PENDAHULUAN
rumah sakit dan rumah sakit sebagai institusi. Beberapa ketentuan yang diatur dalam
UU tentang akreditasi rumah sakit adalah : (1) dalam upaya meningkatkan daya
saing, rumah sakit dapat mengikuti akreditasi internasional sesuai kemampuan,
(2) rumah sakit yang akan mengikuti akreditasi internasional harus sudah
mendapatkan status akreditasi nasional, (3) akreditasi internasional hanya dapat
dilakukan oleh lembaga independen penyelenggara Akreditasi yang sudah
terakreditasi oleh International Society for Quality in Health Care (ISQua).
Proses akreditasi dilakukan oleh lembaga independen yang memiliki
kewenangan untuk memberikan penilaian tentang kualitas pelayanan di institusi
pelayanan kesehatan. Salah satu lembaga akreditasi internasional rumah sakit yang
telah diakui oleh dunia adalah Joint Commission Internasional (JCI). JCI merupakan
salah satu divisi dari Joint Commission International Resurces. JCI telah bekerja
dengan organisasi perawatan kesehatan, departemen kesehatan, dan organisasi global
di lebih dari 80 negara sejak tahun 1994. JCI merupakan lembaga non pemerintah dan
tidak terfokus pada keuntungan. Fokus dari JCI adalah meningkatkan keselamatan
perawatan pasien melalui penyediaan jasa akreditasi dan sertifikasi serta melalui
layanan konsultasi dan pendidikan yang bertujuan membantu organisasi menerapkan
solusi praktis dan berkelanjutan.
Pada bulan September 2007, JCI diterima akreditasi oleh lembaga
internasional untuk kualitas dalam pelayanan Kesehatan (ISQua). Akreditasi oleh
ISQua memberikan jaminan bahwa standar, pelatihan dan proses yang digunakan
oleh JCI untuk survei kinerja organisasi perawatan kesehatan memenuhi standar
internasional tertinggi untuk badan akreditasi. Melalui akreditasi JCI dan sertifikasi
maka, organisasi kesehatan memiliki akses ke berbagai sumber daya dan layanan
yang menghubungkan mereka dengan komunitas internasional.
Sejak tahun 2012, akreditasi RS mulai beralih dan berorientasi pada paradigma baru dimana penilaian akreditasi didasarkan pada pelayanan berfokus pada
pasien. Keselamatan pasien menjadi indikator standar utama penilaian akreditasi baru
yang dikenal dengan Akreditasi RS versi 2012 ini. Dalam standar Akreditasi RS versi
2012 mencakup standar pelayanan berfokus pada pasien, standar manajemen rumah
sakit, sasaran keselamatan pasien di rumah sakit dan standar program MDGs (Dirjen
Bina Upaya Kesehatan, 2012).
Sejalan dengan visi KARS untuk menjadi badan akreditasi berstandar internasional,
serta untuk memenuhi tuntutan Undang Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
yang mewajibkan seluruh rumah sakit di Indonesia untuk meningkatkan mutu pelayanannya
melalui akreditasi. Standar akreditasi baru tersebut terdiri dari 4 kelompok sebagai berikut :
(1) Kelompok Standar Berfokus Kepada Pasien, (2) Kelompok Standar Manajemen
Rumah Sakit, (3) Kelompok Sasaran Keselamatan Pasien dan (4) Kelompok Sasaran
Menuju Millenium Development Goals.
Keselamatan pasien di dalam undang-undang rumah sakit
tahun 2009
tentang asas dan tujuan pada Pasal 2 menyatakan bahwa rumah sakit diselenggarakan
berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan
profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan,
perlindungan dan keselamatan pasien serta mempunyai fungsi sosial.
Keselamatan pasien (patient safety) merupakan isu global dan nasional bagi
rumah sakit, komponen penting dari mutu layanan kesehatan, prinsip dasar dari
pelayanan pasien dan komponen kritis dari manajemen mutu. Dalam lingkup
nasional, sejak bulan Agustus 2005, Menteri Kesehatan RI telah mencanangkan
Gerakan Nasional Keselamatan Pasien (GNKP) Rumah Sakit, selanjutnya Komite
Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Depkes RI telah pula menyusun Standar
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KP RS) yang dimasukkan ke dalam instrumen
akreditasi RS di Indonesia. Fokus tentang keselamatan pasien ini didorong oleh masih
tingginya angka Kejadian Tak Diinginkan (KTD) atau Adverse Event (AE) di RS
secara global maupun nasional. KTD yang terjadi di berbagai negara diperkirakan
sekitar 4.0-16.6 % (Raleigh et al, 2008), dan hampir 50 % di antaranya diperkirakan
adalah kejadian yang dapat dicegah. Akibat KTD ini diindikasikan menghabiskan
biaya yang sangat mahal baik bagi pasien maupun sistem layanan kesehatan (Flin,
2007). Data KTD di Indonesia sendiri masih sulit diperoleh secara lengkap dan
akurat, tetapi diperkirakan kasusnya cukup banyak (KKP-RS, 2006).
