TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Umum
Jalan raya merupakan satu diantara sektor transportasi darat yang
merupakan urat nadi perhubungan baik di kota maupun di desa/daerah,
sehingga berbagai kegiatan manusia dapat berlangsung dengan lancar, mudah
dan nyaman.
Dalam perancangan struktur jalan ada dua metoda utama pada pendekatan
metoda perancangan, yaitu:
a) Pendekatan metoda desain yang didasarkan pada beban kendaraan rencana,
yang akan menyebabkan tingkat kerusakan, yang dibatasi pada tingkat
kerusakan yang diijinkan. Indonesia memilih metoda ini untuk perancangan
perkerasan lentur.
b) Pendekatan metoda desain yang didasarkan pada jumlah repetisi kendaraan
standar, yang juga dibatasi sampai tingkat kerusakan yang diijinkan.
Indonesia memilih metoda pendekatan ini, dalam merancang perkerasan
kaku.
Tebal lapis perkerasan tergantung pada besar beban lalu lintas yang diterima
jalan tersebut, karena itu dibutuhkan perhitungan tebal lapis perkerasan yang
cermat dan didukung dengan pelaksanaan yang baik pula.
Perencanaan tebal perkerasan merupakan dasar dalam menentukan tingkat
pelayanan sebuah jalan, baik perkerasan dengan menggunakan bahan pengikat
semen maupun bahan pengikat aspal.
13
C. Perkerasan Jalan
Konstruksi perkerasan adalah konstruksi yang terletak antara tanah dan
roda kendaraan yang berfungsi untuk menggurangi tegangan pada tanah
dasar (subgrade) sampai batas yang diijinkan. Fungsi perkerasan adalah :
14
1. Untuk memikul beban lalu lintas secara aman dan nyaman dan selama
umur rencana tidak terjadi kerusakan yang berarti;
2. Sebagai pelindung tanah dasar terhadap erosi akibat air;
3. Sebagai pelapis perantara untuk menyebarkan beban lalu lintas ke tanah
dasar.
Tujuan digunakan lapis perkerasan pada pembuatan suatu jalan adalah
karena kondisi tanah dasar yang kurang baik sehingga tidak mampu secara
langsung menahan beban roda yang ditimbulkan oleh berat kendaraan
diatasnya. Konstruksi perkerasan terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan
di atas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi
sebagai penerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan
bawahnya. Pada gambar 3.1 dapat dilihat bahwa beban kendaraan
dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui bidang kontak roda berupa beban
terpusat Po. Beban tersebut diterima oleh lapisan permukaan dan disebarkan
ke tanah dasar menjadi P yang lebih kecil dari daya dukung tanah dasar.
BEBAN W = Po
P = Beban terpusat
45
Distribusi beban
Konstruksi jalan
Tanah dasar/subgrade
15
Beban lalu lintas yang bekerja di atas konstruksi perkerasan jalan berupa
gaya vertikal dari muatan kendaraaan. Karena sifat penyebaran gaya, maka
muatan yang diterima oleh masing-masing lapisan berbeda dan semakin
kebawah gaya yang diterima semakin kecil.
(Silvia Sukirman dalam Perkerasan Lentur Jalan Raya, 1999)
Perkerasan Kaku
Aspal
Semen
jalur roda)
permukaan.
Penurunan tanah
Jalan bergelombang
dasar
atas perletakan.
No
1
Bahan pengikat
Repitisi beban
Perubahan
temperatur
17
jalan
masuk
dibatasi
secara
efisien
dengan
2) Jalan Kolektor
Jalan
Kolektor
adalah
Jalan
yang
melayani
angkutan
18
3) Jalan Lokal
Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkutan local, dengan
ciri-ciri:
a) Perjalanan jarak dekat;
b) Kecepatan rata-rata rendah;
c) Jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
4) Jalan Lingkungan
Jalan
Lingkungan
adalah
jalan
yangmelayani
angkutan
2. Jalan Provinsi
Jalan Provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan
ibukota kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, serta
jalan strategis provinsi.
