Anda di halaman 1dari 18

1

BUDAYA DAN KOMUNIKASI ORGANISASI

A. PENGERTIAN BUDAYA PERUSAHAAN


Telah banyak pendefinisian budaya perusahaan dilakukan para
ahli, di mana masing-masing definisi secara umum mengandung
persamaan sekaligus perbedaan. Persamaannya terkandung pada peran
pentingnya sebagai nilai yang mampu memberikan petunjuk bagaimana
cara

bersikap

dan

berperilaku

dalam

perusahaan.

Sementara

perbedaannya, terkait dengan kepercayaan para ahli apakah budaya


merupakan sesuatu yang konkrit atau abstrak (perwujudannya) dan
apakah pembentukannya dipengaruhi oleh lingkungan internal atau
eksternal bahkan kedua-duanya (faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukannya)
Berikut akan dipaparkan definisi budaya perusahaan yang pernah
disampaikan oleh beberapa ahli.
Tabel 20
Definisi Budaya Perusahaan53
No.
1
2

Tokoh
Smircich (1983)

Definisi
Sumber
Spesifikasi
Budaya organisasi merupakanUsahawan, Nilai bersama
nilai dan keyakinan yang dimiliki1996
bersama anggota organisasi
Schermerhorn, Organizational
or
corporate Schermerh The system of
Hunt, & Osbornculture is the system of shared orn, Hunt,shared actions,
(1997)
actions, values and beliefs that & Osborn,values
and
develops within an organization 1997
beliefs
and guides the behavior of its
member
Gordon (1991)
Budaya oraganisasi dipandangGordon,
Suatu
sistem
sebagai suatu sistem spesifik1991
spesifik:
organisasi yang terdiri dari
asumsi-asumsi
asumsi-asumsi
dan
nilai-nilai
dan
nilai-nilai
umum yang mencetuskan polaumum
pola perilaku tipikal. Sistem ini
ditransmisikan secara formal dan
informal.
David (1984)
Budaya merupakan keyakinan-Gordon,
Keyakinan-

53 Pengertian budaya perusahaan dan budaya organisasi adalah sama. Hal ini mengacu pada berbagai
telaah para ahli organisasi atau manajemen yang diperoleh penulis dari berbagai jurnal dan buku-buku teks.

2
keyakinan
yang
berorientasi1991
internal dan eksternal mengenai
bagaimana berkompetisi.

Vestal (1997)

keyakinan yang
berorientasi
pada
lingkungan
internal
dan
ekstrenal
An organizing
&concept:
how
work is done,
how people are
selected
and
organizations
value etc.

An organizing concept that Vestal,


encorapasses how work is done Fraliex
and how people are selected, Spreier,
developed, managed. Includes an 1997
organizations value, its decision
making processes, its allocation
of resources, its division of power,
the behavior it requires and the
level of risk that is allowed and
encourage.
Brown & StarkeyA set of beliefs, widely shared, Vestal,
A set of beliefs
(1994)
about how people should behave Fraliex
&work and a set
at work and a set of values about Spreier,
of values
what tasks and goals are 1997
important.
Whipp, RosenfeldRefers to the collection of beliefs, Whipp,
Tthe collection
&
Pettigrewvalues and assumptions held by Rosenfeld of
beliefs,
(1989)
the member of an organization. & Pettigrew,values
and
1989
assumptions
Schein (1992)
Suatu pola basik asumsi yangSchein,
Suatu
pola
dibangun, diciptakan dan dibentuk1992
basik
asumsi
oleh anggota organisasi sebagai
sebagai
hasil
hasil
belajar
dari
adaptasi
belajar
dari
lingkungan eksternal dan internal.
adaptasi
Hasilnya digunakan oleh para
lingkungan
anggota
tersebut
dalam
eksternal dan
mempersepsi, perilaku, sikap,
internal.
perasaaan terhadap masalah
Memunculkan 3
organizational. Ada 3 level budaya
level
budaya
organisasi (1) basic underlying
organisasi
assumptions (2) espoused values
(3) artifacts.
Hax dan MajlufA complex set of basic underlying Hax
danA complex set
(1991)
assumption and deeply held Majluf,
of
basic
beliefs shared by all members of 1991
underlying
the group, that operate at a
assumption and
preconscious level and drive their
deeply
held
behavior in important ways.
beliefs
and
Bentuk budaya organisasi berada
recognize that
dalam 2 level yaitu: (1) artifakculture
is
kreasi dan(2) value. We should
defined
in
recognize that culture is defined in
reference to a

