MAKALAH
oleh
Rika Yulianti
(121810301002)
Kania Setianti
(121810301006)
Sita Yuliatul W
(121810301009)
Ratna Wahyu N
(121810301029)
Ahmad Isrizal A
(121810301030)
UNIVERSITAS JEMBER
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rohmat, taufik,
hidayah serta inayahnya sehingga penuiis dapat menyelesaikan tugas ini yaitu
membuat makalah dengan judul Pernikahan Dini yang disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah umum Ilmu Sosial Dan Budaya (ISBD). Pada
kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Tito
Kusuma Wardhana selaku dosen mata kuliah umum ISBD yang telah memberikan
tugas yang bermanfaat. Terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung
penyelesaian makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak guna kesempurnaan
makalah berikutnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................. i
KATA PENGANTAR...............................................................................
ii
1
2
2
3
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia, Isu pernikahan dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini
dipicu oleh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus
pengasuh pesantren dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan antara pria berusia 43
tahun dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari
Komnas Perlindungan Anak. Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan
opini yang bernada menyudutkan. Umumnya
membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir panjang akan dampak positif
ataupun negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih dibawah umur.
Pada era globalisasi, kasus pernikahan dini terjadi ketika remaja sudah
banyak yang melakukan pernikahan di usia dini. Pernikahan dini juga mempunyai
berbagai dampak bagi remaja. Sebagai generasi muda dan penerus bangsa, remaja
tidaklah harus selalu mengambil langkah yang dianggap mudah untuk menjalin
kasih dengan pasangan melalui pernikahan dalam usia yang dini, semua itu harus
melewati proses yang panjang dan harus ada kesiapan dari masing masing
pihak, karena jika tidak pernikahan yang akan dilakukan hanya akan menjadi
pernikahan yang sia sia. Adanya penguraian hal ini membuat kami mengangkat
tema Peranan Pemerintah dalam Mensikapi Maraknya Pernikahan Dini Di
Indonesia.
Kasus pernikahan dini kami anggap sebagai salah satu permasalahan sosial
budaya di Indonesia karena pernikahan dini dapat mendasari menurunnya kualitas
SDM disebabkan terhentinya pendidikan yang harusnya ditempuh oleh para
remaja. Penyebab lainnya adalah karena pernikahan dini sudah banyak terjadi dan
menjadi budaya serta tradisi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat
pedesaan yang tanpa mereka sadari hal ini juga berdampak pada meningkatnya
angka kemiskinan disebabkan melemahnya ekonomi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan-permasalahan dalam pembuatan makalah ini adalah :
a. Apakah definisi dari pernikahan dini?
b. Apakah penyebab terjadinya pernikahan dini?
c. Bagaimana dampak dari pernikahan dini?
d. Bagaimana peranan pemerintah dalam mengatasi maraknya pernikahan dini?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian pernikahan dini
2. Mengetahui penyebab terjadinya pernikahan dini
3. Mengetahui dampak terjadinya pernikahan dini
4. Mengetahui peran pemerintah dalam mengurangi pernikahan dini
1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui pengertian pernikahan dini
2. Dapat mengetahui penyebab terjadinya pernikahan dini
BAB 2. PEMBAHASAN
Berdasarkan Analisis survei penduduk antar sensus (SUPAS) 2005 dari Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) didapatkan angka pernikahan
di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan, untuk kelompok umur 15-19
tahun perbedaannya cukup tinggi yaitu 5,28% di perkotaan dan 11,88% di
pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita usia muda di perdesaan lebih
banyak yang melakukan perkawinan pada usia muda. Banyak faktor pendorong
usia
anak
ini
tidak
terlepas
dari
beberapa
faktor
yang memengaruhi. Tiga faktor atau sinyalemen ini yaitu: tradisi lama yang
sudah turun temurun yang menganggap perkawinan pada usia anak-anak sebagai
suatu hal yang wajar dimana dalam masyarakat Indonesia, bila anak gadisnya
tidak segera memperoleh jodoh, orang tua merasa malu karena anak gadisnya
belum menikah.Budaya eksploitatif terhadap anak, yang membuat anak tidak
berdaya menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang
menginginkan perkawinan itu, maupun orang yang mengawini. Ada yang
mengeksploitasi anak atas nama ekonomi atau materi, ada yang karena gengsi
atau harga diri bisa mengawinkan anaknya dengan orang yang dianggap
terpandang tanpa memperdulikan apakah calon suami anaknya sudah beristri atau
belum, apakah anak perempuannya sudah siap secara fisik, mental dan sosial
ataukah belum. Ada yang mengeksploitasi anak karena mental hedonis, mencari
kesenangan pada banyak hal termasuk poligami dengan anak-anak di bawah umur.
