Anda di halaman 1dari 8

Pitiriasis Versikolor

Disusun
Oleh:

ASRI MUKTI NANTA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM BANDA ACEH
2013

I. Definisi

Pityriasis versicolor disebabkan oleh Malassezia. Pityriasis versicolor


adalah suatu penyakit jamur kulit yang kronik dan asimtomatik serta ditandai
dengan bercak putih sampai coklat yang bersisik skuama halus dan disertai rasa
gatal. Infeksi ini bersifat menahun, ringan dan biasanya tanpa peradangan.
Pitiriasis versikolor biasanya mengenai wajah, leher, badan, lengan atas, ketiak,
paha, dan lipatan paha (Siregar R., 2002).
II. Etiologi
Penyebab Pitiriasis versikolor adalah Malassezia furfur/ Pityrosporum
orbiculare (Price S., 2006).
III. Epidemiologi
Pitiriasis versikolor adalah penyakit universal tapi lebih banyak dijumpai
di daerah tropis karena tingginya temperatur dan kelembaban. Menyerang hampir
semua umur terutama remaja, terbanyak pada usia 16-40 tahun. Tidak ada
perbedaan antara pria dan wanita, walaupun di Amerika Serikat dilaporkan bahwa
penderita pada usia 20-30 tahun dengan perbandingan 1,09% pria dan 0,6%
wanita. Sekitar 50% penduduk negara Mexico menderita penyakit ini. Penyakit ini
dapat terjadi pada pria dan wanita, dimana pria lebih sering terserang dibanding
wanita dengan perbandingan 3 : 2.
Insiden yang akurat di Indonesia belum ada namun diperkirakan 40-50%
dari populasi di negara tropis terkena penyakit ini, sedangkan di negara subtropis
yaitu Eropa tengah dan utara hanya 0,5-1% dari semua penyakit jamur (Partogi,
2008).
IV. Patogenesis
Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya
Pitiriasis versikolor ialah Pityrosporum orbiculare yang berbentuk bulat atau
Pityrosporum ovale yang berbentuk oval. Keduanya merupakan organisme yang
sama, dapat berubah sesuai dengan lingkungannya misalnya suhu, media dan
kelembaban.

Malassezia furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi


menjadi pathogen dapat disebabkan endogen atau eksogen. Endogen dapat
disebabkan defesiensi imun, malnutrisi, dermatitis seboroik dan riwayat keluarga
yang positif. Eksogen dapat karena faktor suhu, kelembaban udara dan keringat.
Patogenesis dari makula hipopigmentasi oleh terhambatnya sinar matahari yang
masuk kedalam lapisan kulit akan mengganggu proses pembentukan melanin,
adanya toksin yang langsung menghambat pembentukan melanin, dan adanya
asam azeleat yang dihasilkan oleh Pityrosporum dari asam lemak dalam serum
yang merupakan inhibitor kompetitif dari tirosinase (Partogi, 2008).
V. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis pada pitiriasis versikolor antara lain gatal bila
berkeringat, lokal lesi pada umumnya terdapat pada badan (dada, punggung),
leher, lengan atas, selangkangan, bisa ditemukan pada daerah lain seperti muka.
Warna lesi bervariasi seperti putih (lesi dini), kemerahan, dan coklat (lesi lama)
bentuk kronis akan didapatkan bermacam-macam warna. Terdapat 3 bentuk lesi
pada pityriasis yaitu :
1. Makular : Soliter dan biasanya saling bertemu (koalesen) dan tertutup
skuama.
2. Papuler : Bulat kecil-kecil perifolikuler, sekitar folikel rambut dan
tertutup skuama.
3. Campuran lesi makular dan papular.
Pada saat terapi telah dilakukan biasanya didapatkan depigmentasi residual
tanpa skuama diatasnya yang akan menetap dalam beberapa bulan sebelum
kembali normal (Murtiastutik, 2009). Hal ini seperti terlihat pada gamabar 1

Gambar 1. Pitiriasis versikolor


VI. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10%
Bahan kerokan diambil kulit diambil dengan cara mengerok bagian
kulit yang mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan dengan kapas
alkohol 70%, lalu dikerok dengan menggunakan skapel steril. Sebagian dari
bahan tadi diperiksa langsung dengan KOH 10% yang diberi tinta parker
biru hitam. Dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas penutup dan
diperiksa dibawah mikroskop. Bila penyebabnya memang jamur akan
kelihatan garis yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan jarakjarak tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat, atau seperti butir-butir yang
tampak bersambung seperti kalung. Pada pitiriasis versikolor hifa tampak
pendek-pendek, lurus atau bengkok disertai banyak butiran kecil yang
bergerombol (Siregar R., 2002). Hal ini seperti terlihat pada gambar 2

Gambar 2. Malassezia furfur

2. Lampu Wood
Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat memberikan perubahan
warna pada seluruh daerah lesi sehingga batas lesi lebih mudah terlihat.
Daerah yang terkena infeksi akan memperlihatkan fluoresensi warna emas
sampai oranye (Siregar R., 2002). Hal ini seperti terlihat pada gambar 3

Gambar 3. Gambaran Pitiriasis versikolor dengan pemeriksaan


lampu Wood

VII. Diagnosis Banding


1. Pitiriasis versikolor dengan lesi hiperpigmentasi yaitu : pitiriasis rosea,
Eritrasma, Dermatitis Seboroik, tinea korporis.
2. Pitiriasis versicolor dengan lesi hipopigmentasi yaitu : Pitiriasis
Alba,Vitiligo, Morbus Hansen tipe Tuberkuloid, Hipopigmentasi
pascainflamasi (leukoderma) (Murtiastutik, 2009).
VIII. Penatalaksanaan
A.Obat topikal (digunakan bila lesi tidak terlalu luas)
1. Krim mikonazol 2%, dioleskan 2 kali sehari selama 3-4 minggu untuk
lesi di muka dan badan yang tidak luas.
2. Solusio Natrium Tiosulfat 25%, dioleskan 2 kali sehari selama 2 minggu
(kurang dianjurkan oleh karena bisa menyebabkan iritasi, berbau tidak
enak dan tidak boleh untuk daerah wajah dan leher).

3. Krim Tritenoin 0,05% - 0,1% untuk lesi hiperpigmentasi dioleskan 2


kali sehari selama 2 minggu.
4. Shampo Ketokonazol 1-2% dioleskan pada lesi selama 10-15 menit
sebelum mandi 2 kali seminggu selama 2-4 minggu.
5. Larutan propilen glikol 50% dalam air dioleskan seluruh tubuh 2 kali
sehari selama 2 minggu. Merupakan sediaan yang murah, efektif,
kosmetik bagus, memberikan hasil bagus dan sangat kecil efek iritasi
kulitnya.
B. Obat sistemik (digunakan bila lesi luas, resisten terhadap obat topikal, sering
kambuh)
1. Ketokonazol :
Dosis anak-anak 3,3 - 6,6 mg/kgBB/hari.
Dosis dewasa 200 mg/hari (1 tablet).
Diberikan sekali sehari sesudah makan pagi.
Lama pemberian 10 hari.
2. Itrakonazol :
Dosis 200mg (2 kapsul)/hari selama 1 minggu.
C. Mencegah kekambuhan Ketokonazol 2 tablet sekali minum sebulan sekali
selama 1 tahun.
D. Terapi hipopigmentasi (leukoderma).
1. Liquor carbonas detergent 5%, salep pagi/malam.
2. Krim kortikosteroid menengah pagi/malam.
3. Jemur di panas matahari +/- 10 menit antara jam 10.00-15.00
(Murtiastutik, 2009).
IX. Pencegahan
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya
Pitiriasis versikolor, yaitu:
1. Mengeringkan tubuh dengan handuk hingga benar-benar kering sebelum
memakai baju, karena kondisi yang lembab sangat memudahkan jamur
untuk berkembang.

2. Tidak berbagi barang pribadi dengan orang lain seperti handuk, sabun
batang, sepatu atau sandal saat menggunakan fasilitas umum.
3. Menggunakan alas kaki jika sedang berjalan di tempat yang lembab
seperti kamar mandi umum, tempat bilas atau disekitar kolam renang.
4. Membilas tubuh dengan sabun antiseptik setelah selesai berenang.
Adapun untuk mencegah terjadinya Pitiriasis versikolor dapat disarankan
pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk mencegah kekambuhan. Pada
daerah endemik dapat disarankan pemakaian ketokonazol 200 mg/hari selama 3
bulan atau itrakonazol 200 mg/hari selama sebulan atau pemakaian sampo
selenium sulfid sekali seminggu (Siregar R., 2005).
X. Prognosis
Prognosisnya baik dalam hal kesembuhan (Hall, 2009 ) bila pengobataan
dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten. Pengobatan harus di teruskan 2
minggu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu Wood dan sediaan
langsung negatif.

DAFTAR PUSTAKA
Hall C.J., Hall J.B. 2009. Skin Infection Diagnosis and Treatment. New York :
Cambridge University Press
Murtiastutik, D., Ervianti, E., Agusi, I., Suyoso, S. 2009. Atlas Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi II. Surabaya: Airlangga University Press.
Partogi D. 2008. Pityriasis versicolor dan diagnosisnya ( Ruam-Ruam Bercak
Putih Pada Kulit). Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
Price S.A., Wilson L.M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume II. Jakarta : EGC.
Siregar, R.S. 2005. Penyakit Jamur Kulit . Edisi II. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai