Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PERJANJIAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

NAMA

: PURNAMA SAMOSIR

NIM

: 120710101411

KELAS

:A

MATA KULIAH : HUKUM KEBENDAAN DAN PERIKATAN ADAT

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN AJARAN 2015-2016

LATAR BELAKANG
Hubungan manusia dengan tanah sejak dulu memiliki keterkaitan yang erat. Tanah dapat
dilihat sebagai suatu yang mempunyai sifat permanen dan dapat dicadangkan untuk kehidupan
masa yang akan datang. Tanah adalah tempat pemukiman dari umat manusia disamping sebagai
sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui pertanian serta pada akhirnya
tanah pulalah yang dijadikan tempat persemayaman terakhir bagi seorang yang meninggal dunia.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan
bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan
hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hakhak atas tanah dalam dua bentuk:
1.

hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau
dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan
dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak

2.

Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara
seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian.
Salah satu hak kebendaan atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA adalah
hak milik atas tanah yang paling kuat dan terpenuh. Terkuat menunjukkan bahwa jangka waktu
hak milik tidak terbatas serta hak milik juga terdaftar dengan adanya tanda bukti hak sehingga
memiliki kekuatan. Terpenuh maksudnya hak milik memberi wewenang kepada empunya
dalam hal peruntukannya yang tidak terbatas. Semua hak atas tanah itu mempunyai sifat-sifat
kebendaan (zakelijk karakter), yaitu:
(1) dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain,
(2) dapat dijadikan jaminan suatu hutang, dan
(3) dapat dibebani hak tanggungan.
Dalam pasal 20 ayat (2) UUPA ditentukan bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan.

Beralih maksudnya terjadi bukan karena suatu perbuatan hukum (kesengajaan)

melainkan

karena peristiwa hukum (bukan kesengajaan), misalnya diwariskan. Sedangkan dialihkan


menunjukkan adanya kesengajaan sehingga terdapat suatu perbuatan hukum terhadap hak milik
tersebut.
Peralihan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang kepada
orang lain. Jadi, peralihan adalah perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar
hak atas tanah berpindah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan.

TINJAUAN PUSTAKA
1.

Definisi Tanah

Berdasarkan Ensiklopedi Indonesia, Tanah adalah campuran bagian-bagian batuan dengan


material serta bahan organik yang merupakan sisa kehidupan yang timbul pada permukaan bumi
akibat erosi dan pelapukan karena proses waktu.
Menurut Pendekatan Ahli Geologi, Ahli geologi akhir abad XIX mendefinisikan tanah
sebagai lapisan permukaan bumi yang berasal dari bebatuan yang telah mengalami serangkaian
pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk regolit yaitu lapisan partikel halus.
Tanah terdiri dari partikel pecahan batuan yang telah diubah oleh proses kimia dan
lingkungan yang meliputi pelapukan dan erosi. Tanah berbeda dari batuan induknya karena
interaksi antara, hidrosfer atmosfer litosfer, dan biosfer . Ini adalah campuran dari konstituen
mineral dan organik yang dalam keadaan padat, gas dan air.
Pengertian tanah yang dikemukakan di atas adalah secara umum bukan berdasarkan
pandangan hukum Dalam pandangan hukum (UUPA) tanah menurut Budi Harsono, sebagai
berikut: Adapun permukaan bumi itu disebut tanah. Dalam penggunaannya tanah meliputi juga
tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya sekedar hal itu diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah tersebut (Pasal 4 ayat 2).
Dengan demikian, maka pengertian tanah dalam penggunaannya berarti ruang
Tanah sama dengan permukaan bumi (Pasal 1 ayat 2 Jo Pasal 4 ayat 1 UUPA), diartikan
sama dengan ruang pada saat menggunakannya karena termasuk juga tubuh bumi dan air di
bawahnya dan ruang angkasa di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
2.

peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.


Hak-hak atas tanah
Hak atas tanah telah diatur dalam Bab II UUPA. Dimana hak atas tanah adalah hak yang
memeberi wewenang kepada yang empunya hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat
dari tanah yang dihakinya.
Hak-hak atas tanah menurut pasal 16 j0 53 UUPA ialah : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, Hak
Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
a.

1.
2.
3.
4.
5.

Adapun pengelompokkan hak-hak atas tanah yaitu sebagai berikut:


Hak atas tanah yang bersifat tetap:
Hak Milik
Hak Guna Usaha
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai
Hak Sewa Tanah Bangunan

6.
1.
2.
3.
4.
3.
a.

Hak Pengelolaan.
b.
Hak atas tanah yang bersifat sementara:
Hak Gadai
Hak Usaha Bagi Hasil
Hak Menumpang
Hak Sewa Tanah Pertanian
Konsep pendaftaran tanah
Definisi pendaftaran tanah
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, pendaftaran
tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian
serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hakhak tertentu yang membebaninya.
Pendaftran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan
terhadap obyek pendaftaran tanah yang elum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini (Pasal 1 Angka 9 PP No.
24 Tahun 1997).

b.

Sistem Pendaftaran Tanah


Dalam hal pendaftaran tanah, maka dikenal dua sistem kegiatan pendafataran tanah, yaitu:
1. Pendaftaran tanah secara sistematik
Berdasarkan Pasal 1 Angka 10 PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah secara sistematik
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang
meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah suatu
2.

desa/kelurahan.
Pendaftaran tanah secara sporadik
Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 PP No. 24 tahun 1997, pendaftaran tanah secara sporadik adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran
tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau missal.

3.

Tujuan Pendaftaran Tanah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tetap dipertahankan tujuan


diselenggarakannya pendaftaran tanah yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Pasal 19
UUPA yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum
di bidang pertanahan. Secara rinci tujuan dari pendaftaran tanah di jelaskan dalam Pasal 3 dan 4
PP Nomor 24 Tahun 1997. Pasal 3 tertulis bahwa :
Pendaftaran tanah bertujuan :
a.

Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah

b.

dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.


Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah
agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan

c.

hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Lebih lanjut dalam Pasal 4 ditulis bahwa :

a.

Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3

huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.
b.
Untuk melaksanakan fungsi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, data fisik
dan data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk
umum.
c.
Untuk mencapai tertib administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c setiap
bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas
bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftar.
Kepastian hukum yang dimaksud dari Pasal 3 dan 4 tersebut meliputi 2 hal, yaitu:
a.

Kepastian hukum mengenai objek (data fisik), yaitu keterangan mengenai letak, batas dan luas
bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya

b.

bangunan atau bagian bangunan di atasnya.


Kepastian hukum mengenai subjek (data yuridis), yaitu keterangan mengenai status hukum
bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta
beban-beban lain yang membebaninya.
Dilaksanakannya pendaftaran tanah juga bertujuan untuk menyediakan informasi kepada
para pihak yang berkepentingan. Dengan tersedianya informasi ini, maka akan memudahkan
berbagai pihak yang ingin mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang-bidang

tanah atau satuan rumah susun yang sudah terdaftar tanpa harus mengecek langsung ke lokasi di
mana bidang tanah yang dimaksud berada.
Penyajian data tersebut dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten/ Kota
khususnya Seksi Tata Usaha Pendaftaran Tanah. Informasi yang dimaksud adalah keterangan
atau dokumen yang terdapat dalam daftar umum. Disebut sebagai daftar umum karena daftar dan
peta-peta di dalamnya terbuka untuk umum. Oleh karena itu para pihak berhak untuk mengetahui
data yang tersimpan di dalamnya sebelum melakukan perbuatan hukum mengenai suatu bidang
tanah atau satuan rumah susun.
Daftar umum tersebut terdiri atas :
a.
b.
c.
d.
e.

Peta pendaftaran
Daftar tanah
Surat ukur
Buku tanah
Daftar nama
Data yang tercantum dalam daftar nama tidak terbuka untuk umum. Hanya diperuntukkan
bagi instansi pemerintah tertentu untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. Dalam penjelasan Pasal
34 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 dipaparkan bahwa daftar nama sebenarnya tidak memuat
keterangan mengenai tanah, melainkan hanya memuat keterangan mengenai orang perseorangan
atau badan hukum dalam hubungannya dengan tanah yang dimilikinya.
Dalam Pasal 30 dan 31 PP Nomor 24 Tahun 1997 diuraikan bahwa tujuan pendaftaran
tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang
tanah dipertegas dengan dimungkinkannya pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisik dan/
atau data yuridisnya belum lengkap atau masih disengketakan, walaupun untuk tanah-tanah
demikian belum dikeluarkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.