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007
resmi menerbitkan Nine Life Saving Patient Safety Solutions (Sembilan Solusi
Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh
pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan
mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien. Sembilan Solusi ini merupakan
panduan yang sangat bermanfaat membantu rumah sakit, memperbaiki proses asuhan
pasien, guna menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah.
Cerminan pelayanan rumah sakit dapat dilihat dari kualitas pelayanan
Instalasi Gawat Darurat (IGD). Jika pelayanan IGD pada suatu rumah sakit sudah
baik, maka dapat dikatakan pelayanan rumah sakit secara umum juga sudah baik.
Oleh sebab keberhasilan pelayanan pada suatu rumah sakit sangat ditentukan dari
kualitas pelayanan di IGD.
Pasien dengan jenis penyakit dan kondisi yang beragam menunjukkan
begitu kompleksnya pelayanan di IGD, oleh karena itu petugas kesehatan di IGD
harus mampu memberikan pelayanan dengan cepat, tepat serta cermat dan
profesional dengan hasil pelayanan yang bermutu. Hal ini sesuai dengan dimensi
mutu pelayanan yang utama adalah daya tanggap yang menunjukkan kemampuan
petugas kesehatan menolong pasien dan kesiapannya melayani sesuai prosedur dan
bisa memenuhi harapan pasien.
Konsep pelayanan IGD sesuai dengan pasal 29 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit menyebutkan bahwa setiap rumah
sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien
sesuai dengan kemampuannya serta membuat, melaksanakan dan menjaga standar
pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien. Hal ini
juga dikuatkan dalam pasal 32 Undang-Undang Republik Indonesia no.36 tahun 2009
tentang kesehatan menyebutkan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan
peralatan-peralatan
medis dan non medis yang memadai sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan
dan juga harus memenuhi standar mutu, keamanan dan keselamatan. Dengan
demikian upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit hendaknya
dimulai dari peningkatan kualitas pelayanan di IGD.
IGD merupakan unit pelayanan yang sangat rentan dengan keselamatan
pasien. Karena IGD rumah sakit mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan
asuhan medis dan asuhan keperawatan sementara serta pelayanan pembedahan
darurat, bagi pasien yang datang dengan gawat darurat medis. Pelayanan pasien
gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan pelayanan segera, yaitu cepat,
tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan (Depkes RI, 2006)
Penelitian Putera dkk (2009) tentang Tingkat Kesesuaian Standar Akreditasi
Terhadap Strategi dan Rencana Pengembangan Pelayanan Instalasi Gawat Darurat
Studi Kasus di RSUD Cut Meutia Aceh Utara menyimpulkan bahwa tingkat
kesesuaian pelaksanaan standar akreditasi pelayanan instalasi gawat darurat belum
memenuhi standar akreditasi, sesuai dengan standar akreditasi yang telah ditetapkan
oleh Dep.Kes RI, kecuali standar falsafah dan tujuan yang sudah memenuhi standar
akreditasi. Strategi dan rencana pengembangan pelayanan untuk tercapai standar
akreditasi harus adanya komitmen, penyusunan program, sosialisasi program,
standar yang paling relevan digunakan dalam mengkaji keselamatan pasien yang
terkait dengan mutu pelayanan di IGD adalah sasaran keselamatan pasien rumah sakit
meliputi indikator : (1) ketepatan identifikasi pasien, (2) peningkatan komunikasi
yang efektif, (3) peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, (4) kepastian
tepat lokasi tepat prosedur, tepat pasien operasi, (5) pengurangan risiko infeksi terkait
pelayanan kesehatan dan (6) pengurangan risiko pasien jatuh.
Penerapan standar JCI di RSUP. H. Adam Malik Medan yang terkait dengan
aspek keselamatan pasien sampai saat ini sedang dalam proses dan dilakukan
penyempurnaan secara manajemen, sumber daya manusia maupun fasilitas. Proses
penerapan standar JCI di IGD RSUP. H. Adam Malik Medan belum optimal, hal ini
ditandai dengan belum terlaksananya sesuai standar tentang sasaran keselamatan
pasien.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti merasa perlu melakukan kajian
tentang hubungan pengetahuan dan kemampuan perawat dengan penerapan standar
JCI tentang keselamatan pasien di IGD RSUP. H. Adam Malik Medan.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka yang menjadi
permasalahan penelitian adalah : apakah pengetahuan dan kemampuan perawat
berhubungan dengan penerapan standar JCI tentang keselamatan pasien di IGD
RSUP. H. Adam Malik Medan.
1.4 Hipotesis
Pengetahuan dan kemampuan perawat berhubungan dengan penerapan standar
JCI tentang keselamatan pasien di IGD RSUP. H. Adam Malik Medan.