Anda di halaman 1dari 38

21

BAB II
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN
KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

A. Badan Kekuasaan Kehakiman


Kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk memeriksa
dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara yang diserahkan kepadanya
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan
yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan harus dapat bekerja dengan
baik dalam tugasnya sehingga menghasilkan putusan yang obyektif dan tidak
memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan karena badan
ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain termasuk pemerintahan.
1. Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945
Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara yang menurut Pasal 24
Undang-Undang Dasar 1945 melakukan kekuasaan kehakiman bersama lain-lain
badan kehakiman menurut Undang-Undang (ayat 1); susunan dan kekuasaan

badan-badan kehakiman diatur dengan Undang-Undang (ayat 2)


Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, maka fungsi
kehakiman yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung merupakan pengadilan
negara yang tertinggi yang membawahi badan peradilan lainnya sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman dengan fungsi sebagai berikut :
a. Fungsi (pokok) mengadili meliputi :
1. Fungsi peradilan kasasi;

Universitas Sumatera Utara

22

2. Fungsi peradilan untuk sengketa kewenangan mengadili dan sengketa


perampasan kapal asing;
3. Fungsi Peninjauan Kembali (PK );
4. Fungsi hak menguji material (materiel toetssingrecht).33
b. Fungsi administratif meliputi : organisasi, administrasi, dan keuangan yang
terdiri dari :
1) Fungsi pengawasan mencakup bidang :
a. Masalah teknis peradilan;
b. Terhadap perbuatan hukum dan perilaku para hakim serta pejabat
kepaniteraan;
c. Administrasi peradilan;
2) Fungsi pengaturan
c. Fungsi yang bersifat ketatanegaraan34 meliputi :
1) Fungsi penasihat (advieserende functie );
2) Fungsi pengawasan partai politik;
3) Fungsi pengawasan pemilu (pemilihan umum);
4) Fungsi penyelesaian perselisihan antar daerah.
Judicial Review diartikan kata perkata tanpa mengaitkan dengan sistem
hukum tertentu. Toetsingsrecht berarti hak menguji, sedangkan Judicial review
berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan sehingga pada dasarnya, kedua istilah
tersebut mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau
meninjau. Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review sudah secara spesifik

33 Soedirjo, Mahkamah Agung, Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya, Media Sarana


,Jakarta 1987, hal. 7.
34 Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, Sinar
Harapan, Jakarta , 2001, hal. 149.
Universitas Sumatera Utara

23

ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga


pengadilan, yaitu hakim.
1. Hak Menguji
Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal adanya dua
macam hak menguji (Toetsingsrecht),35 yaitu :
a. hak menguji formal (formale Toetsingsrecht); dan
b. hak menguji materil (materiele Toetsingsrecht).
Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk
legislatif seperti undang-undang, misalnya melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku ataukah tidak.36 Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal
prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang
membuatnya.37
Hak menguji materil adalah suatu kewenangan untuk menyelidiki dan
kemudian menilai, apakah peraturan perundangan-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu
kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu.
2. Judicial Review
Judicial review, dapat diartikan sebagai berikut :

Ph. Kleitjes, sebagaimana dikutip Sri Soementri, Hak Uji Material di Indonesia,
Alumni, Bandung, 1997, hal. 28
36 Ibid, hal. 28.
37 Jimly Asshiddiqie, Menelaah Putusan Mahkamah Agung Tentang Judicial Review
35

atas PP No. 19 Tahun 2000 yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,

(tanpa tempat, tanpa tahun), hal 1.

Universitas Sumatera Utara

24

1. judicial review merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam


kasus kongkret di pengadilan.
2. judicial review merupakan kewenangan hakim untuk menilai apakah
legislative acts, executive acts, dan administrative acts bertentangan atau
tidak dengan Undang-Undang Dasar (tidak hanya menilai peraturan
perundang-undangan).
Defenisi dari suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang
dianut oleh negara yang bersangkutan. Definisi judicial review dipakai pada
negara yang menganut common law system. Istilah judicial review juga digunakan
dalam membahas tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system,
seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu

judicial review,

merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang
ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif
dalam rangka penerapan prinsip

checks and balances berdasarkan sistem

pemisahan kekuasaan negara (separation of power).38


Sebelum diaturnya hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki hakim
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985, pengaturan hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki
hakim dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang terhadap Undang-Undang diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan, Undang-Undang Nomor 14

38

Jimly Asshiddiqie. Op.Cit., hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

25

Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan PERMA
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil. Secara yuridis terdapat
permasalahan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu sebagai
berikut :
1. Putusan Mahkamah Agung tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan . Pasal
56 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang - Undangan mengatur semua Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan
pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya
mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca
peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.39 Hal itu
berarti bahwa peraturan atau putusan Mahkamah Agung tidak boleh
bertentangan dengan lima peraturan perundang-undangan yang tertulis dalam
pasal 7 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang - Undangan, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, UndangUndang/Peraturan

Pemerintah

Pengganti Undang-Undang,

Peraturan

39 Dalam Pasal 54 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang - Undangan diatur ketentuan : Teknik penyusunan dan/atau bentuk
Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan
Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan
Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan
Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Propinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat
harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini
.
Universitas Sumatera Utara

26

Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan daerah.40 Hal tersebut


bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan Mahkamah
Agung untuk melaksanakan hak menguji terhadap peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang41Perbedaan
tentang sifat dari kewenangan Mahkamah Agung dalam melaksanakan hak
menguji yang dijelaskan berikut ini :
a. Bersifat aktif
Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan-undangan yang
mengatur bahwa wewenang Mahkamah Agung untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan secara bersifat
aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.42

Lihat Pasal 7. Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang - Undangan
41 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia nomor III/MPR/1978
tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/dan atau antar
lembaga-lembaga Tinggi Negara telah dicabut dengan TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 samapai dengan Tahun
2002 sehingga yang berlaku adalah TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundangan- undangan, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan sedangkan amanat TAP MPR Nomor I/MPR/2003 yang memerintahkan
pembentukan undang-undang yang mengatur tentang tata urutan peraturan perundang- undangan
sehingga berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan tidak ada mengatur tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi
Negara dengan/dan atau antar lembaga lembaga Tinggi Negara, Pasal 26 ayat (1) UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal
31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 1 ayat
(1) PERMA Nomor 1 Tahun 1999.
42 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan perundangan-undangan diatur bahwa
Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan
kasasi.
Universitas Sumatera Utara
40

