PENDAHULUAN
Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia
sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus
baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu
terbesar dalam kelompok penyakit infeksi 3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata
waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan
kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga
memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh masyarakat 3.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara
negara yang sedang berkembang.
Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
o Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
o Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar, dan sebagainya).
o Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat
yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
o Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
o Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
Dampak pandemi HIV 3.
Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan
banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22
negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun
1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency)3.
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB.
Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang
sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin
menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya
akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani 3.
mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada
bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat
predileksi penyakit tuberkulosis 2.
2. Status Gizi.
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain, akan
mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB
Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang
dewasa maupun anak-anak 5.
3. Umur.
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia produktif (15 50)
tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia
menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun,
sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru 5.
4. Jenis Kelamin.
Penyakit TB Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan
perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuanyang
meninggal akibat TB Paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum lebih banyak terjadi kematian
yang disebabkan oleh TB Paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan.
Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum
alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar
dengan agen penyebab TBParu 5.
Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin
negatif menjadi positif 3.
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai satu unit
yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih besar cenderung lebih
tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah
berada di ruang alveolus, biasanya bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus
bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak
pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari hari pertama, leukosit digantikan oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan
mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut 1.
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang
tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di
dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening dan menuju kelenjar getah bening regional.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya
membutuhkan waktu 10 20 hari 1.
Bila kuman menetap dalam jaringan paru, ia akan berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Dari sini ia dapat menuju ke organ - organ lainnya. Sarang tuberkulosis primer
disebut fokus ghon yang dapat terjadi di setiap jaringan paru, dan kalau menjalar sampai ke
pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal,
jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ
seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke
seluruh jaringan paru menjadi TB millier 2.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hillus
( limfangitis lokal ), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus (limfadenitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal + Limfadenitis regional =
Kompleks primer ( Ranke ). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer
ini selanjutnya dapat menjadi:
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis fibrotik. Kalsifikasi di
hilus, keadaan ini terdapat pada pneumonia yang luasnya
> 5 mm dan 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant.
Perkontinuitatum ( ke sekitarnya )
Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan ataupun pada paru disebelahnya.
Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.
Sarang yang mula mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang
dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat di
sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk
jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula
mula berdinding tipis, lama lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan
fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik ( kronik ). Terjadinya
perkejuan dan kavitas adalah akibat hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim
yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya.
Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada
imunodefisiensi dan usia lanjut 2.
Kavitas dapat mengalami :
Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas masuk dalam
pembuluh darah arteri akan terjadi TB millier.
Menyembuh dan bersih ( open healed cavity ). Kadang kadang berakhir sebagai kavitas
yang terbungkus, menciut dan berbentuk sebagai bintang
( stellate shape ) 2 .
Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang ini dapat sembuh spontan, tapi
mengingat risiko terjadi eksaserbasi, maka sebaiknya diberikan pengobatan sempurna
2
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan
radiologi menunjukkan tuberkulosis paru.
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan MTB positif 6.
Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
Kasus kambuh
Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif
tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis
maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan:
TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani
kasus tuberkulosis.
Pasien dengan BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
Kasus khronik
Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang
dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi
paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan
lebih mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapatkan OAT 2 bulan
serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambar radiologi 6.
Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan segmen
posterior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
Fibrotik
Kalsifikasi
Luas lesi yang tampak pada foto thorax untuk kepentingan pengobatan dinyatakan sebagai
berikut (terutama pada kasus BTA negatif):
Lesi minimal
Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela
iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua
depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5,
serta tidak dijumpai kaviti.
Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal 6.
Kasus kambuh
Multi-Drugs Resistant TB 2.
Di Indonesia, klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis dan
mikrobiologis:
TB paru
Bekas TB paru
TB paru tersangka yang diobati. Dengan sputum BTA negatif, tetapi tanda tanda lain
positif
TB paru tersangka yang tidak diobati. Dengan sputum BTA negatif dan tanda tanda lain
juga meragukan
Dalam 2 3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk TB paru
( aktif ) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan:
Status bakteriologi
Pada tahun 1974, American Thoracic Society memberi klasifikasi baru yang diambil berdasarkan
aspek kesehatan masyarakat:
ke dalam kulit individu yang limfositnya sensitif terhadap tuberkuloprotein maka limfosit yang
sensitif akan mengadakan reaksi dan menarik makrofag ke daerah tersebut 1.
permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan
nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat dan cermat 1.
Bila ditakutkan terjadi reaksi hebat dengan 5 TU, dapat diberikan dulu 1 atau 2 TU ( first
strength ). Bila dengan 5 TU memberikan hasil negatif, dapat diulang dengan 250 TU ( second
strength ). Bila dengan 250 TU masih memberikan hasil negatif, berarti TB dapat disingkirkan
.
48 72 jam setelah penyuntikkan dan reaksi harus dibaca dalam rentang waktu tersebut, yaitu
dalam cahaya yang terang, dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Yang harus dicatat dari
reaksi ini adalah diameter indurasi dalam satuan milimeter, pengukuran harus dilakukan
melintang terhadap sumbu panjang lengan bawah (seperti yang tampak pada Gambar 3) 1.
Hanya indurasi ( pembengkakan yang teraba ) dan bukan eritema yang bernilai. Indurasi
dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi ( meraba daerah tersebut dengan jari tangan ).
Tidak ada indurasi sebaiknya dicatat sebagai 0 mm dan bukan negatif. Indurasi terdiri dari
infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin 1.
Orang dengan perubahan fibrotik pada radiografi dada yang sesuai dengan
gambaran TB lama yang sudah sembuh.
Penduduk dan bekerja yang berkumpul pada lingkungan yang berisiko tinggi :
Orang dengan keadaan klinis pada daerah mereka yang berisiko tinggi
Anak di bawah usia 4 tahun atau anak anak dan remaja yang terpajan orang
keefektifan tes anergi. Karena alasan ini, CDC ( 2000 ) tidak lagi menyarankan tes anergi untuk
penapisan rutin TB diantara orang orang yang menderita HIV positif di Amerika Serikat 1.