4.

Sertifikat Tanah
Sertifikat tanah adalah produk final dari manajemen pertanahan yang berfungsi sebagai
alat bukti pemilikan sekaligus sebagai sarana pengendali bidang tanah menuju tanah untuk
kemakmuran dan keadilan serta menjamin kelangsungan pembangunan berkelanjutan bagi
seluruh rakyat NKRI. Oleh karenanya maka penerbitan sertifikat tanah hanya dapat dikelola
dalam satu sistem terpusat.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 20 PP No. 24 Tahun 1997, sertifikat adalah surat tanda bukti
hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak

pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masingmasing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Selanjutnya, dalam Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
menjelaskan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang
data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah
hak yang bersangkutan.

PEMBAHASAN
1.

Peraturan Perundang-Undangan
Adapun yang menjadi peraturan perundang-undangan mengenai peralihan hak atas tanah

yaitu:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan BadanBadan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha
-

(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) Dan Hak Pakai Atas Tanah Negara (HP);
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No.40/1997);
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah

Tempat Tinggal atau Hunian Orang Asing (PP No.41/1996); dan


Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999
Tentang Percepatan Pelayanan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah (InMenAg No.2 Tahun

2.

1999);
Konsep Peralihan Hak Atas Tanah
Peralihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah,
pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali
pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat
oleh PPAT yang berwenang. Dengan demikian berarti setiap peralihan hak milik atas tanah, yang
dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Jual
beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum

yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut
harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya
perbuatan hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya
perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan
dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan
kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas tanah (hak milik) yang
dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah
tersebut.
Dengan demikian berarti, agar peralihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik atas
tanah tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat
peralihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak milik)
tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan
mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut.
a.

Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah


Dalam UUPA diatur dasar hukum peralihan hak atas tanah, yaitu dalam pasal 20, 28, 35 dan
43.

Pasal 20 ayat (2):


Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 28 ayat (3):
Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 35 ayat (3):
Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Mengenai hak pakai ada pembatasan seperti diatur dalam pasal 43:
(1)
Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat
(2)

dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang


Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan
dalam perjanjian yang betsangkutan.

b.

Peralihan Hak Atas Tanah karena Pewarisan.


Hak-hak atas tanah mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan manusia ini,
karena semakin maju masyarakat, semakin padat penduduknya, maka akan menambah lagi
pentingnya kedudukan hak-hak atas tanah. Di dalam UUPA telah ditentukan bahwa tanah-tanah
di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia harus didaftarkan, hal ini sesuai dengan Pasal 19
ayat (1) UUPA yang berbunyi:

Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadkan Pendaftaran Tanah, yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah
Selain itu juga diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUPA yang berbunyi sebagai
berikut:
Hak milik, demikian juga setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain
harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksudnya dalam Pasal 19
Sedangkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dala Pasal 19 ayat (1) UUPA
adalah Peraturan Pemerintah Noor 10 Tahun 1961 yang sekarang telah disempurnakan dengn
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Menurut Pasal 29
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan:
(1)

Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun diadftar
dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data yuridis dan adat fiisk bidang
tanah yang bersangkutan , dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.

(2)

Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya dalam surat ukur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan
boidang tananhya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut
Peraturan Pemerintah ini.

(3)

Pembukuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan alat bukti yang
dimaksud dalam Pasal 23 dan berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
Dengan sistem buku tanah berarti bahwa setiap hak atas tanah yang wajib didaftarkan
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 harus dibuat salinan dari buku tanah untuk
diterbitkannya sertifikat.
Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka memberikan
perindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah,
agar data yang tersimpan dan disajikan selalu menunjukkan keadaan yang mutakhir. Proses
pewarisan itu terjadi disebabkan oleh meninggalnya seseorang dengan meninggalnya sejumlah
harta kekayaan, baik yang materiil maupun immateriil dengan tidak dibedakan antara barang
bergerak dan barang tidak bergerak.
Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya yang
dinamakan pewarisan terjadi hanya karena kematian, oleh karena itu pewarisan baru akan terjadi
jika terpenuhi tiga persayaratan yaitu:

1.

