Jtptiain GDL s1 2004 Pujilestar 922 Bab2 - 419 9 PDF
Jtptiain GDL s1 2004 Pujilestar 922 Bab2 - 419 9 PDF
A. ASBAB AL-NUZUL
Di antara syarat wajib yang harus dimiliki oleh seorang mufassir
untuk memahami dan menafsirkan al-Quran adalah mengetahui asbab alnuzulnya. Al-Quran diturunkan pada dua bagian, pertama: bagian yang
diturunkan secara spontan (tanpa sebab turun), dan kedua: bagian yang
diturunkan setelah adanya kejadian tertentu atau adanya pertanyaan. Bagian
terakhir inilah yang dicari sebab turunnya. Menurut Ibnu Taimiyyah
bahwasannya mengetahui asbab al-nuzul akan membantu untuk memahami
ayat al-Quran, karena ilmu tentang asbab al-nuzul akan mewariskan ilmu
tentang musabab (ayat al-Quran yang diturunkan berkaitan dengan sebab
itu).1 Ibnu Daqiqilid (w. 702H) menegaskan bahwa mengetahui sebab
turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami maksud-maksud alQuran.2
Demikianlah pentingnya ilmu asbab al-nuzul menurut para ulama.
Karena itu, tidak mengherankan kalau kalangan ulama al-muhaqqiqun sampai
mengharamkan seseorang yang berani menafsirkan ayat-ayat al-Quran tanpa
mengetahui asbab al-nuzulnya.
Maka untuk dapat pemahaman yang benar mengenai surat al-ikhlas
ini perlu diketengahkan asbab al-nuzulnya. Adapun asbab al-nuzul surat ini
sebagai berikut:
Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Quran, Gema Insani Press, Jakarta, 1999,
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulum al-Quran,, Karya Abditama, Surabaya, 1997, hlm.
hlm. 360
41
15
)
,
:
,
(
:( )
3
( ) .
Artinya : Mengabarkan kepada kami Ahmad bin Mani',
mengabarkan kepada kami Abu Sa'din yaitu al-Shan'ani dari Abi Ja'far al-Razi
dari al-Rabi' bin Anas dari Abi al-'Aliyyah dari Ubay bin Ka'ab Sesungguhnya
kaum musyrikin berkata kepada rosulullah : "Gambarkan kepada kami
Tuhanmu!" maka Allah menurunkan (Qul Huwa Allah Ahad Allah alShamad) maka tempat yang dituju tidak beranak dan tidak diperanakkan ,
karena sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dilahirkan kecuali akan mati, dan
tidak ada sesuatu yang mati kecuali akan diwarisi. Dan sesungguhnya Allah
azza wa jalla
tidak akan mati dan tidak diwarisi. (Wa lam yakun lahu
kufuwan ahad) Nabi bersabda : tidak ada yang serupa dengan-Nya. (HR. alTurmudzi).
Riwayat di atas mengetengahkan bahwa kaum musyrikin meminta
penjelasan tentang sifat-sifat Allah kepada Rasulullah saw., dengan berkata:
Jelaskanlah kepada kami sifat-sifat Rabbmu. Ayat ini (Q.S.112: 1-4) turun
Abi Isa Muhammad bin Isa Surah al-Tirmidzi, Al-Jami al- Shohih, Juz 5, Dar alKitab al-Islamiyyah, Beirut, Libanon, tt. hal. 421
16
: ,
.
Artinya : Dari Ibnu Abbas sesungguhnya orang Yahudi dating
kepada Nabi saw. Diantaranya Ka'ab bin Al-Asyraf dan Hayy bin Akhthab
Mereka berkata : "Ya Muhammad gambarkan kapada kami Tuhanmu yang
mengutusmu!" maka Allah menurunkan (Q.S.112: 1-4). Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas.5Hadits
ini dijadikan dasar bahwa surat ini Madaniyyah.
Menurut Al-Syuyuti sebagaimana dikutip oleh K.H. Qomaruddin
Shaleh, bahwa kata al-musyrikin (kaum musyrikin) dalam hadits yang
bersumber dari Ubai bin Kaab ialah kaum musyrikin dari kaum Ahzab.6 Jadi
surat ini madaniyyah, namun tidak ada pertentangan antara dua hadits di atas.
Hal ini menurut al-Syuyuti ada beberapa ayat al-Quran yang turun berulangulang. Maksudnya sebagai peringatan dan pengajaran karena perintah yang
dikandung ayat tersebut sangat penting. Sedangkan menurut al-Zarkasyi, hal
demikian di samping menggambarkan pentingnya arti ayat itu bagi manusia,
Qamaruddin Shaleh, Asbab al-Nuzul, CV. Penerbit Diponegoro, Bandung, 2000, hlm.
690
6
Kaum Ahzab yaitu Persekutuan antara kaum Quraisy, Yahudi Madinah, kaum
Ghaththafan dari Thaif, Munafikin Madinah, dan beberapa Suku sekeliling Makah. ibid
17
B. MUNASABAH AYAT
Kitab suci al-Quran diturunkan selama dua puluh dua tahun lebih
beberapa bulan. Kitab itu berisi berbagai macam petunjuk dan peraturan yang
disyariatkan karena beberapa sebab dan hikmah yang bermacam-macam.
Ayat-ayat yang diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat ayat itu
turun. Susunan ayat-ayat dan surat-suratnya ditertibkan sesuai dengan yang
terdapat di Lauh Mahfudz, sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat
yang satu dengan ayat yang lain dan antara surat yang satu dengan surat yang
lain. Ilmu yang membahas persesuaian ayat dan surat tersebut disebut Ilmu
Munasabah.
Ilmu
Munasabah
secara
epistimologi
berarti
ilmu
yang
menerangkan hubungan antar ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat
yang lain.8 Ayat atau surat dalam al-Quran itu sepintas seperti tidak ada
hubungan sama sekali antar ayat yang satu dengan yang lain, namun bila
diamati secara teliti akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat
antara ayat yang satu dengan yang lain. Jadi, pengertian munasabah itu tidak
hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan paralel saja, melainkan yang
kontradiksipun termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang
mukmin lalu orang kafir dan sebagainya.
7
Depag, Muqaddimah al-Quran dan Tafsirnya, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta,
1995, hlm. 118-119
8
Abdul Djalal, Ululmul Quran, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000, hlm 154
18
Demikian juga halnya surat al-Ikhlas yang memuat ajaran pokok alQuran yakni tauhid juga mempunyai munasabah. Munasabah ini meliputi
antar ayat dalam surat ini maupun munasabah dengan surat sebelum dan
sesudahnya.
Adapun munasabah ayat dalam surat ini sebagai berikut :
Katakanlah : Dialah Allah Yang Maha Esa. (QS. al-Ikhlas : 1)
Ahad berarti satu, tidak banyak. Dzat-Nya satu. Ayat satu surat alIkhlas ini dmaksudnya Allah tidak terdiri dari unsur-unsur kebendaan yang
beraneka ragam, dan bukan terdiri dari bahan pokok lainya.9
Seseorang yang telah bersaksi bahwa Allah itu satu, pasti dia hanya
bergantung dan meminta hanya kepada Allah. Sebagaimana ayat keduasurat
al-Ikhlas :
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu (QS. alIkhlas : 2)
Menurut Abu Huraairah al-shamad berarti segala sesuatu memerlukan
dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepada-Nya. Sedang Dia tidaklah
berlindung kepada sesuatu apapun. Husain bin Fadhal mengartikan al-shamad
bahwa Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan apa yang Dia
kehendaki.10 Sebuah riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas
menyatakan
bahwa
al-shamad
bererti
tokoh
yang
telah
sempurna
10
HAMKA, Tafsir al-Azhar, jilid 10, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1993,
hlm. 8146
19
Dia tidak beranak dan Dia tidak diperanakkan (QS. al-Ikhlas : 3)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Maha Suci Dia dari
mempunyai anak. Ayat ini juga menentang dakwaan kaum musyrik Arab yang
mengatakan bahwa malaikat-malaikat itu adalah anak perempuan Allah dan
dakwaan orang Nasrani bahwa Isa anak laki-laki Allah. Dia tidak beranak,
tidak pula diperanakkan. Dengan demikian Dia tidak sama dengan makhluk
lainnya, Dia berada tidak didahului oleh tidak ada-Nya.12
Allah tidak sama dengan makhluk lainnya, sebagaimana dijelaskan
dalam ayat berikutnya :
Dan tidak ada Seorangpun yang setara dengan Dia.(QS. al-Ikhlas :4)
Ayat ini merupakan jawaban terhadap keyakinan orang-orang yang
beranggapan bahwa Allah itu ada yang menyamai-Nya dalam seluruh
perbuatan-Nya. Keyakinan seperti dianut oleh kaum musyrik Arab yang
mengatakan bahwaa para malaikat itu adalah sekutu Allah.13
11
Depag, Al-Quran dan Tafsirnya, jilid X, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, hlm.