II.9.3. Vaksinasi Bacille Calmette-Gurin ( BCG )
Vaksinasi BCG, satu bentuk strain hidup basil TB sapi yang dilemahkan
adlah jenis vaksin yang paling banyak digunakan di berbagai negara. Pada vaksinasi
BCG, organisme ini disuntikkan ke kulit untuk membentuk fokus primer yang berdinding,
berkapur dan berbatas tegas. Bacille Calmette-Gurin tetap berkemampuan untuk meningkatkan
resistensi imunologis pada hewan dan manusia. Infeksi primer dengan BCG memiliki
keuntungan daripada infeksi dengan organisme virulen karena tidak menimbulkan penyakit pada
pejamunya 1.
Vaksinasi dengan BCG biasanya menimbulkan sensitivitas terhadap tes tuberkulin.
Derajat sensitivitasnya bervariasi, bergantung pada strain BCG yang dipakai dan populasi yang
divaksinasi. Tes tuberkulin kulit tidak merupakan kontra indikasi bagi seseorang yang telah
divaksinasi dengan BCG. Terapi pencegahan harus dipertimbangkan bagi siapapun orang yang
telah divaksinasi BCG dan hasil reaksi tes tuberkulin kulitnya berindurasi 10 mm, khususnya
jika salah satu keadaan dibawah ini menyertai :
BAB III
DIAGNOSA TUBERKULOSIS
batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada
tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus 2.
nyaring. Tetapi apabila infiltrat ini ditutupi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi
vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi dapat memberikan suara
hipersonor atau tympani dan auskultasi suara nafas amforik 2.
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi
otot otot interkostal. Bagian paru yang sakit menjadi mengecil dan menarik isi mediastinum
atau paru lainnya. Paru yang sehat akan menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat
luas, yakni > jumlah jaringan paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan
selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis ( hipertensi pulmonal ) diikuti terjadinya
korpulmonale dan gagal jantung kanan. Disini akan timbul tanda tanda takipnea, takikardia,
sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham Steel, Bunyi P2 yang
mengeras, JVP meningkat, hepatomegali, asites dan edema 2.
Bila mengenai pleura, dapat terjadi effusi pleura. Pada inspeksi, paru yang sakit terlihat
tertinggal dalam pernapasan, pada perkusi pekak, pada auskultasi bunyi nafas melemah sampai
tidak ada 2.
III.3. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi
tuberkulosis. Pemeriksaan ini terutama memberikan keuntungan seperti pada kasus tuberkulosis
anak anak dan tuberkulosis milier. Pada keadaan
tersebut, diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan
pemeriksaan sputum hampir selalu negatif 2.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru ( segmen apikal lobus atas atau
segmen apikal lobus bawah ), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah ( bagian inferior ) atau di
daerah hilus menyerupai tumor paru ( misalnya pada tuberkulosis endobronkial ) 2.
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang sarang pneumonia, gambaran
radiologis berupa bercak bercak seperti awan dan dengan batas batas yang tidak tegas. Bila
lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas.
Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma 2.
Pada kavitas, bayangannya berupa cincin yang mula mula berdinding tipis, lama
kelamaan dinding menjadi sklerotik dan tampak menebal. Bila terjadi fibrosis, akan tampak
bayangan yang bergaris garis. Pada kalsifikasi, bayangannya tampak sebagai bercak bercak
padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis tampak seperti fibrosis yang luas disertai penciutan
yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru 2.
TB milier memberikan gambaran berupa bercak bercak halus yang umumnya tersebar
merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis
paru adalah penebalan pleura ( pleuritis ), massa cairan di bagian bawah paru ( efusi pleura atau
empiema ), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru atau pleura ( pneumothoraks ) 2.
Biasanya pada TB yang sudah lanjut, dalam satu foto dada seringkali didapatkan
bermacam macam bayangan sekaligus, seperi infiltrat, garis garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas
( nonsklerotik atau sklerotik ) maupun atelektasis dan emfisema 2.
Karena TB sering memberikan gambaran yang berbeda beda, terutama pada gambaran
radiologisnya, sehingga tuberkulosis sering disebut sebagai the greatest imitator. Gambaran
infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus
atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru 2.
Pemeriksaan khusus yang kadang kadang diperlukan adalah bronkografi, yakni untuk
melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini
umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan lain yang dapat
digunakan adalah CT scan dan MRI. Pemeriksaan MRI tidak sebaik CT scan, tetapi dapat
mengevaluasi proses proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada perut.
Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal 2.
III.4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
III.4.1. Darah
Pemeriksaan ini hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru
mulai (aktif), akan didapatkan jumlah lekosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat.
Bila penyakit mulai sembuh, jumlah lekosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi.
Laju endap darah mulai turun ke arah normal. Hasil pemeriksaan lain dari darah didapatkan :
anemia ringan normokrom normositer, gama globulin meningkat, kadar natrium darah menurun
2
.
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi takahashi. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di
Indonesia adalah titer 1 / 128. Positif palsu dan negatif palsu dari pemeriksaan ini masih besar 2.
Akhir akhir ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak dipakai adalah Peroksidase
Anti-Peroksida (PAP-TB) yang nilai sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi ( 85-95% ), tapi
di lain pihak ada pula yang meragukannya. Walaupun
demikian, PAP-TB masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila dimanfaatkan sebagai
sarana tunggal diagnosis TB. Prinsip dasar uji PAP-TB adalah menentukan ada antibodi IgG
yang spesifik terhadap antigen tuberkulosis. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada
titer 1:10.000 didapatkan uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu didapatkan pada pasien
reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan revaksinasi BCG 2.
Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama nilai dan caranya dengan uji
PAP-TB adalah uji Mycodot. Disini dipakai antigen Lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan
pada alat berbentuk sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien. Bila terdapat
antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah 2.
III.4.2. Sputum
Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis
tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Selain itu, pemeriksaan sputum juga dapat memberikan
evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Tidak mudah untuk mendapatkan sputum
terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk yang nonproduktif. Dalam hal ini dianjurkan 1
hari sebelum pemeriksaan, pasien dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan
melakukan refleks batuk. Dan juga dengan memberikan tambahan obat obat mukolitik,
ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20 30 menit 2.
Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi, diambil dengan
brushing atau bronchial washing atau Broncho Alveolar Lavage (BAL). Basil tahan asam dari
sputum juga dapat diperoleh dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak
anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya 2.
Kuman baru dapat ditemukan apabila bronkus yang terlibat proses penyakit ini
terbuka keluar sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar. Diperkirakan di
Indonesia terdapat 50 % pasien BTA + tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam sputum.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang kurangnya ditemukan ditemukan 3 kuman
dalam 1 sediaan, atau dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum 2.
Cara pemeriksaan sediaan sputum :
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa.
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus )
Pemeriksaan dengan biakan (kultur). Setelah 4 6 minggu penanaman, koloni kuman
mulai tampak. Bila setelah 8 minggu tidak tampak, biakan dinyatakan negatif.
Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang
kurangnya pada 2x pemeriksaan atau
satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran
TB aktif atau
Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA
sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif atau
Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama
sekali, tetapi pada biakannya positif
Kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapat OAT lebih dari 1 bulan
Kasus kambuh, yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB tapi kemudian
timbul lagi TB aktifnya.
Pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapat obat anti-TB 1-5 bulan dan
sputum BTA-nya masih positif.
Kasus kronik, yakni pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapatkan
pengobatan ulang ( retreatment ) lengkap yang disupervisi dengan baik 2.
BAB IV
DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORTCOURSE
TB. Directly Observed Treatment Shortcourse hanya bisa berjalan dengan efektif kalau
komponennya bisa berjalan dengan baik pula 1.
IV.2. LATAR BELAKANG DOTS
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1950an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid (H), para-amino salisilik asid
(PAS),Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) 8.
Strategi DOTS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1995 di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas pada tahun 1997 dalam sistem pelayanan kesehatan
masyarakat 9. Directly Observed Treatment Shortcourse yang didasarkan pada rekomendasi
WHO, memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan obat anti-TB gratis dan pencarian secara
aktif kasus TB dalam strateginya.. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk
dapat mengakses pelayanan DOTS di
puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan obat jangka pendek
oleh pengawas pengobatan" setiap hari 7.
Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan
cepat, karenanya baseline drug susceptibility data ( DST ) akan menjadi alat pemantau dan
indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan
pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih
banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak
pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan
mungkin menimbulkan kekebalan obat 7.
Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya implementasi
strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan
infeksi TB dengan kuman yang bersifat Multi-drugs Resistant (MDR). Untuk kasus MDR-TB
dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TB yaitu obat fluorokuinolon seperti
siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin ( hanya sangat disayangkan bahwa obat ini tidak
dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan ) 7.
IV.3. PERAN DOTS
Indonesia adalah negara high burden dan sedang memperluas strategi DOTS dengan
cepat, karenanya baseline drug susceptibility data akan menjadi alat pemantau dan indikator
program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan
pengobatan TB melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif dan lebih banyak
lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien
yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan dan mungkin
menimbulkan kekebalan obat 10.
Directly Observed Treatment Shortcourse menekankan pentingnya pengawasan terhadap
penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh.
Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95 %. Startegi DOTS
direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB 3.
Selain itu bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang
paling cost effective. Sampai tahun 2000, cakupan dari program DOTS baru mencapai 28% dari
206.000 juta penduduk, dengan hasil pengobatan yang masih belum memuaskan. Ada beberapa
daerah yang sukses antara lain: Sulawesi. Faktor-faktor risiko yang sudah diketahui
menyebabkan tingginya prevalensi TB di Indonesia antara lain: kurangnya gizi, kemiskinan dan
sanitasi yang buruk. Pengobatan yang sukses di bawah program DOTS tetap tinggi walaupun
turun dari 91% menjadi 81% diantara tahun 1985-1996 kunci permasalahan dengan pengobatan
sistim DOTS ini adalah rendahnya penemuan kasus-kasus baru 3.
IV.4. STRATEGI DOTS
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu :
Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh
Pengawas Minum Obat (PMO).
Pertama, komitmen politis dari para pengambil keputusan. Tuberkulosis adalah masalah global,
masalah bangsa sehingga program ini sangat membutuhkan dukungan yang kuat dari para
pimpinan puncak di masing-masing tingkatan pemerintahan.8 Komitmen yang dimaksudkan di
sini bukan komitmen semu, seakan-akan mempunyai komitmen padahal mereka tidak
mempunyai komitmen atau komitmen tersebut hanya teori saja tidak disertai dengan tindakan
nyata 3.
Hal lain misalnya dengan meningkatnya jumlah TB yang secara terus-menerus, para
pengambil kebijakan harus memberikan dana tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
program lain dan seterusnya. Kelemahan sekaligus kesalahan yang terjadi adalah kadang-kadang
yang berkomitmen adalah para pengambil kebijakan tingkat di bawahnya sementara mereka
adalah pelaksana teknis di mana keputusan mereka ditentukan oleh pengambil kebijakan di
atasnya3.
Program ini tidak akan mungkin berjalan maksimal kalau yang mempunyai komitmen
hanya dimiliki oleh orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan seperti dinas kesehatan,
rumah sakit, puskesmas dan pelaksana unit lainnya. Komitmen utama harus berasal dari top
leader. Dukungan dana adalah hal yang sangat krusial dihadapi oleh hampir semua program dan
departemen, bahkan dana dianggap sebagai masalah klasik. Meskipun penanggulangan TB saat
ini mendapat bantuan dari global fund, namun hanya membiayai program-program tertentu saja
dan akan mempunyai periode waktu tertentu pula. Dengan kondisi ini, maka sebaiknya
pemerintah pusat dan daerah tetap harus mengalokasikan dana yang cukup untuk
penanggulangan program ini 3.