3. Jalan Kabupaten
Jalan Kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan
jalan primer yang tidak temasuk pada jalan nasional dan jalan
provinsi yang menghubungan ibukota kabupaten dengan ibukota
kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan
pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum
19
4. Jalan Kota
Jalan Kota merupakan jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota,
menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan
antarpersil, serta menghubungkan antarpusat pemukiman yang
berada didalam kota.
5. Jalan Desa
Jalan Desa merupakan jalan umum yang menghxubungkan
kawasan dan/atau antarpemukiman didalam desa, serta jalan
lingkungan.
6. Jalan Khusus
Jalan Khusus disebut sesuai dengan instansi, badan usaha,
perorangan atau kelompok masyarakat.
Primer
Sekunder
Fungsi
Kelas
Kecepatan Rencana
Perencanaan
km/jam
Arteri
100,80
Kolektor
80,60
Arteri
80,60
Sumber : SNI-1732-1989
20
Kelas
LHR (SMP)
Utama
>20000
II A
6000-20000
II B
1500-8000
II C
< 2000
III
Sekunder
Penghubung
Sumber : SNI-1732-1989
Sistem
Fungsi
Arteri
Primer
Kolektor
Arteri
Sekunder
Kolektor
Lokal
Kecepatan
DTV
Kelas
(SMP)
Perencanaan
Rencana
Km/Jam
60
> 10000
60
< 10000
60,40
> 20000
60
< 20000
60,40
> 6000
60,40
< 6000
40,20
> 500
40,20
Sumber : SNI-1732-1989
Dalam Tugas Akhir ini dipilih Utama Kelas I
21
Arteri
Kolektor
Kelas
> 10 T
IIA
10 T
IIIA
8T
IIIA
8T
IIIB
Sumber : SNI-1732-1989
D.Tanah Dasar
Tanah Dasar adalah permukaan tanah asli, permukaan galian atau
permukaan tanah timbunan yang merupakan dasar untuk perletakan bagianbagian perkerasan lainnya. Perkerasan jalan diletakkan diatas tanah dasar,
dengan demikian secara keseluruhan mutu dan daya tahan konstruksi
perkerasan tidak lepas dari sifat tanah dasar. Tanah dasar yang baik untuk
konstruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar yang berasal dari lokasi itu
sendiri atau didekatnya, yang telah dipadatkan sampai tingkat kepadatan
tertentu sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta berkemampuan
mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan walaupun
terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat. Sifat
masing-masing jenis tanah tergantung dari tekstur, kepadatan, kadar air,
kondisi lingkungan, dan lain sebagainya.
Kekuatan dan keawetan dari konstruksi perkerasan jalan sangat
bergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Dapat dimaklumi
bahwa penentuan daya dukung tanah dasar permukaan berdasarkan evaluasi
pengujian laboratorium tidak dapat mencakup segala detail sifat-sifat dan
daya dukung tanah dasar tempat demi tempat tertentu sepanjang suatu
bagian jalan. Koreksi-koreksi semacam itu akan diberikan pada gambar
rencana atau telah tersebut dalam spesifikasi pelaksanaan.
22
2. Sifat mengembang dari jenis tanah tertentu akibat perubahan kadar air;
3. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti
pada daerah dengan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan
kedudukannya;
4. Lendutan (defleksi) dan pengembangan yang besar selama dan sesudah
pembebanan lalu lintas dari jenis tanah tertentu;
5. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang
diakibatkannya yaitu pada tanah berbutir kasar (granular soils) yang tidak
dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaannya.