844
13
20
ketiganya
mempunyai
hubungan
yang
erat.
Al-Lahab
menjelaskan bahwa manusia yang dihatinya ada syirik dan hal-hal yang
mendekatinya. Supaya tidak terjerumus maka Allah memberi petunjuk melalui
surat al-Ikhlas ini, bahwa Allah itu Esa. Namun Allah tidak hanya memberi
petunjuk itu saja tetapi juga mengingatkan manusia supaya berlindung kepadaNya dari kejahatan sihir dan orang-orang yang dengki.
Ke-Esa-an Allah tidak hanya ke-Esa-an pada zat-Nya, tetapi juga pada
sifat dan perbuatannya. Yang dimaksud dengan Esa pada zat ialah zat Allah
itu tidak tersusun dari berbagai bagian. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam
memerintah dan menguasai kerajaan-Nya (QS. 17:111; Qs. 23; 91). Esa pada
sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan sifatsifat yang lain dan tidak ada
seorang pun yang mempunyai sifat sebagaimana sifat Allah. Esa pada
perbuatan berarti tidak ada seorangpun yang memiliki perbuatan sebagaimana
perbuatan Allah. Ke-Esa-an Allah dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya ini
14
21
16
Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Quran, Mizan, Bandung, 1989, hlm. 25
17
Ibnu Katsier, Tafsir Ibnu Katsier, Jilid 9, Terj. Salim Bahreisy, dkk., PT Bina Ilmu,
Surabaya, 1991, hlm. 151
18
Al-Tauhid merupakan masdar dari wahhada yang berarti keyakinan atas keesaan
Allah. Tetap teguh kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Jika dipandang sebagai ilmu berarti
pengetahuan atau ajaran mengenai keesaan Allah. (Lihat Ahmad Warson al-Munawwir, AlMunawwir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya, 1984, hlm. 1647. Juga W.j.S.
Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indoesia , PN Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hlm. 1025)
19
22
Allah, semuanya itu telah disebutkan secara global di dalam surat ini.20 Hal itu
sebagaimana dikutip HAMKA dalam tafsir al-Azhar sebagai berikut :
Ibnu Qayyim menulis dalam Zaad al-Maad: Nabi saw selalu
membaca pada shalat sunnat al-Fajar dan shalat al-Witir surat al-Ikhlas dan alKafirun. Karena kedua surat itu mengumpulkan tauhid ilmu dan amal, tauhid
marifat dan irodat, tauhid itiqad dan tujuan. Surat al-Ikhlas mengandung
tauhid itiqad dan marifat dan apa yang wajib dipandang tetap teguh pada
Allah menurut akal murni yaitu Esa, Tunggal. Nafi yang Muttlaq daripada
berserikat dan bersekutu dari segi manapun. Dia adalah pergantungan yang
tetap, yang pada-Nya berkumpul segala sifat kesempurnaan, tidak pernah
berkurang dari segi manapun. Nafi daripada beranak dan diperanakkan, karena
kalau keduanya itu ada, Dia tidak jadi pergantungan lagi dan keesaan-Nya
tidak bersih lagi. Dan Nafi atau tiadanya kufu, tandingan, bandingan dan
gandengan adalah menafikan perserupaan, perumpamaan atau pandangan lain.