10

11

12

13

reference to a group of people: so


group of people
they refer to western culture,
country
culture,
proffesional
culture, ethnic culture and so on.
Gitman
&Set of attitude, values and Gitman
&Set of attitude,
McDaniel (1995) standards of accepted behavior McDaniel, values
and
that
distinguishes
one 1995
standards,
organization from another
different
from
another
Robbins (1996) (Mengacu pada Becker danRobbins, Suatu system
Schein),
budaya
organisasi1997
makna bersama
diartikan sebagai suatu sistem
yang
menjadi
makna bersama yang dianut oleh
cirri pembeda
anggota-anggota
yang
antar organisasi
membedakan organisasi itu dari
organisasi-organisasi lain.
Cook dkk. (1997) Budaya
organisasi
sebagaiCook dkk.Budaya
asumsi fundamental tentang nilai,1997
organisasi
kepercayaan,
norma,
simbol,
sebagai
bahasa, ritual dan mitos yang
asumsi
memberikan suatu pengertian
fundamental
tertentu kepada para anggota
tentang
nilai,
organisasi. Pengertian ini secara
kepercayaan
kolektif diserap dan digunakan
dan norma.
sebagai acuan berperilaku sesuai
yang diharapkan organisasi.
Martin
Budaya organisasi terdiri atasLuthans,
Budaya
norma-norma
tertentu,
kisah1995
organisasi:
tentang organisasi, aturan-aturan
norma,
kisah,
dan prosedur formal organisasi,
aturan,
kode formal dalam berperilaku,
prosedur
ritual,
tugas-tugas,
sistem
formal,
kode,
pengupahan tertentu, jargonritual,
tugas,
jargon, dan jokes, yang hanya
jargon-jargon
dipahami oleh orang-orang yang
dsb.
berada di dalam organisasi.

Lebih luas dan terperinci, Luthans memberikan pendefinisian


budaya perusahaan melalui 6 elemen yang disebutnya sebagai
karakteristik utama.54 Ke-6 elemen yang dimaksud adalah: (1) observed
behavioral regularities. Aplikasi yang nampak pada elemen ini adalah:
pada saat anggota organisasi melakukan interaksi, melalui penggunaan
bahasa, terminologi dan ritual yang sama. (2) Norms, merupakan standar
perilaku yang mencakup petunjuk bagaimana menyelesaikan pekerjaan.
(3) Dominant value, merupakan nilai-nilai yang dianjurkan atau diharapkan
organisasi misalnya berkaitan dengan kualitas produk, rendahnya absensi
dan efisiensi. (4) Philosophy, merupakan kepercayaan yang dianut
organisasi dalam melakukan hubungan dengan pekerjanya atau
54 Fred Luthans. 1995. Op.cit. Hal. 497

4
customer-nya. (5) Rules, merupakan strict guidelines yang membatasi
anggota organisasi dalam berperilaku dan melakukan aktivitas kerjanya.
(6) Organizational climate, merupakan keseluruhan perasaan yang
diciptakan oleh physical layout, cara-cara anggota organisasi berinteraksi
dengan customer dan other outsider. Definisi ini hampir sama dengan
pendefinisian sebelumnya, namun terdapat satu spesifikasi yang belum
terpapar yaitu dimasukkannya iklim organisasi dalam konteks budaya
organisasi.
B. IDENTIFIKASI BUDAYA PERUSAHAAN
Indikasi dari manifestasi budaya organisasi menunjukkan, hampir
setiap organisasi memiliki nilai-nilai inti yang dipegang bersama.
Salanick55 mengemukakan bahwa nilai-nilai bersama ini adalah esensial
bagi kelangsungan hidup organisasi. Nilai-nilai demikian memberinya
suatu identitas karenanya dipegang secara ekstensif dan dipertahankan
secara kokoh oleh para anggotanya. Pada sudut pandang yang lebih luas
Chatman dan Jehn56 menerangkan bahwa budaya organisasi tidak hanya
esensial dalam skala internal namun juga eksternal organisasional. Hal
ini disebabkan budaya organisasi memiliki potensi sebagai sumber
keunggulan kompetitif. Berkaitan dengan potensinya sebagai elemen
strategis ini, Chatman dan Jehn menambahkan keterangan bahwa
budaya organisasi tersebut haruslah didesain sedemikian rupa sehingga
menjadi suatu bentuk yang berharga, langka dan tidak dapat ditiru oleh
para pesaingnya. Dari pernyataan ini dapat diintepretasikan bahwa
idealnya

suatu

organisasi

semestinya

memiliki

karakter budaya

organisasi yang khas, unik dan berbeda dengan organisasi lainnya.


Dalam topik ini Kreitner dan Kinicki57 mengungkapkan sejumlah metode
yang dapat direalisir untuk membangun spesifikasi budaya organisasi.
Metode yang dimaksud dapat disimak melalui bagan berikut ini:

55 J. A. Chatman & K. A. Jehn. 1994. Assessing The Relationship Between Industry Characteristics and
Organizational Culture: How Different Can You Be. Academy of Management Journal. 37 (7). Hal. 522524
56 Ibid.
57 Kreitner & Kinicki. 1992. Organizational Behavior. Second edition. Irwin, Boston. Hal. 714-715

Figur 12
How to Develop an Organizations Culture
Methods

Intervening

1. Elaborate on history
2. Communications on
and by heroes and
others
3.

4.

Leadership and role


modeling
Communicating
norms and value

Outcome

Develop a sense
of history
H

Create a sense of
oneness
O
Cohesive Organizational
Culture

5.
6.