27

b. Bersifat pasif (menunggu adanya perkara yang diajukan ke Pengadilan


atau Mahkamah Agung).
1. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, yaitu
bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan dan Mahkamah Agung adalah lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman. Sebagai suatu lembaga
peradilan, Mahkamah Agung harus menunggu kasus yang diajukan
sehingga dalam hal ini bersifat pasif.
2. Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.43
3. Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang
Mahkamah Agung.44
4. Pasal 1 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Menguji
Material.45
3. Perbedaan tentang Hukum acara pelaksanaan pengujian undang-undang
adanya perbedaan tentang yang berwenang melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
adalah sebagai berikut :
a. Harus melalui proses kasasi46

43

Dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa Putusan tentang pernyataan tidak sahnya
peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam
tingkat kasasi.
44 Dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung diatur dalam ketentuan bahwa Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan
perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
45 Pasal 1 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 1999, diatur ketentuan sebagai berikut Hak
Uji Material adalah Hak Mahkamah Agung untuk menguji secara Materil terhadap peraturan
perundang-undangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan.

Universitas Sumatera Utara

28

Hal itu berarti terlebih dahulu melalui Pengadilan Tingkat pertama,


Pengadilan Tingkat Banding, baru kemudian diperiksa oleh Mahkamah
Agung. Berdasarkan hal tersebut, maka ada tiga pengadilan, yaitu Pengadilan
Tingkat Pertama. Pengadilan Tingkat Banding, dan Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan negara Tertinggi yang berwenang melakukan pengujian pada
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan ketentuan yang mengatur
bahwa hanya Mahkamah Agung yang berwenang untuk melakukan hak
menguji peraturan perundang-undangan.47
b. Tidak perlu melalui proses kasasi
Diajukan ke Mahkamah Agung, baik dengan cara langsung diajukan ke
Mahkamah Agung atau diajukan ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan
Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat.48 Hal tersebut
menunjukkan bahwa hanya Mahkamah Agung yang berwenang melakukan
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang.
46 Ketentuan tentang hal tersebut diatur dalam :
1. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan
kehakiman yang mengatur bahwa Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan
perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung tidak sahnya peraturan perundangundangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi
2. Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang
mengatur bahwa Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan
tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
47 Lihat Pasal 24A Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal
11 ayat (4) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978
tentang kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/dan atau antar
lembaga-lembaga Tinggi Negara, Pasal 5 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan perundangundangan, Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, dan Pasal 1 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 1999).
48 Lihat Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang tata
cara pengajuan gugatan dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999
tata cara pengajuan permohonan keberatan.
Universitas Sumatera Utara

29

4. Ketentuan yang mengatur tentang pencabutan peraturan perundang-undangan


yang dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Agung.
2. Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945
Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi (disingkat

MK) adalah

lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan


pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan
Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 C, dan Pasal 7B
yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan
Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Mahkamah
Agung menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal
III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Keempat.49
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah mendorong terbangunnya
struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis. Perubahan Undang-Undang Dasar
1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali, yakni tahun 1999,
2000, 2001, 2002. Hasil perubahan Undang-Undang Dasar 1945 melahirkan
bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan
saling melakukan kontrol (checks and balances). Kesetaraan dan ketersediaan
saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum.
Salah satu kelembagaan negara baru yang dibentuk untuk memperkuat
pranata demokrasi dalam stuktur ketatanegaraan adalah Mahkamah Konstitusi.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi diletakkan dalam konsep kekuasaan kehakiman
merdeka. Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 24 (1) menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

49

http : //id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah Konstitusi, diakses tanggal 28 Maret 2009


Universitas Sumatera Utara

30

keadilan. Selanjutnya dalam Pasal 24 ayat (2) ditentukan bahwa kekuasaan


kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, serta lingkungan peradilan tata usaha negara dan
oleh Mahkamah Konstitusi.
Menegaskan kembali kedudukan Mahkamah Konstitusi, Pasal 2 UndangUndang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 3 menentukan Mahkamah Konstitusi
berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
Dari rumus tersebut dapat dipahami bahwa saat ini konsep kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung. Keduanya berkedudukan sederajat atau setara sebagai
lembaga negara yang independen dan hanya dibedakan dari segi fungsi dan
wewenang. Mahkamah Konstitusi juga sederajat dengan lembaga-lembaga negara
lainnya karena telah terjadi pemaknaan ulang terhadap pelaksanaan prinsip
kedaulatan rakyat dan bergesernya sistem kekuasaan yang berdasarkan pembagian
kekuasaan (distribution of power) menjadi sistem yang berlandaskan pemisahan
kekuasaan juga disebut dengan istilah trias politica adalah sebuah ide bahwa
sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan
kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang
terlalu banyak.

Universitas Sumatera Utara

31

Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh


pemerintahan agar tidak ada penyelahgunaan kekuasaan, antara legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip
normative bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada
orang yang sama, untuk mencegah penyalahugunaan kekuasaan oleh pihak yang
berkuasa. Contoh negara yang menerapkan pemisahan kekuasaan ini adalah
Amerika Serikat.50.
Hal itu ditandai dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi
sebagai pelaksana tunggal kedaulatan rakyat dan ditempatkan sebagai institusi
tertinggi negara yang bisa membagi kekuasaan kepada lembaga-lembaga tinggi
yang ada di bawahnya, akan tetapi, telah direstrukturisasi menjadi parlemen dua
kamar (bikameral) yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Dewan Perwakilan

Daerah (DPD) dan seluruh anggotanya dipilih secara

langsung oleh rakyat.51 Bersamaan dengan itu, diletakkan pula sistem pemilihan
secara langsung oleh rakyat untuk presiden dan wakil presiden (eksekutif) dan
Mahkamah Konstitusi sebagai sarana kontrol bagi cabang kekuasaan lainnya.52
Dengan demikian, tergambar lebih jelas bahwa dalam konsep pemisahan
kekuasaan, seluruh cabang-cabang kekuasaan yang dibentuk memiliki fungsi dan
wewenang masing-masing yang terpisah secara tegas. Dengan konsep kekuasaan
ini, dapat diletakkan keberadaan kelembagan negara dalam posisi dan kedudukan