Ada pula yang karena kelainan mental, pedophilis. Alasan lain bahkan
mengeksploitasi anak atas nama agama, walaupun banyak tokoh agama telah
tegas menyatakan bahwa perkawinan pada usia anak bukanlah ajaran agama,
terutama apabila diklaim sebagai bagian dari sunah Nabi SAW.
Secara hukum perkawinan usia anak dilegitimasi oleh Undang-undang R.I
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini memperbolehkan
anak berusia 16 tahun untuk menikah, seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat 1,
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilanbelas)
tahun, dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enambelas) tahun. Pasal 26 UU R.I
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua diwajibkan
melindungi anak dari perkawinan dini, tetapi pasal ini, sebagaimana UU
Perkawinan, tanpa ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tak
ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman perkawinan dini.
Faktor ketiga ini, menarik perhatian untuk membuka lembaran sejarah pada
saat perumusan Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Batas usia yang ditawarkan dalam RUU Perkawinan adalah usia 21 tahun bagi
laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Ketentuan ini mengundang reaksi keras
khususnya dari kalangan muslim sendiri, karena dianggap bertentangan dengan
ajaran Islam. Sedangkan ketentuan dalam RUU tersebut merupakan respon
terhadap maraknya praktik pernikahan di bawah umur yang terjadi di Indonesia
dan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan pada saat itu. Akhirnya,
ketentuan yang disepakati oleh parlemen adalah usia 19 tahun bagi laki-laki dan
16 tahun bagi perempuan.
Fenomena pernikahan pada usia anak di daerah lainya tidaklah jauh berbeda
mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pranikah sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat Indonesia
yang masih memosisikan anak perempuan sebagai warga kelas kedua dan ingin
mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi dan sosial. Anggapan
pendidikan tinggi tidak penting bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap
status perawan tua. Posisi tersebut dalam perspektif kesetaraan dan keadilan
gender berarti telah memarginalkan pihak perempuan. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, salah satu penyebab pernikahan bawah umur adalah karena
dipaksa orang tua. Hal tersebut memang sering terjadi. Perjodohan yang diterima
anak dengan keterpaksaan bukan hanya menimbulkan dampak buruk bagi
psikologisnya, tapi juga kesehatannya. Ancama depresi pun dapat menyerangnya
(Romauli, 2009).
Di Indonesia pernikahan dini sekitar 12-20% yang dilakukan oleh pasangan
baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan oleh pasangan usia muda yang rata-rata
umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan pasangan
usia di bawah 16 tahun sebanyak 26,95%. Padahal pernikahan yang ideal untuk
perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena diusia itu
organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik
dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang.
Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga
serta anak laki-laki tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bantuan tenaga kerja bagi
mertuanya.
Dimana perkawinan tersebut dilatar belakangi oleh pesan dari orang tua
yang telah meninggal dunia (orang tua mempelai perempuan atau orang tua
mempelai laki-laki) yang sebelumnya diantara mereka pernah mengadakan
perjanjian sebesanan agar tali persaudaraan menjadi kuat. Selain itu untuk
memelihara kerukunan dan kedamaian antar kerabat dan untuk mencegah adanya
perkawinan dengan orang lain yang tidak disetujui oleh orang tua atau kerabat
yang bersangkutan dengan dilaksanakannya perkawinan tersebut.
