Diskusi Pagi KATARAK Sellie-Jaka
Diskusi Pagi KATARAK Sellie-Jaka
KATARAK
Disusun Oleh:
Isyani Noviasellie
Ivan Riyanto
Jaka Panca Satriawan
Jefri Sukmawan
Farid Abdul Hadi
Narasumber:
Dr. Vidyapati W.M, Sp.M
Departemen Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta Januari 2008
BAB I
PENDAHULUAN
Katarak merupakan penyebab utama berkurangnya penglihatan di Indonesia juga di
negara lainnya. Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 2,5 juta kasus pertahun.
Sedangkan di Indonesia terdapat 70 ribu kasus pertahun.
Diketahui bahwa prevalensi kebutaan di Indonesia berkisar 1,2% dari jumlah
penduduk di Indonesia. Dari angka tersebut, persentase kebutaan utamanya adalah yang
disebabkan katarak yaitu sekitar 0,7% Sesungguhnya 60 % dari kebutaan di atas usia
60 tahun adalah diakibatkan katarak..
Secara umum dianggap bahwa katarak hanya mengenai orang tua. Lensa keruh
atau katarak dapat juga terjadi akibat kelainan bawaan, kecelakaan, keracunan obat,
atau umumya pada proses ketuaan normal. Katarak mengenai semua umur dan pada
orang tua katarak seperti rambut beruban yang merupakan bagian umum pada usia lanjut.
Makin lanjut usia seseorang makin besar kemungkinan mendapatkan katarak.
Pada saat ini katarak banyak ditemukan pada masyarakat. Hal ini akibat
bertambahnya manula sebagai dampak dari menuingkatnya kesejahteraan.
Pada makalah ini, dibahas mengenai berbagai jenis katarak. Diharapkan
pembahasan tersebut akan berguna untuk menambah pengetahuan praktisi medis
terutama para mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang sebentar lagi akan menjadi
dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer kesehatan di masyarakat.
BAB II
KATARAK
Definisi
Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya jernih dan bening
menjadi keruh. Katarak berasal dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Asal
kata ini mungkin sekali karena pasien katarak seakan-akan melihat sesuatu seperti
tertutup oleh air terjun di depan matanya. Seorang dengan katarak akan melihat benda
seperti ditutupi kabut.
Penuaan merupakan penyebab utama katarak, namun dapat pula disebabkan
faktor lain seperti trauma, toksin, penyakit sistemik (seperti diabetes), merokok, dan
faktor keturunan. Katarak yang berkaitan dengan usia adalah penyebab utama
gangguan penglihatan.
Patogenesis
Patogenesis katarak belum dapat dimengerti sepenuhnya. Namun, lensa katarak memiliki
ciri berupa edema lensa, perubahan protein, peningkatan proliferasi, dan kerusakan
kontinuitas normal serat-serat lensa. Lensa mata mempunyai bagian yang disebut
pembungkus lensa atau kapsul lensa, korteks lensa yang terletak antara nukleus lensa atau
inti lensa dengan kapsul lensa. Pada anak dan remaja nukleus bersifat lembek sedang
pada orangtua nukleus ini menjadi keras. Katarak dapat mulai dari nukleus, korteks,
dan subkapsularis lensa. Secara umum, edema lensa bervariasi sesuai stadium
perkembangan katarak.
Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut, akan tetapi dapat juga
akibat kelainan kongenital, atau penyulit penyakit mata lokal menahun. Bermacammacam penyakit mata dapat mengkibatkan katarak seperti glaukoma, ablasi, uveitis,
dan retinitis pigmentosa. Katarak dapat pula berhubungan dengan proses penyakit
intraokular lainnya.
Dengan menjadi tuanya seseorang maka lensa mata akan kekurangan air dan
menjadi lebih padat. Lensa akan menjadi keras pada bagian tengahnya, sehingga
kemampuannya memfokuskan benda dekat berkurang. Hal ini mulai terlihat pada usia 40
tahun di mana mulai timbul kesukaran melihat dekat (presbiopia). Dengan bertambahnya
usia, lensa mulai berkurang kebeningannya, keadaan ini akan berkembang dengan
bertambah beratnya katarak. Pada usia 60 tahun hampir 2/3 mulai mengalami katarak
atau lensa keruh. Katarak biasanya berkembang pada kedua mata akan tetapi
progresivitasnya berbeda. Kadang-kadang penglihatan pada satu mata nyata berbeda
dengan mata yang sebelahnya.