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemisahan_kekuasaan
51 Studi khusus mengenai keharusan perubahan kelembagaan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, lihat dalam Bivitri Susanti, dkk, Semua Harus Terwakili; Studi Mengenai Reposisi Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia,
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata
Negara FHUI, 2004, hal. 132-134.
52 Perubahan-perubahan tersebut merupakan hasil Amandemen Ketiga dan Keempat yang
dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tahun 2001 dan 2002.
Universitas Sumatera Utara
50

32

yang setara atau sederajat. Oleh karena itu, restrukturisasi lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat telah menjadikan susunan dan sistem kelembagaan
negara menjadi sama kedudukannya. Tidak ada lagi istilah lembaga tertinggi dan
lembaga tinggi negara, yang ada adalah istilah lembaga negara.53 Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang keberadaan dan
kewenangannya diatur Undang-Undang Dasar.
Satu isu penting dan mendasar dalam pembahasan mengenai kedudukan
lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman ini adalah adanya soal kemandirian
(independensi). Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan salah satu prinsip
penting dalam negara demokrasi. Kemandirian kekuasaan kehakiman juga
merupakan salah satu syarat dan ciri penting dalam negara hukum, selain adanya
asas legalitas yang artinya pemerintah harus bertindak berdasarkan semata-mata
hukum yang berlaku, adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, dan
pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi dan hukum dasar54.
Dengan adanya kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan
lainnya, badan atau lembaga pelaksananya diharapkan dapat melakukan kontrol
hukum terhadap kekuasaan negara lainnya. Di samping itu, untuk mencegah dan
mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Tidak
adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dari kekuasaan pemerintah
akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian
53 Hal ini ditandai dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antarlembaga Tinggi Negara telah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat 2003
melaui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum
Ketatapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 sedangkan amanat TAP MPR
Nomor I/MPR/2003 yang memerintahkan pembentuk undang-undang yang mengatur tentang tata
urutan peraturan perundang-undangan
54Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 298-301.
Universitas Sumatera Utara

33

hak asasi manusia oleh penguasa. Sebab kekuasaan kehakiman secara


konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap
kekuasaan pemerintah.
Mengingat pentingnya kemandirian kekuasaan kehakiman ini, dan
merupakan suatu hal yang sangat prinsipil, maka harus ditegaskan dan dijamin
dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 24 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan menyatakan secara tegas dan jelas
bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Undangundang menggunakan istilah `merdeka` yang sesungguhnya tidak merdeka
pengertiannya.
Dalam hal itu, Mahkamah Konstitusi yang diletakkan secara konsepsi dan
pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar merupakan bagian dan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung. Dengan demikian,
Mahkamah Konstitusi

telah mendapatkan jaminan konstitusional sebagai

lembaga negara pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri. Hal ini


selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka

untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.


Pengukuhan agar jaminan kemandirian itu tidak hanya sebatas teks bunyi
peraturan, maka harus dilengkapi dengan pengaturan tentang bagaimana
pengangkatan dan pemberhentian hakim, masa jabatannya, pengaturan tentang
organisasi dan administrasi yang harus diatur sedemikian rupa, lengkap, dan
Universitas Sumatera Utara

34

terperinci sehingga Mahkamah Konstitusi dapat menjalankan fungsi dan


wewenang sebagaimana mestinya. Demikian pula mengenai akuntabilitas, baik
secara personal maupun kelembagaan dapat dilakukan seiring dengan penegasan
kemandirian itu sendiri.
Pasal 12 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 telah mengatur bahwa
Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia,
administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik.
Rumusan ini mengukuhkan karakter independensi. Sedangkan tuntutan
akuntanbilitas dipenuhi Pasal 13 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 yang
mewajibkan Mahkamah Konstitusi mengumumkan laporan berkala kepada publik
secara terbuka tentang permohonan yang didaftar, diperiksa, dan diputus serta
pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
Berkenaan dengan anggaran, di berbagai negara, independensi anggaran
peradilan merupakan aspek penting. Bahkan, seperti di Filipina, konstitusinya
menyatakan pengadilan mempunyai otonomi keuangan. Ditegaskan pula bahwa
legislator tidak boleh menyetujui anggaran bagi pengadilan yang lebih rendah dari
pada anggaran sebelumnya. Bila independensi telah dijamin secara normatif dan
imflementasi salah satunya dalam otonomi anggaran maka putusan hakim
dimungkinkan untuk menjadi berkarakter adil, imparsial, dan akuntabel.
3. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Hukum acara untuk perkara pengujian Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar di Mahkamah Konstitusi ini agak berbeda jika dibandingkan
dengan peradilan biasa karena hal yang banyak dipertimbangkan dan diperiksa

Universitas Sumatera Utara

35

adalah opini dan tafsiran, dan bukan pada fakta, sehingga analisis terhadap data
menjadi hal yang penting dan utama untuk disajikan.
Hal ini secara detail diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan tersebut bahwa Undang-Undang
yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah Undang-Undang yang diundangkan
setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Khususnya setelah Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang bertanggal 19 Oktober 1999.
Pemohon yang dianggap memiliki legal standing

(kedudukan hukum)

untuk mengajukan hak/kewenangan konstitusionalnya oleh berlakunya UndangUndang, yaitu (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
(c) badan hukum publik dan privat; atau (d) lembaga negara.
Dalam mengajukan permohonan tersebut, pemohon wajib menguraikan
dengan jelas hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan karena
adanya pembentukan Undang-Undang yang tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan/atau bagian Undang-Undang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Permohonan tersebut secara administrasi ditujukan kepada bagian
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa kelengkapan
administrasi, misalnya keterangan lengkap diri pemohon, ditulis dalam bahasa
Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam rangkap 12,

