Anda di halaman 1dari 18

Hepatitis

Studi Referat Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Ukrida

Pembimbing: dr. Agoes Kooshartoro Sp.PD-KKV

Disusun oleh:
Sugiharto Saputra / 112014227

Rumah Sakit Simpangan Depok


Depok

BAB I
PENDAHULUAN
Hepatitis adalah peradangan yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh infeksi atau toksin termasuk alkohol. Infeksi virus hepatitis merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia. dari berbagai penelitian yang ada,
frekuensi pengidap hepatitis berkisar antara 3-20%. Penelitian dari berbagai daerah di
Indonesia menunjukkan angka yang sangat bervariasi tergantung pada tingkat endemitas hepatitis di tiap-tiap daerah.1
Penyakit hepatitis A ditularkan melalui feses dan dapat sembuh sendiri. Hepatitis B dan C adalah penyakit yang ditularkan secara parenteral dan sering menjadi
menahun dan berakibat fatal. Saat ini ada berbagai macam tipe Hepatitis yang disebabkan oleh berbagai macam virus. Diantaranya virus hepatitis A,B,C,D dan E. Hepatitis B dan C mrupakan infeksi kronik yang mudah ditularkan dari orang ke orang
melalui parenteral, hubungan seksual, dan juga ibu hamil menular ke bayi yang
dikandungnya. Kerusakan sel hati selain disebabkan oleh virus, juga dapat disebabkan oleh obat-obatan, contohnya pemakaian obat dalam jangka waktu yang lama,
ataupun konsumsi alkohol dalam jumlah besar dan jangka waktu yang lama.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fungsi Organ Hati


Hati merupakan organ viseral terbesar dan terletak di bawah iga. Hati
merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh dan mempunyai banyak fungsi penting.
Tiga fungsi dasar hepar yaitu membentuk dan mensekresikan empedu ke dalam traktus intestinal, berperan pada banyak metabolisme yang berhubungan dengan karbohidrat,lemak, dan protein dan menyaring darah untuk membuang bakteri dan benda
asing yang masuk ke dalam darah dari lumen intestinum. Hati menerima darah
2

teroksigenasi dari arteri hepatika dan darah yang tidak teroksigenasi tetapi kaya akan
nutrien dari vena portal hepatika. Hati terbagi menjadi lobus kanan dan lobus kiri.3
Fungsi utama hati adalah sebagai berikut :
1. Sekresi. Memproduksi empedu yang berperan dalam emulsifikasi dan absorbsi lemak
2. Metabolisme. Hati memetabolisme protein,lemak, dan karbohidrat tercerna
3. Hati menyimpan mineral, seperti zat besi dan tembaga serta vitamin larut
lemak (A,D,E, dan K) dan hati menyimpan toksin tertentu serta obat yang tidak
dapat diuraikan dan diekskresikan
4. Detoksifikasi. Hati melakukan inaktivasi hormon dan detoksifikasi toksin
dan obat, hati memfagositosis eritrosit dan zat asing yang tidak terintegrasi dalam
darah
5. Produksi panas. Berbagai aktivasi kimia dalam hati menjadikan hati sebagai
sumber utama panas tubuh, terutama saat tidur
6. Penyimpanan darah. Hati merupakan reservoar untuk sekitar 30% curah
jantung dan bersama dengan limpa mengatur volume darah yang diperlukan
tubuh.3
Hepatitis Virus Akut
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari infeksi asimtomatik tanpa kuning sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang dapt
menimbulkan kematian hanya dalam beberapa hari. Gejala hepatitis akut terbagi
dalam 4 tahap yaitu :
Fase inkubasi. Merupakan waktu antara masuknya virus sampai timbulnya gejala ikterus. Waktu yang dibutuhkan dalam fase ini berbeda-beda untuk setiap virus
hepatitis. Panjang fase ini bergantung pada jumlah virus yang ditularkan dan jalur
penularannya. Semakin besar jumlah virus yang ditularkan semakin pendek fase
inkubasinya
Fase Prodromal (pra ikterik). Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan dan
timbulnya ikterus. Ditandai dengan malaise, mialgia, atralgia, mudah lelah, gejala
3

saluran napas atas dan anoreksia. Mual, muntah, dan anoreksia berhubungan dengan
perubahan pengidu dan rasa kecap. Diare dan konstipasi juga dapat terjadi. Demam
yang tidak terlalu tinggi dapat terjadi pada hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya
ringan dan menetap di kuadran atas atau di epigastrium.
Fase Ikterus. Fase muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul
bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus, setelah timbulnya ikterik
biasanya disertai dengan perbaikan gejala klinis yang nyata.
Fase konvalesen (penyembuhan). Diawali dengan menghilangnya ikterus dan
keluhan lain, tetapi hepatomegali tetap ada. Keadaan akut biasanya membaik dalam
2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis dan laboratorium lengkap terjadi dalam
9 minggu dan 16 minggu untuk hepatitis B