7.
8.

Rewards system
Career
management
and
job security
Recruiting
and
staffing
Training
and
development

Promote a sense of
membership

9. Member contact
10. Participative

decision making

11. Intergroup

Increase exchange
among members

coordination
&
Personal exchange

Dalam keterangannya, Kreitner & Kinicki mengemukakan bahwa


budaya organisasi terbentuk sebagai wujud respon dari external
pressures, internal potential dan critical events. Uraian ini memberikan
sinyal bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi budaya organisasi di
setiap organisasi bermuara pada dua hal umum yaitu menyangkut
lingkungan internal dan eksternal. Berkaitan dengan fakta ini mereka
memberikan anjuran bagi manajemen untuk selalu memperhatikan hal-hal
tersebut dalam upaya mengkreasi budayanya. Selebihnya bagaimana

6
menjadikan budaya tersebut unik dan khas akan sangat ditentukan oleh
peran manajemen mengkreasi elemen-elemen seperti tersebut dalam
bagan di atas. Bagan di atas dapat dimanfaatkan sebagai guide line bagi
pembentukan atau pengembangan budaya yang unik dan khas pada
suatu organisasi menyangkut aspek lingkungan internal. 58
Secara empiris budaya organisasi pada setiap organisasi memiliki
kekhasan, namun OReilly memerinci sejumlah dimensi-dimensi yang
sama atas semua variasi budaya organisasi. Dimana dimensi-dimensi
tersebut dianggap oleh OReilly menangkap hakikat budaya organisasi. 59
Sedangkan keunikan budaya di setiap organisasi menurutnya terletak
pada perbedaan intensitas (kedalaman) dianutnya dimensi-dimensi
tersebut. Dimensi-dimensi budaya organisasi tersebut mencakup (1)
inovasi, (2) stabilitas, (3) menghargai orang, (4) orientasi pada hasil, (5)
orientasi pada detail, (6) orientasi pada team, dan (7) keagresifan. Ke-7
dimensi ini merupakan hasil dari analisis faktor dari 54 item yang
disebutnya sebagai OCP (Organizational Culture Profile).
Uraian berikut akan memaparkan kembali pemikiran Chatman dan
Jehn sehubungan dengan 7 dimensi tersebut.
1.
Inovasi. Dimensi ini menggambarkan tingkatan sejauh mana
perusahaan mendorong para karyawannya untuk bersikap dan
berperilaku inovatif. Sikap tersebut antara lain ditunjukkan melalui
tingkatan fleksibilitas tindakan menghadapi perubahan lingkungan
bisnis,

termasuk

Realisasi

merespon

konsep

ini

peluang-peluang

berkaitan

dengan

pertumbuhan.
upaya-upaya

pengembangan atau perbaikan produk dan pelayanan. Upaya ini


dimotori oleh kegigihan perusahaan mengembangkan eksperimeneksperimen. Karenanya, perusahaan dengan karakeristik inovatif
umumnya

cenderung

mengembangkan

nilai-nilai

seputar

pengambilan resiko. Kemunculan inisiatif atau ide-ide kreatif pun


sangat

dihargai

58 Ibid.
59 Stephen P. Robbins. Op. cit. Hal. 289

dan

diperhatikan,

karena

dinilai

mampu

7
memberikan masukan ke arah mana perusahaan dikembangkan.
Karakteristik inovatif pun mencerminkan perhatian yang besar pada
proses-proses penyelesaian pekerjaan dari pada berorientasi hasil.
Hal

ini

disadari

sepenuhnya

sebagai

bagian

dari

proses

pembelajaran menuju perbaikan perusahaan.


2.

Stabilitas. Dimensi ini menunjukkan tingkatan sejauh mana


kegiatan organisasi menekankan posisi status quo daripada
perubahan organisasi. Perusahaan dengan karakteristik stabil
selalu mengembangkan nilai-nilai di seputar sifat kehati-hatian.
Sifat ini cenderung dimaknai negatif karena merujuk pada konotasi
lamban atau kurang cepat merespon perkembangan bisnis. Aspek
utama stabilitas adalah predictability. Perusahaan dalam konteks
ini menaruh perhatian besar pada segala hal yang dapat
diprediksikan dampaknya. Perusahaan seperti ini cenderung
menghindari tindakan-tindakan yang beresiko. Sebagai upaya
memperkokoh stabilitas, perusahaan pun seringkali berorientasi
pada peraturan-peraturan formal. Di sini berbagai macam aturan
main, imbalan, dan sanksi-sanksi perusahaan tersusun sangat
jelas dan diberlakukan dengan tegas. Di samping itu, pengokohan
stabilitas perusahaan pun dilakukan melalui praktek-praktek
orientasi person-organization fit.

3.