Pembentukan katarak secara kimiawi ditandai oleh penurunan penyerapan
oksigen dan mula-mula terjadi peningkatan kandungan air diikuti oleh dehidrasi.
Kandungan natrium dan kalsium meningkat; kandungan kalium, asam askorbat, dan
protein berkurang. Pada lensa yang mengalami katarak tidak ditemukan glutation. Usahausaha untuk mempercepat atau menahan perubahan-perubahan kimiawi ini dengan terapi
medis sampai saat ini belum berhasil.
Perkembangan katarak menjadi berat memakan waktu dalam bulan hingga tahun.
Kadang-kadang katarak berhenti berkembang pada stadium dini dan penglihatan terlihat
tidak mengalami kemunduran. Dapat saja katarak berjalan agak cepat sehingga
mengganggu penglihatan.
Faktor Risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya katarak antara lain adalah usia lanjut,
diabetes mellitus, riwayat katarak pada keluarga, riwayat peradangan atau trauma
mata, riwayat pembedahan mata, penggunaan kortikosteroid yang lama, pajanan
sinar matahari, pajanan radiasi, merokok, konsumsi alkohol, dan kelahiran
prematur.
.
Gejala Klinis
Gambaran klinik dari penyakit katarak meliputi gejala subjektif dan objektif, antara lain:
Gejala Subjektif : Penglihatan seperti berasap dan tajam penglihatan yang mnurun
secara progresif
Penurunan tajam penglihatan tergantung dari tipe katarak:
I. KATARAK SENILIS
Katarak adalah gangguan penglihatan dengan karakteristik penebalan lensa secara
bertahap dan progresif. Penyakit ini merupakan salah satu dari penyebab utama dari
kebutaan saat ini.
Katarak senilis adalah jenis yang paling sering dijumpai. Jumlahnya mencapai
sampai dengan 90% dari seluruh katarak. Katarak ini terjadi pada usia lanjut,
biasanya lebih dari 40 tahun. Kedua mata dapat terlihat dengan derajat kekeruhan yang
sama atau berbeda.
Etiologi dan patofisiologi
Penyebab pasti dari katarak senilis belum bisa diidentifikasi. Kejadiannya seringkali
bersifat familial. Oleh karena itu sangat penting mendapatkan informasi mengenai
riwayat keluarga. Patofisiologi katarak senilis sendiri kompleks dan belum bisa
dimengerti secara penuh. Patogenesisnya multifaktorial, meliputi interaksi yang
kompleks antara bermacam-macam proses fisiologis. Seiring pertambahan usia lensa,
berat dan ketebalannya bertambah sementara kekuatan akomodasinya berkurang.
Ditambah lagi, terdapat pengurangan transport dari air, nutrisi dan antioksidan.
Akibatnya
kerusakan
oksidatif
yang
progresif
pada
lensa
menyebabkan
Katarak Morgagni
Jika katarak hipermatur tidak dikeluarkan, akan terjadi pengerutan dan korteks telah
mencair sehingga nukleus lensa akan turun dari tempatnya dalam kapsul lensa.
Tatalaksana
Meningkatkan fungsi penglihatan merupakan indikasi paling umum untuk
ekstraksi katarak, walaupun kepentingannya bersifat individual. Misalnya, seorang
petugas perpustakaan dengan katarak subkapsular posterior membutuhkan operasi bila
penglihatan jarak dekat terganggu dan seorang petani membutuhkan penglihatan jauh.
Indikasi medis adalah bila katarak tersebut mempengaruhi kondisi kesehatan mata
seperti menyebabkan glaukoma fakolitik atau glaukoma sudut tertutup sekunder
karena lensa intumesen.
Indikasi kosmetik yaitu mengangkat katarak matur pada mata yang buta untuk
menunjukkan kembali pupil yang hitam.
Refraksi optimal pasca operasi
Refraksi optimal pasca operasi tergantung pada kebutuhan pasien akan koreksi
monookular atau binokular.
Bila pasien membutuhkan koreksi monookular dengan keadaan sebelah mata
memiliki visus yang buruk karena katarak pekat atau amblyopia. Refraksi pasca operasi
yang terbaik pada keadaan ini adalah -1D. Koreksi ini cukup bagi pasien untuk
mengerjakan pekerjaan sehari-hari tanpa menggunakan kacamata dan bila perlu
penglihatan lebih jelas dapat menggunakan kacamata bifokal. Beberapa pasien yang tidak
puas adalah pasien miopia yang menjadi hipermetrop setelah implantasi IOL.
Apabila diperlukan koreksi binokular, perbedaan refraksi ke2 mata tidak boleh
lebih dari 3D. hal ini karena pasien dapat mengalami penglihatan ganda ketika melihat ke
atas dan ke bawah. Apabila pasien memiliki penglihatan dengan visus normal di mata
yang tidak dioperasi refraksi pasca operasi di mata yang dioperszasi seharusnya berada
dalam perbedaan antara 1-2 D dengan mata yang tidak dioperasi.
Teknik Operasi
Terapi definitif dari katarak senilis adalah ekstraksi lensa. Terdapat 3 prosedur yang biasa
digunakan yaitu ekstraksi katarak intrakapsular, ekstraksi katarak ekstrakapsular dan
fakoemulsifikasi.
Pada ekstraksi katarak intrakapsular, seluruh lensa diekstraksi, termasuk kapsula
posterior. Pada teknik ini tidak perlu dikhawatirkan terjadinya kekeruhan kapsular.
Teknik ini juga tidak memerlukan peralatan yang canggih dan dapat dilakukan tanpa
mikroskop operatif. Namun terdapat sejumlah kerugian dan komplikasi post-operatif
seperti lamanya penyembuhan, lamanya rehabilitasi penglihatan, astigmatisme yang
signifikan, inkarserasi iris, kebocoran luka post-operasi, inkarserasi vitreus serta edema
kornea. Ditambah lagi, kehilangan sel endotelial pada ekstraksi intrakapsular lebih besar
dibandingkan ekstrakapsular. Teknik ini juga lebih sulit karena penempatan lensa
intraokular tidak semudah apabila diletakkan pada kantung kapsular. Walaupun banyak
komplikasi yang menurunkan kepopuleran penggunaan metode ini, teknik ini masih
dapat digunakan jika keutuhan zonular sangat terganggu sehingga lensa dapat
dikeluarkan dengan sempurna.
Pada ekstraksi ekstra kapsular, nukleus dan korteks dikeluarkan dengan cara
membuka kapsula anterior (anterior capsulectomy) meninggalkan kapsula posterior yang
utuh (gambar 4). Operasi jenis ini terutama dilakukan pada negara maju dengan
tersedianya mikroskop operatif yang baik. Kelebihan teknik ini adalah insisi yang lebih
kecil sehingga kemungkinan terjadinya trauma pada endotel kornea lebih kecil.
Penempatan lensa intraokuler juga dapat dilakukan dengan lebih baik. Syarat untuk
melakukan teknik ini adalah keutuhan zonular.
gambar 5.Fakoemulsifikasi
Komplikasi post-operatif
Walaupun operasi katarak secara umum mudah dan efektif, sejumlah komplikasi
post-operatf dapat terjadi. Komplikasi yang paling serius adalah endoftalmitis yang
dapat berakibat kebutaan. Sumber infeksi biasanya idiopatik, diduga flora yang terdapat
pada palpebra sebelah luar, konjungtiva dan aparatus lakrimal. Sumber lain diduga adalah
kontaminasi saat operasi. Dapat diatasi dengan pemberian pengobatan pra operasi pada
infeksi di sekitar mata, desinfeksi yang benar dan injeksi antibiotik pascaoperasi. Interval
waktu antara ekstraksi katarak dengan onset endolftalmitis berguna dalam memprediksi
kemungkinan organisme penyebab. S. aureus dan organisme gram negatif biasanya
timbul antara hari pertama sampai ketiga pasca operasi dengan gejala yang berat. S.
epidermidis biasanya mulai muncul antara hari ke-4 sampai ke-10 pasca operasi dengan
gejala yang ringan. Penatalaksanaan dimulai dengan identifikasi organisme penyebab
dengan pemeriksaan sampel akueus dan vitreus. Walaupun demikian hasil kultur yang
negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Sampel harus diambil dalam ruang operasi.
Vitrektomi dapat berguna hanya pada infeksi sangat berat dan visus yang menurun
sampai persepsi cahaya. Apabila pasien masih dapat melihat lambaian tangan, vitrektomi
tidak diperlukan. Antibiotik yang efektif untuk eradikasi bakteri gram positif dan gram
negatif harus diberikan. Jenis antibiotik yang direkomendasikan sekarang ini adalah
amikacin atau ceftazidim untuk gram positif dan negatif serta vankomisin untuk kokus
koagulase negatif dan koagulase positif. Amikasin bekerja secara sinergis dengan
vakomisin, namun lebih potensil untuk menjadi retinotoksik dibanding ceftazidim yang
tidak sinergis dengan vankomisin.
Terapi dengan steroid tidak akan berpengaruh terhadap kontrol infeksi bila
organisme penyebab sensitif terhadap antibiotik tersebut. dapat diberikan dalam bentuk
injeksi periokular, sistemik atau topikal.
Komplikasi lain mencakup glaukoma, astigmatisme yang parah, kekeruhan
kapsula posterior, edema retina dan ablasio retina. Dapat pula terjadi perdarahan
suprakoroidal masif yaitu terdapatnya darah dalam jumlah besar dalam ruang suprakoroid
yang dapat menyebabkan pendorongan keluar kandungan intraokular atau pergeseran
permukaan retina.
Rubela
Galaktosemi
Diabetes Melitus
Hipoparatiroidisme
Homosisteinuria
Toksoplasmosis
Inklusi sitomegalik
Histoplasmosis
Atau dapat juga menyertai kelainan pada mata sendiri yang biasanya merupakan
penyakit-penyakit herediter, antara lain :Mikroftalmus, Aniridia, Koloboma,Keratokonus,
Iris heterokromia,Lensa Ektopia,Displasia retina, megalokornea.
Pada pupil mata bayi yang terkena katarak kongenital akan terlihat bercak puih.
Diperlukan pemeriksaan yang lebih lanjut bila ditemukan adanya bercak putih untuk
menyingkirkan diagnosis banding lainnya.Pada katarak kongenital total penyulit yang
dapat terjadi adalah makula lutea yang tidak cuku p mendapat rangsangan.Makula ini
biasanya tidak akan berkembang sempurna hingga walaupun dilakukan ekstraksi katarak
mata, visus biasanya tidak akan mencapai 5/5. Hal ini disebut sebagai ambliopia
sensoris. Katarak kongenital dapat menimbulkan komplikasi lain berupa nistagmus dan
strabismus.
Biasanya bila katarak bersifat total, operasi dapat dilakukan pada usia 2 bulan atau lebih
muda bila telah dapat dilakukan pembiusan.
Tindakan bedah pada katarak kongenital yang umum dikenal adalah disisio lensa,
ekstraksi linier, ekstraksi dengan aspirasi.
Terapi bedah untuk katarak infantilis dan katarak pada masa anak-anak dini
adalah ekstraksi lensa melalui insisi limbus 3 mm menggunakan alat irigasi-aspirasi
mekanis. Jarang diperlukan fakoemulsifikasi, karena nukleus len sa lunak. Berbeda
dengan ekstraksi lensa dewasa, sebagian besar ahli bedah mengangkat kapsul posterior
dan korpus vitreum anterior dengan menggunakan alat mekanis pemotong-penyedot
korpus vitreum. Hal ini mencegah pembentukan kekeruhan kapsul sekunder, atau after
cataract (katarak-ikutan). Dengan demikian, pengangkatan primer kapsul posterior
menghindari perlunya dilakukan tindakan bedah sekunder dan meningkatkan koreksi
optis dini.
Koreksi optis sangat penting bagi bayi dan memerlukan usaha besar oleh ahli
bedah dan orangtua pasien. Koreksi tersebut dapat berupa kacamata untuk anak-anak
afakik bilateral dan berusia lebih besar, tetapi sebagian besar operasi katarak anak-anak
harus diikuti oleh koreksi dengan lensa kontak. Epikeratofakia tampaknya memberi
harapan untuk mengkoreksi afakia pada pasien pediatrik yang tidak dapat mentoleransi
lensa kontak.
komplikata
radang, dan proses degenerasi seperti ablasi retina, retinitis pigmentosa, glaukoma, tumor
okular, iskemia okular, nekrosis anterior segmen, buftalmos, akibat suatu trauma dan
pasca bedah mata. Katarak komplikata dapat juga disebabkan oleh penyakit sistemik
endokrin
keracunan obat (tiotepa intravena, steroid sistemik, oral kontra septic dan miotika
antikolinesterase) . Katarak komplikata memberikan tanda khusus dimana mulai katarak
selamanya di daerah bawah kapsul atau lapis bawah korteks, kekeruhan dapat
difus, pungtata ataupun linear. Dapat terbentuk rosete, reticulum dan biasanya terlihat
vakuol.