Hepatitis A
Penyakit hepatitis A disebabkan oleh Virus Hepatitis A yang masuk dalam golongan picornavirus, subklasifikasi sebagai hepatovirus. Mempunyai diameter 27-28
nm dengan bentuk kubus simetrik, untai tunggal (single stranded), molekul DNA linier. Pada manusia virus hepatitis A terdiri atas satu serotipe, tiga atau lebih genotipe.
Virus ini berreplikasi di sitoplasma hepatosit yang terinfeksi.4
Di Indonesia berdasarkan data dari rumah sait, hepatitis A merupakan kasus
hepatitis akut terbesar yang dirawat yaitu berkisar 39,8-68,3%. Peningkatan prevalensi anti HAV yang berhubungan dengan umur mulai terjadi dan lebih nyata di daerah
degan kondisi kesehatan yang rendah. Lebih dari 75% anak dari berbagai benua Asia,
Afrika, India, menunjukkan sudah memiliki anti HAV pada usia 5 tahun. Sebagian
besar infeksi HAV didapat pada awal kehidupan, kebanyakan asimtomatik atau sekurangnya anikterik.
Penyebaran virus hepatitis A terjadi secara fekal-oral, baik berupa kontak lansung atau melalui makanan/minuman yang terkontaminasi. Tidak terbukti adanya
penularan secara perinatal (ibu ke janin) pada penyakit ini.
Virus hepatitis A memiliki masa inkubasi kurang lebih 4 minggu. Replikasi
virus didominasi terjadi pada hepatosit, meski virus hepatitis A dapat ditemukan pada
4

empedu, feses, dan darah. Anti-gen VAH dapat ditemukan pada feses pada 1-2 minggu sebelum dan 1 minggu setelah awitan penyakit.
Fase akut penyakit ditandai dengan peningkatan kadar aminotransferase serum,
ditemukan antibodi IgM anti-VAH, dan munculnya gejala klinis. Kadar IgM antiVAH umumnya bertahan kurang dari 6 bulan, yang kemudian digantikan oleh IgG
anti-VAH yang akan bertahan seumur hidup. Infeksi VAH akan sembuh secara spontan, dan tidak pernah menjadi kronis.
Pemeriksaan penunjang untuk hepatitis A adalah serologi hepatitis A. IgM antiVHA positif menandakan infeksi hepatitis A akut, IgG anti-VHA positif menandakan
pernah terinfeksi hepatitis A. Selain dari serologi dapat dilakukan biokimia hati, pada
hepatitis A kadar ALT umumnya jauh tinggi dibandingkan kadar AST pada fase ikterik. Kadar bilirubin umumnya >2,5mg/dL apabila ditemukan klinis ikterik pada
sklera atau kulit. Kadar bilirubin jarang >10 mg/dL, kecuali bila ada penyakit penyerta kolestasis. Waktu protombin (PT) umumnya normal atau memanjang 1-3 detik.
Peningkatan PT yang signifikan menunjukkan nekrosis hepatoselular yang ekstensif
dan prognosis yang lebih buruk.
Sebagian besar kasus hepatitis A dapat sembuh dengan sendirinya dan terapi
umumnya bersifat suportif. Terapi farmakologis, berupa pemberian analgesik,
antiemetik, maupun antipruritus. Terapi nonfarmakologis berupa pemberian asupan
kalori dan cairan secara adekuat, tidak dibutuhkan larangan diet yang spesifik. Pada
fase akut, sebaikna pasien diistirahatkan total di tempat tidur dan kembali beraktivitas
setidaknya setelah 10 hari dari ikterik.
Indikasi untuk rawat inap jika pasien dengan gejala klinis berat yaitu muntah
hebat sehingga asupan makanan tidak optimal, dehidrasi yang memerlukan pemberian cairan intravena.
Pencegahan dapat dilakukan dengan

menghindari kontak dengan pasien,

meningkatkan higenitas individu. Vaksinasi hepatitis A berupa injeksi imunoglobulin


1mL I.M yang diulang setiap 6-18 bulan tergantung vaksin, dengan efektivitas yang
mencapai 80-100%. Vaksinasi diindikasikan bagi individu yang akan pergi ke daerah
endemis, vaksinasi diberikan 2 minggu sebelum keberangkatan. Pasien dengan
5

penyakit hati kronis yang dianggap masih memerlukan vaksin hepatitis A. Namun
efektivitas vaksinasi pada pasien dengan penyakit hati kronis lebih rendah.
Umumnya pasien akan membaik secara sempurna tanpa ada sekuel klinis. Sekitar 10-15% kasus dapat mengalami relaps dalam 6 bulan setelah fase akut selesai,
namun tidak ada potensi untuk menjadi kronis. Meski sangat jarang, risiko hepatitis
fulminan (gagal hati akut) ditemukan meningkat pada individu berusia >40 tahun
atau dengan penyakit penyerta. Gagal hati akut merupakan suatu kondisi penurunan
fungsi hati secara cepat dan masif, ditandai dengan perubahan status mental dan
koagulopati (INR>1,5) yang terjadi dalam 8 minggu setelah terinfeksi penyakit hati.
Hepatitis E
Merupakan hepatitis yang di transmisikan dan terjadi terutama di India, Asia,
Afrika dan pertengahan Amerika. Virus

ini dapat ditemukan di kotoran, cairan

empedu dan hati, dieksreksikan melalui kotoran manusia pada masa inkubasi. Respon imun baik IgM anti-HEV dan IgG anti-HEV dapat di ketahui segera setelah terjadi infeksi, dan akan mengalami penurunan dalam 9 12 bulan. Hepatitis ini
menyebar di India, Asia, Afrika dan Amerika tengah. Memiliki penyebaran yang
sama dengan hepatitis A yaitu melalui oral-fekal. Kasus yang paling sering terjadi
apabila sudah didapatkan kontaminasi pada persediaan air minum setelah terjadi banjir. Angka kejadian tinggi pada muda dewasa, dan mereka yang memiliki gangguan
kekebalan tubuh.
Masa inkubasi masing-masing hepatitis berbeda. Secara umum hepatitis A
memiliki masa inkubasi 15 45 hari ( 4 minggu), hepatitis B dan D masa inkubasi
30 180 hari ( 4 12 minggu), hepatitis C masa inkubasi 15 160 hari ( 7 minggu) dan hepatitis E masa inkubasi 14 60 hari ( 5 6 minggu). Gejala awal hepatitis bersifat umum dan bervariasi. Gangguan pencernaan seperti mual,muntah, lemah
badan, pusing, nyeri sendi dan otot, sakit kepala, mudah silau, nyeri tenggorok, batuk
dan pilek dapat timbul sebelum badan menjadi kuning selama 1 2 minggu. Demam
yang tidak terlalu tinggi antara 38,0 C 39,0 C lebih sering terjadi pada hepatitis A
dan E. Keluhan lain berupa air seni menjadi berwarna seperti air teh (pekat gelap)
dan warna feses menjadi pucat terjadi 1 5 hari sebelum badan menjadi kuning. Pada
6

saat timbul gejala utama yaitu badan dan mata menjadi kuning (kuning kenari), gejala-gejala awal tersebut biasanya menghilang, tetapi pada beberapa pasien dapat disertai kehilangan berat badan (2,5 5 kg), hal ini biasa dan dapat terus terjadi selama
proses ifeksi. Hati menjadi membesar dan nyeri sehingga keluhan dapat berupa nyeri
perut kanan atas, atau atas, terasa penuh di ulu hati. Terkadang keluhan berlanjut
menjadi tubuh bertambah kuning (kuning gelap) yang merupakan tanda adanya sumbatan pada saluran kandung empedu.

Hepatitis B
Virus hepatitis B merupakan virus DNA rantai ganda tidak komplit berbentuk
sirkuler, dan tergolong dalam famili hepadnaviridae. Virus Hepatitis B memiliki ukuran 40-42 nm (virus DNA terkecil) dan dapat diklasifikasikan menjadi genotipe A-J.
Di Indonesia genotipe VHB paling banyak ialah tipe B (55%), diikuti oleh tipe C
(26%), dan tipe D (7%). Berdasarkan analisis genomik virus hepatitis B telah diketahui berbagai produk protein dari virus hepatitis B yang terdiri atas selubung (HBsAg), protein nukleokapsid (HBcAg), protein nukleokapsid lainnya.
Menurut data WHO 2014, libel dari 240juta penduduk di dunia mengalami infeksi virus hepatitis B kronik, dan lebih dari 780.000 orang per tahun meninggal akibat komplikasi infeksi virus hepatitis B akut maupun kronik. Indonesia sendiri termasuk negara endemis virus hepatitis B.
Tingginya prevalensi tersebut sebagian besar diakibatkan oleh infeksi perinatal
dan sebagian kecil infeksi terjadi melalui kontak lansung cairan tubuh (darah dan
produk darah, saliva, cairan cerebrospinal, cairan peritoneum, cairan pleura, cairan
amnion, semen, cairan vagina, dan sebagainya.
Infeksi virus hepatitis B merupakan proses inamis yang melibatkan interaksi
antara virus, hepatosit dan sistem imun pasien. Infeksi virus hepatitis B pada orang
dewasa muda yang imunotoleran umumnya menyebabkan hepatitis B akut (>90%)
dan hanya 1 % yang menjadi infeksi kronis. Namun sebaliknya, 90% infeksi virus
hepatitis B secara perinatal akan menyebabkan bayi lahir dengan infeksi virus hepatitis B kronik yang bersifat asimtomatis di kemudian hari.
7

Masa inkubasi virus hepatitis B rata-rata 75 hari (30-180 hari). Pada kasus infeksi virus hepatitis B akut, penanda HBsAg serum baru dapat terdeteksi 30-70 hari
pasca infeksi virus hepatitis B. Kenaikan kadar HBsAg serum akan diikuti dengan
peningkatan enzim aminotransferase dan munculnya gejala klinis (ikterik) pada 2-6
minggu setelahnya. Penanda HBsAg jarang terdeteksi 1-2 bulan setelah ikterus terjadi dan jarang menetap hingga 6 bulan. Hepatitis B akut pada umumnya sembuh secara spontan dan membentuk antibodi secara alami, ditandai dengan anti -Hbs positif,
IgG anti HBc positif dan anti HBe-positif.
Pada kasus infeksi virus hepatitis B kronik, HBsAg ditemukan menetap minimal selama enam bulan. Hingga saat ini infeksi virus hepatitis B kronik tidak dapat
diatasi dengan sepenuhnya karena ada molekul convalenly closed circulation DNA
(cccDNA) yang permanen di dalam nukleus hepatosit terinfeksi. Selain itu, virus hepatitis B memiliki enzim reverse transciptase untuk replikasi sehingga untaian genom
VHB dapat menyatu dengan DNA hepatosit, yang kemudian berpotensi menyebabkan transformasi karsinogenik.
Pada infeksi hepatitis B akut terdiri dari 3 fase yaitu :
Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum fase ikterik). gejala konstitusional seperti
anoreksi, mual, muntah, malaise, keletihan, atralgia, mialgia, sakit kepala, fotofobia,
faringitis, dan batuk. Dapat disertai dengan demam yang tidak terlalu tinggi.
Fase ikterik. gejala prodromal berkurang namun ditemukan sklera ikterik dan
penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan hepatomegali yang disertai nyeri tekan di area kuadran kanan atas abdomen. Dapat ditemukan splenomegali,
gambaran kolestatik, hingga adenopati servikal. Hanya kurang dari 1% kasus hepatitis B akut yang menjadi gagal hati akut.
Fase perbaikan. gejala konstitusional menghilang, namun masih ditemukan hepatomegali dan absnormalitas pemeriksaan kimia hati
Hepatitis B kronik. memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi, mulai
dari asimtomatik, gejala hepatitis akut, hingga tanda-tanda sirosis dan gagal hati.

Pemeriksaan serologi hepatitis B

HBsAg

Anti-HBs

Anti-HBc

HBeAg

Anti-HBe

DNA-VHB

Hepatitis Akut

IgM

Periode Jendela

IgM

+ atau - + atau -

Riwayat Hepatitis B (Sembuh)

IgG

+ atau -

Imunisasi

Hepatitis Kronis HBeAg (+)

IgG

Hepatitis Kronis HBeAg (-)

IgG

+ atau -

Biokimia hati. Pemeriksaan ALT, AST, gamma-glutamly transpeptidase


(GGT), alkali fosfatase, bilirubin, albumin, globulin, serta pemeriksaan darah perifer
lengkap dan waktu protombin Umumnya akan ditemukan ALT yang lebih tinggi dari
AST, tetapi seiring berkembangnya penyakit menuju sirosis rasio tersebut akan
berbalik. Bila sirosis telah terbentuk, akan tampak penurunan progresif albumin, peningkatan globulin dan pemanjangan waktu protombin yang disertau dengan penurunan jumlah trombosit. USG dan biopsi hati untuk melihat derajat nekroinflamasi
dan fibrosis pada kasus infeksi kronis dan sirosis hati.
Diagnosis infeksi hepatitis B akut ditegakkan berdasarkan temuan serologis
HBsAg + dan IgM anti-HBc +. Untuk diagnosis infeksi hepatitis B kronik didapatkan
HBsAg positif >6 bulan, serum DNA VHB >20.000IU/mL, peningkatan ALT yang
persisten maupun intermiten, biopsi hati yang menunjukkan hepatitis kronis dengan
derajat nekroinflamasi sedang-berat.
Kriteria pengidap inaktif yaitu HBsAg positif >6 bulan, HBeAg - dan anti HBe
+, serum ALT dalam batas normal, DNA VHB <2000-20.000 IU/mL, biosi hati yang
tidak menunjukkan inflamasi yang dominan.