Untuk mencegah timbulnya permasalahan diatas maka harus diperhatikan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Tanah-tanah dasar berkohesi
Untuk tanah-tanah dasar berkohesi dan dengan indeks plastis kurang dari
25 tebal minimum 15 cm bagian atas, harus dipadatkan supaya mencapai
95% dari kepadatan maksimum. Untuk tanah dasar dan tanah asli galian
dianjurkan memadatkannya hingga mencapai 100% kepadatan kering
maksimum. Selama pemadatan hendaknya dijaga agar kadar air tidak
berbeda lebih dari 20% dari kadar air optimum.
lempung
23
24
a. Burtu (Laburan aspal satu lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri
dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi
seragam, dengan tebal maksimum 2 cm.
b. Burda (Laburan aspal dua lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri
dari lapisan aspal ditaburi agregat yang ditaburi dua kali secara
berturutan dengan tebal maksimum 3,5 cm.
c. Latasir (Lapis tipis aspal pasir), merupakan lapis penutup yang terdiri
dari lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus dicampur,
dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu dengan tebal padat 1-2 cm.
d. Latasbun (lapis tipis asbuton murni), merupakan lapis penutup yang
terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan perbandingan
tertentu yang dicampur secara dingin dengan tebal padat maksimum 1
cm
e. Lataston (Lapis tipis aspal beton), dikenal dengan nama hot roller sheet
(HRS), merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran antara
agregat bergradasi timpang, mineral pengisi, dan aspal keras dengan
perbandingan tertentu, yang dicampur dan dipadatkan dalam keadaan
panas. Tebal padat antara 2-3,5 cm. Lataston umumnya terdiri dari dua
jenis yaitu : lataston lapis pondasi (HRS-Base) dan lataston lapis
permukaan (HRS-Wearing coarse).
Jenis lapisan permukaan tersebut diatas walaupun bersifat non struktural,
dapat menambah daya tahan perkerasan terhadap penurunan mutu,
sehingga secara keseluruhan menambah masa pelayanan dari konstruksi
perkerasan. Jenis perkerasan ini terutama digunakan untuk pemeliharaan
jalan.
25
aspal dengan dengan agregat penutup. Tebal lapisan satu lapis dapat
bervariasi dari 4 cm-10 cm.
b. Lasbutag merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri
dari campuran antara agregat, asbuton dan bahan pelunak yang diaduk,
dihampar dan dipadatkan secara dingin. Tebal lapisan padat antara 3-5
cm.
c. Laston (Lapis aspal beton), merupakan suatu lapisan pada konstruksi
jalan yang terdiri dari campuran aspal keras dengan agregat yang
mempunyai gradasi menerus, dicampur, dihampar dan dipadatkan pada
suhu tertentu.
Laston terdiri atas tiga macam campuran, Laston Lapis Aus (AC-WC),
Laston Lapis Pengikat (AC-BC) dan Laston Lapis Pondasi (AC-Base).
Ukuran maksimum agregat masing-masing campuran adalah 19 mm, 25
mm dan 37,5 mm. Bilamana campuran aspal yang dihampar lebih dari
satu lapis, seluruh campuran aspal tidak boleh kurang dari toleransi
masing-masing campuran dan tebal nominal rancangan, seperti dapat
dilihat dalam tabel 3.6 berikut :
Tabel 3.6 Tebal Nominal Rancangan Campuran Aspal
Jenis Campuran
Simbol
Tebal Nominal
Minimum (cm)
Tolerani Tebal
(mm)
Latasir Kelas A
Latasir Kelas B
SS-A
SS-B
1,5
2
2,0
HRS-WC
Lapis Aus
3,0
Lataston
Laston
Lapis Pondasi
HRS-Base
3,5
Lapis Aus
AC-WC
3,0
Lapis Pengikat
AC-BC
4,0
Lapis pondasi
AC-Base
7,5
5,0
26
27
Sirtu/pitrun kelas A
b.
Sirtu/pitrun kelas B
c.
Sirtu/pitrun kelas C
Sirtu kelas A bergradasi lebih kasar dari sirtu kelas B, dan sirtu kelas B
lebih kasar dari sirtu kelas C.
