BAB II
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN
KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
22
23
Ph. Kleitjes, sebagaimana dikutip Sri Soementri, Hak Uji Material di Indonesia,
Alumni, Bandung, 1997, hal. 28
36 Ibid, hal. 28.
37 Jimly Asshiddiqie, Menelaah Putusan Mahkamah Agung Tentang Judicial Review
35
atas PP No. 19 Tahun 2000 yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
24
judicial review,
merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang
ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif
dalam rangka penerapan prinsip
38
25
Pemerintah
Pengganti Undang-Undang,
Peraturan
26
Lihat Pasal 7. Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang - Undangan
41 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia nomor III/MPR/1978
tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/dan atau antar
lembaga-lembaga Tinggi Negara telah dicabut dengan TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 samapai dengan Tahun
2002 sehingga yang berlaku adalah TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundangan- undangan, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan sedangkan amanat TAP MPR Nomor I/MPR/2003 yang memerintahkan
pembentukan undang-undang yang mengatur tentang tata urutan peraturan perundang- undangan
sehingga berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan tidak ada mengatur tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi
Negara dengan/dan atau antar lembaga lembaga Tinggi Negara, Pasal 26 ayat (1) UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal
31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 1 ayat
(1) PERMA Nomor 1 Tahun 1999.
42 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan perundangan-undangan diatur bahwa
Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan
kasasi.
Universitas Sumatera Utara
40
27
43
Dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa Putusan tentang pernyataan tidak sahnya
peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam
tingkat kasasi.
44 Dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung diatur dalam ketentuan bahwa Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan
perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
45 Pasal 1 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 1999, diatur ketentuan sebagai berikut Hak
Uji Material adalah Hak Mahkamah Agung untuk menguji secara Materil terhadap peraturan
perundang-undangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan.
28
29
MK) adalah
49
30
31
langsung oleh rakyat.51 Bersamaan dengan itu, diletakkan pula sistem pemilihan
secara langsung oleh rakyat untuk presiden dan wakil presiden (eksekutif) dan
Mahkamah Konstitusi sebagai sarana kontrol bagi cabang kekuasaan lainnya.52
Dengan demikian, tergambar lebih jelas bahwa dalam konsep pemisahan
kekuasaan, seluruh cabang-cabang kekuasaan yang dibentuk memiliki fungsi dan
wewenang masing-masing yang terpisah secara tegas. Dengan konsep kekuasaan
ini, dapat diletakkan keberadaan kelembagan negara dalam posisi dan kedudukan
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemisahan_kekuasaan
51 Studi khusus mengenai keharusan perubahan kelembagaan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, lihat dalam Bivitri Susanti, dkk, Semua Harus Terwakili; Studi Mengenai Reposisi Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia,
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata
Negara FHUI, 2004, hal. 132-134.
52 Perubahan-perubahan tersebut merupakan hasil Amandemen Ketiga dan Keempat yang
dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tahun 2001 dan 2002.
Universitas Sumatera Utara
50
32
yang setara atau sederajat. Oleh karena itu, restrukturisasi lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat telah menjadikan susunan dan sistem kelembagaan
negara menjadi sama kedudukannya. Tidak ada lagi istilah lembaga tertinggi dan
lembaga tinggi negara, yang ada adalah istilah lembaga negara.53 Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang keberadaan dan
kewenangannya diatur Undang-Undang Dasar.
Satu isu penting dan mendasar dalam pembahasan mengenai kedudukan
lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman ini adalah adanya soal kemandirian
(independensi). Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan salah satu prinsip
penting dalam negara demokrasi. Kemandirian kekuasaan kehakiman juga
merupakan salah satu syarat dan ciri penting dalam negara hukum, selain adanya
asas legalitas yang artinya pemerintah harus bertindak berdasarkan semata-mata
hukum yang berlaku, adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, dan
pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi dan hukum dasar54.
Dengan adanya kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan
lainnya, badan atau lembaga pelaksananya diharapkan dapat melakukan kontrol
hukum terhadap kekuasaan negara lainnya. Di samping itu, untuk mencegah dan
mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Tidak
adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dari kekuasaan pemerintah
akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian
53 Hal ini ditandai dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antarlembaga Tinggi Negara telah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat 2003
melaui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum
Ketatapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 sedangkan amanat TAP MPR
Nomor I/MPR/2003 yang memerintahkan pembentuk undang-undang yang mengatur tentang tata
urutan peraturan perundang-undangan
54Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 298-301.
Universitas Sumatera Utara
33
untuk
34
35
adalah opini dan tafsiran, dan bukan pada fakta, sehingga analisis terhadap data
menjadi hal yang penting dan utama untuk disajikan.
Hal ini secara detail diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan tersebut bahwa Undang-Undang
yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah Undang-Undang yang diundangkan
setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Khususnya setelah Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang bertanggal 19 Oktober 1999.
Pemohon yang dianggap memiliki legal standing
(kedudukan hukum)
untuk mengajukan hak/kewenangan konstitusionalnya oleh berlakunya UndangUndang, yaitu (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
(c) badan hukum publik dan privat; atau (d) lembaga negara.
Dalam mengajukan permohonan tersebut, pemohon wajib menguraikan
dengan jelas hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan karena
adanya pembentukan Undang-Undang yang tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan/atau bagian Undang-Undang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Permohonan tersebut secara administrasi ditujukan kepada bagian
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa kelengkapan
administrasi, misalnya keterangan lengkap diri pemohon, ditulis dalam bahasa
Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam rangkap 12,
36
menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan hal-hal
lain yang dimintanya untuk diputus.
Terhadap permohonan tersebut, Kepaniteraan dapat meminta permohonan
untuk melengkapi permohonan yang belum memiliki kelengkapan dalam jangka
waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak pemberitahuan kelengkapan tersebut
diterima pemohon. Jika permohonan tersebut telah lengkap maka dapat dicatatkan
pada Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) yang memuat secara lengkap
catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman nomor
perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok
perkara. Setelah hal-hal tersebut dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
maka Mahkamah Konstitusi telah dapat menetapkan hari sidang pertama dalam
jangka waktu 14 hari setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi. Hal ini berarti sudah dapat dimulai acara persidangan yang meliputi
sidang pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, dan sidang putusan.
Pemeriksaan pendahuluan. Pada mulanya, pemeriksaan pendahuluan juga
menggunakan sidang pleno yang secara lengkap oleh sembilan hakim konstitusi.
Namun, semenjak perkara yang masuk sudah semakin banyak dan beragam,
Mahkamah
menggunakan panel yang terdiri dari tiga hakim konstitusi. Dalam sidang
pemeriksaan pendahuluan tersebut, hakim konstitusi memeriksa secara lebih rinci
mengenai kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Kemudian, memberikan
nasehat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan
dalam jangka waktu paling lambat 14 hari.
37
38
39
lain yang diminta untuk diputus. Permohonan ini hanya dapat dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam sejak Komisi Pemilihan Umum
yang belum memiliki kelengkapan dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 jam
sejak pemberitahuan kelengkapan tersebut diterima pemohon. Jika permohonan
tersebut telah lengkap, dapat dicatatkan pada Buku Registrasi Perkara Konstitusi
Umum pasangan calon presiden-wakil presiden) dan tujuh hari (untuk Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Universitas Sumatera Utara
40
sidang yang memeriksa secara lebih mendalam materi permohonan maupun alat
bukti yang diajukan. Pemeriksaan persidangan tersebut meliputi (a) kewenangan
Mahkamah Konstitusi, yakni penetapan hasil pemilihan umum oleh Komisi
Pemilihan Umum secara nasional; (b) kedudukan hukum
(legal standing)
pemohon; (c) pokok permohonan; (d) keterangan Komisi Pemilihan Umum; dan
(e) alat bukti.