Penatalaksanaan hepatitis B akut umumnya bersifat suportif, meliputi tirah baring, serta menjaga agar asupan nutrisi dan cairan tetap adekuat. Sekitar 95% kasus
hepatitis B akut akan mengalami perbaikan spontan tanpa terapi antiviral. Bila terjadi
komplikasi hepatitis fulminan, maka dapat diberikan lamivudin 100-150 mg/hari
hingga 3 bulan setelah muncul HBe pada pasien HBsAg positif.
Penatalaksanaan hepatitis B kronik sampai saat ini hanya bersifat penekanan
dan stimulasi sistem imunitas, namun tidak menghilangkan VHB sehingga pasien
membutuhkan pengobatan jangka panjang, bahkan seumur hidup. Oleh sebab itu, tujuan terapi jangka panjang ialah meningkatkan kualitas hidup, mencegah progresi
penyakit siosis. Tujuan terapi jangka pendek ialah menekan replikasi virus, menurunkan jumlah DNA VHB, serta serokoversi HBeAg menjadi anti-HBe.
Pengobatan harus segera dimulai pada pasien dengan penyakit hati yang aktif
(ditandai dengan peningkatan ALT>2 nilai batas normal, dalam dua kali pengukuran
yang berbeda dengan selang waktu minimal 1 bulan), atau bila biopsi hati menunjukkan kerusakan yang signifikan. Berdasarkan konsesnsus Penghimpunan Peneliti
Hati Indonesia tahun 2012, algoritme terapi hepatitis B kronis dibagi menjadi dya:
kelompok pasien dengan HBeAg positif dan HBeAg negatif. Keduanya memiliki
perbedaan dalam hal perjalanan penyakit, prognosis, dan respon terapi. Pada kelompok HBeAg positif, terapi ditunjukan agar terjadi serokonservasi menjadi HBeAg
negatif dan pada kelompok HBeAg negatif, terapi diberikan hingga DNA-VHB tidak
terdeteksi lagi selama paling sedikit 2 kali pemeriksaan dalam selang waktu 6 bulan. 6
Pada pasien dengan HBeAg positif dengan DNA VHB <20000 IU/mL dan
memiliki ALT normal, tidak diberikan pengobatan tetapi tetap memantau DNA VHB,
HBeAg, dan ALT. Pada pasien dengan HBeAg positif , DNA VHB >20000 IU/mL
dan memiliki ALT normal atau 1-2x batas atas normal. Tidak diberikan pengobatan
tetapi memantau DNA VHB, HBeAg dan ALT. Dapat juga dipertimbangkan biosi hepar atau pemeriksaan fibrosis non invasif pada pasien >30 tahun atau <30 tahun dengan riwayat KHS atau sirosis dalam keluarga. Jika dengan ALT 2-5x batas atas normal, pengobatan diberikan bila kenaikan ALT menetap >3 bulan atau terdapat risiko
dekompensasi, beigut juga dengan pasien ALT >5x batas normal, terdapat indikasi
10

mulai terapi bila DNA VHB <200000 IU/mL dan tidak ada tanda dekompensasi bisa
dipantau 3-6 bulan untuk timbulnya serokonversi spontan HBeAg jika terapi mendapat respon yg baik pantau DNA VHB, HBeAg dan ALT 1-3 bulan setelah terapi, jika
tidak terdapat respon pertimbangkan strategi terapi lain.
Pada pasien dengan HBeAg negatif dengan DNA VHB <2000 IU/mL dan ALT
normal, tidak diberikan pengobatan, cukup pantau DNA VHB, HBeAg dan ALT. Jika
DNA VHB >2000 IU/mL dan ALT normal atau 1-2x batas atas normal, tidak
diberikan pengobatan, pantau DNA VHB, HBeAg dan ALT, tetapi tetap dipertimbangkan biopsi hepar atau pemberian fibrosis non invasif pada pasien dengan umur
>30 tahun atau <30 tahun dengan riwayat sirosis hati dalam keluarga. Jika ALT 2-5x
batas normal, pengobatan diberikan bila kenaikan ALT menetap >3 bulan atau terdapat resiko dekompensasi, jika respon terapi baik pantau DNA VHB, HBeAg dan ALT
1-3 bulan setelah terapi, tetapi jika tidak ada respon pertimbangkan strategi terapi
lain.
Modalitas terapi yang tersedia berupa pegylated-interferon (peg-IFN) dan analog nukelostida keduanya bekerja sebagai anti virus sekaligus imunomodulator, namun memiliki keunggulan dan efek samping yang berbeda-beda. Secara umum, pegIFN memiliki waktu pemberian yang pasti dan tidak menimbulan resistensi, namun
pemberian dilakukans ecara injeksi subkutan, memiliki banyak efek samping dan
kontraindikasi. Sebaliknya, analog nukelostida diberikan secara oral dengan efek
samping minimal, tetapi durasi terapi lebih panjang dan resiko resisten obat, termasuk resistensi silang. Kontraindikasi penggunaan peg-interferon antara lain, pskikosis
atau depresi tidak terkontrol, epilepsi, penyakit autoimun, sirosis dekompensata,
hamil, atau tidak ingin menggunakan kontrasepsi, sementara menyusu, infeksi berat,
hipertensi, gagal jantung, diabetes, PPOK yang tidak terkontrol serta akan menjalani
transplantasi organ kecuali transplantasi hati.
Pada prinsipnya pengobatan diberikan hingga tujuan terapi jangka pendek tercapai. Penghentian pengobatan yang tidak tepat dapat mengakibatkan terjadinya relaps virus dan hepatitis flare (peningkatan mendadak ALT >5x batas atas normal).
Pemberian interferon dilakukan dalam periode yang sudah dipastikan dan tidak ter11

gantung pada hasil pengobatan karena pengaruh imunologis dari interferon dapat
menetap setelah terapi dihentikan. Saat ini peg-interferon umumnya diberikan selama
12 bulan, baik untuk kasus HBeAg positif maupun HBeAg negatif. Sementara pemberian analog nukelostida, konsensus Asia Pasifik merekomendasikan penghentian
terapi pada kasus HBeAg negatif dan anti-Hbe positif bila kadar DNA VHB tidak
terdeteksi (dengan pemeriksaan PCR) selama 3 kali berturut-turut dengan selang 6
bulan.
Terapi pada perempuan hamil ditunda hingga trimester 3 untuk menghindari
transmisi perinatal. Agen terapi yang direkomendasikan ialah telbuvudin dan tenofovir (kategori keamanan tingkat B) sementara lamivudin, entekavir, dan adefovir
masuk dalam kategori keamanan kelas C. Penggunaan peg-interferon dikontraindikasikan pada kehamilan. Pencegahan transmisi perinatal dilakukan dengan
pemberian HBIg 0,5 mg pada fetus dalam 12 jam setelah lahir yang dikombinasi
dengan 3 dosis vaksinasi hepatitis B. Perempuan yang sedang menjalani terapi hepatitis B sebaiknya tidak menyusui. Terapi pada petugas kesehatan menggunakan antiviral jika HBsAg positif dan kadar DNA VHB >2000 IU/mL. Selain itu direkomendasikan agar diberikan antiviral dengan potensi resistensi yang rendah, seperti entecavir dan tenofovir, untuk mencegah transmisi VHB melalui prosedur medis.7
Pada individu yang tidak divaksinasi dan terpajan hepatitis B, segera diberikan
kombinasi HBIg (untuk mencapai kadar anti HB-s yang tinggi dalam waktu singkat),
dan vaksinasi hepatitis B
Insiden kumulatif 5 tahun dari saat terdiagnosis hepatitis b kronis menjadi sirosis hati ialah 8-20% dan insiden kumulatif 5 tahun dari sirosis kopensata menjadi
sirosis dekompensata pada hepatitis B kronis yag tidak diobati ialah 20%. Pada sirosis dekompensata tersebut, angka survival dalam 5 tahun hanya berkisar 14-35%.
Hepatitis C
Virus hepatitis C merupkana virus RNA rantai tunggal, sferis, dengan selubung
glikoprotein yang tergabung dalam famili Flaviviridae dan genus Hepatcivirus. Protein pada selubungnya akan membantu terbentuknya antibodi anti-VHC. Target utama virus hepatitis C adalah hepatosit namun dapat menginfeksi leukosti, limfosit T,
12

limfosit B dan limpa. Virus hepatitis C lanjut dapat dikategorikan menjadi enam
genotipe berbda dan lebih dari 50 subtipe. Enam genotipe tersebut juga memiliki distribusi geografis yang berbeda, genotipe 6 merupakan yang paling dominan di
wilayah Asia Tenggara. Meski belum menjadi pemeriksaan rutin, identifikasi
genotipe virus hepatitis C tersebut memiliki signifikansi terhadap rekomendasi regimen terapi yang diberikan.
Sekitar 80% infeksi virus hepatitis C mengakibatkan hepatitis C kronik, sementara 20% sisanya berupa infeksi akut atau sembuh spontan. Masa inkubasi VHC
rata-rata 50 hari (14-180 hari), meski RNA VHC mulai dapat terdeteksi pada 7-10
hari setelah infeksi terjadi dan anti-VHC dapat terdeteksi 2-8 minggu setelah terjadi
paparan. Pada kasus hepatitis akut, RNA VHC masih dapat terdeteksi selama 12
minggu pertama, yang kemudian akan menurun secara signifikan hingga terjadi
penyembuhan penyakit secara spontan. Hanya 50% pasien hepatitis C akut yang
memiliki anti VHC positif.
Namun pada kasus hepatitis C kronis, RNA VHC masih terdeteksi selama 6
bulan. Sekitar 95% kasus juga memiliki nilai anti-VHC positif. Faktor penentu suatu
infeksi VHC menjadi hepatitis akut atau kronis belum diketahui dengan pasti. Namun
penyembuhan spontan lebih sering ditemukan pada pasien simptomatis, perempuan,
serta VHC genotipe 3. Pada hepatitis C kronis, adanya peningkatan transaminase
serum menandakan terjadinya kerusakan hati secara progresif, meski kerusakan juga
dapat terjadi pada kadar ALT normal.
Hepatitis C akut, pada 80% kasus bersifat simtomatis. Terdapat 3 fase pada hepatitis C akut yaitu :
Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum iketrik). Gejala prodromal berupa
anoreksia, mual dan muntah, kelemahan, malaise, artralgia, mialgia, demam, sakit
kepala, fotofobia, faringitis, serta batuk dan flu. Satu hingga 5 hari sebelum kuning
dapat muncul warna urin yang lebih gelap dan feses bewarna pucat.
Fase ikterik. Ikterus sering disertai dengan hepatomegali dan nyeri di kuadran
kanan atas. Gambaran klinis hepatitis virus akut pada umumnya tidak berbeda jauh,
kecuali durasi keluhan pasca ikterik lebih panjang pada hepatitis B dan C akut.
13

Fase perbaikan. Perbaikan klinis hingga tidak ada keluhan klinis lagi pada penderita hepatitis C akut.
Hepatitis C kronik. Umumnya asimtomatik, dapat juga berupa gejalatidak spesifik seperti malaise dan keletihan. Pada kondisi lanjut, dapat ditemui tanda, gejala,
serta komplikasi sirosis hati yang mudah dikenali : edema ekstremitas, asites, hematemesis-melena, perubahan status mental.
Pemeriksaan penunjang merupakan salah satu cara untuk mendiagnosis hepatitis C. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah penanda serologis hepatitis C
(metode ELISA atau chemiluminescent immunoassay [CLIA]). Jika didapatkan antiHVC positif, maka individu dinyatakan terinfeksi HCV dan perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan RNA VHC. Pemeriksaan RNA VHC sebaiknya dilakukan dengan
metode realtime PCR. Biokimia hati. Pemeriksaan ALT,AST, gamma glutamyl
transpeptidase (GGT), alkali fosfatase, bilirubin, albumin, globulin, serta pemeriksaan darah perifer lengkap dan waktu protombin. USG dan biopsi hati untuk menilai
nekroinflamasi dan fibrosis pada kasus infeksi kronis dan sirosis hati
Untuk mendiagnosis infeksi hepatitis C akut, ditemukan

serokonversi anti-

VHC pada pasien yang sebelumnya telah diketajui anti-VHC negatif. Pada pasien
dengan ikterik dan serum ALT >10x nilai batas normal, tanpa adanya riwayat penyakit hati kronis atau penyebab lain hepatitis akut, dan/atau sumber

dapat diidenti-

fikasi.Diagnosis infeksi hepatitis C kronis dengan menemukan Anti-VHC dan RNA


VHC tetap terdeteksi lebih dari 6 bulan sejak terinfeksi dengan gejala-gejala penyakit
hati kronis.Pada hepatitis kronis, titer anti-VHC dan RNA VHC positif tidak membedakan kasus hepatitis C akut dengan eksaserbasi hepatitis C kronis atau hepatitis akut
dari penyebab lainnya pada pasien dengan hepatitis C kronik.
Sebelum pemberian terapi harus mengkaji beberapa hal yaitu mencari penyebab lain dari penyakit hati kronis: koinfeksi VHB dan HIV. penyakit hati alkoholik,
penyakit hati non-alkoholik, maupun autoimun, menilai derajat keparahan penyakit
hati kronis, termasuk kemungkinan terjadinya karsinoma hepatoselular dengan
menggunakan USG atau biopsi hati.

14

Tujuan hepatitis C ialah mencegah komplikasi penyakit hati fibrosis, sirosis


hingga kematian. Sementara target dari terapi antivirus ditujukan untuk mencapai
sustained viral response (SVR), yakni tidak terdeteksinya RNA VHC (<50 IU/mL)
selama 24 minggu pascaterapi antivirus. Oleh sebab itu, diperlukan pemeriksaan
RNA VHC secara berkala. Regimen standar (terutama untuk genotipe 1 dan 4) ialah
peg-interferon alfa kerja panjang yang dikombinasikan dengan ribavirin. Peg-INF
alfa dapat berupa peg-iNF-alfa-2a (dosis 180 ug/minggu SK) atau peg-INF alfa-2b
(dosis 1.5 ug/KgBB/minggu SK), sementara ribavirin diberikan dengan dosis
1000mg/hari P.O. (untuk BB<75kg) atau 1200mg/hari PO (untuk BB>75kg). Konsensus PPHI tahun 2014 merekomendasikan pemberian kombinasi peg-INF-alfa dan
ribavirin tersebut selama 24 minggu untuk VHC genotipe 2 atau 3. Sebelum terapi
antivirus, sangat penting untuk memastikan tidak ada kontraindikasi pemberian pegINF alfa dan ribavirin.8
Khusus pada infeksi VHC genotipe 1, terapi Ribavirin dan peg-IFN alfa perlu
dikombinasi dengan Boceprevir atau Teleprevir (disebut sebagai Tripel terapi). Tripel
terapi dengan boceprevir direkomendasikan selama 28-48 minggu, sementara tripel
terapi dengan teleprevir direkomendasikan selama 24-48 minggu (telaprevir
diberikan hanya 12 minggu).
Pada hepatitis C akut terapi dapat ditunda sampai 8-16 minggu untuk menunggu terjadinya reaksi spontan, terutama pada hepatitis C akut yang simtomatis, kecuali
pada pasien dengan genotip IL28B non CC yang dapat diterapi sejak 12 minggu
karena kemungkinan untuk sembuh spontan lebih rendah. Durasi terapi pada VHC
genotipe 1 dilanjutkan selama 24 minggu dan pada genotipe 2 atau 3 dilanjutkan selama 12 minggu. Regimen terapi hepatitis C akut adalah monoterapi dengan peg0INF
alfa selama 24 minggu. Dosis peg-INF alfa - 2a adalah 1,5 ug/minggu SK. Umumnya
eradikasi virus dapat dicapai hingga >90%. Bila gagal, pasien dimasukan dalam terapi hepatitis C kronis.8
Pada dual terapi, pemeriksaan RNA, pemeriksaan RNA VHC dilakukan pada
awal terapi, minggu ke-4,12,24, akhir terapi antivirus, dan 24 minggu setelah terapi
15

dihentikan. Pada tripel terapi menggunakan boceprevir, RNA VHC dinilai pada awal
terapi, minggu ke-4, 8, 12, 24, akhir terapi, dan 24 minggu setelah terapi dihentikan.
Penilaian efek samping harus selalu dilakukan setiap kali kontrol. Keluhan yang sering muncul berupa flu-like symptoms, fatigue, sakit kepala, demam. Beberapa pasien
juga mengeluhkan iritabilitas, imsonia dan depresi.
Pemeriksaan darah untuk melihat keberadaan anemia, trombositopenia, neutropenia dan peningkatan ALT dinilai pada minggu ke-1, 2, dan 4 sejak awal terapi
dan selanjutnya diulang dengan interval setiap 408 minggu. Terapi dengan peg-IFN
alfa dihentikan bila jumlah neutrofil absolut <500/mm3 dan jumlah trombosit
<25000/mm3. Bila Hb <10g/dL, terapi diturunkan 200mg dan dilakukan penyesuaian
dosis. Bila kadar Hb<8.5g/dL terapi ribavirin dihentikan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan skrining darah dan produk darah, pencegahan universal terhadap pasien infeksi VHC, serta menghindari pengunaan alat
cukur, sikat gigi, atau gunting kuku bersama dengan pasien hepatitis C. Tidak ada
pencegahan khusus pada bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis C. Begitupun dengan pemberian ASI yang tidak dibatasi.
Sekitar 10-20% pasien hepatitis C akan mengalami sirosis dalam 20 tahun dan
setidaknya 1-5% kasus sirosis dengan hepatitis C akan berkembang menjadi karsinoma hepatoselular.
Prognosis
Secara keseluruhan hampir seluruh pasien yang pada awalnya sehat dan terinfeksi hepatitis A akan mengalami penyembuhan secara penuh tanpa adanya efek
samping. Hampir sama pada hepatitis B, 95 99% pasien akan mengalami penyembuhan secara penuh. Penderita dengan penyakit pemberat sebelumnya, usia lanjut
lebih cenderung akan mengalami hepatitis yang berat. Gejala tambahan yang dapat
timbul berupa cairan berlebih pada rongga perut (asites), bengkak anggota gerak, dan
kerusakan otak, dan ini prognosis tidak akan terlalu baik. Beberapa petanda yang dapat menunjukkan adanya kerusakan hati yang berat adalalah rendahnya kadar serum
albumin, hipoglikemia dan tingginya kadar bilirubin. Penderita-penderita ini memerlukan perawatan rumah sakit. Angka kematian hepatitis A dan B berkisar 0,1% tetapi
16

meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Hepatitis C memiliki angka kematian


yang lebih rendah lagi. Pada kasus infeksi yang luas hepatitis E (India) angka kematian hanya mencapai angka 1 2 % saja. Angka kematian tinggi pada penderita dengan gangguan sistem kekebalan tubuh mencapai angka 5%.

BAB III
Penutup
Hepatitis virus akut merupakan penyakit infeksi yang penyebarannya luas
dalam tubuh walaupun efek yang menyolok terjadi pada hepar. Telah ditemukan 5
kategori virus yang menjadi agen penyebab yaitu Virus Hepatitis A (HAV), Virus Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C (HVC), Virus Hepatitis D (HDV), Virus Hepatitis
E (HEV). Walaupun kelima agen ini dapat dibedakan melalui petanda antigeniknya,
tetapi kesemuanya memberikan gambaran klinis yang mirip, yang dapat bervariasi
darI keadaan sub klinis tanpa gejala hingga keadaan infeksi akut yang total.
Pengobatan hepatitis akut dan kronik pada dewasa, mengalami perubahan dan
kemajuan yang pesat sehingga harus senantiasa dicermati perubahannya agar dapat
memberi pelayanan yang terbaik pada pasien dengan hepatitis kronik.

17

Daftar Pustaka
1. Sermoharjo, Soewignjo. Buku Hepatitis Virus. ed 2. Jakarta; 2008
2. Lavancy D. WHO. Communicable Disease Surveillance, 20 Avenue Appia,
CH - 1211. Switzerland. 2005
3. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004.h.240-47
4. Sanityoso A.Buku ajar ilmu penyakit dalam : hepatitis virus akut. Ed 2.
Jakarta;2009. h. 644-53
5. Tanto C, Liwang f, Hanifati S, Pradipta e. Kapita selekta kedokteran. ed IV.
Jakarta;2014.h 681-93
6. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI). Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis B di Indonesia. Jakarta:PPHI;2012.
7. Dunkelberg JC, Berkley EM, Thiel KW, Leslie KK. Hepatitis B and C in
pregnancy: a review and recommendations for care. J preinatal.2014
8. Penghimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI). Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis C di Indonesia. Jakarta:PPHI:2014

18

Anda mungkin juga menyukai