Kedua, diagnosis dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik. Untuk menentukan
seseorang menderita TB atau tidak, pada periode waktu yang lalu cara penentuannya kadangkadang berbeda antara satu unit pelaksana dengan unit yang lain. Misalnya di puskesmas
menentukan seseorang TB itu dengan pemeriksaan
dahak dengan istilah pagi-sewaktu-pagi. Sehingga kalau hasil pemeriksaan dahak dinyatakan
positif, maka mereka dianggap menderita TB sementara pada tempat yang lain, menyatakan
tidak cukup dengan pemeriksaan dahak dan harus didukung oleh pemeriksaan rontgen. Hasil
pemeriksaan rontgen yang akan memperkuat apakah seseorang benar-benar menderita TB atau
tidak 3.
Ketiga, pengobatan dengan pengawasan oleh Pengawas Minum Obat (PMO). Pengawas
Minum Obat mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses kesembuhan penderita. Kita
bisa membayangkan bahwa minum obat saja dengan penyakit biasa kadang-kadang kita lupa
minum obat dengan tepat waktu atau lupa sama sekali dan itu pun tidak mempunyai efek besar
kalau berhenti minum obat. Namun, berbeda halnya dengan penderita TB di mana mereka harus
menjalani masa pengobatan sekitar enam bulan. Obat harus diminum sesuai aturannya, baik
jumlahnya, jenisnya maupun waktunya. Dengan kompleksnya masalah ini sehingga tidak sedikit
penderita TB yang drop out, gagal berobat karena mereka bosan 3.
Pemahaman penderita tentang TB yang kurang di mana penderita setelah minum obat
antibiotik beberapa hari dan batuknya sudah mulai membaik lalu kemudian mengklaim telah
sembuh. Padahal mereka sebetulnya belum sembuh, kuman TB hanya dormant (tidur sementara)
karena ia telah diintervensi dengan kehadiran antibiotik. Dalam hal ini, penderita tetap butuh
minum obat sampai benarbenar kuman tidak ada lagi 3.
Keempat & kelima yaitu, ketersediaan obat untuk penderita yang disertai
pencatatan/pelaporan baku untuk pemantauan kemajuan pengobatan penderita dan evaluasi
kinerja program. Ketersediaan obat mempunyai peranan besar dalam program ini, baik terhadap
penderita yang sedang berobat atau pun penderita baru. Ketersediaan obat harus mendapat
jaminan dari pemerintah untuk menghindari drop out pada penderita lama maupun penularan
baru terhadap orang lain 3.
Jangan lupa bahwa jika faktor pemicunya tersedia maka ia dapat menular kepada orang
lain dalam hitungan detik sehingga dapat melahirkan korban-korban baru yang mestinya tidak
terjadi. Selanjutnya, pemantauan dan evaluasi baik terhadap pengobatan penderita maupun
terhadap program harus dilakukan terus-menerus sehingga kita dapat mengukur apa yang telah
dicapai dari program ini dan kemungkinan-kemungkinan perbaikan di masa yang akan datang.
Jika kelima komponen tersebut di atas terpenuhi barulah dikatakan sebagai strategi DOTS.
Antara strategi satu dengan yang lain harus saling mendukung dan kesemuanya membutuhkan
dukungan dan komitmen yang kuat 3.
Ada beberapa kondisi yang memungkinkan itu terjadi. Seperti kita ketahui, TB sangat
mudah penularannya, dengan demikian jika penderita TB gagal berobat, maka akan memberikan
resistensi baru terhadap dirinya di mana mereka harus menjalani pengobatan yang lebih intensif
di samping akan memberikan penularan pada orang lain. Kemudian juga bisa terjadi di mana
tidak semua penderita mau melakukan pengobatan meskipun mereka sadar bahwa kemungkinan
dirinya terinfeksi TB. Alasanya adalah karena malu, takut dapat stigma dan alasan klasik lainnya.
Oleh karena itu, ada beberapa saran yang dapat digunakan untuk menanggulangi masalah TB
yang lain 3.
IV.5. Tahapan-tahapan DOTS
Dalam strategi DOTS ini ada tiga tahapan penting yaitu, mendeteksi pasien, melakukan
pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung. Deteksi atau diagnosis pasien sangat penting
karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TB berikutnya.
Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TB. Orang ini kemudian harus
didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TB atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang
akurat adalah dengan
menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara
molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan 3.
Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TB, dokter akan memberikan obat dengan
komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TB yang biasanya
digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Untuk
menghindari munculnya bakteri TB yang resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari
kombinasi 3-4 macam obat ini 3.
Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta
perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti minum obat
karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TB biasanya gejala TB bisa hilang dalam
waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh dari TB diharuskan untuk
mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul jika kita berhenti minum
obat adalah munculnya kuman TB yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman
tersebut menyebar, pengendalian TB akan semakin sulit dilaksanakan 3.
BAB V
PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS PARU
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif, penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita yang
tadinya menular, menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif 8.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan, penderita mendapat jumlah obat yang lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap ini penting untuk membunuh kuman dormant, sehingga dapat
mencegah terjadinya kekambuhan 8.
Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia ternyata :
Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan
tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap obat.
Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH
dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. Dalam aktivitas bakterisid :
Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bactericidal drug) oleh
karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini masingmasing mendapat nilai satu.
Bahwa terapi yang berhasil, memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka terhadap
obat tersebut, dan salah satunya harus bakterisid. Karena suatu resistensi obat dapat timbul
spontan pada sejumlah kecil basil, monoterapi memakai obat bakterisid yang terkuat pun
dapat menimbulkan kegagalan
pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan basil yang resisten 9.
Keadaan ini lebih banyak dijumpai pada pasien dengan populasi basil yang besar, misalnya
pada TB paru dengan kavitas, oleh karena dapat terjadi mutasi 1 basil resisten dari 10 6 basil
yang ada. Kemungkinan terjadinya resistensi spontan terhadap 2 macam obat merupakan
hasil probabilitas masing-masing obat, sehingga penggunaan 2 macam obat yang aktif
umumnya dapat mencegah perkembangan resistensi sekunder 9.
Obat anti TB mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi
terhadap obat lainnnya. Obat rifampisin dan INH merupakan obat yang paling efektif,
etambutol dan streptomisin dengan kemampuan menengah, sedangkan pirazinamid adalah
yang efektifitasnya terkecil 9.
Bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala
klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang
persisten. Basil persisten ini merupakan suatu populasi
kecil yang metabolismenya inaktif. Pengobatan yang tidak memadai akan
mengakibatkan bertambahnya kemungkinan kekambuhan, beberapa bulan-tahun mendatang
setelah seolah tampak sembuh 9.
Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-24 bulan untuk
jaminan menjadai sembuh. Dengan cara pengobatan pada masa kini (metode DOTS) yang
menggunakan paduan beberapa obat, pada umumnya pasien TB berhasil disembuhkan secara
baik dalam waktu 6 bulan. Kegagalan menyelesaikan program masa pengobatan suatu
kategori merupakan penyebab dari kekambuhan 9.
Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap karena kedua obat ini dapat masuk
ke seluruh populasi kuman.
setengah.
Aktivitas sterilisasi
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat.
Aktivitasnya diukur dari kekambuhannya setelah pengobatan dihentikan 2.
Basil yang metabolismenya aktif yang cepat terbunuh oleh obat berkemampuan
bakterisidal terutama H.
Basil yang dorman dan yang muncul berlipat ganda secara periodik. Basil ini terutama
sensitif terhadap obat R.
Populasi lain, yang terdiri dari basil yang terdapat di lingkungan asam (basil intrasel dan
basil yang terdapat dalam lokasi perkejuan), yang terutama peka terhadap efek obat Z.
Suatu populasi basil yang metabolismenya inaktif yang tidak dapat dipengaruhi oleh obat
apapun dan dapat di eliminasi oleh respons imun pejamu 2
Dosis
(Mg/ BB <40 Kg
BB 40-60 Kg
Kg BB/ hari)
BB>60 Dosis
Kg
Maksimal
(mg )
Rifampisin
8-12
300
450
600
600
INH
4-6
150
300
450
300
Pirazinamide
20-30
750
1000
1500
Ethambutol
15-20
750
1000
1500
Streptomisin
15-18
Sesuai BB
750
1000
1000
(dikutip dari 1)
Tabel 3. Regimen Pengobatan Tuberkulosis Saat ini ( Metode DOTS =
Directly Observed Treatment Short Course Strategy )
Kategori Pasien TB
Resimen Pengobatan
baru,
lesi minimal
Relaps
Kegagalan Pengobatan
3-6
kanamisin,
sikloserin/
-
Kasus Default
15-18
ofloksasin,
etionamid,
ofloksasin,
etionamid,
4.
Kasus Kronis
MDR TB
minimal 18 bulan )
Sesuai uji resistensi atau mempertimbangkan
menggunakan obat- obatan barisan kedua atau
WHO : seumur hidup diberikan H saja
(dikutip dari 1)
Rifampisin
Rifampisin merupakan obat semisintetik derivat dari Stretomyces mediteranei.
Rifampisin memegang peranan utama dalam pengobatan tuberkulosis. Selain itu,
rifampisin juga memiliki spektrum yang luas, sehingga dapat mengatasi baik bakteri
gram positif, maupun bakteri gram negatif, seperti Legionella spp., M. kasasii, dan M.
marinum. Rifampisin memiliki aktiviti bakterisidal di intraseluler dan juga ektraseluler.
Rifampisin menghambat sintesa RNA dengan mengikat dan menghambat polymerase
DNA dependant RNA 12.
Rifampisin dapat menyebabkan urin berwarna merah kekuningan. Selain itu, efek
samping yang dapat ditimbulkan oleh rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,
hepatitis, rash atau kemerahan pada kulit, anemia hemolitik, trombositopenia dan juga
imunosupresi 12.
Rifampisin dapat memicu tebentuknya enzim mikrosomal di hepar sehingga dapat
menurunkan efektivitas beberapa jenis obat, seperti digoksin, warfarin, prednison,
kontrasepsi oral, obat-obat Zidovudine (ARV) dan juga kuinidin
11
. Rifampisin
meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral sehingga dosis kontrasepsi oral harus
ditingkatkan 2.
Isoniazid (INH)
. Isoniazid harus diberikan pada setiap pengobatan tuberkulosis, kecuali jika terdapat
1,11
Efek samping lainnya seperti rash/kemerahan di kulit, anemia, kejang, dan gangguan
kejiwaan jarang dijumpai 7. Isonizid mempunyai kemampuan bakterisidal TBC yang
terkuat. Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthecis pathway 2.
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat asam nikotinik, yang digunakan pada pengobatan
tuberkulosis jangka pendek 7. Pirazinamid memiliki efek bakterisidal
2,7
. Efek samping
Etambutol
Etambutol memiliki efek bakteriostatik terhadap MTB
2,7
. Efek samping
yang paling berat dari etambutol adalah neuritis optik retrobulbar, yang biasanya
muncul setelah beberapa bulan mengkonsumsi etambutol 7.
Efek samping ini muncul tergantung dari dosis dan juga durasi pemberian
obat. Kadang-kadang dapat pula dijumpai hiperurisemia, namun asimtomatik 7.