Orientasi pada orang. Dimensi ini mengidentifikasikan sejauh mana


keputusan-keputusan manajemen (perusahaan) memperhitungkan
efek-efek hasilnya pada anggota organisasi. Pengidentifikasian
konsep ini berhubungan erat dengan orientasi pada rasa keadilan,
hak-hak individu, dan toleransi. Perusahaan yang memiliki orientasi
besar pada orang akan berusaha keras mewujudkan rasa keadilan
dalam bentuk-bentuk apapun. Juga memberikan penghargaan,
perhatian dan dukungan pada apa yang menjadi hak-hak
karyawannya termasuk memberikan toleransi terhadapnya.

8
4.

Orientasi pada tim. Dimensi ini mendeskripsikan sejauh mana


kegiatan kerja diorganisir melalui tim-tim kerja dan bukannya
perorangan.

Perusahaan

yang

berorientasi

pada

tim

kerja

umumnya dicirikan oleh proses pengerjaan yang menuntut


kolaborasi antar person. Kolaborasi ini dinilai penting dalam
menciptakan produk atau pelayanan yang berkualitas. Melalui
kolaborasi,

masing-masing

kemampuannya.
mewujudkan

Orientasi

karakteristik

individu
yang

dapat

mengekspresikan

tinggi

pada

tim

pertemanan

yang

umumnya

solid

dalam

perusahaan. Hal ini dapat dipahami karena interdependensi di


antara anggota tim.
5.

Orientasi pada detil. Dimensi ini menggambarkan tingkatan sejauh


mana perusahaan menuntut para karyawannya memperlihatkan
kecermatan,

analisis

dan

perhatian

pada

kerincian

dalam

menyelesaikan pekerjaan. Perusahaan yang memiliki orientasi


pada detil umumnya mendorong para karyawannya untuk meneliti
setiap aspek dalam pekerjaannya. Ketelitian ini dianggapnya
sebagai suatu nilai yang dipertaruhkan dalam menciptakan
kualitas.

Bahkan

tidak jarang

perusahaan

mengembangkan

instrumen untuk mengukur tingkat ketelitian ini. Perusahaan yang


memiliki karakteristik demikian umumnya takes time dalam
penyelesaian pekerjaannya.
6.

Orientasi pada hasil. Dimensi ini menunjukkan tingkatan sejauh


mana perusahaan memfokuskan diri pada hasil dan bukannya
pada teknik atau proses yang digunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan. Perusahaan yang memiliki orientasi besar pada hasil
umumnya menaruh perhatian pada hasil akhir yang didapatkan dari
pekerjaan. Umumnya tidak dipedulikan bagaimana karyawan dapat
mencapai hasil tersebut. Orientasi ini lebih mengedepankan
tanggung

jawab

personal

dalam

pencapaiannya,

karena

keberadaannya merupakan unit terkecil yang paling mungkin

9
ditekan. Tuntutan-tuntutan yang mengarah pada pencapaian
kinerja unggul selalu didengung-dengungkan. Dalam konteks ini
umumnya karyawan berusaha keras terus memburu hasil-hasil
pekerjaan yang standarisasinya telah ditetapkan oleh perusahaan.
7.

Easygoingness. Dimensi ini menunjukkan tingkatan keleluasaan


karyawan dalam bekerja. Dimensi ini digambarkan bersifat longgar
dan kurang dibatasi oleh jalur-jalur birokrasi atau peraturanperaturan yang ketat. Konsep ini dimunculkan oleh Chatman dan
Jehn sebagai kontras dari keagresifan yang menggambarkan
sejauhmana

orang-orang

itu

agresif

dan

kompetitif

dalam

mensikapi pekerjaan atau permasalahan organisasional dan


bukannya bersantai-santai.

Perusahaan yang berorientasi pada

dimensi

dikarakteristikkan

ini

umumnya

rendah

konflik.

Kemunculan konsep ini ditandai dengan kuatnya item-item OCP


mendukung dimensi tersebut sementara item yang membentuk
keagresifan gugur dalam analisis faktor.
Dari sini dapat pula ditegaskan bahwa variasi budaya organisasi di
setiap organisasi terletak pada diversitas-intensitas dimensi-dimensi
tersebut. Dengan demikian melalui penilaian ke-7 dimensi tersebut akan
diperoleh gambaran budaya organisasi yang beraneka ragam pada suatu
organisasi.
C. BUDAYA SEBAGAI SISTEM PENGENDALIAN PERUSAHAAN
Budaya organisasi yang diorientasikan mampu mencapai
komitmen, produktivitas, membangun competitive advantage bahkan core
competence merupakan sebagian dari pemfungsiannya sebagai sistem
pengendalian organisasi. Oleh beberapa ahli fungsi ini diuraikan ke dalam
elemen-elemen spesifik yang menandakan karakteristik relasional antara
para anggota, organisasi dan budaya organisasi itu sendiri.
Smircich menguraikan fungsi budaya berkenaan dengan perasaan
identitas bersama, sarana membangun komitmen, meningkatkan stabilitas
sistem sosial dan merupakan suatu sense-making device yang dapat

10
membantu memberikan pedoman berperilaku.60 Berdasarkan uraian
tersebut dapat disimak bahwa konteks relasional ditunjukkan dengan
pemberian

peran

budaya

organisasi

sebagai

sarana

penciptaan

keselarasan antara organisasi dengan para anggotanya.


Hal senada dijelaskan pula oleh Durkheim bahwa budaya
berfungsi mengendalikan organisasi terutama dalam meningkatkan dan
memelihara kohesivitas diantara anggota organisasi. Nilai kohesivitas ini
menurutnya amatlah penting dikarenakan peranannya mampu mendorong
peningkatan efektivitas organisasi. Sehubungan dengan pendapat ini Ray
memberikan ulasan bahwa budaya merupakan unsur vital dalam
pengendalian

organisasi

dikarenakan

pengendalian

birokratis

mendapatkan keterbatasannya.61
Dalam pendekatan situasional OReilly62 memberikan rujukan
bahwa tidak semua situasi-situasi di dalam organisasi dapat dimonitor
secara memadai melalui suatu pengendalian formal. Menurutnya, pada
saat situasi dimana pengendalian formal tidak dapat memerankan
fungsinya dengan baik, diperlukan suatu sistem pengendalian sosial.
Pengendalian ini menyangkut persetujuan diantara anggota-anggota
organisasi mengenai sikap dan perilaku yang diharapkan. Dalam ranah
inilah, budaya organisasi menurut OReilly mengekspresikan suatu sistem
pengendalian sosial yang memadai. Seterusnya diungkapkan pula,
budaya perusahaan dalam konteks ini menghasilkan norma-norma yang
dapat membentuk perilaku individu dan kelompok. Berangkat dari
argumentasi ini OReilly mengaitkan pentingnya keberadaan budaya
organisasi pada suatu industri jasa. Dalam keterangannya diungkapkan,
kepemilikan nilai-nilai yang dipegang bersama secara ekstensif sekaligus
dipertahankan

secara

kokoh

oleh

anggota

organisasi

sangatlah

bermanfaat bagi industri jasa. Hal ini dikarenakan para anggota organisasi
60 E. Bachtiar. 1996. Manajemen Budaya Perusahaan untuk Pengendalian Organisasi. Usahawan. 2
(XXX). Hal. 25
61 Ibid.
62 J. A. Chatman & K. A. Jehn. Op. cit.. Hal. 522-524

11
secara langsung mengemban tanggung jawab atas pengadaan jasa dan
persepsi klien. Budaya dianggap dapat menjadi pedoman pelayanan
manakala

terdapat

situasi-situasi

mendesak

dalam

pengambilan

keputusan karena jauh dari keberadaan supervisi. Dalam hal ini OReilly
menekankan fungsi budaya organisasi sebagai alat kontrol. Berangkat
dari uraian inilah dapat dipahami mengapa budaya organisasi sangat
dominan berfungsi sebagai pengendali sosial dalam suatu industri jasa.
Dalam kerangka yang lebih luas Schermerhorn, Hunt dan Osborn
mengaitkan

fungsi

budaya

organisasi

dengan

survival

issues.

Dikemukakan, organisasi dapat terus eksis dan mencapai tujuannya jika


mampu mengatasi tantangan internal dan eksternal. Dalam konteks ini
budaya

organisasi

diorientasikan

pada

fungsi-fungsi

yang

dapat

mengatasi dua bentuk tantangan tersebut. Karenanya ada dua fungsi


budaya yang mereka paparkan, pertama external adaptation dan kedua
internal integration. Fungsi external adaptation memerinci budaya sebagai
petunjuk pencapaian tujuan dan pedoman menghadapi pihak luar.

63

Pada

bagian ini dipaparkan bahwa kondisi eksternal organisasi sangatlah


menantang bahkan seringkali mendatangkan masalah bagi organisasi.
Digambarkan

pula

bahwa

mengombang-ambingkan

kondisi

ini

perusahaan.

memiliki

Satu

syarat

kekuatan

dalam

penting

untuk

mengatasi masalah ini adalah adanya misi organisasi yang jelas bagi para
employee. Karenanya budaya yang dirancang sebagai salah satu
instrumen penjabaran misi tersebut berfungsi memberikan guide line
perilaku employee. Adapun konsep perilaku ini diorientasikan sebagai
ekspresi tanggung jawab dalam hal inovasi dan tindakan-tindakan kreatif
yang dapat mendukung pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan fungsi
internal integration, mengarahkan budaya organisasi sebagai instrumen
yang dapat membentuk collective identity dan finding ways yang
mengkolaborasikan metode bekerja dan kehidupan bersama. Pada
bagian

ini

mereka

mengungkapkan,

budaya

organisasi

mampu

63 Schermerhorn, Hunt, & Osborn. 1997. Organizational Behavior. Sixth edition. John Wiley & Sons,
New York Hal 267-268

12
mengidentifikasikan tiga aspek utama dalam kehidupan berorganisasi.
Pertama, memberikan batasan siapa anggota dan bukan anggota. Kedua,
menentukan

perilaku

anggota

yang

dapat-tidak

diterima.