2. Stabilisasi
a.
b.
c.
d.
28
b.
c.
d.
29
Prinsip-Prinsip Perencanaan
Prinsip prinsip maupun asumsi perencanaan cara Bina Marga ini adalah
sebagai berikut :
a. Perhitungan Bina Marga ini hanya berlaku untuk perkerasan lentur
yang menggunakan material berbutir (granular materials) dan tidak
berlaku untuk konstruksi perkerasan yang menggunakan batu-batu
besar (Sistem Telford) hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa bahan
perkiraan harus isotropis dan elastis dan mensyaratkan adanya
pemeliharaan
perkerasan
yang
terus
menerus
selama
umur
rencananya;
b. Persamaan-persamaan dasarnya yang diturunkan dari AASHTO Road
Test merupakan hubungan antara berkurangnya tingkat pelayanan
lalu-lintas
dan
tebal
perkerasan.
Dalam
persamaan
tersebut
30
31
32
permukaan/Serviceability
Indeks
diperkenalkan
oleh
c. Umur Rencana
Umur rencana adalah jumlah tahun dari saat jalan tersebut mulai
dibuka untuk lalu lintas sampai diperlukan suatu perbaikan yang
bersifat struktural (sampai diperlukan pelapisan ulang lapisan
perkerasan). Umur rencana perkerasan lentur biasanya diambil 10 tahun
dan untuk peningkatan 5 tahun. Umur rencana yang lebih dari 10 tahun
tidak lagi ekonomis karena perkembangan lalu lintas sulit diprediksi
perkembangan lalu lintas jangka panjang.
d. Lalu Lintas
Tebal lapisan perkerasan jalan ditentukan oleh beban yang akan
dipikul, berarti dari arus lalu lintas yang hendaknya memakai jalan
tersebut. Besarnya arus lalu lintas dapat diperoleh dari :
1) Analisa lalu lintas saat ini sehingga diperoleh data mengenai:
Jumlah kenderaan yang hendak memakai jalan;
a) Jenis kenderaan dan jumlah tiap jenisnya;
b) Konfigurasi dari tiap jenis kenderaan;
c) Beban masing-masing sumbu kenderaan.
33
34
HP
1.2
BUS
1.2L
TRUK
1.2H
TRUK
1.22
TRUK
1.2+2.2
TRAILER
1.2-2
TRAILER
1.2-22
TRAILER
1,5
0,5
2,0
0,0001
0,0037
2,3
8,3
0,0013
4,2
14
18,2
0,0143
20
25
0,0044
6,4
25
31,4
0,0085
6,2
20
26,2
0,0192
10
32
42
0,0327
MAKSIMUM
UE 18 KSAL
KOSONG
UE 18 KSAL
MAKSIMUM (TON)
BERAT TOTAL
MAKSIMUM (TON)
BERAT MUATAN
KOSONG (TON)
BERAT
KONFIGURASI
1.1
0,000
4
0,300
6
0,217
4
5,026
4
2,741
6
4,928
3
6,117
9
10,18
3
35
i. Lintas Ekivalen
Kerusakan perkerasan jalan pada umumnya disebabkan oleh
terkumpulnya air dibagian perkerasan jalan, dan karena repetisi dari
lintasan kendaraan. Oleh karena itu perlu ditentukan berapa jumlah
repetisi beban yang akan memakai jalan tersebut. Repetisi beban
dinyatakan dalam lintasan sumbu standard. Dikenal dengan nama lintas
ekivalen.
36
k. Kondisi Lingkungan
Kondisi
lingkungan
dimana
lokasi
jalan
tersebut
berada
37
Lebar Perkerasan
Jumlah Lajur
1.
L < 5,5 m
1 Lajur
2.
2 Lajur
3.
3 Lajur
4.
4 Lajur
5.
5 Lajur
6.
5 Lajur
Sumber : SNI-1732-1989
2. Koefisien Distribusi Kendaraan
Koefisien
distribusi
kendaraan
perlu
ditentukan
dengan
cara
Kendaraan Ringan
Kendaraan Berat
1 arah
2 arah
1 arah
2 arah
1 jalur
1,00
1,00
1,00
1,00
2 jalur
0,60
0,50
0,70
0,50
3 jalur
0,40
0,40
0,50
0,475
4 jalur
0,30
0,45
5 jalur
0,25
0,425
6 jalur
0,20
0,40
Kendaraan ringan : berat total < 5 Ton, misalnya mobil penumpang, pick up, dll.
Kendaraan berat : berat total > 5 Ton, misalnya bus, truk, traktor, trailer, dll.
Sumber : SNI-1732-1989
38
3. Angka Ekivalen
Konstruksi pekerjaan jalan menerima beban lalu lintas yang
dilimpahkan. Besarnya beban yang dilimpahkan tersebut tergantung dari
berat total kendaraan, konfigurasi sumbu, bidang kontak antara roda dan
perkerasan, dan kecepatan kenderaan. Efek dari masing-masing kendaraan
terhadap kerusakan tidaklah sama, perlu adanya beban standar sehingga
semua beban lainnya dapat diekivalensikan ke beban standar tersebut.
Setiap jenis kendaraan mempunyai konfigurasi sumbu yang berbeda-beda.
Dalam perencanaan jalan raya angka ekivalen perlu diketahui dengan
membagi kendaraan kedalam 2 jenis sumbu tunggal ataupun sumbu ganda.
Tabel 3.9 Angka Ekivalen (E) beban sumbu kendaraan
Beban sumbu
Angka ekivalen
Kg
Lb
Sumbu Tunggal
Sumbu Ganda
1000
2205
0,0002
0,0000
2000
4409
0,0036
0,0003
3000
6614
0,0183
0,0016
4000
8818
0,0577
0,0050
5000
11023
0,1410
0,0121
6000
13227
0,2923
0,0251
7000
15342
0,5415
0,0466
8000
17636
0,9238
0,0795
8160
18000
1,0000
0,0860
9000
19841
1,4798
0,1237
10000
22045
2,2555
0,1940
11000
24250
3,3023
0,2840
12000
26454
4,6770
0,4022
13000
28659
6,4419
0,5540
14000
30683
8,6647
0,7452
15000
33068
11,4184
0,9820
16000
35272
14,7815
1,2712
Sumber: SNI-1732-1989
39
4. Lalu Lintas
Data lalu lintas merupakan landasan utama dalam merencanakan jalan
raya. Perencanaan ini meliputi geometrik dan tebal perkerasan jalan raya.
Data mengenai jumlah lalu lintas didapat dari perhitungan kendaraan yang
lewat perhari/2 arah.
Dimana : LHR
UR
.3.3
LEP =
Dimana : LEP
trailer
MobilPenum pang
LHRxCxE
.3.4
= Angka Ekivalen
40
Dimana :
Trailer
MobilPenum pang
LHRx (1 i ) UR x C x E .3.5
= Angka Ekivalen
UR
= Umur Rencana
LEP LEA
2
.3.6
LER
= LET x FP
3.7
UR
10
3.8
41
6. Faktor Regional
Faktor ini adalah fungsi dari kondisi iklim (yang dinyatakan dengan
jumlah curah hujan pertahun), kelandaian dan persentase kendaraan berat.
Kendaraan berat yang diperhitungkan dalam menentukan FR adalah
kendaraan dengan total berat lebih besar atau sama dengan 13 ton. Nilai
FR diambil secara kualitatif dengan menggunakan tabel 3.10 sebagai
berikut :
Tabel 3.10 Nilai Faktor Regional
Kelandaian I
Kelandaian II
Kelandaian III
(< 6%)
(6-10%)
(> 10%)
% kendaraan berat
% kendaraan berat
% kendaraan berat
30 %
> 30 %
30 %
> 30 %
30 %
> 30 %
0,5
1,0-1,5
1,0
1,5-2,0
1,5
2,0-2,5
1,5
2,0-2,5
2,0
2,5-3,0
2,5
3,0-3,5
Curah
Hujan
Iklim I
< 900
mm/thn
Iklim II
> 900
mm/thn
Sumber : SNI-1732-1989
42
IP = 1,5 tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin atau jalan tidak
terputus.