2. Faktor Ekonomi
Alasan orang tua menikahkan anaknya dalam usia muda dilihat dari faktor
ekonomi adalah sebagai berikut:
a. Untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau kekurangan pembiayaan hidup orang
tuanya, khususnya orang tua mempelai wanita. Sebab menyelenggarakan
perkawinan anak-anaknya dalam usia muda ini, akan diterima sumbangansumbangan berupa barang, bahan, ataupun sejumlah uang dari handai
taulannya yang dapat dipergunakan selanjutnya untuk menutup biaya
kebutuhan kehidupan sehari-hari untuk beberapa waktu lamanya.
b. Untuk menjamin kelestarian ataupun perluasan usaha orang tua mempelai lakilaki dan orang tua mempelai perempuan sebab dengan diselenggarakannya
perkawinan anaknya dalam usia muda dimaksudkan agar kelak si anak dari
kedua belah pihak itu yang sudah menjadi suami istri, dapat menjamin
kelestarian serta perkembangan usaha dari kedua belah pihak orang tuanya,
dimana
usaha-usaha
tersebut
merupakan
cabang usaha
yang
saling
pada suatu kriteria yaitu apakah dia sudah mencapai tingkat perkembangan fisik
tertentu. Kenyataan tersebut disebabkan karena hukum adat itu tidak mengenal
batas yang tajam antara seseorang yang sudah dewasa dan cakap hukum ataupun
yang belum. Di mana hal tersebut berjalan sedikit demi sedikit menurut kondisi,
tempat, serta lingkungan sekitarnya.
4. Faktor Agama
Agama untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sepanjang
zaman. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia juga disertai dengan
pedoman agama, hal ini untuk menjaga agar manusia tidak hancur ke dalam
perbuatan dosa, dan disamping itu juga dibekali oleh akal sebagai alat untuk
berpikir dan menalar segala permasalahan yang dihadapinya, salah satunya aspek
yang diatur oleh agama adalah lembaga perkawinan. Lembaga perkawinan juga
mempunyai andil besar dalam pernikahan seseorang. Tugas yang seharusnya
dilakukan adalah menikahkan anak- anak yang sudah mempunyai kecukupan
umur dan mempunyai kesiapan secara psikologis serta mempunyai kemampuan
secara finansial yang bisa menunjang kehidupan rumah tangganya esok.
5. Faktor Pendidikan
Makin rendah tingkat pendidikan keluarga, makin sering ditemukan
perkawinan diusia muda. Peran tingkat pendidikan berhubungan erat dengan
pemahaman keluarga tentang kehidupan berkeluarga. Rendahnya tingkat
pendidikan menjadikan para remaja tidak mengetahui berbagai dampak negatif
dari pernikahan anak. Dengan demikian meraka menikah tanpa memiliki bekal
yang cukup. Tentang dampak bagi kesehatan reproduksi, mereka tentu tidak tahu.
Untuk itu perlu sosialisasi dampak negatif ini, karena rata-rata mereka hanya
lulusan SD. Padahal pentingnya untuk memberikan pendidikan seks mulai anak
berusia dini. Hal ini bertujuan agar anak nantinya setelah dewasa mengetahui
betul perkembangan reproduksi mereka, bagaimana menjaga kesehatan reproduksi
mereka, dan kapan atau pada usia berapa mereka sudah bisa memantaskan diri
untuk siap melakukan hubungan yang sehat.
6. Faktor Budaya
Faktor budaya juga turut mengambil andil yang cukup besar, karena
kebudayaan ini diturunkan dan sudah mengakar layaknya kepercayaan. Dalam
budaya setempat mempercayai apabila anak perempuannya tidak segera menikah,
itu akan memalukan keluarga karena dianggap tidak laku dalam lingkungannya.
Atau jika ada orang yang secara finansial dianggap sangat mampu dan meminang
anak mereka, dengan tidak memandang usia atau status pernikahan, kebanyakan
orang tua menerima pinangan tersebut karena beranggapan masa depan sang anak
akan lebih cerah, dan tentu saja ia diharapkan bisa mengurangi beban sang orang
tua. Tak lepas dari hal tersebut, tentu saja banyak dampak yang tidak terpikir oleh
mereka sebelumnya.
2.3 Dampak Pernikahan Dini
Pelaksanaan pernikahan di bawah umur di masyarakat merupakan suatu
problematika dan simalakama karena ada rasa takut dan khawatir pada diri orang
tua, anaknya akan terjerumus ke jurang maksiat. Sehingga pernikahan di bawah
umur itu dianggap suatu jalan yang terbaik, walaupun anak itu belum mampu baik
secara materi maupun immaterial (psikologis). Ada dua cara yang ditempuh oleh
masyarakat dalam mensiasati Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 yaitu
pertama dengan meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama setempat, dan
yang kedua dengan melakukan pemalsuan umur yang dilakukan oleh orang tua
mereka sendiri (Asmin, 1986).
