Oleh :
ARIE NUGROHO, SGz
(22030112410014)
(22030112410015)
(22030112410016)
(22030112410023)
(22030112410024)
KUSTIONO, SST
(22030112410027)
(22030112410028)
HARTONO, S.Gz
(22030112410030)
RAMLAN, S.Gz
(22030112410031)
I.
Pendahuluan
Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat
berkembang. Wanita menjadi pengumpul kayu untuk bahan bakar, pengambil air yang
jelas sangat membahayakan pada situasi tertentu, diantaranya rawan akan kekerasan
seksual karena harus menempuh lokasi yang terkadang membahayakan. Meskipun
mereka menjadi andalan dalam memberi makan keluarga mereka, mereka seringkali
ditolak untuk memiliki sebuah lahan pertanian/perkebunan, air, teknologi, kredit, bahkan
mereka juga seringkali ditolak untuk masuk kedalam sebuah kelompok tani. Walaupun
mereka memproduksi 60-80 persen makanan, tetapi mereka hanya memiliki 1% lahan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan rentannya wanita terkena HIV akibat kurangnya
asupan gizi yang mereka peroleh. Ini terjadi di Botswana dan Swaziland. Selain itu
upaya untuk memperlama hidup penderita AIDS adalah dengan asupan gizi yang
memadai. Dan wanita di negara berkembang kebanyakan kesulitan dalam memperoleh
asupan gizi yang memadai. Semua kondisi diatas semakin diperparah apabila wanita
berada dalam periode kritis seperti pada masa kehamilan. Kekurangan zat besi, anemia
akan sangat membahayakan ketika proses melahirkan dilakukan dan berperan terhadap
20 persen kematian kelahiran bagi si ibu.
Di suatu daerah NTT memiliki suatu kebiasaan dan kebiasaan ini sudah diterima oleh
masyarakat, dimana di dalam suatu keluarga,istri dan anak anak belum boleh makan
jika suami yang adalah kepala keluarga belum pulang dari tempat kerja dan belum makan
terlebih dahulu. Hal ini berkaitan dengan keadilan gender, yaitu dengan di berlakukannya
aturan sosial di atas adalah menghargai suami sebagai kepala keluarga tetapi istri dan
anak-anak yang menjadi korban karena menunggu si suami sebagai kepala keluarga
pulang,setelah itu baru istri dan anak-anak bisa makan. Selain itu juga menunjukan
permaslah bias gender dimana pihak laki-laki lebih diuntungkan khususnya kepala rumah
tangga dibandingkan dengan anggota keluarga lain.
Dalam analisis yang dilakukan oleh AFARD (Agency for Accelerated Regional
Development) yang merupakan LSM lokal di Nebbi Uganda, menemukan bahwa
terdapat kerawanan pangan terkait erat dengan bias gender. Pertama, karena program
penyuluhan pemerintah mengabaikan perempuan. Selain itu dijelaskana bahwa pada saat
kerawanan pangan, perempuan selalu makan sedikit bahkan sampai kelaparan. Parahnya
lagi, perempuan dan anak-anak perempuan dilarang makan makanan yang kaya protein,
seperti ayam, telur, dan beberapa jenis ikan yang hanya dinikmati kaum laki-laki dan
anak laki-laki. (Lakwo, 2007)
Menurut WHO di negara berkembang terrnasuk Indonesia diperkirakan 450 juta
wanita tumbuh tidak sempurna karena kurang gizi pada masa kanak-kanak, akibat
3
kemiskinan. Jika pun berkecukupan, budaya menentukan bahwa suami dan anak laki-laki
mendapat porsi yang banyak dan terbaik dan terakhir sang ibu memakan sisa yang ada.