Ada seseorang yang meninggal dunia

2.

Ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat
pewaris meninggal dunia;

3.

Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.


Jika di antara harta peninggalan itu terdapat tanah hak milik maka hak atas tanah itupun
beralih kepada apara ahli waris tersebut. Peralihan hak tidak lagi dibuat di hadapan Kepala Desa
atau secara di bawah tangan, tetapi harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
diangkat oleh Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraris, satu orang untuk tiap satu
atau lebih daerah Kecamatan. Sedangkan untuk suatu daerah Kecamatan yang belum diangkat
seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka Camat yang mengepalaia Kecamatan tersebut untuk
sementara ditunjuk karena jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Untuk setiap perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah harus dibuatkan
suatu akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pebuat Akta Tanah. Menuruut
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan
Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan
Peerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Sebelum Pejabat membuat akta peralihan hak atas tanah harus diperlihatkan lebih dahuku
sertifikat tanah yang bersangkutan, bila tanah itu telah didaftarkan atau dibukukan dalam bentuk
tanah pada Kantor Agraria Seksis Pendaftaran Tanah. Bila tanah itu belum didaftarkan atau
dibukukan dalam buku tanah maka sebagai pengganti sertifikat tanah harus diserahkan surat
keterangan pendaftaran tanah dari Kantor Agraria Seksi Pendaftaran Tanah setempat, bahwa
tanah itu belum mempunyai sertifikat atau sertifikat sementara.
Menurut ketentuan, akta harus ditandatangani oleh semua pihak, oleh PPAT dan para
saksi. Dan pada umumnya dibuat dalam rangkap empat, yaitu:

1.

Satu helai (yang asli) bermaterai Rp. 6.000,- untuk disimpan dalam protokol pejabat.

2.

Satu helai bermaterai Rp. 6000.,- untuk keperluan Kantor Pertanahan.

3.

Satu helai untuk keperluan lampiran permohonan izin (apabila diperlukan izin)

4.

Satu helai untuk yang berkepentingan


Untuk semua akta peralihan hak, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri
Agraria Nomor 11 Tahun 1961 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus

1977 Nomor SK.104/DJA/1977 harus dipergunakan formulir-formulir yang tercetak di kantor


Pos.
Menurut UUPA tidak cukup dibuatkan akta saja tetapi harus melakukan proses balik
nama untuk membuat sertifikat, untuk balik nama atau perubahan nama dari pemilik lama
kepada rekomendasi dari Pejabat Pebuat Akta Tanah. Tetapi dengan adanya akta sudah cukup
untuk memperoleh hak milik, karena haknya sudah beralih, hanya saja belum memiliki kepastian
hukum di kemudian hari. Karena untuk menjamin kepastian hukum harus dibuktikan dengan
sertifikat bukan oleh akta. Akta hanya berfungsi sebagai tanda bukti hak. Adapun syarat balik
nama adalah:
1. Ada akta pejabat (akta peralihan hak)
2.

Bukti pelunasan yang menjadi kewajiban untuk peralihan hak tersebut.

3.

Rekomendasi atau surat pengantar balik nama dari PPAT.


Pasal 11 PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur kegiatan pelaksanaan Pendaftaran Tanah,
bahwa Pelaksanaan Pendaftaran Tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
dan pemeliharaan data pendaftaran tanah.
Selanjutnya untuk pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan yang
wajib dilakukan oleh pihak yang memperoleh tanah hak milik sebagai warisan diatur dalam
Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut:
Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah
didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya
dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris.
Dari ketentuan di atas, apabila seseorang pemilik tanah meninggal dunia, maka orang
yang menerima warisan itu dalam waktu 6 (enam) bulan harus mendaftarkan tanah warisannya
tersebut ke Badan Pertanahan Nasional, waktu 6 (enam) bulan itu dapat diperpanjang oleh Badan
Pertanahan Nasional.
Menurut ketentuan pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 :
Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan
sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran.