Dikenal 2 bentuk yaitu bentuk yang disebabkan kelainan pada polus posterior
mata dan akibat kelainan pada polus anterior bola mata.
Katarak pada polus posterior terjadi akibat penyakit koroiditis, retinitis
pigmentosa, ablasio retina , kontusio retina dan miopia tinggi yang mengakibatkan
kelainan badan kaca. Biasanya kelainan ini berjalan aksial yang biasanya tidak berjalan
cepat di dalam nukleus, sehingga sering teriihat nukleus lensa tetap jernih. Katarak
akibat miopia tinggi dan ablasi retina memberikan gambaran agak berlainan.
Katarak akibat kelainan polus anterior bola mata biasanya akibat kelainan komea
berat, iridoksiklitis, kelainan neoplasma dan glaukoma. Pada iridosiklitis akan
mengakibatkan katarak subkapsularis anterior. Pada katarak akibat glaukoma akan
terlihat katarak disiminata pungtata subkapsular anterior (katarak Vogt).
Katarak komplikata selamanya mulai di daerah korteks atau di bawah kapsul yang
menuju di daerah korteks atau di bawah kapsul yang menuju ke daerah sentral.
Katarak komplikata akibat hipokalsemia berkaitan dengan tetani infantil,
hipoparatiroidisma.
Pada lensa teriihat kekeruhan titik subkapsular yang sewaktu-waktu menjadi katarak
lamelar.Pada pemeriksaan darah terlihat kadar kalsium turun.
mutiara Elsching dan cincin Soemmering. Katarak serkunder merupakan fibrin sesudah
suatu operasi katarak ekstra kapsular atau sesudah suatu trauma yang memecah lensa
Cincin Soemmering mungkin akan bertambah besar oleh karena daya regenerasi
epitel yang terdapat di dalamnya. Cincin Soemmering terjadi akibat kapsul anterior yang
pecah dan traksi ke arah pinggir dan melekat pada kapsula posterior meninggalkan daerah
yang jernih ditengah, dan membentuk gambaran cincin. Pada cincin ini tertimbun lensa
epitel yang berproliferasi.
Mutiara Elschnig adalah epitel subkapsular yang berproliferasi dan membesar
sehingga tampak sebagai busa sabun atau telor kodok.
Mutiara Elschnig ini mungkin akan menghilang dalam beberapa tahun oleh
karena pecah dindingnya.
Pengobatan katarak sekunder adalah pembedahan seperti disisio katarak sekunder,
kapsulotomi, membranektomi, atau mengeluarkan seluruh membran keruh.
BAB III
KESIMPULAN
Katarak merupakan penyebab utama gangguan penglihatan pada usia lanjut. Bila
ditemukan gejala katarak, maka sebaiknya mata diperiksa setiap tahun untuk
menemukan kelainan mata termasuk katarak.
Tidak terdapat cara untuk mencegah terjadinya katarak, akan tetapi hilangnya
penglihatan yang menetap biasanya dapat dicegah karena biasanya dengan cara
pengobatan katarak dengan pembedahan akan didapatkan hasil yang memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Mata merah dengan penglihatan turun perlahan. Dalam: Ilyas S. Ilmu
penyakit mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2004. h. 200-211
2. John P. Lensa. Dalam: Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi
umum. Ed. 14. Jakarta: Widya Medika. 2000.h.175-183
3. Kansky Jack J, editor. Clinical ophtalmology a sistemic approach. 5th edition.
Oxford:Butterworth Heinamann Ltd; 1994.p 176-188.
4. Ilyas S. Katarak (Lensa Mata Keruh). Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2003.
5. Ocampo VVD. Cataract senile. 2005. Diunduh dari www.emedicine.com pada 12
Januari 2008
6. Lang GK. Lens. In: Lang GK. Ophtalmology; a short textbook. Lang. New York.
2000. p. 178-198
7. Ilyas S. Lensa. Dalam: Ilyas S, Tanzil M, Salamun, Zainal A editor. Sari Ilmu
Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI. 2003. hal 89-94