Streptomisin
Streptomisin merupakan salah satu obat anti tuberkulosis pertama yang
ditemukan. Streptomisin ini merupakan suatu antibiotik golongan aminiglikosida
yang harus diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan
organisme ekstraseluler 11. Streptomisin dapat diberikan secara intramuskular 7.
Streptomisin memiliki efek bakterisidal 2,7.
Efek samping streptomisin muncul pada 10-20% pasien yang mendapat
streptomisin 7. Kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf kranial
kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan atau hilangnya
pendengaran 7. Selain itu yang berbahaya dari streptomosin adalah sifatnya yang
toksik bagi ginjal (gagal ginjal non-oliguri) 7.
7,11
Quinolon
Obat-obat golongan quinolon digunakan jika terdapat resistensi terhadap OAT
golongan 1 atau pada pasien-pasien yang tidak dapat menggunakan OAT golongan 1.
Obat-obatan yang termasuk golongan quinolon adalah ofloxacin, levofloxacin,
ciprofloxacin, gatifloxacin dan moxifloxacin. Efek samping jarang sekali dijumpai. Jika
ada, biasanya berupa gangguan gastrointestinal, kemerahan pada kulit, pusing dan sakit
kepala. Efek samping yang cukup berat, seperti kejang, nefritis interstitial, vaskulitis, dan
gagal ginjal akut. Quinolon dapat diberikan secara intravena 7.
Capreomycin
Capreomycin merupakan suatu kompleks antibiotik polipeptida siklik derifat dari
Streptomyces capreolus, yang memiliki kesamaan dalam pemberian dosis, cara kerja,
farmakologi dan toksisitas dengan streptomisin. Capreomycin diberikan secara
intramuskular dalam dosis 10-15mg/kg/hari atau 5 kali dalam seminggu (dosis maksimal
per-hari 1 g). Setelah diberikan selama 2-4 bulan, dosisnya diturunkan menjadi 1 g dalam
2 atau 3 kali seminggu. Capreomycin merupakan obat injeksi pilihan terhadap
tuberkulosis setelah streptomisiin 7.
Rifabutin
Rifabutin memiliki beberapa kemiripan karakteristik dengan rifampisin, namun
rifabutin ini juga dapat digunakan pada pasien-pasien yang resisten terhadap rifampisin
dan juga lebih efektif mengatasi M. avium complex dan nontuberculosis mycobacterium
lainnya. Pada pengobatan HIV dengan TB paru, akan lebih baik jika menggunakan
rifabutin dari pada rifampisin, karena efek interaksi obat antara rifampisin dan Anti Retro
Virus (ARV) yaitu nevirapin 7.
Efek samping rifabutin baru muncul jika pemberian dosis > 300 mg/hari. Efek
samping yang paling sering muncul adalah gangguan gastrointestinal. Selain itu, dapat
muncul gejala lain seperti kemerahan pada kulit, nyeri dada, myalgia, dan insomnia7.
Sama seperti rifampisin, pemakaian rifabutin juga dapat menyebabkan perubahan
warna urin menjadi berwarna merah kekuningan. Dari pemeriksaan laboratorium, akan
dijumpai neutropeni, trombositopeni dan peningkatan enzim hati. Namun efek sampingefek samping tersebut akan hilang jika pemberian rifabutin dihentikan 7.
Amikacin
Ethionamide
Ethionamide adalah derivat asam isonikotinik, sama seperti isoniazid dan
pirazinamid. Obat ini memiliki efek bakteriostatik. Namun penggunaannya terbatas
karena efek toksisitas dan banyaknya efek samping, seperti gangguan gastrointestinal
berat (mual, muntah, anoreksia, disgesia), gangguan neurologis berat, hepatitis, reaksi
hipersensitivitas, dan juga hipotiroidisme 7.
adalah adalah rifampisin tidak diberikan pada pasien HIV positif yang menggunakan obat
protease inhibitor ( kecuali obat ritonavir) atau obat non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor/NNRTI (kecuali obat efavirenz). Untuk mengatasinya dengan menggunakan rifabutin
sebagai rifampisin. Rifabutin dapat diberikan bersamaan dengan protease inhibitor (kecuali obat
saquinavir) dan NNRTI ( kecuali obat delavirdin) dengan penyesuaian dosis 11.
Sebaiknya tatalaksana TB pada pasien HIV dilakukan oleh ahlinya. Pasien HIV yang
mendapat OAT dan ARV dapat menunjukkan gejala dan tanda eksaserbasi TB (reaksi paradoks).
Keadaan ini disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas lambat dan meningkatnya antigen kuman
setelah pemberian anti TB bakterisidal. Pasien HIV dengan CD4<100 tidak boleh diberikan
pengobatan dengan regimen 2 kali seminggu 11.
Efek samping obat:
ISONIAZID (INH)
Neuritis perifer ( kejang, atropi optik, ataksia, kesemutan, ensephalopati toksik dan
kematian ), ikterus, hipersensitivitas, mulut kering, nyeri epigastrik, methemoglobinemia, tinitus,
retensi urin.
RIFAMPISIN
Ikterus, Flu like syndrome, Syndrom Redman( akibat dosis yang berlebihan, terdapat
kerusakan hati yang berat , warna merah terang pada urin , air mata, ludah dan kulit), nyeri
epigastrik, reaksi hipersensitivitas, supresi imunitas
ETAMBUTOL
Neuritis optic, Gout ( pirai ), gatal, nyeri sendi, nyeri epigastrik, nyeri perut, malaise,
sakit kepala, sempoyongan, linglung, halusinasi, bingung.
PYRAZINAMID
Gangguan hati, Gout ( pirai )
Pada tabel berikut ini dapat kita lihat beberapa OAT yang mempunyai sifat hepatotoksik13.
