Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang
sejarah peradaban manusia, peran sentral hukumdalam upaya menciptakan suasana yang
memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga
eksistensinya didunia telah diakui1.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum harus
dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga
tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan, kepastian dan ketertiban. Secara
normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun didalam implentasinya hukum selalu
menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum
di dalam teori (law in a book) dan hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah
perdebatan yang tidak kunjung hentinya. Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan
menurut hukum harus melalui proses-proses hukum yang tidak adil.
Sebagain besar hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bekas jajahan
Belanda, banyak kaedah-kaedah dalam hukum tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
ada di tengah-tengah masyarakat dan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan. Hukum
kolonial yang masih berlaku di Indonesia menganut ajaran Positivisme. Hukum menurut
aliran ini adalah apa yang menurut undang-undang, bukan apa yang seharusnya. Atas dasar
itu, hukum harus pula dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis (penilaian
baik dan buruk), politis (subjektif dan tidak bebas nilai), sosiologis (terlepas dari kenyataan
sosial).
Ada sebuah kasus hukum yang sangat menarik untuk ditelaah, yakni seorang nenek
berumur 55 Tahun yang bernama Minah diganjar 1 bulan 15 hari penjara karena menyangka
1 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya,
2005, hlm.1
1

perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan
(RSA) adalah hal yang biasa saja.
Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan
garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas,
Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk
menanam kakao.
Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang
sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai
bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan
melainkan

digeletakkan

begitu

saja

di

bawah

pohon

kakao.

Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun
bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu
perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama
saja mencuri.
Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak
akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor
tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaanya meleset.
Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat
panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus
duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
Majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari
dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Adanya perbenturan antara nilai-nilai keadilan pada kasus tersebut penulis tertarik
menganalisa kasus tersebut melalui aliran hukum Positivisme.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menjadi kajian aliran positivisme ?
2. Bagaimana pandangan aliran positivism yuridis dan aliran positivisme sosiologis
terhadap kasus tersebut ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian Pustaka Aliran Positivisme


Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu memisahkan secara
tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya,
antara das Sein dan das Sollen). Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah
penguasa. Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme
berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.
Sebenarnya pertentangan antara idealis versus materialis, metafisis versus positivis,
ontologis versus empiris, telah berlangsung cukup lama. Artinya kemunculan positivisme ini
mengiringi kemunculan filsafat. Positivisme sama tuanya dengan filsafat. Meskipun
demikian, positivisme baru berkembang pesat pada abad ke-19 ketika empirisme
mendominasi pemikiran. Positivisme lahir dan berkembang di bawah naungan empirisme 2,
artinya antara empirisme dan positivisme tidak dapat dipisahkan. Pesatnya perkembangan
positivismen terjadi setelah menangnya gerakan sekularisasi, yang berupaya memisahkan
secara tegas antara urusan politik (negara) dengan urusan Gereja (agama), dan bersamaan
dengan runtuhnya kewibawaan gereja, yang menawarkan basis pemikiran transendental.
Para positivis menentang ilmu metafisika, yang ghaib, apa yang berada di luar batas
pengalaman manusia. Mereka menganggap metafisika sebagai tidak ada artinya bagi ilmu
pengetahuan, sebab metafisika menarik diri dari tiap usaha untuk verifikasi, kebenaran atau
ketidakbenaran pendirian yang tidak dapat ditetapkan.6 Oleh karena itu, para positivis telah
mengucapkan selamat tinggal pada dunia dewa dan dunia hakekat, karena dianggap tidak
rasional. Pada tahap ini aliran positivisme telah membuang filsafat. Wilayah metafisika dan
hakikat menjadi obyek pemikiran filsafat melalui kontemplasi-spekulasi, yang tidak dapat
didekati dengan indera-indera kaum positivis. Oleh karena itu sebagai akibatnya positivisme
hanya bersandar pada prinsip-prinsip berikut ini:3
2 Muh. Baqir Shadr, Falsafatuna. Bandung: Mizan, 1991, hlm. 56.
3 N.E Algra dan K. Van Duyvendijk, Mula Hukum Beberapa Bab Mengenai Hukum dan Ilmu
untuk Pendidikan Hukum dalam Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Bina Cipta, 1983, hlm.132.
3

a. Hanya apa yang tampil dalam pengalaman dapat disebut benar. Prinsip ini
diambil dari filsafat empirisme Locke dan Hume.
b. Hanya apa yang sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan dapat
dipastikan sebagai kenyataan dapat disebut benar. Itu berarti tidak semua
pengalaman dapat disebut benar, tetapi hanya pengalaman yang mendapati
kenyataan.
c. Hanya melalui ilmu-ilmu pengetahuan dapat ditentukan apakah sesuatu yang
dialami merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan.
Oleh karena itu, semua kebenaran didapati melalui ilmu-ilmu pengetahuan, maka
tugas filsafat tidak lain dari pada mengumpulkan dan mengatur hasil penyelidikan ilmu-ilmu
pengetahuan.4 Secara lebih lengkap, prinsip-prinsip aliran positivisme dikemukakan oleh
Arief Sidharta, sebagai berikut:5
a.
b.
c.
d.

Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang syah.


Hanya fakta yang dapat menjadi obyek pengetahuan.
Metode filsafat tidak berbeda dari metode ilmu.
Tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu
dan menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan

menjadi landasan bagi organisasi sosial.


e. Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas
pengalaman (empiris-verifikatif).
f. Bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam.
g. Berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik
dunia fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan
perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.
Di bawah ini akan di sebutkan beberapa teori positivisme sosiologi dan positivisme
yuridis dari para tokoh di masa lampau.

1) Auguste Comte (1798 1857)


Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad
sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias memerkenalkan
pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte,
diantaranya G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comtes
Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi
4 Muh. Baqir Shadr. Op. Cit., hlm 57.
5 Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remaja Rosda Karya,
1994, hlm. 50.
4

pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad
sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya
Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.6
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery,
yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang
dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan
hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang
ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca
kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah
bacaan wajib.7
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada
1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang
diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca
oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai the best possible intiation into
the study of sociology. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan
pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum8.

2) Herbert Spencer (1820 1903)


Herbert Spencer dilahirkan di Derby Inggris, 27 April 1820. Ia tak belajar seni
Humaniora, tetapi di bidang teknik dan bidang utilitarian. Tahun 1837 ia mulai bekerja
sebagai seorang insinyur sipil jalan kereta api, jabatan yang di pegangnya hingga tahun
1846.selama periode ini Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri dan mulai menerbitkan
karya ilmiah dan politik.tahun 1848 spenser di tunjuk sebagai redaktur the economis dan
gagasan intelektualnya mulai mantap. Tahun 1850 ia menyelesaikan karya besar pertamanya,
Social Statis (1850).
Dalam bukunya yang berjudul The Principle of Sosiologi (3 jilid,1877), Herbert
Spencer menguraikan materi sosiologi secara rinci dan sistematis. Spencer mengatakan
bahwa obyek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik, agama, pengendalian diri, dan
industri. Sebagai tambahan disebutkannya sosiasi, masyarakat setempat, pembagian kerja,
masyarakat setempat, pembagian kerja, lapisan social, sosiologi pengetahuan dan ilmu
6 Robert Brown, Comte and Positivism, dalam C. L. Ten, Routledge History of Philosophy,
vol. VII, The Nineteeth Century, hlm. 141.
7 Ibid.
8 Ibid., hlm. 141-3.
5

pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian dan keindahan. Buku tersebut menjadikan
sosiologi menjadi populer di masyarakat dan berkembang pesat pada abad 20, terutama di
Perancis, Jerman, dan Amerika.
Herbert Spencer (1820-1903) menganjurkan Teori Evolusi untuk menjelaskan
perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa masyarakat berevolusi dari bentuk
yang lebih rendah (barbar) ke bentuk yang lebih tinggi (beradab). Ia berpendapat bahwa
institusi sosial sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi terhadap lingkungan
sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota masyarakat yang mampu dan cerdas dapat
bertahan. Dengan kata lain Yang layak akan bertahan hidup, sedangkan yang tak layak
akhirnya punah. Konsep ini diistilahkan survival of the fittest. Ungkapan ini sering dikaitkan
dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles Darwin. Oleh karena itu teori
tentang evolusi masyarakat ini juga sering dikenal dengan nama Darwinisme Sosial.
Melalui teori evolusi dan pandangan liberalnya itu, Spencer sangat poluler di
kalangan para penguasa yang menentang reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin laissezfaire dengan mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan individual kecuali
fungsi pasif melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan sosial berkembang bebas tanpa kontrol
eksternal. Spencer menganggap bahwa masyarakat itu alamiah, dan ketidakadilan serta
kemiskinan itu juga alamiah, karena itu kesejahteraan sosial dianggap percuma. Meski
pandangan itu banyak ditentang, namun Darwinisme Sosial sampai sekarang masih terus
hidup dalam tulisan-tulisan populer.
Implikasinya dalam kehidupan sehari-hari, Evolusi pada sosiologi mempunyai arti
optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan
untuk perbaikan hidupnya. Seperti kata-kata diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa,
evolusi bagi spencer adalah kemajuan dalam segala bidang yang mana menjadi motivator
bagi kita sendiri bagaimana caranya untuk bisa menjadi yang lebih baik dalam hidup kita
masing-masing.
Contohnya, Seseorang yang tidak lemah dan frustasi dalam menghadapi hidup karena
kegagalan secara terus menerus, bukan merupakan orang yang didalamnya terdapat evolusi
yaitu perubahan, setiap orang pasti akan mendapatkan sesuatu yang dia inginkan tetapi harus
melalui proses yang panjang dan berusaha serta berdoa, kalau kita ingin menjadi seseorang
yang maju, diberikan kemudahan pula.

3) Rudolf Von Jhering (1818 1892)


Teori Jhering merupakan gabungan antara teori bentham, Stuart Mill dan Positivisme
hukum dari John Austin. Jhering berpendapat mengenai sistem hukum suatu Negara bahwa

senantiasa terdapat asiminasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya, demikian halnya


kebudayaan antar bangsa terdapat asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan.
Menurut Jhering tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Ia
mendefinikan kepentingan seperti halnya Bentham, yakni mengejar kesenangan dan
menghindari penderitaan, tapi kepentingan individu dijadikan sebagai tujuan social.
Kemudian dia juga menyebutkan :
a) Jhering menolak pandangan von Savigny yang berpendapat bahwa hukum
timbul dari jiwa bangsa secara spontan. Bagi Jhering, contohlah Hukum
Romawi yang dapat dikarakteristikkan sebagai suatu sistem egoism yang
berdisiplin. Di sini hukum digabung dengan egoism bangsa.
b) Karena hukum senantiasa sesuai dengan kepentingan negara maka tentu saja
hukum itu tidak lahir spontan, melainkan dikembangkan secara sistematis dan
rasional, sesuai dengan perkembangan kebutuhan.
c) Ternyata Hukum Romawi dalam perkembangannya sudah tidak menjadi
hukum nasional tetapi sudah menjadi hukum yang universal.

4) Hans Kelsen (1881 1973)


Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan
ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha
pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke
Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.
Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh
Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi
politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di
sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh
karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk
menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.
Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan
hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa.
Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui The Pure Theory of Law, tetapi
juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hukum, sosiologi, teori politik dan kritik
ideologi. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam
hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya
tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional
termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi,
spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.
7

Kelsen menemukan bahwa filosofi hukum yang ada pada waktu itu telah
terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi
karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain, dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh
karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk
menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai
kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi
prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham antireduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen
meyakini bahwa jika hukum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka
metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak
hanya sebatas permasalahan metodologi saja.
Ajaran dari Hans Kelsen ini menimbulkan reaksi terhadap mazhab-mazhab hukum
lain yang telah memperluas batas-batas Ilmu Pengetahuan hukum. Ajarannya didasarkan pada
konsepsi Immanuel Kant, yang memisahkan secara tajam antara pengertian hukum sebagai
Sollen, dan pengertian hukum sebagai Sien. Oleh karena itu ajaran dari Hans Kelsen disebut
sebagai Neo Kantiaan.
Hans Kelsen ingin memurnikan hukum dari unsur-usnur pikiran yang filosofismetafisis, dan ingin memusatkan perhatianya pada teori hukum yang abstrak dengan maksud
untuk memperoleh Ilmu pengetahuan hukum yang murni. Ia tidak sependapat dengan definisi
hukum yang diartikan sebagai perintah. Karena itu ajarannya dianggap reaksi terhadap
mazhab-mazhab lain.
Menurut Kelsen, hukum tidak menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi
menentukan peraturan-peraturan tertentu yaitu meletakkan norma-norma bagi tindakan yang
harus dilakukan orang.
Objek ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatif yang diciptakan hukum yaitu :
sifat keharusan untuk melakukan suatu perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi pokok
persoalan ilmu pengetahuan hukum adalah : Norma hukum yang terlepas dari pertimbanganpertimbangan semua isinya baik dari segi etika maupun sosiologis. Karena itu ajarannya
disebut dengan Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre)
Dinyatakan oleh Kelsen bahwa Hukum adalah sama dengan negara. Suatu tertib
hukum menjadi suatu negara apabila tertib hukum itu sudah menyusun suatu badan-badan
atau lembaga-lembaga guna menciptakan dan mengundangkan serta melaksanakan hukum.
Dinamakan tertib hukum, apabila ditinjau dari sudut peraturan-peraturan yang abstrak.
Dinamakan negara, apabila objek diselidiki adalah badab-badan atau lembaga-lembaga yang

melaksanakan hukum, Setiap perbuatan hukum harus dapat dikembalikan pada suatu norma
yang memberi kekuatan hukum pada tindakan manusia tertentu itu.
Konstitusi menurut Kelsen kekuatan hukumnya berasal dari luar hukum. Yaitu dari
hypotese atau grundnorm yang pertama kali, maka kalau grondnorm itu telah diterima oleh
masyarakat harus ditaati. Jadi Ilmu Pengetahuan hukum menyelidiki :
1. Tingkatan Norma-norma.
2. Kekuatan berlakunya dari tiap norma yang bergantung dari hubungan yang logis dengan
norma yang lebih tinggi, sampai akhirnya pada suatu hypothese yang pertama.
Pandangan Kelsen tentang tata hukum sebagai suatu bangunan norma-norma yang
disusun secara hierachis disebut : Stufenbau teori. Menurut teori ini, karena ada ikatan asasasas hukum, hukum menjadi suatu sistem, ilmu hukum memenuhi syarat sebagai ilmu dengan
obyek yang bisa ditelaah secara empirik, dengan analisa yang logis rational. Yang menjadi
obyek studi adalah hukum positif.
Hans Kelsen (General Theory of Law and State), mengatakan bahwa grundnorm nya
adalah suatu sains, dan dia menyatakan dirinya sibagai positivist, padahal dengan cara dia
menerangkan tentang grundnorm, menunjukkan bahwa dia telah berfilsafat. Kelsen memulai
teorinya dengan Ground Norm atau yang dikenal dengan hukum dasar, yang intinya bersifat
dasar-dasar hukum seperti keadilan, keseimbangan, perlindungan. Semua itu merupakan
konteks filsafat.
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek seharusnya atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang
deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein)
dan apa yang seharusnya, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan
kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum,
yang merupakan pernyataan-pernyataan seharusnya tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi
alamiah. Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian
yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan
sederhana ; kita menilai sebuah aturan seharusnya dengan memprediksinya terlebih dahulu.
Saat seharusnya tidak bisa diturunkan dari kenyataan, dan selama peraturan legal intinya
merupakan pernyataan seharusnya, di sana harus ada presupposition yang merupakan
pengandaian.
Hans Kelsen berpendapat, bahwa suatu norma dibuat menurut norma yang lebih
tinggi, dan norma yang lebih tinggi ini pun, dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan
demikian seterusnya sampai kita berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh
norma lagi, melainkan ditetapkan terlebih dahulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat.
9

Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm
(Norma Dasar), dan Grund Norm pada dasarnya tidak berubah-rubah. Grundnorm disebut
juga sebagai cita hukum, seperti cita hukum bangsa Indonesia yaitu, Pancasila yang tersurat
dalam Pembukaan UUD 1945.
Untuk mengatakan bahwa hukum sebagai suatu sistem norma, maka Hans Kelsen
menghendaki agar obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis, sedangkan
sumber yang mengandung penilaian etis diletakkan di luar kajian hukum atau bersifat
tanceden terhadap hukum positif, dan oleh karenanya kajiannnya bersifat meta-yuridis.
Dengan adanya Grundnorm atau Basic Norm ini, maka Hans Kelsen mengatakan
bahwa Basic Norm`s as the source of validity and as the source of unity of legal system.
Melalui Grundnorm inilah semua peraturan hukum itu disusun dalam satu kesatuan secara
hirarkhis, dan dengan demikian ia juga merupakan suatu sistem. Grundnorm merupakan
sumber nilai bagi adanya sistem hukum, sehingga ia merupakan bensin yang
menggerakkan seluruh sistem hukum. Di samping itu Grundnorm, menyebabkan terjadinya
keterhubungan internal dari adanya sistem. Sedangkan terminologi norma itu sendiri, oleh
Hans Kelsen, diartikan sebagai the expression of the idea...that a individual ought to behave
in a certain way. Fungsi norma adalah commando, permissions, authorizations and derogating
norms.
Hukum positip hanyalah perwujudan dari adanya norma-norma dan dalam rangka
untuk menyampaikan norma-norma hukum. Hans Kelsen mengatakan...every law is norm....
Perwujudan norma nampak sebagai suatu bangunan atau susunan yang berjenjang mulai dari
norma positip tertinggi hingga perwujudan yang paling rendah yang disebut sebagai
individual norm. Teori Hans Kelsen ini, membentuk bangunan berjenjang tersebut disebut
juga stufen theory. Norma-norma yang terkandung dalam hukum positif harus dapat
ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling dasar yaitu Grundnorm. Oleh karena itu,
dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma hukum
yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi, agar keberadaan hukum sebagai
suatu sistem tetap dapat dipertahankan, maka ia harus mampu mewujudkan tingkat kegunaan
(efficaces) secara minimum Efficacy suatu norma ini dapat terwujud apabila :
I.
Ketaatan warga dipandang sebagai suatu kewajiban yang dipaksakan oleh
norma
II.
Perlu adanya persyaratan berupa sanksi yang diberikan oleh norma.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norma moral lain
dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will).
Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai
dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru
10

tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang
merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel
Kant. Kelsen juga tidak mengklain bahwa presupposition dari Norma Dasar adalah sebuah
kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat
optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka
ia percaya bahwa setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan. Tetapi, tidak ada
dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus
melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan
sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.
Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif
agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan
aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana
norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada
instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.
Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya
bahwa perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu
secara aktual dipraktikkan dan ditaati). Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma
Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali
ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah
kandungan isi Norma Dasar.
Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan
skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya.
Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah
sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas
Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan
menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa
benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.

B. Analisis Kasus dengan Perkembangan Aliran Positivisme


Kasus nenek Minah menurut aliran positivis adalah sebuah perbuatan yang harus
dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya. Penegakan hukum terhadap nenek
Minah harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial serta moralitas, karena menurut kaca mata
11

aliran ini tujuan hukum adalah kepastian, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak
akan tercapai walaupun harus mengenyampingkan rasa keadilan.
Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan
buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara
nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif,
yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum
adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.9
Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme
tersebut sebagai berikut:
I.
II.

Hukum adalah perintah


Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis,

III.

histories dan penilaian kritis.


Keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang
sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial,

IV.

kebijaksanaan dan moralitas.


Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh

V.

penalaran rasional, pembuktian atau pengujian


Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa
dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan10.

Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran
yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber
hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.
Hukum Pidana di Indonesia masih

menganut aliran Positivisme, hal ini secara

eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana seseorang
sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas legalitas. Dari
pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undangundang yang mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah
yang tertuang didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam
hukum positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta
pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana.
9 Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita,
Jakarta, 2009, hlm. 6
10 Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika,
Jakarta, 1985, hlm. 111
12

Ketika nenek Minah kedapatan mengambil 3 buah kakao, yang secara ekonomi
nilainya tidak seberapa, nenek Minah harus berurusan dengan hukum, karena perbuatan yang
dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana termasuk kepada perbuatan pidana yakni
tindak pidana pencurian. Menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum

harus

ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus
dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum.
Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang
obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan
kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan
lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat
keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna
menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun
normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.11
Dalam menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran positivisme,
mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang
disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan
yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan
kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Karena

melihat persoalan hukum ini melalui kacamata positivisme, maka harus

melihat kembali fakta-fakta substansi hukum Pidana Indonesia dalam menjawab persoalan
ini, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran
positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir, sehingga
hukum Pidana terlepas dari Ins konsistensi hukum. Dengan kata lain, terlepas dari serba
keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang
persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Menurut Hans Kelsen, aliran positivisme hukum tidak mempersoalkan keadilan, karena hal
tersebut bukan konsen dari hukum.
Kasus nenek Minah sontak mencidrai rasa keadilan di tengah masyarakat, sebab
nenek Minah yang tak tau apa-apa tersebut harus berurusan dengan hukum dan dijatuhi
hukuman oleh hakim. Padahal apa yang diperbuat oleh nenek Minah sangat tidak berbanding
dengan sanksi yang diterimanya. Seharusnya perkara-perkara kecil seperti ini tidak sampai ke
11 Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam
& Huma, Jakarta, 2002, hlm. 96
13

pengadilan dan cukup diselesaikan bawah, tetapi hukum berkata lain. Substansi hukum tidak
lagi mencerminkan keadilan ditengah masyarakat, hukum sudah jauh dari nilai-nilai yang
hidup ditengah masyarakat.
Menurut Aliran Sosiologis yang dipelopori Hammaker, Eugen Ehrlich dan Max
Weber Hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum adalah gejala
masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya dan lenyapnya) sesuai
dengan

perkembangan

masyarakat.

Perkembangan

hukum

merupakan

kaca

dari

perkembangan masyarakat.
Oleh sebab itu, menurut aliran Sosiologis, hukum bukanlah norma-norma atau
peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib yang ada dalam
masyarakat, tetapi kebiasaan-kebiasaan orang dalam pergaulannya dengan orang lain, yang
menjelma dalam perbuatan atau perilakunya dimasyarakat. Hammaker, yang meletakkan
dasar sosiologi hukum di Negara Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan
norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan
menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturan-peraturan yang menunjuk
kebiasaan orang dalam pergaulannya dengan orang lain di masyarakat.
Menurut Soekanto, aliran sociological jurisprudence yang dipelopori oleh oleh Eugen
Erlich, bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif (kaidahkaidah hukum) dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat (living law). Sehingga hukum
yang positif hanya akan efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di
masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah
terletak pada badan-badan legislated, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum,
tetapi senyatanya adalah justru terletak didalam masyarakat itu sendiri.12
Kasus nenek Minah merupakan secuil kecil masalah ketidakadilan ditengah-tengah
masyarakat. Banyak substansi hukum yang ada tidak berihak kepada kepentingan
masyarakat, hukum tidak lagi mencerminkan perkembangan masyarakat sehingga banyak
masalah-masalah hukum terkini ditengah-tengah masyarakat tidak bisa dijawab oleh hukum,
karena hukum yang berlaku sudah banyak yang usang seperti hukum warisan kolonial yang
masih bersifat positivis.
Secara idialnya perkembangan masyarakat harus diikuti oleh perkembangan hukum.
Dari kasus nenek Minah, penggunaan pranata hukum yang tidak sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan tidak mencerminan nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat
12 Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, 1999, hlm.36
14

hanya membawa ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat. Ditambah lagi dengan aparat


penegak hukum yang masih berpola pikir konservatif dalam menegakkan hukum. Hukum
adalah hasil ciptaan masyarakat, tapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga
konsep dalam berhukum seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.13

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kasus nenek Minah
merupakan gambaran nyata bahwasanya dunia hukum di Indonesia masih memerlukan
banyak pemikir hukum agar kedepannya hukum lebih membaik lagi. Sebagian besar hukum
yang berlaku di Indonesia masih menganut aliran positivisme. Tujuan dari aliran ini ialah
kepastian hukum, hukum adalah yang terdapat didalam undang - undang, sedangkan diluar
itu bukanlah hukum. Hukum harus ditegakkan tanpa melihat unsur-unsur sosiologis, etis

13 Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 242

15

maupun politis. Sehingga nenek Minah yang lemah dan tak berdaya didepan hukum harus
tetap menjalani proses hukum, karena walaupun hukum kejam hukum tetap harus ditegakkan.
Sedangkan di sisi lain, dengan adanya kasus nenek Minah ini, hukum di Indonesia
tidak lagi menggambarkan nilai-nilai keadilan ditengah-tengah masyarakat. Menurut Aliran
Sosilogis hukum itu lahir dan hidup ditengah masyarakat, hukum yang hidup ditengah
masyarakat itulah hukum, sehingga hukum merupakan percerminan dari perkembangan
masyarakat itu. Menurut aliran ini hukum tidak terdapat didalam undang-undang, tetapi
hukum itu ada ditengah-tengah masyarakat yang terlihat dari pola tingkah laku masyarakat.
Perkembangan masyarakat juga harus di ikuti oleh perkembangan hukum, sehingga pranatapranata hukum yang ada dapat menjawab semua masalah hukum tanpa mengenyampingkan
nilai-nilai keadilan yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Dalam perkembanganya di
Indonesia jika ingin mengambil keadilan haruslah seorang hakim tersebut melihat aspek
sosiologis maupun yuridis dengan adanya aspek aspek tersebut seorang hakim dapat
memberikan putusan di pengadilan lebih baik untuk kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA
Arief Shidharta, et.al. 1994. Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Bagir Manan. 1985. Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.. Makalah pada Penataran Nasional Hukum Administrasi
Negara. Fakultas Hukum Universitas Hasanudin. Ujung Pandang.
Hans Kelsen.2008.Toeri Hukum Murni. Bandung : Nusamedia.
Johnny Ibrahim. 2005.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya :
Bayumedia
Muhammad Sidiq.2009.Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum. Jakarta : Prandya
Paramita
16

Sabian Usman.2009.Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan


Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Soekanto. 1999.Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta.
Soetandyo Wignjosobroto. 2002.Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya.
Jakarta : Elsam & Huma.
Satjipto Raharjo II.1985.Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV. Jakarta :
Karunika.
Theo Huijbers.1982. Filsafat Hukum. Yogyakarta : Kanisius

17

Anda mungkin juga menyukai