Wanita sejak ia mengalami menstruasi akan membutuhkan gizi yang lebih banyak dari
pria untuk mengganti darah yang keluar. Zat yang sangat dibutuhkan adalah zat besi
yaitu 3 kali lebih besar dari kebutuhan pria. Di samping itu wanita juga membutuhkan
zat yodium lebih banyak dari pria, kekurangan zat ini akan menyebabkan gondok yang
membahayakan perkembangan janin baik fisik maupun mental. Wanita juga sangat
rawan terhadap beberapa penyakit, termasuk penyakit menular seksual, karena pekerjaan
mereka atau tubuh mereka yang berbeda dengan pria. Salah satu situasi yang rawan
adalah, pekerjaan wanita yang selalu berhubungan dengan air, misalnya mencuci,
memasak, dan sebagainya. Seperti diketahui air adalah media yang cukup berbahaya
dalam penularan bakteri penyakit.
2. Gender terhadap kebiasaan makanan
Perempuan selalu dilekatkan pada citra feminitas, yang diartikan selalu pada sifat
pasrah mendahulukan kepentingan orang lain, mempertahankan ketergantungan pada
laki-laki serta dituntut untuk mengedepankan peran domestiknya saja sebagai bagian dari
kodrat. Sementara laki-laki lekat sebagai sosok prima, maskulinitas, yang mencitrakan
keberanian, tegas dalam bertindak, sosok yang harus dipatuhi, dilayani, sehingga secara
sosial laki-laki diposisikan lebih tinggi dari pada perempuan. Ketimpangan gender
berlangsung hampir di semua kehidupan, publik maupun privat. Ketimpangan kekuasaan
dan akses antara laki-laki dan perempuan ini sejak dahulu kala diperkuat oleh nilainilai/budaya Patriarki. Hal ini juga tampak pada budaya makan dimana perempuan
makan belakangan setelah laki-laki. Hal ini dianggap umum karena sudah dianggap
kodrat perempuan untuk makan belakangan sebagai wujud penghormatan dan kesetiaan
terhadap suami. Hai ini tanpa disadari dapat mempengaruhi status gizi dari perempuan
yang makan belakangan, yang mungkin akan mendapat makanan yang kualitas gizinya
tidak begitu baik apabila makan belakangan.
. Di Negara Malaysia misalnya khususnya di wilayah Sungai Peria (Kelantan),
dimana identitas orang Melayu terbentuk dan dimanifestasikan melalui makanan dan
amalan makan. Terdapat perbedaan di antara makanan laki-laki dan wanita, baik dari segi
jenis, kuantitas maupun kualitas.
Pada analisis yang telah dilakukan AFARD juga menemukan kesenjangan dalam
praktek konsumsi makanan, yaitu pola konsumsi pangan nontradisional dan pembagian
4
makanan dalam rumah tangga tak adil bagi perempuan dan anak perempuan. Perempuan
memang menyiapkan makanan, menyajikan dan menyimpan. Tetapi tradisi mensyaratkan
bahwa kaum laki-laki yang pertama kali makan, diikuti anak-anak laki-laki, sedangkan
perempuan dan anak perempuan makan paling akhir. (Lakwo, 2007)
Selian itu Priska (2008), menjelaskan dalam artikelnya bahwa jika dalam kafetaria
lebih banyak laki-laki maka perempuan jadi lebih sadar untuk memilih makanan dengan
kalori yang kecil. Alasan bahwa sadar adalah untuk mendorong mereka untuk makan
dalam jumlah proporsional ketika sekelilingnya lebih banyak laki-laki. Hal ini sangat
berpengaruh sekali terhadap nafsu makan (Appetite) khususnya bagi remaja putri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak hanya praktek konsumsi pangan di rumah
tangga tetapi juga terdapat di fasilitas umum semisal kafe ataupun rumah makan.
Dari penjelasan yang di atas dapat dibuat suatu penyikapan terkait gender dengan
makanan, yaitu pada permasalahan budaya, sebaiknya trerdapat promosi atau penyuluhan
tepat terhadap ketahanan pangan rumah tangga, bahwa sesungguhnya setiap anggota
rumah tangga mempunyai hak yang sama dalam hal mencukupi kebutuhan gizinya.