Ketiga,

membatasi konsep keberpihakan, mana kawan dan lawan. Dalam konteks


ini budaya seringkali dihubungkan dengan konsep-konsep alokasi power,
status, peran dan otoritas. Bahkan secara spesifik Robbins menjelaskan
fungsi budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan pengendalian
sosial yang memandu dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Pada dasawarsa 1990-an peran budaya sebagai pengendali
organisasi menurut pengakuan Robbins semakin diminati. Hal ini
ditunjukkannya

melalui

fenomena

pendataran

struktur

organisasi,

pembentukan tim-tim kerja, dan pengurangan aspek formal. 64


Sementara itu, Katherine menyebutkan budaya organisasi secara
global berfungsi mengantarai strategi dan result. Dalam beberapa atribut
disebutkan fungsi budaya organisasi adalah: (1) membuat lebih teratur
(highly organized), (2) memberikan petunjuk pelayanan konsumen, (3)
memperjelas rantai hubungan otoritas dan komando, (4) membatasi
downside of risk, (5) meminimalisasi implikasi bisnis yang tidak
terprediksikan dan (6) memberikan jaminan bagi para pekerja. Di sisi lain
Saffold65 mengemukakan bahwa budaya organisasi merupakan dasar dari
penyusunan strategi di mana perencanaan strategis, proses dan
implementasinya merupakan hasil asumsi orang tentang organisasi. Hal
serupa diungkapkan pula oleh Rowlinson bahwa budaya organisasi
merupakan dasar dari pengidentifikasian seluruh kebijakan yang disusun
oleh manajemen.66
Dalam hal ini terdapat perbedaan opini tentang kemungkinan
hubungan

kausal

antara

strategi

dan

budaya.

Apakah

strategi

menentukan karakteristik budaya atau budaya menenentukan strategi.


64 Stephen P. Robbins. Op. cit. Hal. 292-293
65 Ibid.
66 Rowlinson. 1995. Strategy, Structure and Culture: Cadbury, Divisionalization and Merger in the
1960s. Journal of Management Studies. 32 (2). Hal. 123

13
Jawaban persoalan ini membutuhkan suatu penilaian yang hati-hati dan
longitudinal, karenanya hal tersebut berada di luar cakupan penelitian ini.
Harapan yang ingin dicapai dari penguraian dialog ini adalah
memberikan penggambaran bagaimana budaya organisasi memiliki peran
dalam pencapaian tujuan organisasi.
Lebih lanjut perlu kiranya menyimak komentar Greenberg dan
Baron67 yang mengemukakan adanya tiga fungsi budaya organisasi.
Pertama, memberikan perasaan identitas pada para anggotanya. Kedua,
meningkatkan

komitmen

anggota

pada

misi

organisasi.

Ketiga,

mengklarifikasi dan memperkuat standar perilaku para anggota. Uraian ini


pun pada dasarnya sepadan dengan uraian-uraian sebelumnya yang
menyebutkan budaya memiliki arti penting dalam mengelola organisasi
dalam konteks internal. Hal senada diungkapkan pula oleh Hofstede

68

bahwa budaya organisasi digunakan sebagai suatu konstrak holistic.


Konstrak ini menjelaskan sekumpulan pengetahuan yang kompleks, di
mana anggota organisasi menggunakannya untuk menyelesaikan tugas
dan menghasilkan perilaku sosial. Masih dalam topik yang sama, Brown
dan Starkey mengemukakan bahwa budaya organisasi merupakan
instrumen penting dalam memberikan kerangka acuan tentang bagaimana
komunikasi

dan

informasi

dikelola

oleh

manajemen.

Karenanya

komunikasi dan informasi organisasional tidak lain merupakan permukaan


dari manifestasi konfigurasi budaya organisasi yang kompleks. 69
Dalam tinjauan yang lebih luas menyangkut konteks eksternal
Kotter dan Heskett70 menegaskan bahwa budaya organisasi dapat pula
membantu organisasi mengantisipasi dan menyesuaikan dirinya dengan
perubahan lingkungan. Peran ini mendorong organisasi memperoleh
67Greenberg dan Baron. 1997. Behavior in Organizations Understanding and Managing the Human Side
of Work. Seventh edition. Prentice Hall International, New Jerseyhal. Hal. 488
68 Herlina, Tuti, (Tesis). 1999. Hubungan Timbal Balik antara Strategi Manufaktur dan Budaya Organisasi
Pada Industri Manufaktur di Indonesia. Program Studi Manajemen, Program Pascasarjana, Fakultas
Ekonomi, UGM
69 Brown & Starkey. 1994. The Effect of Organizational Culture on Communication and Information.
Journal of Management Studies. 31 (6). Hal. 808
70 Ibid.

14
superioritas kinerja. Di samping itu Whip, Rosenfeld dan Pettigrew, 71
mengungkapkan budaya organisasi juga memberikan arahan bilamana
terjadi perubahan setting dalam lingkungan usaha baik yang datang dari
lingkungan internal maupun eksternal.
Dari wacana di atas dapat digarisbawahi: sebagai suatu sistem
pengendalian, budaya tidak saja menyangkut relasional antara anggota
dengan organisasi namun melibatkan pula orientasi adaptive kaitannya
dengan dinamika eksternal.

D. BUDAYA PERUSAHAAN PADA INDUSTRI JASA


Seperti telah diungkapkan sebelumnya, kepemilikan nilai-nilai
organisasi yang dipegang secara ekstensif sekaligus dipertahankan
secara kokoh oleh para karyawannya sangatlah bermanfaat bagi
perusahaan yang bergerak di sektor jasa. Hal ini dikarenakan para
anggota organisasi mengemban tanggung jawab besar atas pengadaan
jasa. Lovelock, menegaskan bahwa dalam industri jasa people as part of
the product

72

, juga Kingman dan Brundage mengemukakan bahwa

karyawan perusahaan jasa are an integral part of instrumental interaction


that comprise a service system

73

. Sedemikian dominannya peran

tersebut hingga kualitas dan image produk bahkan perusahaan amat


bergantung pada sikap dan perilaku anggota dalam menangani customer.
Dominasi peran karyawan dalam industri ini dapat dikatakan sudah
merupakan karakter dan basis kegiatan bisnisnya. Robbins menjelaskan
fenomena ini dengan menyebutkan bahwa operasi bisnis perusahaan di
sektor jasa mencakup setiap tindakan atau kegiatan yang dapat
ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak
71 Whip, Rosenfeld & Pettigrew. 1989. Culture and Competitiveness: Evidence from Two Mature UK
Industries, Journal of Management Studies. Hal. 565
72 Lovelock. 1996. Managing Services: The Human Factor, dalam Understanding Services
Management: Integrating Marketing, Organizational Behavior, Operations and Human Resource
Managemen. Edited by Glynn & Barnes. Wiley, Chichester. Hal. 209
73 Ibid. Hal. 122

15
berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Sedangkan
produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan pada satu produk fisik. 74
Karenanya terdapat 4 karakter pelayanan pada industri jasa yaitu (1)
services directed at peoples bodies, di sini terdapat interaksi langsung
secara fisik antara karyawan perusahaan dengan customernya. Produk
fisik merupakan penunjang atau sarana dari serangkaian interaksi
tersebut. Contoh-contoh perusahaan jasa yang memberikan pelayanan
demikian adalah passenger transportation, health care, lodging, beauty
salons, dan restaurant atau bars. (2) Services directed at physical
possession, pengadaan jasa di sini diwujudkan oleh interaksi antara
karyawan dengan suatu produk fisik. Contohnya, repair and maintenance,
laundry, dan warehousing. Dari wujud pelayanannya dapat dikatakan
bahwa kedua kelompok industri tersebut berkarakter tangible action.
Karakter yang lain adalah (3) services directed at peoples minds,
pelayanan jasa di sini lebih berhubungan dengan hasil pemikiran atau
kreasi dari pelaku pengadaan jasa, sehingga customer dicitrakan dengan
suatu hasil karya. Contohnya entertainment, management consulting,
education, psychoteraphy, voice telephone, religion, dan mass media. (4)
Services directed at intangible assets, pelaku pengadaan jasa lebih
berhubungan

dengan

pemberian

pelayanan

sehubungan

dengan

intangible assets. Contohnya, accounting, banking, data processing,


insurance, dan securities investment.75 Berbeda dari penggolongan yang
pertama wujud pelayanan pada kedua jenis industri ini berkarakter
intangible action.
Di samping terletak pada karakteristik pelayanan tersebut,
dominasi peran karyawan dalam industri jasa dapat pula dilihat melalui
prasyarat kualitas jasa. Diantaranya: (1) Keandalan. Karyawan dituntut
memiliki kemampuan untuk melaksanakan atau mewujudkan jasa seperti
yang dijanjikan dengan terpercaya dan akurat. (2) Daya tanggap.
Karyawan dituntut kesanggupannya untuk membantu pelanggan dengan
74 Stephen P. Robbins. Op.cit. Hal. 83
75 Lovelock, dalam Glynn & Barnes. Op.cit. Hal. 210

16
memberikan jasa dengan cepat. (3) Kepastian. Karyawan diharuskan
memiliki pengetahuan dan kemampuan sehingga pelanngan menaruh
kepercayaan dan keyakinan. (4) Empati. Karyawan dituntut bersedia dan
peduli memberikan perhatian secara pribadi bagi pelanggan. (5) Wujud.
Karyawan dituntut memenuhi penampilan fasilitas fisik, peralatan personil
dan materi komunikasi yang menarik. Kelima prasyarat tersebut memiliki
kaitan erat dengan sikap dan perilaku karyawannya, yang kesemuanya
menggambarkan dominasi perannya dalam pengadaan jasa.
Pentingnya karyawan dan perlunya perhatian pada mereka
ditunjukkan pula oleh Robbins, Zeitham dan Berry dalam poin-poin yang
disebutkannya dapat mengakibatkan kegagalan penyampaian jasa. Poinpoin yang dimaksud, (1) kesenjangan antara harapan konsumen dengan
persepsi manajemen. Manajemen tidak selalu secara tepat memahami
apa yang diinginkan pelanggan. Karenanya perlu tenaga operasional yang
handal yang benar-benar memahami dan mengerti kebutuhan di tingkat
konsumen (misalnya konsumen mungkin lebih menuntut daya tanggap tim
bagian kreatif daripada pihak manajemen sebuah di sebuah biro iklan). (2)
Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas jasa.
Manajemen mungkin memahami secara tepat keinginan pelanggan tetapi
tidak selalu mampu menetapkan suatu standar kinerja spesifik. Akibatnya
karyawan sangat mendambakan aturan yang jelas berkait dengan
berbagai aktivitas, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. (3)
Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa. Para
personil perusahaan jasa seringkali dihadapkan pada suatu keadaan
dilematis yaitu menyediakan waktu yang cukup untuk mendengarkan
keluh kesah atau melayaninya dengan cepat. Kasus ini perlu diselesaikan
perusahaan dengan memberikan suatu batasan-batasan nilai. (4)
Kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal.
Seringkali harapan konsumen dipengaruhi oleh pernyataan iklan atau
pidato wakil perusahaan, sehingga mereka menuntut pelayanan seperti
yang dijanjikan. Sehingga kesenjangan antara jasa yang diberikan dan

17
jasa yang diharapkan akan menjadi polemik bagi perusahaan. Sekali lagi
dalam hal ini karyawan dituntut memiliki komitmen dan kegigihan dalam
operasionalisasi bisnis agar sesuai dengan pengharapan para customernya sekaligus perusahaan yang mempekerjakannya. 76
Dari keempat karakter pelayanan industri jasa dan prasyarat
kualitas jasa dapat semakin diperjelas bahwa peran karyawan sangatlah
dominan dalam pengadaan jasa. Peranan ini sekaligus merupakan bagian
yang terintegralistik dengan produk jasa. Karena itu kepemilikan nilainilai organisasi yang dipegang secara ekstensif akan sangat berguna bagi
karyawan sebagai pedoman bekerja. Di samping juga sebagai agen
kontrol bagi perusahaan untuk dapat mengendalikan sikap dan aktivitas
karyawannya dalam mengoperasionalkan bisnisnya.
Nilai-nilai organisasi yang dipersepsikan mampu membendung
kepentingan di atas tidak lain adalah budaya organisasi. 77 Gordon
berargumentasi bahwa budaya organisasi yang dibangun berdasarkan
asumsi-asumsi industri merupakan pondasi penting dalam memunculkan
dan mengembangkan nilai-nilai tertentu mengenai hal-hal yang tepat
untuk dilakukan dalam menjalankan bisnisnya. 78 Bahkan OReilly, Ouchi
serta Johnson menandaskan bahwa budaya organisasi merupakan alat
bantu dalam mengontrol dan mengendalikan anggota-anggotanya agar
senantiasa bersikap dan berperilaku selaras dengan nilai-nilai yang
dipegang teguh oleh organisasi. 79 Bertopang dari budaya organisasi inilah
para anggota organisasi berpedoman dalam bersikap dan berperilaku
secara konsisten dalam melayani customer.
Budaya organisasi pun merupakan instrumen penting dalam
pengendalian organisasi dikarenakan pada industri jasa keberadaan
supervisi langsung seringkali sangat sulit diwujudkan. Hal ini disebabkan
sebagian besar operasi kerja di industri ini memiliki frekuensi kerja off site
76 Stephen P. Robbins. Op.cit. Hal. 92
77 Ibid. Hal. 93.
78 G. G. Gordon. 1991. Industry Determinant of Organizational Culture. Academy of Management Review.
16(2). Hal. 396-397
79 Chatman & Jehn. Op.cit. Hal. 523-525

18
yang tinggi, dan proporsi anggota-anggota staf professional cukup
banyak.80 Kondisi ini sangatlah berbeda dengan industri manufacturing di
mana mekanisme-mekanisme kontrol formal dapat diterapkan dengan
lebih jelas, tegas dan nyata. Dalam industri ini proses-proses produksinya
diselenggarakan dengan struktur yang jelas, mekanistis dengan suatu
rantai komando yang herarkis. Berbeda dengan sektor jasa yang
mengandalkan mekanisme-mekanisme kontrol sosial untuk menuntun
atau mengarahkan tindakan para anggotanya.
Berangkat dari persoalan inilah mengapa internalisasi budaya
organisasi idealnya dilakukan sebaik mungkin pada industri jasa. Tujuan
utamanya tidak lain, para manajer dapat mengantisipasi segala
permasahan

atau

sikap

dan

perilaku

anggotanya

jika

dalam

menyelesaikan tugas-tugasnya dituntut kemandirian karena jauh dari


keberadaan atau bahkan tanpa supervisi langsung.

80 Ibid.

Anda mungkin juga menyukai