IP = 2,0 adalah tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih mantap
IP = 2,5 adalah permukaan jalan masih cukup stabil dan baik
Dalam menentukan Indeks Permukaan pada akhir umur rencana (IP)
perlu dipertimbangkan faktor-faktor klassifikasi fungsional jalan dan
jumlah lintas ekivalen rencana (LER), seperti yang diperlihatkan pada
tabel 3.11.
Lokal
Kolektor
Arteri
Tol
< 10
1,0-1,5
1,5
1,5-2,0
10-100
1,5
1,5-2,0
2,0
100-1000
1,5-2,0
2,0
2,0-2,5
>1000
2,0-2,5
2,5
2,5
Sumber : SNI-1732-1989
43
IPo
Roghness
>4
1000
3,9-3,5
> 1000
3,9-3,5
2000
3,4-3,0
> 2000
BURDA
3,9-3,5
2000
BURTU
3,4-3,0
> 2000
LAPEN
3,4-3,0
3000
2,9-2,0
> 3000
Abuton/HRA
Lapisan Pelindung
2,9-2,5
Jalan Tanah
2,4
Jalan Kerikil
2,4
Sumber : SNI-1732-1989
44
Sumber : SNI-1732-1989
9. Jenis Perkerasan
Besarnya nilai koefisisen relatif (a) untuk masing-masing bahan dan
kegunaannya sebagai lapisan permukaan, lapisan pondasi bawah,
ditentukan secara korelasi sesuai dengan nilai Marshall Test (untuk bahan
dengan aspal), kuat tekan (untuk bahan yang distabilkan dengan semen
atau kapur) dan CBR (untuk bahan lapis pondasi bawah). Hal ini dapat
ditunjukkan pada tabel 3.13 berikut:
45
a2
a3
Jenis Bahan
MS (kg)
Kt
CBR
0,40
744
0,35
590
0,32
454
0,30
340
0,35
744
0,31
590
0,28
454
0,26
340
0,30
340
0,26
340
Aspal Macadam
LASTON
Asbuton
0,25
Lapen (mekanis)
0,30
Lapen (manual)
0,28
590
0,26
454
0,24
340
Laston Atas
0,23
Lapen (mekanis)
0,19
Lapen (manual)
0,15
22
0,13
18
0,15
22
0,13
18
0,14
100
0,12
60
0,14
100
0,13
80
0,12
60
0,13
70
Sirtu/Pitrun (kelas A)
0,12
50
Sirtu/Pitrun (kelas B)
0,11
30
Sirtu/Pitrun (kelas C)
0,10
Tanah/Lempung Kepasiran
Sumber : SNI-1732-1989
46
Bahan
< 3,00
3,00-6,70
6,71-7,49
7,5
7,50-9,99
7,5
Asbuton, LASTON
10,00
10
LASTON
Lapis Pelindung
BURAS/BURTU/BURDA
Lapen/Aspal Macadam,
HRA, Asbuton, Laston
Lapen/Aspal Macadam,
HRA, Asbuton, Laston
Sumber : SNI-1732-1989
47
Minimum
Bahan
(cm)
< 3,00
15
3,00- 7,49
20*)
7,50 - 9,99
10
LASTON ATAS
10 - 12,14
20
12,25
15
LASTON ATAS
20
25
Sumber :SNI-1732-1989
48
= a1 . D1 + a2 . D2 + a3 . D3
3.9
a3 . D3 = ( a1 . D1 + a2 . D2 ) ITP
( a1 x D1 + a2 x D2 ) ITP
D3
=
a3
Dimana :
a1,a2,a3
D1,D2,D3
5,40
8,16
13,76
18,45
49
di mana:
STRT = sumbu tunggal roda tunggal
STRG = sumbu tunggal roda ganda
SDRG = sumbu dual roda ganda
STrRG = sumbu triple roda ganda
(1 r)n1 1
N 1 1 (1 r)n 2(1 r)
......(3.13)
2
r
50
10
1,01
2,04
3,09
4,16
5,26
6,37
7,51
8,67
9,85
11,06
12,29
13,55
14,83
16,13
17,47
24,54
32,35
40,97
1,02
2,08
3,18
4,33
5,52
6,77
8,06
9,40
10,79
12,25
13,76
15,33
16,96
18,66
20,42
30,37
42,48
57,21
1,03
2,10
3,23
4,42
5,66
6,97
8,35
9,79
11,30
12,89
14,56
16,32
18,16
20,09
22,12
33,89
48,92
68,10
1,03
2,12
3,28
4,51
5,81