Tabel 4. OAT yang menyebabkan hepatotoksik
OAT potensial >> hepatotoksik
Isoniazid
Rifampicin, Rifabutin
Pyrazinamide
Ciprofloxacin, Cycloserine
Ethionamide, Prothionamide
Para-aminosalicylic acid
(Dikutip dari 13)
V.7. PANDUAN PEMBERIAN OBAT
Cara pemberian OAT dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu :
A. Panduan Obat untuk Kategori I
Bila setelah 2 bulan dahak menjadi negatif, fase lanjutan dapat dimulai
Bila setelah 2 bulan, dahak masih tetap positif, fase intensif diperpanjang 4 minggu lagi,
apabila setelah diperiksa lagi menjadi negatif, fase lanjutan dapat simulai. Namun bila
masih positif, dilanjutkan ke kategori 2 3.
Pada pasien dengan meningitis, tuberkulosis milier, spondilitis kelainan neurologik, fase
lanjutan diberikan lebih lama yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan
Dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada
akhir pengobatan. Bila hasilnya masih BTA (+) pengobatan dinyatakan gagal dan diganti
dengan kategori II 3
Bila setelah fase intensif BTA menjadi (-) pengobatan dilanjutkan dengan fase lanjutan
Bila setelah 3 bulan dahak masih tetap (+), fase intensif diperpanjang 1 bulan lagi dengan
RHZE. Bila setelah 4 bulan dahak masih tetap (+), pengobatan dihentikan 2-3 hari, lalu
diperiksa biakan dan tes resistensi kemudian fase lanjutan diteruskan tanpa menunggu
hasil tes. Bila hasil tes menunjukkan resisten terhadap H dan R ini menunjukkan MDR,
bila
memungkinkan
penderita
dirujuk
ke
unit
pelayanan
spesialistik
untuk
Bila pasien mempunyai data resistensi sebelumnya dan ternyata kuman masih sensitif
terhadap semua obat dan setelah fase intensif dahak menjadi (-), fase lanjutan dapat
diubah seperti kategori I dengan pengawasan yang ketat 3.
Pemeriksaan ulang dahak pada akhir pengobatan bila (-) penderita sembuh, bila
(+) menjadi kasus kronik 3.
Kasus kambuh
Bila setelah 2 bulan dahak menjadi tetap (-), fase lanjutan dapat dimulai
Bila setelah 2 bulan dahak menjadi (+), ubah panduan pengobatan menjadi
kategori II 3.
Tidak ada pemeriksaan ulang dahak sebulan sebelum akhir pengobatan atau di
akhir pengobatan
TB Ekstra-paru ringan
Untuk pasien yang kurang mampu dapat diberikan INH saja seumur hidup
Untuk pasien yang mampu, pemberian obat dicoba berdasarkan hasil uji resistensinya dan
obat-obat sekunder 3.
lainnya. Tujuan dari cara ini adalah mendekatkan sarana pelayanan kepada masyarakat sehingga
masyarakat dapat datang dengan sadar, sukarela untuk memeriksakan kesehatannya 1.
V.9. EVALUASI PENGOBATAN
Biasanya pasien di kontrol dalam 1 minggu pertama selanjutnya setiap 2 minggu selama
tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya
terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang,
nafsu makan bertambah, berat badan meningkat 2.
Bakteriologis
Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif. World
Radiologis
Bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai
dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh. Karena perubahan
gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan
setiap 3 bulan sekali. Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis
tidak, harus dicurigai penyakit lain disamping tuberkulosis paru. Perlu dipikirkan juga ada
gangguan imunologis pada pasien tersebut antara lain AIDS 2.
Pasien yang gagal pengobatan dapat diberikan resimen pengobatan yang dimodifikasi
dengan menambahkan sedikitnya 3 obat baru (dimana kuman masih sensitif terhadap obat
tersebut). Pasien dengan MDR diterapi dengan 4-6 obat selama 18-24 bulan ( jika terdapat
resistensi terhadap etambutol dan pirazinamid maka pengobatan diberikan selama 24 bulan)
2
.
Semua pasien tuberkulosis harus diperiksa terhadap kemungkinan menderita HIV.
Pasien dengan faktor risiko terkena hepatitis B atau C juga harus diperiksa 2.
V.10. PENGOBATAN PEMBEDAHAN
Semua pasien yang telah mendapat pengobatan OAT adekuat tetapi sputum tetap positif.
Pasien batuk darah masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif 13.
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan
pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi
tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya 3.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB
sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung
estrogen dosis tinggi (50 mcg) 3.
d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti
pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang
tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan
pengobatan TB3.
Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan
standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip
Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan
Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK
untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap
infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul
sukarela dengan test HIV) 3.
e. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana
pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3
bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H)
selama 6 bulan 3.
f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak
diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari
3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan
kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE 3.
g. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui
empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat
diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal.
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya
pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan
faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai
faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR 3.
h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu
ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan
TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi
komplikasi retinopati diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena
dapat memperberat kelainan tersebut 3.
i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti:
Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis
TB dengan Pleuritis eksudativa
TB dengan Perikarditis konstriktiva3.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari,
kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan
kemajuan pengobatan 3.
j. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru),
adalah:
1) Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif.
Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir 3.
2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang
yang disertai kelainan neurologic 3.
V.12. TERAPI PREVENTIF
V.12. 1. Vaksinasi BCG
Dari beberapa penaliti, diketahui bahwa vaksinasi BCG yang dilakukan pada anak anak
selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagain saja, yakni sebesar 0-80%. Tetapi BCG
masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap tuberkulosis berat
( meningitis, TB milier ) dan tuberkulosis ekstra-paru lainnya 2.
V.12. 2. Kemoprofilaksis
Isoniazid banyak digunakan belakangan ini karena harganya murah dan efek sampingnya
yang sedikit ( terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1 % dan yang > 50 thn adalah 2 % ). Obat
alternatif lain adalah rifampisin. Beberapa peneliti pada International Union Against
Tuberculosis (I DAT) menyatakan bahwa profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun dapat
menurunkan insidens tuberkulosis hingga 55 83 % dan yang kepatuhan minum obatnya cukup
baik dapat mencapai penurunan hingga 90 %. Yang minum obatnya tidak teratur (intermitten),
efektifitasnya masih cukup baik 2.
