Anda di halaman 1dari 10

HAK ASASI MANUSIA

HAM Ke-7
Setiap Orang Memiliki Hak Yang Sama Dimata Hukum
1. Pengertian Hak asasi manusia
Pengertian hak asasi manusia ini sebenaranya, ruang lingkupnya sangatlah luas,
tetapi saya di sini hanya mengambil dari dua sudut pandang saja yaitu sebagai
berikut:
1) Hak asasi manusia menurut UU No.39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang ini yang dimaksud dengan Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
2) Hak asasi manusia menurut Islam
Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara transenden untuk kepentingan
manusia melalui syariat Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut ajaran
Islam manusia adalah makhluk yang bebas yang memiliki tugas dan tanggung
jawab, oleh karenanya ia memiliki hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan
yang ditegakan atas dasar persamaan atau egaliter tanpa pandang bulu.
Maknanya tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan,
sementara kebebasan secara eksistensial tidak akan terwujud tanpa adanya
tanggung jawab itu sendiri.
Islam bertolak dari akidah yang tinggi dalam memandang manusia. Allah SWT
telah menjadikan manusia sebagai Khalifah di muka bumi sebagaimana
tercantum dalam al-Quran surat al-Anam ayat 165, yang artinya :
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.
Serta dalam surat al-Baqarah ayat 30, yang artinya :

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
Hak asasi manusia dalam Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang
persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia.
Persamaan,

artinya

Islam

memandang

semua

manusia

setara,

yang

membedakan adalah prestasi ketakwaanya. Hal ini sesuai dengan al-Quran Surat
al-Hujurat ayat 13, yang artinya :

Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan,
dan Kami jadikan kamu berbanga-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang mulia diantara kamu adalah yang paling takwa.
2. Hak Asasi Manusia Setiap Orang Memiliki Hak Yang Sama Dimata Hukum
Kali ini saya akan membahas hak asasi manusia tentang setiap orang memilik hak
yang sama dimata hukum yang dipandang dari sudut pandang undang-undang dan
agama. Diantaranya sebagai berikut:
a) Berdasarkan Undang-Undang
Dalam mukadimah pasal 7 yang berbunyi:
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang
sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap
setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Pernyataan ini dan
terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam itu.
Dalam UUD 1945 pasal 28 D ayat 1 yang berbunyi
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepstian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
Dalam pasal 7 UU HAM No. 39 tahun 1999 yang berbunyi:

1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan
forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin
oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia
yang telah diterima negara Republik Indonesia.
2) Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik
Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional
b) Menurut pandangan agama
Islam memerintahkan

umatnya

untuk

berbuat

adil dengan

semua orang, memerintah mereka berbuat adil dengan orang


yang mereka cintai dan orang yang mereka benci, ia menginginkan
mereka adil secara mutlak hanya karena Allah, bukan karena
sesuatu yang lain, standarnya tidak dipengaruhi oleh kecintaan
dan

kebencian; rasa cinta tidak mendorong umat Islam yang

bertakwa meninggalkan kebenaran dan condong kepada kebatilan


karena

orang

yang

mereka

cintai,

dan

kebencian

tidak

menghalangi mereka melihat kebenaran dan memperhatikannya


karena orang yang mereka benci.
banyak ayat al-Qur'an

yang menjelaskan

manhaj

Islam yang

lurus dalam masalah keadilan kepada semua manusia, orang


yang kita

cintai,

dan

orang yang kita

benci, dalam

setiap

situasi dan kondisi.


Allah swt berfirman dalam berbuat adil pada orang yang kita
cintai:

Wahai orang-orang
benar-benar

yang beriman, jadilah

penegak keadilan,

biarpun terhadap

menjadi saksi

dirimu sendiri atau

kerabatmu. (QS. An Nisaa': 135)

kamu orang yang

ibu

Karena

Allah

bapa dan kaum

dan Allah berfirman dalam berbuat adil terhadap orang-orang


yang kita benci:

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang


yang selalu

menegakkan (kebenaran) Karena

Allah, menjadi

saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap


sesuatu

kaum, mendorong kamu untuk berlaku

tidak

adil.

berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa.

(QS.

Al Maidah: 8)
Islam menyuruh
bersaksi,

adil dalam kesaksian

walaupun

kesaksian

ini

jika kita diminta untuk


menyulitkan

kita

atau

menyulitkan orang yang disaksikan, karena ia adalah kesaksian


karena Allah:

Dan persaksikanlah

dengan dua orang saksi yang

antara kamu dan hendaklah

adil di

kamu tegakkan kesaksian

itu

Karena Allah. (QS. ath Thalaq: 2)


Sehingga dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya hak asasi manusia dalam
kesamaan hak dalam memperoleh keadilan dimata hukum menurut undang-undang
sesuai dengan agama. Sehingga jika tanpa adanya undang-undang sistem ini sudah
dapat berjalan dengan mudah ksrena sudah ditetapkan sejak dahulu, namun seiring
berjalannya waktu ada perubahan akhlaq dari masyarakat sehingga perlu adanya
penegakan hukum yang memiliki dasar yang disebut dengan undang-undang dasar
dan di perkuat dengan adanya undang-undang hak asasi manusia.

3. Permasalah yang terjadi terkait dengan pelanggaran HAM oleh penegak hukum
1) Tingkat Kekayaan Seseorang
Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah
jatuhnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap
terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara
Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad Bob Hasan . PN
Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan
menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini
menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi
yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah
berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses
pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi
dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus
Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya.
Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi
yang merugikan negara hanya sekian puluh juta rupiah, putusan kasus Bob
Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa
kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara.
Kemampuannya menyewa pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat
mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan
tingkat kekayaan tinggi.
2) Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia,
Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD
DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat
memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari
anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT
Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini, sembilan
orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, sementara
Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI
Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.

Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media
cetak dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan
studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan
agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa
ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada
pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk
mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur
Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut
bertanggungjawab.
3) Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat
(KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah
militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara . Disamping itu,
terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil
menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini
terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang
terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika.
Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas
hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.
4) Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September
2000, yang menewaskan tiga orang staf UNHCR mendapatkan perhatian
internasional dengan cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur
Bank

Dunia

kepada

Presiden

Abdurrahman

Wahid

untuk

segera

menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim


misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group
on Indonesia), sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat.
Tekanan internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak,
dengan segera melucuti persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili
beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab.

Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian


lain di Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua
termasuk kasus yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari
aparat.
Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi
berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada
perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun
tekanan yang terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan
masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan kecepatan aparat
melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.
Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus selama puluhan
tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan
law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut
dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum,
jarang terjadi masyarakat membantu korban atau melaporkan pelaku kepada aparat.
Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka
memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut
ini menunjukkan bagaimana perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.
1. Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat
mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka
sudah jamak dilakukan upaya damai dengan petugas polisi yang bersangkutan agar
tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal
pilihan
penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk
menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana
yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan
persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan.

2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan


Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di
Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat
hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses
pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok,
penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh.
Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan
(repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan
rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu,
melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang
menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan
juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan
tindakan pelanggaran yang sama.
3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya
kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim
dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi
perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang
seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah
menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara bagi
kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang
menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula
hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan
dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan
seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu.
4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat
membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan
penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif
melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus
pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon, Sambas, dan sebagainya.

Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi
masyarakat. Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan,
gugatan tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang
menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan tekanan terhadap
pemerintah Indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan
mereka, tanpa membiarkan hukum untuk menyelesaikannnya secara mandiri.
Tekanan tersebut dapat berupa ancaman embargo, penggagalan penanaman modal,
penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan
posisi tawar mereka dalam proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya.
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari
pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan
penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat,
pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya
sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi
informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh
masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat
penegak hukum.
Oleh sebab bagi masyarakat insonesia pengadilan dan hukum bukanlah payung untuk
tempat berlindung namun hanya sekedar pelengkap pendiriannya negara. Sehingga
untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum negara sangatlah susah,
padahal dalam teori tertulis bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dimata
hukum. Namun tak jarang pula banyak penegak hukum yang memiliki jiwa yang adil dan
banyak kasus yang terselesaikan dengan damai dan menguntungkan banyak pihak.

Daftar pustaka
1. Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999
2.

Anda mungkin juga menyukai