitiligo. Acta
Dermatovenerol APA, 2005; 4 (14):137-45.
11. Halder, R. M. Childhood Vitiligo. Clin Dermatol, 1997; 15: 899-906.
12. Hurwitz, S. dkk. Clinical Pediatric Dermatology. Philadelphia: W. B.
Saunders Company, 1993, hal. 458-60.
13. Huggins, R. H., Schwartz, R. A., dan Janniger, C. K. Childhood Vitiligo.
Cutis, 2007; 79 (4): 277-80.
14. Handa, S., Dogra, S. Epidemiology of Childhood Vitiligo: A Study of 625
Patients from North India. Pediatr Dermatol, 2003; 20: 207-10.
15. Pri, S., uran, V., Katani, D. Vitiligo in Children and Adolescents: A
Literature Review. Serbian Journal of Dermatology and Venereology, 2010; 2
(3): 95-104.
16. Arcos-Burgos, M., Parodi, E., Salgar, M., et al. Vitiligo: Complex
Segregation and Linkage Diseqilibrium Analyses with Respect to
Microsatelite Loci Spanning The HLA. Hum Genet, 2002.; 110: 334-42.
17. Pajvani, U., Ahmad, N., Wiley, A., Levy, R. M., Kundu, R., Mancini, A. J., et
al. The Relationship Between Family Medical History and Childhood
Vitiligo. J Am Acad Dermatol, 2006.; 55 (2): 238-44.
18. Fain, P. R., Gowan, K., La Berge, G. S., Alkhateeb, A., Stetler, G. L., Talbert,
J., et al. A Genomewide Screen for Generalized Vitiligo: Confirmation Of
AIS1 on Chromosome 1p31 and Evidence for Additional Susceptibility Loci.
Am J Hum Genet, 2003.; 72: 1560-4.
19. Jin Y, Mailloux CM, Gowan K, et al. NALP 1 in Vitiligo Associated Multiple
Autoimmune Disease. N Engl J Med, 2007; 356:1216-25.
20. Khan, R., Satyam, A., Gupta, S., et al. Circulatory Levels of Antioxidants and
Lipid Peroxidation in Indian Patients with Generalized and Localized
Vitiligo. Archives of Dermatological Research, 2009.; 301 (10): 731-7.

19

21. Al Abadie, M. S. K., Senior, H. J., Bleehen, S. S., et al. Neuropeptide and
Neuronal Marker Studies in Vitiligo. British Journal of Dermatology, 1994;
131 (2): 160-5.
22. Choi, C. W., Chang, S. E., Bak, H., et al. Topical Immunomodulators are
Effective for Treatment of Vitiligo. J Dermatol, 2008.; 35 (8): 503507.
23. Tomita Y, Torinuki W, Tagami H. Stimulation of Human Melanocytes by
Vitamin D3 Possibly Mediates Skin Pigmentation After Sun Exposure. J
Invest Dermatol, 1988; 90(6): 882884.
24. Kumaran, M. S., Kaur, I., Kumar, B. Effect of Topical Calcipotriol,
Betamethasone Dipropionate and Their Combination in The Treatment of
Localized Vitiligo. J Eur Acad Dermatol Venereol, 2006; 20 (3): 269273.
25. Kovacs, S. O. Vitiligo. J Am Acad Dermatol. 1998; 38: 647-66.
26. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Disease of The Skin 10th ed.
Saunders Elsevier: Philadelpia, 2006., hal. 860-862.
27. Boissy, R. E., Manga, P. Review on the Etiology of Contact/Occupational
Vitiligo. Pigment Cell Res, 2004; 17: 208214.

Anda mungkin juga menyukai