Sesuai dengan pasal tersebut di atas, bahwa penerima warisan (ahli waris) harus
mendaftarakan tanahnya ke Kantor Pertanahan. Tetapi harus diperhatikan terlebih dahulu apakah
tanahnya tersebut sudah dibukukan atau belum. Apabila tanahnya belum dibukukan sesuai
dengan ketentuan Pasal 42 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut:
jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan juga dokumendokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1) huruf b
Dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah pada yang mewariskan diperlukan
setelah pendaftaran untuk pertama kali hak yang bersangkutan atas nama yang mewariskan. Hal
tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997.
Dari ketentuan Psal 42 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 di atas maka:
1.

Ahli waris harus memperlihatkan surat bukti hak berupa bukti-bukti tertulis, keterngan saksi
dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebanarannya oleh panitia Ajudikasi atau
Kepala kantor Pertanahan dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak
pihak lain yang membebaninya.

2.

Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat
dari kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan kantor
Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala
Desa/Kelurahan.

3.

Berdasarkan data butir 1 dan 2 di atas kemudian dibuatkan akta waris oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah.
Kemudian pemohon (ahli waris) mendaftarkan ke kantor Badan Pertanahan Nasional
dengan persyaratan sebagai berikut:

1.

Mengisi formulir permohonan

2.

Bukti identitas ahli waris

3.

Surat Kuasa dan photo copy KTP penerima kuasa bila dikuasakan.

4.

Sertifikat Hak Atas Tanah yang diwariskan.

5.

Surat Kematian atas nama pemegang hak

6.

Surat Tanda Bukti sebagai Ahli Waris:

o Wasiat dari pewaris; atau

o Putusan pengadilan; atau


o Surat Keterangan ahili Waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua
orang saksi dan dikuatkan oleh Lurah atau Camat.
o Akta Pembagian hak Bersama (apabila langsung dibagi waris)
o Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir.
c.

Peralihan hak atas tanah karena jual-beli


Di dalam UUPA tidak terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan
pengertian jual beli itu. Menurut hukum barat yang pengaturannya terdapat dalam pasal 1457
KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu (penjual)
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (hak miliknya) suatu benda dan pihak yang lain
(pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Menurut pasal 1458 jual beli itu

dianggap telah mencapai kata sepakat mengenai benda yang diperjualbelikan itu seta harganya,
biarpun benda tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
Tetapi dengan adanya jual beli saja, hak milik atas benda yang diperjual belikan,
belumlah beralih kepada pembeli, walaupun harganya sudah dibayar, sebab hak milik atas tanah
tersebut baru beralih kepada pemiliknya apabila telah dilakukan apa yang disebut penyerahan
yuridis ( juridische levering), yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta tanah dimuka
dan oleh Kepala Kantor Pendaftaran tanah selaku overschrijvings ambtenaar menurut
Overschrijvings Ordonnanties 1934 No. 27 dan pasal 1459 KUHPerdata.
Beralihnya hak milik atas tanah hanya dapat di buktikan dengan akta. Perbuatan hukum
itu lazim disebut ( overschrijying ) aktanya disebut akta balik nama , sedang pejabatnya
disebut Pejabat balik nama ;

Sebelum dilakukan penyerahan yuridis, melainkan penjual

yang masih merupakan pemilik atas tanah yang bersangkutan biarpun tanah yang diperjual
belikan tersebut sudah di kuasai oleh pembeli.
Menurut hukum adat, jual beli tanah bukan merupakan perjanjian seperti pasal 1457
KUHPerdata, tetapi suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan
oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat yang mana pihak pembeli
menyerahkan harganya kepada penjual. Dengan dilakukan jual beli tersebut, maka hak milik
atas tanah itu beralih kepada pembeli. Walaupun misalnya baru dianggap telah dibayar penuh.
Jual beli tanah menurut hukum adat bersifat contant atau tunai. Dengan dilakukannya jual beli

itu dihadapan Kepala Desa/Adat, maka jual beli itu menjadi terang, dan bukan merupakan
perbuatan hukum yang gelap. Jadi, walaupun tanpa sertifikat kepemilikan, asal dilakukan di
hadapan Kepala Desa/Adat, maka tanah tersebut dapat beralih kepemilikannya. Oleh karena itu
pembeli mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai pemilik yang baru dan akan mendapat
perlindungan hukum apabila di kemudian hari ada gugatan terhadapnya.
3.