Universitas Sumatera Utara
41
tidak
dapat
diterima
42
Perubahan
agar
konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijadikan secara konsisten oleh setiap
komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal;
dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta
mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Selain
itu, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir tunggal dan tertinggi atas
Undang-Undang Dasar, yang direfleksikan melalui putusan-putusan sesuai dengan
kewenangannya. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan
demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses
penjabaran dari empat kewenangan konstitusional
powers) dan satu kewajiban
(constitutionally entrusted
43
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 521.
56 M.Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1978, hal. 45.
57 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Nimatul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Teori dan
Hukum Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 2.
58 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafiti,
Jakarta, 1995, hal. 16.
59 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Nimatul Huda, Op.Cit, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
55
44
konstitusi.61
Pengertian Konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas daripada
pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan
pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah
60Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Alumni, Bandung,
1987, hal. 1.
61 Sri Soemantri, Susunan Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam
Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta 1993, hal.
29.
Universitas Sumatera Utara
45
Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturanperaturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat
cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.62
Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata,
yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti bersama
dengan .... sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja
pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata
46
47
48
perkara dikabulkan, 1 perkara ditolak, dan 13 perkara tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Terhadap perkara yang masih dalam proses, Mahkamah Konstitusi sedang
memproses 21 perkara yang berada pada tahapan pemeriksaan pendahuluan dan
pemeriksaan persidangan. Tahapan pemeriksaan pendahuluan merupakan tahapan
sebelum pemeriksaan terhadap pokok perkara, yakni mengadakan pemeriksaan
kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Tahapan pemeriksaan
persidangan merupakan suatu persidangan yang memeriksa materi permohonan,
termasuk alat bukti yang diajukan. Hingga saat ini, ada dua perkara yang masih
dalam tahapan pemeriksaan persidangan.
Sedangkan jenis lainnya adalah kewenangan mengenai perselisihan hasil
pemilihan umum, baik untuk calon anggota
legislator maupun
eksekutif.
bertepatan dengan
pelaksanaan Pemilu 2004 terdiri dari beberapa tahap yang dimulai dari
Pemilu
Legislatif (5 April 2004), Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama
(5 Juli 2004) dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua (20
September 2004). Ada dua tahapan Pemilu 2004 yang kemudian mengalami
perselisihan dan telah diperiksa Mahkamah Konstitusi, yakni Pemilu Legislatif
2004 dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama. Pada Pemilu
Universitas Sumatera Utara
49
50
menurut
51
pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilu. Dengan demikian, dalam
hal pelaksanaan kewenangan ini tidak ada mekanisme banding atau kasasi
terhadap putusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi untuk perkara-perkara yang
berkenaan dengan wewenang tersebut.
Lain halnya dengan kewajiban Mahkamah Konstitusi sebenarnya dapat
dikatakan merupakan sebuah kewenangan untuk memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat terhadap dugaan pelanggaran oleh presiden
dan/atau wakil presiden. Dugaan pelanggaran yang dimaksud adalah bahwa
presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden
dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
1945 dan/atau presiden/wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden dan/atau wakil presiden69. Sedangkan syarat-syarat untuk menjadi calon
presiden dan/atau wakil presiden adalah seorang warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara
rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden
70
dan/atau wakil presiden .
Secara khusus dalam kewenangan ini, Undang-Undang Dasar tidak
menyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir
dan putusannya bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi hanya
diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus, bahwa wajib, dilalui dalam
proses pemberhentian
69
70Pasal
52
71 Sejarah mengenai hal ini bisa dilihat dalam Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan
Negara Hukum : Sebuah Sketsa Politik, dalam Hukum dan Politik di Indonesia, Daniel S Lev;
LP3ES, 1990, hal. 375-423. Lihat pula Konfigurasi Politik dan Kerkuasan Kerhakiman di
Indonesia, Benny K. Harman, Elsam, 1997.
Universitas Sumatera Utara
53
yakni
memutus sengketa
kewenangan
54
sesuai proporsi atau ruang lingkup kekuasaan yang diatur menurut UndangUndang Dasar 1945.72
Jika dirinci, lembaga-lembaga yang disebut dalam Undang-Undang Dasar
1945 hasil perubahan diantaranya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan
Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Selain itu ada
komisi pemilihan umum dan bank sentral dan TNI-Polri serta pemerintah daerah.