Universitas Sumatera Utara

36

menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan hal-hal
lain yang dimintanya untuk diputus.
Terhadap permohonan tersebut, Kepaniteraan dapat meminta permohonan
untuk melengkapi permohonan yang belum memiliki kelengkapan dalam jangka
waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak pemberitahuan kelengkapan tersebut
diterima pemohon. Jika permohonan tersebut telah lengkap maka dapat dicatatkan
pada Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) yang memuat secara lengkap
catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman nomor
perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok
perkara. Setelah hal-hal tersebut dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
maka Mahkamah Konstitusi telah dapat menetapkan hari sidang pertama dalam
jangka waktu 14 hari setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi. Hal ini berarti sudah dapat dimulai acara persidangan yang meliputi
sidang pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, dan sidang putusan.
Pemeriksaan pendahuluan. Pada mulanya, pemeriksaan pendahuluan juga
menggunakan sidang pleno yang secara lengkap oleh sembilan hakim konstitusi.
Namun, semenjak perkara yang masuk sudah semakin banyak dan beragam,
Mahkamah

Konstitusi kini melaksanakan

sidang pendahuluan dengan

menggunakan panel yang terdiri dari tiga hakim konstitusi. Dalam sidang
pemeriksaan pendahuluan tersebut, hakim konstitusi memeriksa secara lebih rinci
mengenai kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Kemudian, memberikan
nasehat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan
dalam jangka waktu paling lambat 14 hari.

Universitas Sumatera Utara

37

Pemeriksaan Persidangan. Sidang ini merupakan sidang yang memeriksa


secara lebih mendalam materi permohonan maupun alat bukti yang diajukan. Alat
bukti dapat meliputi beberapa jenis, yakni (a) surat atau tulisan; (b) keterangan
saksi; (c) keterangan ahli; (d) keterangan para pihak; (e) petunjuk; dan (f) alat
bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Semua alat bukti tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum mengenai cara memperolehnya. Karena itu, jenis alat bukti yang
perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Penilaian terhadap sah atau tidak sahnya itu
dilakukan dalam pemeriksaan persidangan. Disamping itu, untuk kepentingan
pemeriksaan, hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara
untuk memberikan keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan
secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
Sidang putusan. Sebelum mengambil putusan terhadap suatu perkara,
Mahkamah Konstitusi melakukan suatu rapat permusyawaratan hakim dalam
membuat putusan yang akan diucapkan dalam sidang pembacaan putusan.
Putusan tersebut diambil berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 serta sesuai
dengan alat bukti dan keyakinan hakim dengan memuat fakta yang terungkap
dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Putusan
yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua
alat bukti. Putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.

Universitas Sumatera Utara

38

Putusan harus ditandatangani hakim yang memeriksa, mengadili, dan


memutus dan panitera pengganti. Untuk kemudian wajib menyampaikan
salinannya kepada para pihak, juga memberikan pemberitahuan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.
Ketentuan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 04/PMK/2004 tentang
Pedoman Berita Acara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
merupakan sumber utama dari hukum acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
di Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini mengatur berbagai hal mengenai hukum
acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, seperti pemohon dan materi
permohonan, tata cara mengajukan permohonan, registrasi perkara dan
penjadwalan sidang, pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, hingga
putusan.
Dalam ketentuan tersebut, yang dapat menjadi pemohon adalah :
a. Perorangan Warga Negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
peserta pemilu;
b. Pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta pemilu; atau
c. Partai politik peserta pemilu.
Materi permohonan adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan Komisi
Pemilihan Umum secara nasional yang mempengaruhi :
a. Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
b. Penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang masuk pada
putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden, serta terpilihnya
pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Universitas Sumatera Utara

39

c. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.


Permohonan tersebut secara administratif ditujukan kepada bagian
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa kelengkapan

administrasi, misalnya keterangan lengkap diri permohonan, ditulis dalam bahasa


Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam rangkap 12,
menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan hal-hal

lain yang diminta untuk diputus. Permohonan ini hanya dapat dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam sejak Komisi Pemilihan Umum

mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional.


Namun, karena waktu yang sangat singkat itu, cara pengajuannya juga
dimudahkan, yaitu dapat melalui faksimile atau e-mail, dengan ketentuan bahwa
permohonan aslinya sudah harus diterima Mahkamah Konstitusi dalam jangka

waktu tiga hari terhitung sejak habisnya tenggang waktu.


Terhadap permohonan tersebut, Kapaniteraan dapat meminta permohonan

yang belum memiliki kelengkapan dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 jam
sejak pemberitahuan kelengkapan tersebut diterima pemohon. Jika permohonan
tersebut telah lengkap, dapat dicatatkan pada Buku Registrasi Perkara Konstitusi

yang memuat secara lengkap catatan tentang kelengkapan administrasi dengan


disertai pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan,
nama pemohon, dan pokok perkara. Setelah hal-hal tersebut dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi, Mahkamah Konstitusi telah dapat menetapkan hari
sidang pertama dalam jangka waktu tiga hari (untuk Perselisihan Hasil Pemilihan

Umum pasangan calon presiden-wakil presiden) dan tujuh hari (untuk Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Universitas Sumatera Utara

40

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) setelah permohonan dicatat


dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Hal ini berarti sudah dapat dimulai
acara persidangan yang meliputi sidang pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan
persidangan, dan sidang putusan.
Pemeriksaan pendahuluan. Pelaksanaan sidang pendahuluan dengan
menggunakan panel yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga hakim konstitusi
serta dinyatakan terbuka untuk umum. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan
tersebut, hakim memeriksa secara lebih rinci kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan. Kemudian memberikan nasihat kepada pemohon untuk melengkapi
dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam
(untuk Perselisihan Hasil Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan paling
lambat 1 x 24 jam (untuk Perselisihan Hasil Pemilihan Umum pasangan calon
presiden-wakil presiden). Jika dalam tenggang waktu perbaikan tersebut
pemohon tidak dilengkapi dan/atau diperbaiki permohonannya, Mahkamah
Konstitusi melalui rapat permusyawaratan hakim dapat mengusulkan agar
permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima.
Pemeriksaan persidangan.

Sidang ini merupakan sidang merupakan

sidang yang memeriksa secara lebih mendalam materi permohonan maupun alat
bukti yang diajukan. Pemeriksaan persidangan tersebut meliputi (a) kewenangan
Mahkamah Konstitusi, yakni penetapan hasil pemilihan umum oleh Komisi
Pemilihan Umum secara nasional; (b) kedudukan hukum

(legal standing)

pemohon; (c) pokok permohonan; (d) keterangan Komisi Pemilihan Umum; dan
(e) alat bukti.
Universitas Sumatera Utara

41

Sidang putusan. Sebelum mengambil putusan terhadap suatu perkara,


Mahkamah Konstitusi melakukan suatu rapat permusyawaratan hakim dalam
membuat putusan yang akan diucapkan dalam sidang pembacaan putusan.
Putusan mengenai permohonan atas Perselisihan Hasil Pemilihan Umum presiden
dan wakil presiden wajib diputuskan paling lambat 14 hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Sedangkan untuk
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum anggota legislator diputuskan paling lambat
30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Ada tiga jenis kemungkinan putusan, yakni :
a. Permohonan

tidak

dapat

diterima

apabila permohonan dan/atau

permohonannya tidak memenuhi persyaratan;


b. Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan
selanjutnya membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan Komisi
Pemilihan Umum serta menetapkan hasil penghitungannya yang benar; dan
c. Permohonan ditolak apabila permohonan tidak terbukti beralasan.
Putusan harus ditandatangani hakim yang memeriksa, mengadili, dan
memutuskan dan panitera pengganti untuk kemudian disampaikan kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat, presiden/pemerintah, Komisi Pemilihan
Umum, partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon peserta
pemilu bagi putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum presiden dan wakil presiden dan disampaikan kepada
presiden, pemohon, dan Komisi Pemilihan Umum untuk Perkara Hasil
Pemilihan Umum

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


Universitas Sumatera Utara

42

Pasca amandemen Undang-Undang Dasar telah terjadi pergeseran sistem


ketatanegaraan dan penyelenggaraan negara, dengan tidak ada lagi lembaga yang
supreme yang sebelumnya diperankan Majelis Perwakilan Rakyat serta adanya
penegasan pemisahan kekuasan dan prinsip checks and balances.

Perubahan

tersebut berimplikasi pada kewenangan untuk menjaga konstitusi dan menilai


pelaksanaan konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supremacy of the law) .
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain
berperan sebagai pegawai konstitusi

(the guardian of the constitution),

agar

konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijadikan secara konsisten oleh setiap
komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal;
dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta
mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Selain
itu, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir tunggal dan tertinggi atas
Undang-Undang Dasar, yang direfleksikan melalui putusan-putusan sesuai dengan
kewenangannya. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan
demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses
penjabaran dari empat kewenangan konstitusional
powers) dan satu kewajiban

(constitutionally entrusted

(constitutional obligation) Mahkamah Konstitusi

serta penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional dapat diselesaikan


secara demokrasi.

B. Penyelenggaraan Kewenangan Mahkamah Konstitusi


Secara etimologis antara kata konstitusi,
konstitusional, dan
konstitusionalisme inti maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan
katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai
ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Undang-Undang, Peraturan Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Universitas Sumatera Utara

43

Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah), atau Undang-Undang Dasar


suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun
penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi,
berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya
dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan
dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.55
Solly Lubis berpendapat, konstitusi memiliki dua pengertian yaitu
konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi).
Negara Inggris merupakan contoh negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis.56
Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian
tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari :
1.
2.
3.
4.

Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.


Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
Peradilan yang bebas dan mandiri.
Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama
dari asas kedaulatan rakyat.57
Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan

maskot bagi suatu

pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara)


meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, namun tidak
diimplementasikan. Dalam praktik penyelenggaraan bernegara, maka belumlah
dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham
konstitusi.58
Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah
yang dalam bahasa Belandanya Groundwet.

Perkataan wet diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia Undang-Undang, dan ground berarti tanah/dasar.59

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 521.
56 M.Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1978, hal. 45.
57 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Nimatul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Teori dan
Hukum Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 2.
58 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafiti,
Jakarta, 1995, hal. 16.
59 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Nimatul Huda, Op.Cit, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
55

44

Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet (Undang


Undang Dasar) di atas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di
antara keduanya, kalau groundwet (Undang Undang Dasar) adalah bagian tertulis
dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan
tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M., dalam
disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang Undang Dasar.60
Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di
sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia .
Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan
menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka Undang Undang Dasar dapat
dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana
kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Undang Undang Dasar menentukan cara-cara
bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerja sama dan menyesuaikan diri satu
sama lain, Undang Undang Dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam
suatu negara.
Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
nasional, dipakai istilah

Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut

konstitusi.61
Pengertian Konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas daripada
pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan
pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah
60Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Alumni, Bandung,
1987, hal. 1.
61 Sri Soemantri, Susunan Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam
Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta 1993, hal.
29.
Universitas Sumatera Utara

45

Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturanperaturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat
cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.62
Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata,
yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti bersama
dengan .... sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja
pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata

statuere mempunyai arti

membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan. Dengan demikian


bentuk tunggal (constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan
bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.63
Konstitusi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi setiap bangsa dan
negara, baik yang sudah lama merdeka maupun yang baru saja memperoleh
kemerdekaannya.64
Konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang oleh Jimly Asshididiqie, guru besar
hukum tata negara UI diperinci sebagai berikut65 :
1. Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.
2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.
3. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan warga
negara.
4. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun
kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
5. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli
(yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara.
H. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Nimatul Huda, Op.Cit, hal. 8.
Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi :
Pengertian dan Perkembangannya,
ProJustina, 0.2 V, 1987, hal. 28-29.
64 Taufiqurrohman Syahruni,
Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan
Undang-Undang Dasar di Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 28.
65 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan,
Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002,
hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
62
63

