Anda di halaman 1dari 9

PEMAHAMAN TENTANG GENDER DALAM

KAITANNYA DENGAN MAKANAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Sosial Budaya
(DOSEN PENGAMPU :dr. Nur Kukuh, M.Kes )

Oleh :
ARIE NUGROHO, SGz

(22030112410014)

SOFYAN MUSYABIQ WIJAYA, SGz

(22030112410015)

HERNI WIDIYANTI, SST

(22030112410016)

YADE KURNIA YASIN, S.Gz

(22030112410023)

NUR AYU RUHMAYANTI, SGz

(22030112410024)

KUSTIONO, SST

(22030112410027)

ALEXANDER THEEDENS, S.Kep

(22030112410028)

HARTONO, S.Gz

(22030112410030)

RAMLAN, S.Gz

(22030112410031)

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU GIZI


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013

PEMAHAMAN TENTANG GENDER


DALAM KAITANNYA DENGAN MAKANAN

I.

Pendahuluan
Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat

tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan


memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban
pembangunan itu sendiri.
Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat
berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang
menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas
dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang
merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat
pembangunan kurang diterima kaum perempuan. Adanya kesenjangan pada kondisi dan
posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra
kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang
diarahkan pada pemerataan pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut
mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran
reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa
depan. Permasalahan ini bertolak belakang dengan komitmen internasional tentang
delapan tujuan utama Millenium Development Goals (MDGs) yang akan dicapai sampai
dengan tahun 2015, diantaranya yaitu meningkatkan kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan dalam semua aspek pembangunan.(Puspitawati, 2008)
Sejak zaman prasejarah, urusan mengolah dan menyajikan makanan selalu dianggap
sebagai tugas perempuan. Hal tersebut tak lepas dari pandangan umum yang
mendudukkan kaum laki-laki sebagai pemburu dan kaum perempuan sebagai peramu.
Hingga kini, peran tradisional semacam itu pun masih langgeng, dimana urusan
menyiapkan makanan masih sepenuhnya dibebankan kepada perempuan, khususnya para
ibu.
Kendati sering dipandang remeh oleh kaum laki-laki, akan tetapi sesungguhnya
kegiatan mengolah dan menyajikan makanan tidak semudah yang dibayangkan. Perlu
pengetahuan memadai untuk mendeteksi bahan makanan apa yang enak dan memiliki
kandungan gizi seimbang, sehingga menyehatkan badan bila dikonsumsi. Sayang tidak
1

semua perempuan memiliki pengetahuan paripurna tentang kandungan gizi bahan


makanan. Banyak yang hanya tahu cara memasaknya, namun tidak terlalu paham apa
manfaatnya bila dimakan. Hal tersebut di antaranya disebabkan oleh tingkat pendidikan
perempuan yang rendah, serta kurangnya pengetahuan perempuan di bidang gizi.
Keadaan seperti yang disebutkan di atas tentu tidak diharapkan,. karena imbas dari
pengolahan makanan yang serampangan akan berpengaruh langsung terhadap gizi
keluarga, terutama anak-anak. Jika perempuan salah mengatur komposisi pada saat
mengolah dan menyajikan makanan, maka anak bisa mengalami defisiensi atau
kekurangan salah satu atau beberapa jenis zat yang dibutuhkan tubuh. Jika yang kurang
adalah jenis makanan sumber energi dan protein, maka dalam jangka panjang dapat
menyebabkan gejala kurang energi protein (KEP) yang merupakan pemicu terjadinya
gizi buruk dan gizi kurang. Hal ini memerlukan peran aktif dari laki-laki untuk turut serta
memperhatikan penyediaan makan dalam keluarga.
II.
Pembahasan
1. Dampak negatif gender terhadap status gizi perempuan.
Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu tata nilai sosial budaya masyarakat,
umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideology patriarki),
peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata
lain belum mencerminkan kesetaraan gender, penafsiran ajaran agama yang kurang
komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial
kurang holistik, kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah
keadaan secara konsisten dan konsekuen, rendahnya pemahaman para pengambil
keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan
yang responsif gender.
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang
harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu
rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa
dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan
hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja,
selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Pada banyak negara berkembang, wanita sering menjadi orang yang terakhir makan
setelah anak-anak dan keluarga mereka yang lain menyelesaikan makannya. Wanita juga
merupakan faktor kunci dalam perkebunan dan pertanian di sebagian besar negara
2