7,18
8,65
10,19
11,84
13,58
15,42
17,38
19,45
21,65
23,97
37,89
56,51
81,43
1,04
2,16
3,38
4,69
6,10
7,63
9,28
11,06
12,99
15,07
17,31
19,74
22,36
25,18
28,24
47,59
76,03
117,81
1,05
2,21
3,48
4,87
6,41
8,10
9,96
12,01
14,26
16,73
19,46
22,45
25,75
29,37
33,36
60,14
103,26
172,72
CESA
m x 365 x E x C x N(3.14)
Traktor Trailer
di mana:
CESA =
365
faktor
hubungan
umur
rencana
yang
sudah
51
2. Lendutan
Lendutan yang digunakan dalam perhitungan ini adalah lendutan hasil
pengujian dengan alat Benkelman Beam (BB). Apabila pada waktu
pengujian lendutan ditemukan data yang meragukan maka pada lokasi atau
titik tersebut dianjurkan untuk dilakukan pengujian ulang atau titik
pengujian dipindah pada lokasi atau titik disekitarnya.
Lendutan yang digunakan untuk perencanaan adalah lendutan balik. Nilai
lendutan tersebut harus dikoreksi dengan faktor muka air tanah (faktor
musim) dan koreksi temperatur serta faktor koreksi beban uji (bila beban uji
tidak tepat sebesar 8,16 ton). Besarnya lendutan balik adalah sesuai rumus
3.15.
dB = 2 x (d3 d1) x Ft x Ca x FKB-BB...(3.15)
di mana:
dB =
d1 =
d3 = lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik
pengukuran
Ft = faktor penyesuaian lendutan terhadap temperatur standar 35oC, sesuai
rumus 3.16, untuk tabel lapis beraspal (HL) lebih kecil 10 cm atau rumus
3.17, untuk tabel lapis beraspal (HL) lebih besar atau sama dengan 10 cm
atau menggunakan Tabel 5.3 atau pada gambar 1 (kurva A untuk HL < 10
cm dan kurva B untuk HL 10 cm)
4,184 x TL
0,4025
14,785 x TL
TL
, untuk HL 10 cm .....(3.16)
0,7573
, untuk HL 10 cm ..(3.17)
Tp
Ttm
Tb
Ca
52
2,0715)
.(3.19)
53
TL
(oC)
46
22
1,21
1,42
48
0,88
0,79
24
1,16
1,33
50
0,87
0,76
26
1,13
1,25
52
0,85
0,74
28
1,09
1,19
54
0,84
0,72
30
1,06
1,13
56
0,83
0,70
32
1,04
1.07
58
0,82
0,68
34
1,01
1,02
60
0,81
0,67
36
0,99
0,98
62
0,79
0,65
38
0,97
0,94
64
0,78
0,63
40
0,95
0,90
66
0,77
0,62
42
0,93
0,87
68
0,77
0,61
44
0,91
0,84
70
0,76
0,59
Catatan :
-
Kurva A adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (HL) kurang
dari 10 cm
Kurva B adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (HL)
minimum 10 cm
54
Tabel 3. 19. Temperatur tengah (Tt) dan bawah (Tb) lapis beraspal berdasarkan
data temperatur udara (Tu) dan temperatur permukaan (Tp)
Tu + Tp
(oC)
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
55
3. Keseragaman lendutan
Perhitungan tebal lapis tambah dapat dilakukan pada setiap titik
pengujian atau berdasarkan panjang segmen (seksi). Apabila berdasarkan
panjang seksi maka cara menentukan panjang seksi jalan harus
dipertimbangkan terhadap faktor keseragaman (FK) lendutan yaitu:
a) FK = 0 10 = sangat baik;
b) FK = 11 20 = baik ;dan
c) FK = 21 30 = cukup baik.
Untuk menentukan faktor keseragaman lendutan adalah dengan
menggunakan rumus 3.20 sebagai berikut :
FK
s
x 100% FK ijin ...(3.20)
dR
di mana:
FK
faktor keseragaman
FK ijin =
dR
d
=
s
ns
..(3.21)
n s (n s 1)
.....(3.22)
56
4. Lendutan wakil
Untuk menentukan besarnya lendutan yang mewakili suatu sub
ruas/seksi jalan, digunakan rumus 3.23; 3.24 dan 3.25 yang disesuaikan
dengan fungsi/kelas jalan, yaitu:
Dwakil = dR + 2 s ; untuk jalan arteri/tol (tingkat kepercayaan
98%)(3.23)
Dwakil = dR + 1,64 s ; untuk jalan kolektor (tingkat kepercayaan
95%......(3.24)
Dwakil = dR + 1,28 s ; untuk jalan lokal (tingkat kepercayaan
90%......(3.25)
di mana:
- Dwakil = lendutan yang mewakili suatu seksi jalan
- dR
-s
TPRT =
temperatur
daerah/kota
perkerasan
rata-rata
tahunan
untuk
57
0,333
.....(3.27)
di mana:
FKTBL =
MR
58
Modulus Resilien,
MR (MPa)
3.000
2.000
1.000
Stabilitas
Marshall (kg)
min. 1.000
min. 800
min. 800
FKTBL
0,85
1,00
1,23
7. Prosedur Perhitungan
Perhitungan tebal lapis tambah yang disarankan pada materi ini adalah
berdasarkan data lendutan yang diukur dengan alat Benkelman Beam (BB).
Pengukuran lendutan pada perkerasan yang mengalami kerusakan berat
dan deformasi plastis disarankan dihindari.
Perhitungan tebal lapis tambah perkerasan lentur dapat menggunakan
rumus-rumus atau gambar-gambar yang terdapat pada materi ini. Tahapan
perhitungan tebal lapis tambah adalah sebagai berikut :
1) hitung repetisi beban lalu lintas rencana (CESA) dalam ESA;
2) hitung lendutan hasil pengujian dengan alat BB dan koreksi dengan
faktor muka air tanah (faktor musim, Ca) dan faktor temperatur
standart (Ft) serta faktor beban uji (FKB-BB) bila beban uji tidak
tepat sebesar 8,16 ton;
59
di mana:
Drencana
CESA
atau dengan memplot data lalu lintas rencana (CESA) pada gambar
3.9 Kurva D untuk lendutan balik dengan alat Benkelman Beam
(BB).
6) hitung tebal lapis tambah/overlay (Ho) dengan menggunakan
rumus 3.29 atau dengan memplot pada gambar 3.10.
Ho
Ln1,0364 LnD
sbl ov
LnD
stl ov
0,0597
..(3.29)
di mana:
Ho
tebal
lapis
tambah/overlay terkoreksi
(Ht) dengan
60
Kurva D
Untuk Lendutan BB
Kurva C
Untuk Lendutan FWD
61