46

6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan identitas


dan keagungan kebangsaan (identity of nation), serta sebagai
center of
ceremony.
7. Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam
arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti luas mencakup bidang
sosial dan ekonomi.
8. Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat (social
engineering atau social reform).
Istilah konstitusi menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari kata kerja
constituer dalam bahasa Perancis, yang berarti membentuk, dalam hal ini yang
dibentuk adalah suatu negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari segala
macam peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan
bangunan besar yang bernama negara.66
Istilah konstitusi sebenarnya tidak dipergunakan untuk menunjuk kepada
satu pengertian saja. Dalam praktik, istilah konstitusi sering digunakan dalam
beberapa pengertian. Di Indonesia, selain dikenal istilah konstitusi juga dikenal
istilah Undang-Undang Dasar. Demikian juga di Belanda, di samping dikenal
istilah groundwet (Undang-Undang Dasar), dikenal pula istilah constitutie.67
Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan negara dengan cara
melakukan pengujian undang-undang serta kewenangan lainnya, tidak terlepas
dari pola hubungan hak-hak dasar manusia sebagai individu, masyarakat dan
negara, dalam upaya mencapai kesejahteraan yang berkeadilan sosial dan menjaga
terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan kehendak rakyat
dan cita hukum negara yang demokrasi. Pencapaian kesejahteraan yang
berkeadilan menurut cita hukum dikenal sebagai tujuan negara.68

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 10.


C.A.J.M Kortmann, Constitutionalrecht, Kluwer, Deventer, 1960, hal. 9.
68 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum
Demokrasi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
66
67

47

Hak menguji material adalah suatu kewenangan untuk menyelidiki dan


kemudian menilai, apakah peraturan perundangan-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu
kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu.
Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
merupakan suatu bentuk pengujian materi dari undang-undang yang diajukan
permohonan karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
dan karenanya merugikan hak konstitusional yang ia miliki sebagai warga negara.
Hingga akhir Agustus 2004, tercatat ada 43 perkara yang diajukan ke Makamah
Konstitusi untuk perkara jenis ini, dengan beragam undang-undang yang diajukan.
Sebanyak 22 perkara di antaranya telah diselesaikan dan 21 perkara masih dalam
proses.
Ada dua jenis metode penyelesaiannya yang dilakukan untuk perkaraperkara ini, yakni dalam bentuk ketetapan dan keputusan. Ketetapan merupakan
suatu kesimpulan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak
diucapkan yang isinya di luar dari substansi permohonan, misalnya, ketetapan
tentang ketidakwenangan untuk memeriksa permohonan perkara atau tentang
penerimaan permohonan pembatalan perkara. Keputusan merupakan suatu
kesimpulan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak
diucapkan yang isinya tentang pengabulan atau penolakan permohonan suatu
perkara. Ketetapan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi ada lima, yakni dua
perkara dinyatakan tidak berwenang dan tiga perkara ditarik kembali. Sedangkan
untuk putusan, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan sebanyak 17, yakni 3
Universitas Sumatera Utara

48

perkara dikabulkan, 1 perkara ditolak, dan 13 perkara tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Terhadap perkara yang masih dalam proses, Mahkamah Konstitusi sedang
memproses 21 perkara yang berada pada tahapan pemeriksaan pendahuluan dan
pemeriksaan persidangan. Tahapan pemeriksaan pendahuluan merupakan tahapan
sebelum pemeriksaan terhadap pokok perkara, yakni mengadakan pemeriksaan
kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Tahapan pemeriksaan
persidangan merupakan suatu persidangan yang memeriksa materi permohonan,
termasuk alat bukti yang diajukan. Hingga saat ini, ada dua perkara yang masih
dalam tahapan pemeriksaan persidangan.
Sedangkan jenis lainnya adalah kewenangan mengenai perselisihan hasil
pemilihan umum, baik untuk calon anggota

legislator maupun

eksekutif.

Perselisihan hasil pemilu merupakan perkara yang diajukan pemohon karena ia


mendalilkan bahwa telah terjadi kesalahan hasil perhitungan yang diumumkan
Komisi Pemilihan Umum dan memberikan hasil perhitungan yang benar menurut
permohonan pada suatu tahapan pemilihan umum. Perselisihan hasil pemilu ini
untuk pemilu legislatif maupun pemilu presiden putaran pertama dan kedua.
Satu tahun berdirinya Mahkamah Konstitusi

bertepatan dengan

pelaksanaan Pemilu 2004 terdiri dari beberapa tahap yang dimulai dari

Pemilu

Legislatif (5 April 2004), Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama
(5 Juli 2004) dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua (20
September 2004). Ada dua tahapan Pemilu 2004 yang kemudian mengalami
perselisihan dan telah diperiksa Mahkamah Konstitusi, yakni Pemilu Legislatif
2004 dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama. Pada Pemilu
Universitas Sumatera Utara

49

Legislatif 2004, pemohon yang mengajukan permohonan adalah 23 partai politik


(mengajukan perselisihan di 252 daerah) dan 21 calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah. Secara keseluruhan, terdapat 44 perkara yang berkaitan dengan pemilu
Legislatif 2004.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama juga menuai
permohonan perselisihan hasil pemilu oleh satu pasangan calon presiden dan
wakil presiden. Dari lima pasangan yang terpilih, ada dua pasangan yang berhak
melaju ke putaran kedua, sedangkan tiga pasangan lainnya tersisih. Satu pasangan
calon presiden dan wakil presiden yang tersisih mengajukan permohonan terhadap
penetapan jumlah suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum. Karena itu,
secara keseluruhan, terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran
Pertama, Mahkamah Konstitusi memeriksa dan memutus satu perkara.
Selain dua kewenangan yang dilaksanakan tersebut, Mahkamah Konstitusi
masih memiliki dua kewenangan lainnya dan satu kewajiban. Dua kewenangan
lainnya tersebut adalah memutuskan persengketaan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan memutus pembubaran partai politik. Adapun kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindakan pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa
presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden
dan/atau wakil presiden.