berkembang. Wanita menjadi pengumpul kayu untuk bahan bakar, pengambil air yang
jelas sangat membahayakan pada situasi tertentu, diantaranya rawan akan kekerasan
seksual karena harus menempuh lokasi yang terkadang membahayakan. Meskipun
mereka menjadi andalan dalam memberi makan keluarga mereka, mereka seringkali
ditolak untuk memiliki sebuah lahan pertanian/perkebunan, air, teknologi, kredit, bahkan
mereka juga seringkali ditolak untuk masuk kedalam sebuah kelompok tani. Walaupun
mereka memproduksi 60-80 persen makanan, tetapi mereka hanya memiliki 1% lahan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan rentannya wanita terkena HIV akibat kurangnya
asupan gizi yang mereka peroleh. Ini terjadi di Botswana dan Swaziland. Selain itu
upaya untuk memperlama hidup penderita AIDS adalah dengan asupan gizi yang
memadai. Dan wanita di negara berkembang kebanyakan kesulitan dalam memperoleh
asupan gizi yang memadai. Semua kondisi diatas semakin diperparah apabila wanita
berada dalam periode kritis seperti pada masa kehamilan. Kekurangan zat besi, anemia
akan sangat membahayakan ketika proses melahirkan dilakukan dan berperan terhadap
20 persen kematian kelahiran bagi si ibu.
Di suatu daerah NTT memiliki suatu kebiasaan dan kebiasaan ini sudah diterima oleh
masyarakat, dimana di dalam suatu keluarga,istri dan anak anak belum boleh makan
jika suami yang adalah kepala keluarga belum pulang dari tempat kerja dan belum makan
terlebih dahulu. Hal ini berkaitan dengan keadilan gender, yaitu dengan di berlakukannya
aturan sosial di atas adalah menghargai suami sebagai kepala keluarga tetapi istri dan
anak-anak yang menjadi korban karena menunggu si suami sebagai kepala keluarga
pulang,setelah itu baru istri dan anak-anak bisa makan. Selain itu juga menunjukan
permaslah bias gender dimana pihak laki-laki lebih diuntungkan khususnya kepala rumah
tangga dibandingkan dengan anggota keluarga lain.
Dalam analisis yang dilakukan oleh AFARD (Agency for Accelerated Regional
Development) yang merupakan LSM lokal di Nebbi Uganda, menemukan bahwa
terdapat kerawanan pangan terkait erat dengan bias gender. Pertama, karena program
penyuluhan pemerintah mengabaikan perempuan. Selain itu dijelaskana bahwa pada saat
kerawanan pangan, perempuan selalu makan sedikit bahkan sampai kelaparan. Parahnya
lagi, perempuan dan anak-anak perempuan dilarang makan makanan yang kaya protein,
seperti ayam, telur, dan beberapa jenis ikan yang hanya dinikmati kaum laki-laki dan
anak laki-laki. (Lakwo, 2007)
Menurut WHO di negara berkembang terrnasuk Indonesia diperkirakan 450 juta
wanita tumbuh tidak sempurna karena kurang gizi pada masa kanak-kanak, akibat
3

kemiskinan. Jika pun berkecukupan, budaya menentukan bahwa suami dan anak laki-laki
mendapat porsi yang banyak dan terbaik dan terakhir sang ibu memakan sisa yang ada.
Wanita sejak ia mengalami menstruasi akan membutuhkan gizi yang lebih banyak dari
pria untuk mengganti darah yang keluar. Zat yang sangat dibutuhkan adalah zat besi
yaitu 3 kali lebih besar dari kebutuhan pria. Di samping itu wanita juga membutuhkan
zat yodium lebih banyak dari pria, kekurangan zat ini akan menyebabkan gondok yang
membahayakan perkembangan janin baik fisik maupun mental. Wanita juga sangat
rawan terhadap beberapa penyakit, termasuk penyakit menular seksual, karena pekerjaan
mereka atau tubuh mereka yang berbeda dengan pria. Salah satu situasi yang rawan
adalah, pekerjaan wanita yang selalu berhubungan dengan air, misalnya mencuci,
memasak, dan sebagainya. Seperti diketahui air adalah media yang cukup berbahaya
dalam penularan bakteri penyakit.
2. Gender terhadap kebiasaan makanan
Perempuan selalu dilekatkan pada citra feminitas, yang diartikan selalu pada sifat
pasrah mendahulukan kepentingan orang lain, mempertahankan ketergantungan pada
laki-laki serta dituntut untuk mengedepankan peran domestiknya saja sebagai bagian dari
kodrat. Sementara laki-laki lekat sebagai sosok prima, maskulinitas, yang mencitrakan
keberanian, tegas dalam bertindak, sosok yang harus dipatuhi, dilayani, sehingga secara
sosial laki-laki diposisikan lebih tinggi dari pada perempuan. Ketimpangan gender
berlangsung hampir di semua kehidupan, publik maupun privat. Ketimpangan kekuasaan
dan akses antara laki-laki dan perempuan ini sejak dahulu kala diperkuat oleh nilainilai/budaya Patriarki. Hal ini juga tampak pada budaya makan dimana perempuan
makan belakangan setelah laki-laki. Hal ini dianggap umum karena sudah dianggap
kodrat perempuan untuk makan belakangan sebagai wujud penghormatan dan kesetiaan
terhadap suami. Hai ini tanpa disadari dapat mempengaruhi status gizi dari perempuan
yang makan belakangan, yang mungkin akan mendapat makanan yang kualitas gizinya
tidak begitu baik apabila makan belakangan.
. Di Negara Malaysia misalnya khususnya di wilayah Sungai Peria (Kelantan),
dimana identitas orang Melayu terbentuk dan dimanifestasikan melalui makanan dan
amalan makan. Terdapat perbedaan di antara makanan laki-laki dan wanita, baik dari segi
jenis, kuantitas maupun kualitas.
Pada analisis yang telah dilakukan AFARD juga menemukan kesenjangan dalam
praktek konsumsi makanan, yaitu pola konsumsi pangan nontradisional dan pembagian
4

makanan dalam rumah tangga tak adil bagi perempuan dan anak perempuan. Perempuan
memang menyiapkan makanan, menyajikan dan menyimpan. Tetapi tradisi mensyaratkan
bahwa kaum laki-laki yang pertama kali makan, diikuti anak-anak laki-laki, sedangkan
perempuan dan anak perempuan makan paling akhir. (Lakwo, 2007)
Selian itu Priska (2008), menjelaskan dalam artikelnya bahwa jika dalam kafetaria
lebih banyak laki-laki maka perempuan jadi lebih sadar untuk memilih makanan dengan
kalori yang kecil. Alasan bahwa sadar adalah untuk mendorong mereka untuk makan
dalam jumlah proporsional ketika sekelilingnya lebih banyak laki-laki. Hal ini sangat
berpengaruh sekali terhadap nafsu makan (Appetite) khususnya bagi remaja putri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak hanya praktek konsumsi pangan di rumah
tangga tetapi juga terdapat di fasilitas umum semisal kafe ataupun rumah makan.
Dari penjelasan yang di atas dapat dibuat suatu penyikapan terkait gender dengan
makanan, yaitu pada permasalahan budaya, sebaiknya trerdapat promosi atau penyuluhan
tepat terhadap ketahanan pangan rumah tangga, bahwa sesungguhnya setiap anggota
rumah tangga mempunyai hak yang sama dalam hal mencukupi kebutuhan gizinya.
Sehingga pada akhirnya nanti, tercapainya kecukupan akan gizi. Sedangkan untuk
permasalahan gender dalam lingkup publik seperti di kafetaria, atau warung makan,
sebaiknya diberikan wawasan lebih terhadap makanan yang dikonsumsi. Satu contoh
adalah menyampaikan informasi nilai gizi dari makanan yang disajikan, sehingga baik
perempuan mupun laki-laki bisa memahami jenis makanan dan kandungan makanan
yang dikonsumsi, yang pada akhirnya tidak ada kecanggungan khususnya perempuan
dalam mengkonsumsi makanannya.
3. Food Taboo bagi wanita hamil.
Di beberapa negara berkembang umumnya ditemukan larangan, pantangan atau tabu
tertentu bagi makanan ibu hamil. Latar belakang pantangan atau tabu tersebut didasarkan
pada kepercayaan agar tidak mengalami kesulitan pada waktu melahirkan dan bayinya
tidak terlalu besar. Ada pula penduduk di negara negara Asia yang mempunyai
kepercayaan bahwa makanan yang mengandung protein hewani menyebabkan air susu
ibu beracun bagi anak bayinya.
Di dalam wilayah Indonesia ada keyakinan bahwa wanita yang masih hamil tidak
boleh makan lele, ikan sembilan, udang, telur, dan nanas. Sayuran tertentu tak boleh
dikonsumsi, seperti daun lembayung, pare, dan makanan yang digoreng dengan minyak.
Setelah melahirkan atau operasi hanya boleh makan tahu dan tempe tanpa
5

garam/nganyep, dilarang banyak makan dan minum, makanan harus disangan/dibakar,


bahkan setelah maghrib sama sekali ibu tidak diperbolehkan makan
Dapat dikatakan bahwa persoalan pantangan atau tabu dalam mengkonsumsi makanan
tertentu terdapat secara universal di seluruh dunia. Pantangan atau tabu adalah suatu
larangan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman bahaya
terhadap barang siapa yang melanggarnya (Sediaoetama,1999). Dalam ancaman bahaya
ini terdapat kesan magis, yaitu adanya kekuatan superpower yang berbau mistik, yang
akan menghukum orang-orang yang melanggar pantangan atau tabu tersebut.
Pantangan atau tabu merupakan sesuatu yang diwariskan dari leluhur melalui orang
tua, terus ke generasi-generasi yang akan datang. Orang tidak lagi mengetahui kapan
suatu pantangan atau tabu makanan dimulai dan apa sebabnya.
Pantangan atau tabu makanan harus dibedakan berdasarkan agama dan yang bukan
berdasarkan agama atau kepercayaan. Pantangan atau tabu yang berdasarkan larangan
oleh agama atau kepercayaan bersifat absolut, tidak dapat ditawar lagi bagi penganut
agama atau kepercayaan tersebut, sedang pantangan atau tabu lainnya masih dapat
diubah atau bahkan dihilangkan, jika diperlukan. Tidak semua tabu itu merugikan atau
jelek bagi kondisi gizi dan kesehatan. Pantangan atau tabu yang tidak berdasarkan agama
atau kepercayaan dapat kita hadapi menurut katagori : (1) Tabu yang jelas merugikan
kondisi gizi dan kesehatan. Sebaiknya diusahakan untuk mengurangi, bahkan kalau dapat
menghapuskannya, (2) Tabu yang memang menguntungkan keadaan gizi dan kesehatan,
diusahakan memperkuatnya dan melestarikannya, (3) Tabu yang tidak jelas pengaruhnya
bagi kondisi gizi dan kesehatan, dibiarkan, sambil dipelajari terus pengaruhnya untuk
jangka panjang (Sediaoetama, 1999). Harus diakui bahwa tidak semua tabu itu berakibat
negatif terhadap kodisi gizi dan kesehatan. Untuk mengambil tindakan yang tepat
terhadap suatu tabu, sebaiknya kita telusuri terjadinya tabu tersebut, untuk dapat
mengambil kesimpulan, apakah mudah ditanggulangi atau tidak.
III.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan permasalah gender dengan makanan

sebagai berikut :
1. Dampak gender terhadap status gizi perempuan, hal ini merupakan cerminan
bahwa perempuan bukan merupakan prioritas dalam memenuhi kecukupan gizi
baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
6

2. Dampak gender juga mempengaruhi terhadap pola makan, hal ini terjadi pada
lingkup rumah tangga maupun publik. Masalah ini dapat dicegah dengan
memberikan arahan melalui penyuluhan atau edukasi serta memberikan informasi
yang benar terhadap makanan yang dikonsumsi misalkan dengan memberikan
Food Labeling.
3. Food Taboo pada masa kehamilan, memberikan dampak positif dan negatif pada
ibu hamil. Hal ini harus diberikan arahan yang benar dengan melihat akar
timbulnya tabu tersebut dan dampaknya terhadap kecukupan akan gizi pada ibu
hamil.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. 2010. Gizi bukan hanya tanggung jawab perempuan. Diakses pada
tanggal 18 Oktober 2010 dari http://blogs.depkominfo.go.id/artikel/2010/03/27/gizibukan-hanya-tanggungjawab-perempuan/
2. Anonymous. 2010. Making gender a global health priority. Diakses pada tanggal 26
September 2010 dari http://tamachopa.blogspot.com/2010/06/making-gender-globalhealth-priority.html
3. Eshah, HM. Gender, Makanan dan identiti Orang Melayu. @Eshah Haji
MohamedAkdemika. Diakses Tgl 3 Januari 2013
4. Harnany, AS. 2006. Pengaruh tabu makanan, tingkat kecukupan gizi, konsumsi tablet
besi, dan teh terhadap kadar hemoglobin pada ibu hamil di kota Pekalongan tahun
2006. Tesis Magister Gizi Masyarakat Universitas Diponegoro.
5. Lakwo, A. 2007. Mempromosikan Ketahanan Pangan pada Perempuan. Agency for
Accelerated Regional Development. Nebbi
6. Manihuruk, R. 2008. Budaya partiarki membuat terjadinya bias gender. Diakses pada
tanggal 29 September 2010 dari http://rosemanmanihuruk.blogspot.com
7. Manumpil, FS. 2007. Budaya Patriarki dan Penegakan Hak Asasi Perempuan.
Manado : Harian Komentar.
8. Priska,

S.2008.

Ketika

Gender

Mempengaruhi

Porsi

Makan.

http://www.preventionindonesia.com/article.php?name=/ketika-gendermemengaruhi-porsi-makan&channel=pilihan. Diakses pada 4 Januari 2013.


9. Puspitawati, H. 2008. Analisis Gender terhadap Kebiasaan Makan dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perilaku Positif Pelajar Sekolah Menengah di Kota Bogor.
Media Gizi dan Keluarga.Juli 2008, 32 (1); 74-86

Anda mungkin juga menyukai