Contoh kasus peralihan hak atas tanah tanpa sertifikat karena jual-beli
Pipil adalah surat pajak hasil Bumi / Verponding / Petuk pajak sebelum berlakunya

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diakui oleh masyarakat sebagai bukti kepemilikan
tanah. Namun, setelah berlakunya UUPA, pipil sudah bukan sebagai bukti kepemilikan hak atas
tanah, melainkan sertifikat hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan yang sah.
Pada kenyataan di lapangan masih sering kali terjadi jual beli tanah yang belum
bersertifikat yakni hanya didasarkan pada pipil / Petuk pajak. Sebagai contoh jual beli tanah yang
belum memiliki sertifikat yang pernah terjadi di Kota Denpasar, yaitu jual beli tanah dengan pipil
Nomor 236, persil Nomor 15 klas II seluas 3.750 m yang terletak di Desa Sanur Kauh, Denpasar
Selatan antara I Gusti Ngurah Bagus (penjual) dengan I Gusti Bagus Oka (pembeli). Dimana jual
beli tanah ini telah menimbulkan sengketa kepemilikan hak atas tanah. Karena kekuatan hukum
pelaksanaan jual beli tanah ini dianggap sangat lemah yang sering kali memicu sengketa
kepemilikan hak atas tanah.
Berdasarkan contoh kasus di atas, bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli
dimana obyek jual belinya berupa tanah yang belum bersertifikat, pada pelaksanaannya harus
didahului dengan pendaftaran atau penegasan hak (konversi) terhadap tanah tersebut hingga
terbitnya suatu sertifikat hak milik atas tanah, lalu dapat dilakukan proses jual beli atas tanah dan
pembuatan akta jual beli yang dilakukan dihadapan dan oleh PPAT. Selanjutnya oleh Kantor
Pertanahan Kota Denpasar, diterbitkan sertifikat hak milik yang baru atas nama pemilik yang
baru (pembeli). Sebab, jika tidak begitu maka akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum
dari jual beli tanah yang belum bersertifikat berupa penyerahan obyek jual beli yaitu berupa
tanah kepada pembeli serta penyerahan pembayaran harga jual beli kepada penjual.

KESIMPULAN
Adapun yang menjadi kesimpulan berdasarkan pembahasan di atas yaitu :
1.

Peralihan hak atas tanah karena adanya pewarisan pada dasarnya memerlukan sertifikat
sebagai bukti kepemilikan. Namun, peralihan hak atas tanah ini, sekalipun belum ada sertifikat
tetap dapat terjadi, dengan syarat ahli waris sebagai pemohon harus menyerahkan surat
keterangan pendaftaran tanah dari Kantor Agraria Seksi Pendaftaran Tanah setempat, bahwa
tanah itu belum mempunyai sertifikat atau sertifikat sementara. Hal ini dilakukan sebagai

2.

pengganti sertifikat bila tanah itu belum didaftarkan atau dibukukan dalam buku tanah.
Peralihan hak atas tanah karena jual beli hanya dapat terjadi bila dibuktikan dengan akta
kepemilikan (sertifikat). Namun menurut hukum adat, peralihan hak atas tanah ini tetap dapat
terjadi sekalipun tidak ada sertifikat, asal dilakukan di hadapan Kepala Desa/Adat, maka tanah

3.

tersebut dapat beralih kepemilikannya.


Untuk terjadinya peralihan hak atas tanah karena jual beli, membutuhkan adanya sertifikat,
namun pada kenyataan yang terjadi, masih banyak peralihan hak atas tanah dengan cara jual beli
tanah yang belum bersertifikat yakni hanya didasarkan pada pipil / Petuk pajak seperti yang
terjadi di Kota Denpasar. Sehingga hal ini menimbulkan adanya sengketa kepemilikan atas tanah.

Anda mungkin juga menyukai