Sehingga pada akhirnya nanti, tercapainya kecukupan akan gizi. Sedangkan untuk
permasalahan gender dalam lingkup publik seperti di kafetaria, atau warung makan,
sebaiknya diberikan wawasan lebih terhadap makanan yang dikonsumsi. Satu contoh
adalah menyampaikan informasi nilai gizi dari makanan yang disajikan, sehingga baik
perempuan mupun laki-laki bisa memahami jenis makanan dan kandungan makanan
yang dikonsumsi, yang pada akhirnya tidak ada kecanggungan khususnya perempuan
dalam mengkonsumsi makanannya.
3. Food Taboo bagi wanita hamil.
Di beberapa negara berkembang umumnya ditemukan larangan, pantangan atau tabu
tertentu bagi makanan ibu hamil. Latar belakang pantangan atau tabu tersebut didasarkan
pada kepercayaan agar tidak mengalami kesulitan pada waktu melahirkan dan bayinya
tidak terlalu besar. Ada pula penduduk di negara negara Asia yang mempunyai
kepercayaan bahwa makanan yang mengandung protein hewani menyebabkan air susu
ibu beracun bagi anak bayinya.
Di dalam wilayah Indonesia ada keyakinan bahwa wanita yang masih hamil tidak
boleh makan lele, ikan sembilan, udang, telur, dan nanas. Sayuran tertentu tak boleh
dikonsumsi, seperti daun lembayung, pare, dan makanan yang digoreng dengan minyak.
Setelah melahirkan atau operasi hanya boleh makan tahu dan tempe tanpa
5
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan permasalah gender dengan makanan
sebagai berikut :
1. Dampak gender terhadap status gizi perempuan, hal ini merupakan cerminan
bahwa perempuan bukan merupakan prioritas dalam memenuhi kecukupan gizi
baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
6
2. Dampak gender juga mempengaruhi terhadap pola makan, hal ini terjadi pada
lingkup rumah tangga maupun publik. Masalah ini dapat dicegah dengan
memberikan arahan melalui penyuluhan atau edukasi serta memberikan informasi
yang benar terhadap makanan yang dikonsumsi misalkan dengan memberikan
Food Labeling.
3. Food Taboo pada masa kehamilan, memberikan dampak positif dan negatif pada
ibu hamil. Hal ini harus diberikan arahan yang benar dengan melihat akar
timbulnya tabu tersebut dan dampaknya terhadap kecukupan akan gizi pada ibu
hamil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. 2010. Gizi bukan hanya tanggung jawab perempuan. Diakses pada
tanggal 18 Oktober 2010 dari http://blogs.depkominfo.go.id/artikel/2010/03/27/gizibukan-hanya-tanggungjawab-perempuan/
2. Anonymous. 2010. Making gender a global health priority. Diakses pada tanggal 26
September 2010 dari http://tamachopa.blogspot.com/2010/06/making-gender-globalhealth-priority.html
3. Eshah, HM. Gender, Makanan dan identiti Orang Melayu. @Eshah Haji
MohamedAkdemika. Diakses Tgl 3 Januari 2013
4. Harnany, AS. 2006. Pengaruh tabu makanan, tingkat kecukupan gizi, konsumsi tablet
besi, dan teh terhadap kadar hemoglobin pada ibu hamil di kota Pekalongan tahun
2006. Tesis Magister Gizi Masyarakat Universitas Diponegoro.
5. Lakwo, A. 2007. Mempromosikan Ketahanan Pangan pada Perempuan. Agency for
Accelerated Regional Development. Nebbi
6. Manihuruk, R. 2008. Budaya partiarki membuat terjadinya bias gender. Diakses pada
tanggal 29 September 2010 dari http://rosemanmanihuruk.blogspot.com
7. Manumpil, FS. 2007. Budaya Patriarki dan Penegakan Hak Asasi Perempuan.
Manado : Harian Komentar.
8. Priska,
S.2008.
Ketika
Gender
Mempengaruhi
Porsi
Makan.