Sebab itu maka surat ini mengandung segala kesempurnaan bagi Allah dan
menafikan segala kekurangan. Inilah dia pokok tauhid menurut ilmiah dan
menurut aqidah, yang melepaskan orang yang berpegang teguh kepadanya
dari kesesatan dan mempersekutukan.21
Surat al-Ikhlas ini mengumpulkan tauhid ilmu dan bahkan
merupakan puncak ilmu tentang aqidah. Itulah sebab Nabi mengatakan
sepertiga al-Quran. Dan hadits-hadits yang mengatakan demikian boleh
dikatakan mencapai derajat mutawatir.
Keutamaan lain dari surat al-Ikhlas ini antara lain juga tercantum
dalam
hadits
riwayat
al-Nasai22
melalui
jalur
Aisyah
r.a.
yang
menjelaskankan bahwa surat ini mengandung sifat Allah SWT maka siapa
yang suka membacanya, Allah juga suka pada-Nya.23 Sebagaimana riwayat
dari Buraidah r.a. :
20
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,terj. Bahrun abu Bakar, LC., dkk,
Jilid 30. CV. Toha Putra, Semarang, hlm. 445
21
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 10, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1993, hlm.
8148
22
Imam Nasai nama lengkapnya ialah Abu Abdurrahman Ahmad bin Syuaib bin Bahr.
Nama beliau dinisbatkan kepada kota tempat beliau dilahirkan. Beliau dilahirkan pada tahun 215
H di Kota Nassa yang masih termasuk wilayah Khurasan. Menurut sebagian pendapat dari
Muhadditsin beliau lebih hafizh dari pada Imam Muslim. (Lihat Fatchur Rahman, Drs., Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, PT Al Maarif, Bandung, 1991, hlm. 334)
23
23
, : :
( )
,
Artinya: Suatu ketika Nabi saw mendengar seorang laki-laki berdoa dan
berkata: Ya Allah sesungguhnya aku memohon padamu dengan
mengaku bahwa aku menyaksikan Engkaulah Allah Yang tiada
Tuhan selain dari pada Mu, Maha Esa, Maha dibutuhkan, yang tidak
berputra, tidak diputrakan dan tidak ada sesuatu apapun yang
menyamai-Nya. Buraidah melanjutkan keterangannya: demi
mendengar itu, lalu Nabi Saw bersabda:
Demi zat yang dijiwaku ada di dalam genggaman-Nya.
Sesungguhnya orang itu telah memohon kepada Allah dengan
namanya yang teragung, yang apabila dipanjatkan doa dengan
menggunakan nama itu maka Allah akan mengabulkannya dan
apabila dimintai pasti akan diberinya.24
Mukmin yang mengerti makna surat ini dan menghayatinya serta
mengamalkan dalam segala hal, maka dia wajib masuk surga. Sebagaimana
sabda Nabi Muhammad saw melalui jalur Abu Hurairah bahwa seseorang
yang membaca baginya wajib masuk surga.25
24
Sayid Sabiq, Aqidah Islam, Cet. XII, CV. Diponegoro, Bandung, 2001, hlm. 51-52
25
Jalaluddin al-Suyuthi, Op Cit, hlm. 171, Lihat Abi Bakr Muhammad bin Abdullash
al-Maruf, Ahkam Al-Quran, Dar al-Kitab al-Alamiyyah, Beirut, Libanon, t. t. hlm. 468
24
( )
:
26
26
27
28
M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hlm. 15-16
25
29
Menyerupai, Kamu satu, Allah juga satu. Kamu hidup, Allah juga mempunyai sifat
hayat (hidup), akan tetapi hakekat daripada nama-nama yang disandarkan kepada Allah tidaklah
sama dengan apa yang berlaku pada makhluk. Segala apa yang disandarkan kepada manusia hanya
sesuai dengan dzat manusia sebagai makhluk, sedangkan apa yang disandarkan kepada Allah
hanya sesuai dengan Dzat Khaliq yang tidak ada yang menyerupai dalam Dzat, sifat maupun
asma-Nya yang sesuai dengan kesesuaian yang sempurna Bagi Tuhan Rabbil aalamiin. (lihat
Syakh Muhammad Abu Zahra, Aqidah Islamiyyah, Terj. Drs. Imam Sayuti Farid, al-Ikhlas,
Surabaya, t.t., hlm. 51)
26