Kecuali bank sentral, seluruh lembaga lainnya diatur kewenangannya dalam
Undang-Undang Dasar.
Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak ada penegasan dan
penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
dalam Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 hanya mengatur
bahwa pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar RI yang mempunyai kepentingan langsung terhadap
kewenangan yang dipersengketakan. Sedangkan dalam pasal lainnya dinyatakan
bahwa Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan
lembaga negara pada Mahkamah Konstitusi (Pasal 65). Tampaknya, mengenai hal
ini, undang-undang memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menafsirkan apa
dan siapa lembaga negara yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi.
Didit Hariadi Estiko menyatakan penggunaan penafsiran konstitusi yang
berbeda terhadap hal itu dapat berakibat pada perbedaan penentuan lembaga
negara yang dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara.
3. Memutus Pembubaran Partai Politik
72
55
(parpol) yang
73 Di Jerman ada dua partai yang dibekukan dengan aturan ini, yakni Socialist Reich
Party dan Communist Party of Germany. Lihat ulasan lengkapnya dalam Satya Arinanto,
Tuntutan Pembubaran Partai Politik, artikel, harian Kompas edisi Senin, 12 Februari 2001, hal.
7.
Universitas Sumatera Utara
56
yang
mempengaruhi :
(i)
(ii)
(iii) Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah
pemilihan (Pasal 74 Ayat 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003).
Sedangkan permohonan adalah (a) perorangan warga negara Indonesia
(WNI) calon anggota Dewan Perwakilan Daerah; (b) pasangan calon presiden dan
wakil presiden serta pemilihan umum presiden dan wakil presiden; serta (c) partai
politik peserta pemilihan umum (Pasal 74 Ayat 1 Undang-Undang No. 24 Tahun
2004).
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dijelaskan bahwa pihak yang bisa
menjadi pemohon dalam pemilu presiden adalah pasangan calon presiden-wakil
presiden yang ditetapkan masuk putaran kedua serta terpilihnya presiden-wakil
presiden. Sedangkan pasangan calon yang tidak meraih suara signifikan yang
dapat mempengaruhi lolos tindaknya suatu pasangan ke putaran kedua, atau
terpilih menjadi presiden - wakil presiden, tidak diperkenankan sebagai pemohon
atau memiliki Legal Standing yang kuat.
57
Di sini lain, dalam pemilu Legislatif, pihak yang menjadi pemohon adalah
hanya partai politik peserta pemilu. Dalam hal ini permohonan perkara hanya
dapat diajukan melalui pengurus pusat partai politik. Anggota partai dan pengurus
wilayah atau cabang tidak dapat mengajukan serta perkara perselisihan hasil
pemilu.
5. Memutus Dugaan Pelanggaran Presiden dan/atau wakil presiden
Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi ini merupakan
refleksi proses pemberhentian (impeachment) terhadap presiden yang sebelumnya
hanya berdasarkan mekanisme dan pertimbangan partai. Penempatan peran
Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar dalam proses pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden terdapat pertimbangan-pertimbangan hukum.
Sesuai ketentuan Pasal 7B Ayat 1-5, Mahkamah Konstitusi berkewajiban
untuk dugaan Dewan Perwakilan Rakyat atas pelanggaran hukum berupa (1)
pengkhianatan terhadap negara, (2) korupsi, (3) penyuapan, (4) tindak pidana
berat lainnya, (5) perbuatan tercela, serta (6) tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden dan/atau wakil presiden. Usul pemberhentian berdasarkan alasan-alasan
tersebut dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat
dalam hal ini harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan atau pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut.
Mahkamah Konstitusi wajib menyelesaikan perkara ini dalam waktu 90
hari. Karena kewenangan ini menjadi suatu hal yang diwajibkan, apabila hakim
konstitusi dengan sengaja menghambat pelaksanaan kewenangan dapat
diberhentikan (Pasal 23 Ayat 2e Undang-Undang Mahkamah Konstitusi).
Universitas Sumatera Utara
58