Sebagai dampak dari pernikahan dini tersebut antara lain: menurunya
kualitas pendidikan, munculnya kelompok
Tanpa disadari, dampak yang timbul akan berbagai macam. baik secara
biologis, psikologis, sosial, ataupun perilaku seksual menyimpan. Berikut
beberapa penjelasan dampak yang terjadi:
1. Dampak Biologis
Secara biologis, alat-alat reproduksi anak masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan
jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Ketidaksiapan organ
reproduksi perempuan akan menimbulkan dampak yang berbahaya bagi ibu dan
bayinya, penelitian yang dilakukan oleh sejumlah perguruan tinggi dan LSM
perempuan, bahwa dampak perkawinan di bawah umur di mana organ reproduksi
belum siap untuk dibuahi dapat memicu penyakit pada reproduksi, misalnya
pendarahan terus-menerus, keputihan, infeksi, keguguran dan kemandulan. Usia
ideal pembuahan pada organ reproduksi perempuan sekurang-kurangnya adalah
sejalan dengan usia kematangan psikologis yakni 21 tahun, di mana ibu dipandang
telah siap secara fisik dan mental untuk menerima kehadiran buah hati dengan
berbagai masalahnya (Ichsan, 1986).
2. Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks,
sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang
sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir
pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain
itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh
pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta
hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
3. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam
masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi
yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat
bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat
mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih
labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang (Rahman, 1981).
2. Bimbingan kepada remaja dan kejelasan tentang sex education
Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi (kespro)
sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau
remaja. Hal ini penting dilakukan untuk mencegah biasnya pendidikan seks
maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Materi
pendidikan seks bagi para remaja ini terutama ditekankan tentang upaya untuk
mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi.
Akan tetapi sebagian besar masyarakat masih memandang pendidikan seks seolah
sebagai suatu hal yang fulgar.
Berdasarkan sudut pandang psikologis, pendidikan seksual sangat
diperlukan bagi perkembangan remaja, dengan harapan agar remaja tidak
memiliki kesalahan persepsi terhadap seksualitas dan tidak terjebak pada perilakuperilaku yang kurang bertanggungjawab baik dari segi kesehatan maupun
psikologis.
3. Memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat.
Penyuluhan ini sangat penting agar para orang tua dan masyarakat
mengetahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan karena pernikahan dini.
Memang sebagian besar masyarakat atau orang tua segera menikahkan anaknya
untuk melepas tanggung jawabnya untuk menafkahi sehingga dirasa dapat
meringankan beban keluarga. Namun tanpa disadari, setiap satu remaja yang
terjerumus dalam pernikahan dini faktanya menyumbangkan kemiskinan. Karena
dalam usia dini, apalagi di pedesaan para penduduknya tidak mempunyai
perbekalan pendidikan dan keahlian yang dapat menunjang masa depan.
Kenyataannya menunjukkan mereka pada akhirnya mengikuti orang tua dan
akhirnya banyak pengangguran.
4. Bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat
2.6
3.1 Kesimpulan
Pernikahan dini adalah sebuah bentuk pernikahan yang salah satu atau
kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun. Dalam UU perkawinan nomor 1 tahun
1974 dijelaskan bahwa batas minimal usia menikah bagi perempuan 16 tahun dan
lelaki 19 tahun. Peran pemerintah dalam menyikapi masalah pernikahan dini
sudah cukup baik seperti
DAFTAR PUSTAKA
Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang
Perkawinan No.1/1974. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Eddy Fadlyana, Shinta Larasaty. 2009. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Universitas Padjajaran/RS Dr Hasan Sadikin. Bandung: Sari Pediatri.
Ikhsan, Ahmad. 1986. Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam, Suatu
Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum. Jakarta : Pradia paramita.
Mappiare, Andi. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Noorkasiani, Heryati & Rita Ismail. 2009. Sosiologi Keperawatan. Jakarta: EGC.
Rahman, Bakrie, A. dan Ahmadi, Sukadja. 1981. Hukum Perkawinan Menurut
Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW. Jakarta:
Hidakarya Agung.
Romauli. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Nuha Medika.
Walgito, B. 1984. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Fakultas Psikologi.