Lama profilaksis yang optimal masih belum diketahui, tetapi banyak peneliti
menganjurkan 6-12 bulan, ( American Thoracic Society, US Centers for Disease Control )
terhadap tersangka dengan uji tuberkulin 5 10 mm. Yang mendapat profilaksis selama 12 bulan
adalah pasien HIV + dan pasien dengan keluhan radiologis dada. Yang lainnya, seperti kontak
dengan penderita TB cukup 6 bulan saja. Pada negara negara dengan populasi TB tinggi
sebaiknya profilaksis diberikan untuk semua pasien dengan HIV + dan pasien yang mendapat
terapi imunosupresi 2.
V.13. PENCEGAHAN TB PARU.
Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas
kesehatan.
A. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan.
1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak
tidak disembarangan tempat.
2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus diberikan
vaksinasi BCG.
3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang
antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
4. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC.
Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang
memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial
8. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok beresiko tinggi, seperti para
emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit,
petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen.
9. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan
tuberculin test 5.
V.14. PENGENDALIAN, PENGOBATAN
DAN
2. Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu kunjungan rumah dan
memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai upaya mengurangi penyebaran penyakit.
3. Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar penderita mau
berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain.
4. Menganjurkan, perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan demi
tercapainya masyarakat yang sehat.
5. Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila diantara warganya ada yang mempunyai
gejala-gejala penyakit TB paru.
6. Berusaha menghilangkan rasa malu pada penderita oleh karena penyakit TB paru bukan bagi
penyakit yang memalukan, dapat dicegah dan disembuhkan seperti halnya penyakit lain.
7. Petugas harus mencatat dan melaporkan hasil kegiatannya kepada koordinatornya sesuai
formulir pencatatan dan pelaporan kegiatan kader 5.
BAB VI
SIMPULAN
Kategori III
4. Kategori IV
Pengobatan TB memiliki dua prinsip dasar, yaitu:
Pertama adalah bahwa terapi yang berhasil, memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya
peka terhadap obat tersebut, dan salah satu daripadanya harus bakterisidik2.
Kedua adalah bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah
perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil
yang persisten2.
Keluhan terbanyak pada penderita TB yaitu: Demam, Batuk/Batuk darah, Malaise, Nyeri dada,
Sesak napas.
Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti TB adalah dengan
menemukan kuman MTB dalam sputum atau jaringan paru secara biakan2.
Usaha pencegahan terhadap TB terdiri atas :
1.Vaksinasi BCG
2.Kemoprofilaksis2
Directly Observed Treatment Shortcourse atau yang biasa disingkat DOTS adalah strategi
penyembuhan
TB
jangka
pendek
dengan
pengawasan
secara
langsung.
DOTS bukanlah obat, ia hanya merupakan istilah (term), singkatan atau strategi pengobatan TB
3
.Strategi DOTS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1995 di Indonesia dan meluas pada
tahun 1997 dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat 9. Strategi ini diartikan sebagai
"pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari 10.
DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya
secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS memberikan angka
kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95 %. Startegi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara
global untuk menanggulangi TBC. Selain itu bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan
strategi kesehatan yang paling cost effective 4.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu :
Dukungan dana
Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh
Pengawas Minum Obat (PMO).
Tersedianya paduan obat anti-TB jangka pendek secara konsisten dan pencatatan dan
pelaporan mengenai penderita TB sesuai standar 4,11.
Dan dalam strategi DOTS ini ada tiga tahapan penting yaitu, mendeteksi pasien, melakukan
pengobatan dan melakukan pengawasan langsung4.
Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya implementasi
strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan
infeksi TB dengan kuman yang bersifat MDR (Multi-drugs Resistant) 10.
Ada beberapa saran yang dapat diterapkan untuk menanggulangi masalah TB, yaitu:1
Pertama, petugas harus memberikan pengetahuan yang cukup mengenai TB terutama yang
berkaitan dengan sistem pengobatan, konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi jika mereka
minum obat tidak teratur 11.
Kedua, perlu dilakukan program dalam bentuk gerakan seperti program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN). Program ini lebih bersifat case finding active yaitu melakukan penelusuran pada
masyarakat yang dicurigai menderita TB yaitu dengan menjadwalkan secara tersendiri dan
reguler pada setiap rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu atau sarana fasilitas kesehatan
lainnya 11.
DAFTAR PUSTAKA
Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 : 852-64.
P, Evelyn
P. Tuberculosis.
22
Juli
2009. Available
from
http://
www.en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis
Roebiono PS. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Merupakan Masalah
Dalam
Masyarakat.
17
Juli
2009.
Available
from
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani6.pdf
Djohan PA. Epidemiologi TBC di Indonesia. 22 Juli 2009. Available from http://
www.tbcindonesia_Or_Id.html
Aditama, T.Y. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi & Masalahnya. Edisi IV. Jakarta : Ikatan
Dokter Indonesia (IDI), 2002.
Zevitz EM. Monitoring for During Antituberculosis Treatment. 25 Juli 2009. Available
From:
www.chp.gov.hk/files/pdf/grp-monitoring-for-hepatotoxicit-during-
antituberculosis-0treatm-en-2004052100.pdf
Kabo
P.
Pengobatan
TBC.
17
Juli
2009.
Available
from
http://www.medicastore.com/med/index.php
Suryono F. Penanggulangan TBC dengan Strategi DOTS. 25 Juli 2009. Available from
http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=18668
Wallace RJ,Griffith DE. Antimycobacterial Agents. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E,Hauser SL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. Volume
I. 16th Edition. McGraw-Hill. New York. 2005 : 946-53.
Mansjoer.A, dkk. Tuberkulosis Paru. Dalam : Kapita selekta kedokteran, cetakan ke-7,
Jakarta : Media Aesculapius, 2005 : 427-476.