Universitas Sumatera Utara

50

Pelaksanaan manajemen perkara berdasarkan kewenangan lainnya itu


hingga saat ini belum dilaksanakan karena secara faktual belum ada permohonan
terhadap perkara sejenis tersebut yang masuk ke Mahkamah Konstitusi.
C. Wewenang Mahkamah Konstitusi
Sebagai sebuah lembaga negara yang telah ditentukan dalam UndangUndang Dasar, kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diberikan dan diatur
dalam Undang-Undang Dasar. Kewenangan yang mengeksklusifkan dan
membedakan Mahkamah Konstitusi dari lembaga-lembaga negara lainnya.
Wewenang Mahkamah Konstitusi ini secara khusus diatur dalam Pasal 24C ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Mahkamah konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 24C (2) Undang-Undang Dasar 1945
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden

menurut

Undang-Undang Dasar. Ketentuan-ketentuan tersebut

ditegaskan kembali pengaturannya dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi


Pasal 10 Ayat (1) dan (2).
Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dijelaskan bahwa Mahkamah
Konstitusi merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir, atau dapat
dikatakan merupakan badan peradilan satu-satunya yang putusannya bersifat final
Universitas Sumatera Utara

51

dan mengikat untuk mengadili perkara pengujian undang-undang, sengketa


lembaga negara yang kewenangannya

diberikan Undang-Undang Dasar,

pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilu. Dengan demikian, dalam
hal pelaksanaan kewenangan ini tidak ada mekanisme banding atau kasasi
terhadap putusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi untuk perkara-perkara yang
berkenaan dengan wewenang tersebut.
Lain halnya dengan kewajiban Mahkamah Konstitusi sebenarnya dapat
dikatakan merupakan sebuah kewenangan untuk memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat terhadap dugaan pelanggaran oleh presiden
dan/atau wakil presiden. Dugaan pelanggaran yang dimaksud adalah bahwa
presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden
dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
1945 dan/atau presiden/wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden dan/atau wakil presiden69. Sedangkan syarat-syarat untuk menjadi calon
presiden dan/atau wakil presiden adalah seorang warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara
rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden
70
dan/atau wakil presiden .
Secara khusus dalam kewenangan ini, Undang-Undang Dasar tidak
menyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir
dan putusannya bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi hanya
diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus, bahwa wajib, dilalui dalam
proses pemberhentian

(impeachment) presiden dan/atau wakil presiden.

Kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah untuk membuktikan dari


sudut pandang hukum presiden dan wakil presiden.
Jika terbukti, putusan Mahkamah Konstitusi tidak secara otomatis dapat
memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden karena hal itu bukan wewenang

69

Pasal 7 B Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 .


6 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

70Pasal

Universitas Sumatera Utara

52

sepenuhnya Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, sesuai ketentuan Undang-Undang


Dasar, jika putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan terbukti bersalah maka
Dewan Perwakilan Rakyat meneruskan usul pemberhentian itu ke Majelis
Perwakilan Rakyat dan persidangan Majelis Perwakilan Rakyat yang nantinya
akan menentukan apakah presiden dan/atau wakil presiden yang telah diusulkan
pemberhentiannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan atau tidak
dari jabatannya.
Berikut ini akan dijelaskan dan dijabarkan kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang telah diberikan Undang-Undang Dasar 1945.
1. Pengujian Undang-Undang
Undang-Undang Dasar telah meletakkan bahwa dalam sistem hukum di
Indonesia terdapat dua institusi yang berwenang melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan (judicial review).

Kewenangan untuk menguji undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar diberikan kepada Mahkamah Konstitusi


(Pasal 24C Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945), sedangkan pengujian peraturan
perundang-undang di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang menjadi
kewenangan Mahkamah Agung (Pasal 24C Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945).
Wewenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar merupakan suatu hal yang sudah lama diinginkan dalam konteks
pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari cita-cita terwujudnya
negara hukum dan demokrasi71. Dengan adanya kewenangan dan mekanisme

71 Sejarah mengenai hal ini bisa dilihat dalam Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan
Negara Hukum : Sebuah Sketsa Politik, dalam Hukum dan Politik di Indonesia, Daniel S Lev;
LP3ES, 1990, hal. 375-423. Lihat pula Konfigurasi Politik dan Kerkuasan Kerhakiman di
Indonesia, Benny K. Harman, Elsam, 1997.
Universitas Sumatera Utara

53

pengujian konstitusionalitas undang-undang, cita-cita negara hukum dan


demokrasi telah mendapatkan penegasannya.
Selanjutnya, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa
pengujian konstitusionalitas suatu Undang-Undang dimungkinkan bisa dilakukan
secara formal dan materiil (Pasal 51 Ayat 3). Pengujian secara formal menelaah
apakah pembentukan Undang-Undang telah memenuhi prosedur pembentukan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan pengujian
Undang-Undang secara materil memeriksa apakah materi muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945.
2. Memutus Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara
Hak dan kekuasaan ini selengkapnya dirumuskan dalam Undang-Undang
Dasar,

yakni

memutus sengketa

kewenangan

lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dari rumusan tersebut


dapat dijelaskan bahwa sengketa lembaga negara yang menjadi kompetisi
Makamah Konstitusi adalah sengketa yang lain. Dan lembaga negara yang diatur
dan ditentukan kewenangannya melalui Undang-Undang Dasar.
Adanya kewenangan Mahkamah

Konstitusi memutus sengketa

kewenangan lembaga negara adalah untuk menyelesaikan perselisihan hukum atas


suatu kewenangan lembaga negara. Artinya, esensi kewenangan konstitusional
Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan negara dalam
perimbangan kekuasaan lembaga negara merupakan suatu fungsi kontrol dari
badan peradilan terhadap penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga negara yaitu
dengan menempatkan kekuasaan yang menjadi kewenangan lembaga negara
Universitas Sumatera Utara

54

sesuai proporsi atau ruang lingkup kekuasaan yang diatur menurut UndangUndang Dasar 1945.72
Jika dirinci, lembaga-lembaga yang disebut dalam Undang-Undang Dasar
1945 hasil perubahan diantaranya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan
Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Selain itu ada
komisi pemilihan umum dan bank sentral dan TNI-Polri serta pemerintah daerah.
Kecuali bank sentral, seluruh lembaga lainnya diatur kewenangannya dalam
Undang-Undang Dasar.
Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak ada penegasan dan
penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
dalam Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 hanya mengatur
bahwa pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar RI yang mempunyai kepentingan langsung terhadap
kewenangan yang dipersengketakan. Sedangkan dalam pasal lainnya dinyatakan
bahwa Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan
lembaga negara pada Mahkamah Konstitusi (Pasal 65). Tampaknya, mengenai hal
ini, undang-undang memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menafsirkan apa
dan siapa lembaga negara yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi.
Didit Hariadi Estiko menyatakan penggunaan penafsiran konstitusi yang
berbeda terhadap hal itu dapat berakibat pada perbedaan penentuan lembaga
negara yang dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara.
3. Memutus Pembubaran Partai Politik

72

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Op.Cit, hal. 36-37.

Universitas Sumatera Utara

55

Kewenangan lain Mahkamah Konstitusi

adalah membubarkan partai

politik. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak dirumuskan syarat atau


larangan apa yang mengakibatkan partai politik dibubarkan. Ini berbeda dengan
konstitusi Jerman (Basic aw for the Federal Republic of Germany) dengan Pasal
21 Ayat (2)-nya menyatakan antara lain bahwa partai politik

(parpol) yang

berdasarkan tujuan-tujuannya atau tingkah laku yang berkaitan dengan


kesetiaannya mengganggu (menghadapi/mengurangi) atau menghilangkan tata
dasar demokrasi yang bebas atau mengancam kelangsungan negara Republik
Federal Jerman (RFJ) harus dinyatakan inkonstitusional oleh Pengadilan
(Mahkamah) Konstitusi Federal (Federal Constitutional Court)73.
Alasan pembubaran partai politik dapat ditemukan secara implisit dari
Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, yakni berkaitan dengan
ideologi, asas tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan pihak yang menjadi
pemohon adalah pemerintah. Adapun pelaksanaan partai politik di Indonesia
dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada pemerintah dan proses
pemeriksaan permohonan pembubaran partai politik wajib diputus paling lambat
60 hari kerja (Pasal 71 dan 73 Ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004).
4. Memutus Perselisihan Hasil Pemilu
Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, hasil
suara yang telah telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat
diperkarakan melalui Mahkamah Konstitusi. Perkara yang dimohon itu berkenaan

73 Di Jerman ada dua partai yang dibekukan dengan aturan ini, yakni Socialist Reich
Party dan Communist Party of Germany. Lihat ulasan lengkapnya dalam Satya Arinanto,
Tuntutan Pembubaran Partai Politik, artikel, harian Kompas edisi Senin, 12 Februari 2001, hal.
7.
Universitas Sumatera Utara

56

dengan terjadinya kesalahan hasil penghitungan suara yang dilakukan Komisi


Pemilihan Umum. Dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi ditentukan
bahwa yang dapat dimohonkan pembatalannya adalah penetapan hasil pemilu
yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)

yang

mempengaruhi :
(i)

Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah,

(ii)

Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan


presiden dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan calon presiden dan
wakil presiden, serta

(iii) Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah
pemilihan (Pasal 74 Ayat 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003).
Sedangkan permohonan adalah (a) perorangan warga negara Indonesia
(WNI) calon anggota Dewan Perwakilan Daerah; (b) pasangan calon presiden dan
wakil presiden serta pemilihan umum presiden dan wakil presiden; serta (c) partai
politik peserta pemilihan umum (Pasal 74 Ayat 1 Undang-Undang No. 24 Tahun
2004).
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dijelaskan bahwa pihak yang bisa
menjadi pemohon dalam pemilu presiden adalah pasangan calon presiden-wakil
presiden yang ditetapkan masuk putaran kedua serta terpilihnya presiden-wakil
presiden. Sedangkan pasangan calon yang tidak meraih suara signifikan yang
dapat mempengaruhi lolos tindaknya suatu pasangan ke putaran kedua, atau
terpilih menjadi presiden - wakil presiden, tidak diperkenankan sebagai pemohon
atau memiliki Legal Standing yang kuat.

Universitas Sumatera Utara

57

Di sini lain, dalam pemilu Legislatif, pihak yang menjadi pemohon adalah
hanya partai politik peserta pemilu. Dalam hal ini permohonan perkara hanya
dapat diajukan melalui pengurus pusat partai politik. Anggota partai dan pengurus
wilayah atau cabang tidak dapat mengajukan serta perkara perselisihan hasil
pemilu.
5. Memutus Dugaan Pelanggaran Presiden dan/atau wakil presiden
Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi ini merupakan
refleksi proses pemberhentian (impeachment) terhadap presiden yang sebelumnya
hanya berdasarkan mekanisme dan pertimbangan partai. Penempatan peran
Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar dalam proses pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden terdapat pertimbangan-pertimbangan hukum.
Sesuai ketentuan Pasal 7B Ayat 1-5, Mahkamah Konstitusi berkewajiban
untuk dugaan Dewan Perwakilan Rakyat atas pelanggaran hukum berupa (1)
pengkhianatan terhadap negara, (2) korupsi, (3) penyuapan, (4) tindak pidana
berat lainnya, (5) perbuatan tercela, serta (6) tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden dan/atau wakil presiden. Usul pemberhentian berdasarkan alasan-alasan
tersebut dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat
dalam hal ini harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan atau pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut.
Mahkamah Konstitusi wajib menyelesaikan perkara ini dalam waktu 90
hari. Karena kewenangan ini menjadi suatu hal yang diwajibkan, apabila hakim
konstitusi dengan sengaja menghambat pelaksanaan kewenangan dapat
diberhentikan (Pasal 23 Ayat 2e Undang-Undang Mahkamah Konstitusi).
Universitas Sumatera Utara

58

Selanjutnya bila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau


wakil presiden bersalah, Dewan Perwakilan Rakyat meneruskan usul
pemberhentian kepada Majelis Perwakilan Rakyat.
Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak sampai
memutuskan apakah presiden dan/atau wakil presiden layak diberhentikan atau
tidak. Mahkamah Konstitusi hanya memberikan pertimbangan hukum dan
membuktikan benar tidaknya dugaan atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat.
Wewenang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden ada pada institusi
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Proses persidangan selanjutnya di Majelis
Perwakilan Rakyat yang akan menentukan kemudian apakah presiden dan/atau
wakil presiden yang sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi bisa
diberhentikan atau tidak.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai