Anda di halaman 1dari 10

1.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
1. 1
Pemeriksaan Diagnostik
a) Trauma Tumpul
Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan
yang bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan
dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal.
Harus dilaksanakan oleh

team bedah untuk pasien dengan

trauma tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal,


terutama bila dijumpai :
1.

Perubahan

sensorium-trauma

capitis,

intoksikasi

alcohol,

kecanduan obat-obatan.
2.

Perubahan sensasi trauma spinal

3.

Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis

4.

Pemeriksaan diagnostik tidak jelas

5.

Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam


waktu

yang

extraabdominal,
6.

Adanya

kecurigaan

agak

lama,

pembiusan

untuk

cedera

pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiograf


lap-belt

sign

(kontusio

dinding

perut)

dengan

trauma usus
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik

normal nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki
fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk
DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi.
Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi abdomen
sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya
koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka atau
tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih.
Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik
dilakukan

supraumbilikal

untuk

mencegah

kita

mengenai

hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang

membesar. Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal,


serat sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui tube DPL
pada pasien dengan henodinamik yang abnormal menunjukkan
indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10
cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc
Ringer Laktat (pada anak-anak

10cc/kg). Sesudah cairan

tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll,


cairan ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk
melihat isi gastrointestinal ,serat maupun empedu. (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004)
Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm 3,
leukosit > 500/mm3atau pengecatan gram (+) untuk bakteri,
bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam
bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi
awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih. (Scheets, 2002)

FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)


Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan
USG

untuk

adanya

mendeteksi

peralatan

adanya

khusus

di

hemoperitoneum.
tangan

mereka

Dengan
yang

berpengalaman, ultrasound memliki sensiftas, speciftas dan


ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal yang
sebanding

dengan

DPL

dan

CT

abdomen

Ultrasound

memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah


untuk

mendeteksi

hemoperitorium,

dan

dapat

diulang

kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik


bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan
pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik
lainnya.

Indikasi

pemakaiannya

sama

dengan

indikasi

DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004)

Computed Tomography (CT)


Digunakan untuk memperoleh

keterangan

mengenai

organ yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya,


dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun

pelvis yang sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fsik, FAST,


maupun DPL. (American College of Surgeon Committee of
Trauma, 2004)
b) Trauma Tajam
1.

Cedera thorax bagian bawah


Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada
diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan
pemeriksaan fsik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi,
laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.

Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan


dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien
yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi
pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan
diagnostik

serial

dalam

24

jam,

DPL

maupun

laroskopi

diagnostik.

Pemeriksaan fsik diagnostik serial dibandingkan dengan double


atau triple contrast pada cedera flank maupun punggung

Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain


pemeriksaan fsik serial, CT dengan double atau triple contrast,
maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang
mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh
ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun
intraperineal untuk luka dibelakang linea axillaries anterior. (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004)

1. 2

Pemeriksaan Radiologi

a) Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul


Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral,
Thorax AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul

dengan

multitrauma.

Rontgen

foto

abdomen

tiga

posisi

(telentang, setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk


melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara
di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya
menjadi

petunjuk

bayangan

psoas

untuk

dilakukan

menunjukkan

laparatomi.

Hilangnya

kemungkinan

cedera

retroperitoneal
b) Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal
tidak memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk
diatas umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal
dengan hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak
bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau
pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas
intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal,
pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu
luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun
adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
c) Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
1) Urethrograf
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya,
harus dilakukan urethrograf sebelum pemasangan kateter
urine bila kita curigai adanya ruptur urethra. Pemeriksaan
urethrograf digunakan dengan memakai kateter no.# 8-F
dengan

balon

dipompa

1,5-2cc

di

fossa

naviculare.

Dimasukkan 15-20 cc kontras yang diencerkan. Dilakukan


pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit
tarikan pada pelvis.
2) Sistograf
Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal
terbaik ditentukan dengan pemeriksaan sistograf ataupun
CT-Scan sistograf. Dipasang kateter urethra dan kemudian

dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf


setinggi 40 cm diatas pasien dan dibiarkan kontras
mengalir ke dalam bulu-bulu atau sampai (1) aliran terhenti
(2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien
merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto postvoiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT Scan (CT
cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan
informasi

tambahan

tentang

ginjal

maupun

tulang

pelvisnya. (American College of Surgeon Committee of


Trauma, 2004)
3)

CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien
dengan hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai
mengalami sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan
dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera
ginjalnya.

Bilamana

tidak

ada

fasilitas

CT

Scan,

alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.


Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal.
Dilakukan

injeksi

bolus 100 cc larutan

Jodine

60%

(standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan


2 buah spuit 50 cc yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20
menit sesudah injeksi bila akan memperoleh visualisasi
calyx pada X-Ray. Bilamana satu sisi non-visualisasi,
kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis maupun
tertarik putusnya a.renalis, ataupun parenchyma yang
mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya
memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan +
kontras, ataupun arteriograf renal atau eksplorasi ginjal;
yang mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki.
2. Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya
retroperitoneal

(duodenum,

colon

ascendens,

colon

descendens) tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa


tidak terdeteksi dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan,
pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras ataupun
pemeriksaan RO-foto untuk upper GI Track ataupun GI
tract bagian bawah dengan kontras harus dilakukan.
(American College of Surgeon Committee of Trauma,2004)

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada


darah itu sendiri

Penurunan hematokrit/hemoglobin

Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,

Koagulasi : PT,PTT

MRI

Angiograf untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik

CT Scan

Radiograf

dada

mengindikasikan

diafragma,kemungkinan

pneumothorax

tulang

rusuk VIII-X.

Scan limfa

Ultrasonogram

Peningkatan serum atau amylase urine

Peningkatan glucose serum

Peningkatan lipase serum

peningkatan
atau

fraktur

DPL (+) untuk amylase

Penigkatan WBC

Peningkatan amylase serum

Elektrolit serum

AGD
(ENA,2000)
2. Penatalaksanaan kegawatdaruratan Trauma Abdomen
Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas
yang

menunjukkan

trauma

intra-abdominal

(pemeriksaan

peritoneal, injuri diafragma, abdominal free air, evisceration)


harus segera dilakukan pembedahan
Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara nonoperative berdasarkan status klinik dan derajat luka yang
terlihat di CT
Pemberian obat analgetik sesuai indikasi
Pemberian O2 sesuai indikasi
Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan
Trauma penetrasi :
a) Dilakukan tindakan pembedahan di bawah indikasi
tersebut di atas
b) Kebanyakan
GSW
tergantung

membutuhkan

kedalaman

penetrasi

pembedahan

dan

keterlibatan

intraperitoneal
c) Luka tikaman dapat dieksplorasi secara lokal di ED (di
bawah kondisi steril) untuk menunjukkan gangguan
peritoneal ; jika peritoneum utuh, pasien dapat dijahit
dan dikeluarkan
d) Luka
tikaman

dengan

injuri

intraperitoneal

membutuhkan pembedahan
e) Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan atau
dihilangkan dengan pembedahan
(Catherino, 2003)

Menurut

ENA

(2000)

penatalaksanaan

kegawatdaruratan

trauma

abdomen yaitu :

Monitor
Monitor
Monitor
Berikan
Berikan

komponen darah
Pasang kateter urine
Monitor pemasukan dan haluaran
Pasang NGT sesuai indikasi
Berikan analgesik jika diijinkan
Minimalkan rangsangan dari luar
Siapkan intervensi bedah sesuai indikasi
Monitor GCS
Monitor perfusi jaringan perifer
Antiembolic stoking untuk mencegah pembentukan trombus

sekunder untuk meningkatkan trombosit


Monitor tingkat kesadaran
Monitor CRT
Jelaskan prosedur dengan sederhana
Jawab pertanyaan pasien
Monitor serum amilase dan lipase
Monitor serum dan kadar gula dalam urine
Monitor suhu tubuh
Monitor serum amilase dan lipase
Monitor serum dan kadar gula dalam urine
Monitor tanda-tanda peritonitis : spasme

TTV
CVP
AGD
terapi oksigen sesuai indikasi
resusitasi cairan IV dengan cairan kristaloid, darah atau

otot/kekakuan

abdomen, penurunan sampai tidak ada bising usus.


Menurut Bambang Suryono (2008),pengelolaan trauma abdomen
ialah :
Perawatan pasien dengan perdarahan abdomen difokuskan
seputar pencegahan dan penanganan syok. Pengobatan defnitif untuk
perdarahan internal hanya dapat dilakukan di ruang operasi rumah
sakit. Tanda-tanda syok harus dinilai sejak dini, periksa periksa dengan
cermat nadi penderita, kesadaran dan warna kulit. Penurunan tekanan
darah merupakan tanda yang terlambat. Tanda-tanda itu akan muncul
setelah perdarahan internal menyebabkan kehilangan darah yang
signifkan. Pasien yang diduga mengalami perdarahan internal harus
dianggap serius dan harus dirujuk ke rumah sakit secepatnya.

Seperti semua pasien, prioritas pertama adalah ABC. Pastikan


pembukaan jalan nafas, pernafasan yang adekuat dan sirkulasi.
Pasien dengan perdarahan internal kemungkinan akan memburuk
dengan cepat. ABC dan tanda vital harus sering dimonitor. Persiapkan
untuk

mempertahankan

jalan

nafas

pasien,

untuk

memberikan

ventilasi atau melakukan RJP jika diperlukan.


3. Kompliksai Trauma Abdomen

Trombosis Vena

Emboli Pulmonar

Stress Ulserasi dan perdarahan

Pneumonia

Tekanan ulserasi

Atelektasis

Sepsis

Pankreas: Pankreatitis, Pseudocyta formasi, fstula pancreasduodenal, dan perdarahan.

Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral


dingin, diaphoresis, dan syok.

Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok.

Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA)


(Catherino, 2003)

SOURCE :

American College of Surgeon Committee of Trauma.2004.Advanced


Trauma Life Support Seventh Edition.Indonesia: Ikabi
Scheets,Lynda J.2002.Panduan Belajar Keperawatan Emergency.Jakarta:
EGC
ENA (Emergency Nurse Association )2000.Emergency Nursing Core
Curiculum ,5th,USA:W.B.Saunders Company
Catherino

,Jeffrey

M.2003.Emergency

Medicine

Handbook.USA:

Lipipincott Williams
Suryono, Bambang dkk. 2008. Materi Pelatihan Penanggulangan
Penderita Gawat Darurat ( PPGD) dan Basic life Support Plus ( BLS ).
Yogyakarta: Tim PUSBANKES 118 BAKER-PGDM PERSI DIJ

Anda mungkin juga menyukai