Anda di halaman 1dari 29

A P E N D I S I T I S

--------------------------------------------------------------------------------------------------RD-Collection 2002

Apendisitis akut adalah infeksi bacterial pada apendiks vermiformis.


Apendisitis akut adalah keadaan akut abdomen yang memerlukan
pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk Jika
telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi seperti
peritonitis umum, terjadinya abses, dan komplikasi pascaoperasi
seperti fistula dan infeksi luka operasi.
Di Amerika Serikat ada penurunan jumlah kasus dari 100 kasus
menjadi 52 kasus setiap 100 ribu penduduk dari tahun 1975 1991.
Terdapat 15 30 persen (30 45 persen pada wanita) gambaran
histopatologi yang normal pada hasil apendektomi. Keadaan ini
menambah komplikasi pascaoperasi, seperti adhesi, konsekuensi
beban sosial-ekonomi, kehilangan jumlah hari kerja, dan
produktivitas.
Tingkat akurasi diagnosis apendisitis akut berkisar 76 92 persen.
Pemakaian laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan), adalah dalam usaha meningkatkan akurasi
diagnosis apendisitis akut. Beberapa pemeriksaan laboratorium dasar
masih banyak digunakan dalam diagnosis penunjang apendisitis akut.
C-rective protein (CRP), jumlah sel leukosit, dan hitung jenis se
neutrofil (differential count) adalah petanda yang sensitif proses
inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah untuk
Rumah Sakit di daerah. CRP adalah salah satu komponen protein fase
akut yang akan meningkat 4 6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, yang dapat dilihat dengan melalui proses elektroforesis
serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80 90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap
Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5 -10
menit), dan murah.
Nyeri abdomen akut di luar sebab trauma memberikan banyak
kemungkinan diagnosis. Untuk menetapkan diagnosisnya kadangkala
sangat sulit sehingga berdampak pada morbiditas penderita.

Dombal (1990) mengemukakan bahwa akurasi diagnosis pada nyeri


abdomen akut hanyalah 45-65%. Penderita abdomen akut umumnya
terlambat masuk ke Rumah Sakit, sehingga biasanya sudah disertai
macam-macam penyulit yang perlu diatasi lebih dahulu dan
memerlukan penanganan yang lebih kompleks. Keterlambatan dapat
disebabkan oleh ketidaktahuan atau penderita tidak mengerti, atau
keterlambatan disebabkan oleh dokter yang tidak melakukan
diagnosis atau bahkan membuat diagnosis yang salah, atau
keterlambatan disebabkan oleh penanggulangan yang terlambat di
Rumah Sakit
Nyeri abdomen pada anak disebabkan oleh kecerobohan diet atau
infeksi saluran pencernaan, namun dokter harus selalu
mempertimbangkan adanya apendisitis akut karena hal tersebut
merupakan kasus abdomen akut yang paling penting dan paling
banyak pada anak
Apendisitis akut dapat terjadi pada semua umur. Pada anak sering
terjadi sekitar umur 6-10 tahun. Diagnosis apendisitis akut pada anak
tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis, hal ini
disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan dokter.
Sebagian besar anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan
yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa.
Keadaan ini menghasilkan angka apendektomi negatif sebesar 20%
dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996).
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan
medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak
dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendektomi negatif,
salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado
adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah,
cepat dan kurang invasif . Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat
sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua
temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan
praoperasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis
(Alvarado, 1986; Rice, 1999). Instrumen lain yang sering dipakai pada
apendisitis akut anak adalah klasifikasi klinikopatologi

dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis


dan temuan durante operasi (Cloud, 1993). Morbiditas dan mortalitas
apendisitis akut anak masih cukup
tinggi. Hal ini disebabkan
keterlambatan diagnosis dan penanganan pembedahan, pembedahan
yang terlambat mungkin tetap berhubungan dengan perforasi. Sebagian
besar penderita dengan risiko apendisitis perforasi mempunyai skor
Alvarado yang tinggi
Epidemiologi
Sejarah apendisitis dimulai pada tahun 1827 oleh Melier yang pertama
kali menyebutkan proses inflamasi di sekum dengan typhlitis atau
perityphlitis. Sebelumnya pada tahun 1735, Claudius Amyant
melakukan apendektomi pertama kali pada saat operasi hernia inguinal.
Kemudian Reginald H dan Fitz adalah orang pertama yang memeriksa
apendiks secara histopatologi dari hasil operasi. Sejarah modern
apendisitis dimulai dari tulisan klasik Charles McBurney tahun 1889,
yang dipublikasikan dalam New York Surgical Society on Nov 13,1889.
McBurney mendiskripsikan inflamasi akut di kuadran kanan bawah
biasanya disebabkan oleh apendisitis, yang sebelumnya disebut oleh
Melier dengan typhlitis atau perityphlitis
Angka mortalitas yang tinggi dari apendisitis akut mengalami
penurunan dalam beberapa dekade. Hawk et al, membandingkan kasus
apendisitis akut pada periode 1933 1937 dengan 1943 1948. Angka
mortalitas pasien apendisitis akut dengan peritonitis local menurun dari
5% menjadi 0%. Angka mortalitas pasien apendisitis akut dengan
peritonitis umum menurun dari 40,6% menjadi 7,5%. Pada tahun 1930,
15 kasus meninggal karena apendisitis dari 100 ribu populasi,
sedangkan 30 tahun kemudian hanya 1 kasus meninggal dari 100 ribu
polpulasi. Pada tahun 1977, mortalitas pasien dengan apendisitis akut
tanpa perforasi 0,1% 0,6% dan dengan perforasi 5%
Apendiks Vermiformis
Apendiks sebagai bagian dari sistem pencernaan mulai diterangkan
secara tersendiri pada awal abad 16. Adalah seorang pelukis Italia
terkenal yang bernama Leonardo da Vinci yang pertamakali
menggambarkan apendiks sebagai organ tersendiri. Pada waktu itu

disebutnya orecchio yang berarti telinga. Sebelumnya apendisitis


hanya dapat dibuktikan dengan dilakukannya bedah jenasah. Pada
tahun 1736 oleh Amyand, seorang dokter bedah Inggris, berhasil
dilakukan operasi pengangkatan apendiks pada saat melakukan
operasi hernia pada anak laki-laki. Dialah yang dikenal sebagai
orang yang pertamakali melakukan operasi apendektomi .
Istilah apendisitis pertamakali digunakan oleh Reginal Fitz, 1886,
seorang profesor patologi anatomi dari Harvard, untuk menyebut
proses peradangan yang biasanya disertai ulserasi dan perforasi
pada apendiks. Tiga tahun kemudian (1889), Charles Mc Burney
seorang profesor bedah dari universitas Columbia menemukan titik
nyeri tekan maksimal dengan melakukan penekanan pada satu jari
yaitu tepat di 1,5-2 inchi dari spina iliaca anterior superior (SIAS)
yang ditarik garis lurus dari SIAS tersebut ke umbilikus. Titik
tersebut kemudian dikenal sebagai titik Mc Burney
Anatomi dan Embriologi
Sistem digestif yang secara embriologi berasal dari midgut meliputi
duodenum distal muara duktus koledukus, usus halus, sekum dan
apendiks, kolon asendens, dan sampai bagian oral kolon
transversum. Premordium sekum dan apendiks Vermiformis (cecal
diverticulum) mulai tumbuh pada umur 6 minggu kehamilan, yaitu
penonjolan dari tepi antimesenterium lengkung midgut bagian
kaudal. Selama perkembangan antenatal dan postnatal, kecepatan
pertumbuhan sekum melebihi kecepatan pertumbuhan apendiks,
sehingga menggeser apendiks ke arah medial di depan katup
ileosekal. Apendiks mengalami pertumbuhan memanjang dari distal
sekum selama kehamilan. Selama masa pertumbuhan bayi, terjadi
juga pertumbuhan bagian kanan-depan sekum, akibatnya apendiks
mengalami rotasi kearah postero-medial dan menetap pada posisi
tersebut yaitu 2,5 cm dibawah katup ileosekal, sehingga pangkal
apendiks di sisi medial. Organ ini merupakan organ yang tidak
mempunyai kedudukan yang menetap didalam rongga abdomen.
Hubungan pangkal apendiks ke sekum relatif konstan, sedangkan
ujung dari apendiks bisa ditemukan pada posisi retrosekal,
pelvikal, subsekal, preileal atau parakolika kanan. Posisi
apendiks retrosekal paling banyak ditemukan yaitu 64% kasus.

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar


submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis.
Diantaranya berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian
paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan
pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila
letak apendiks retrosekal maka tidak tertutup oleh peritoneum
viscerale (Soybel, 2001). Menurut Wakeley (1997) lokasi apendiks
adalah sebagai berikut: retrosekal (65,28%), pelvikal (31,01%),
subsekal (2,26%), preileal (1%) dan postileal serta parakolika kanan
(0,4%) (Schwartz, 1990).
Pada 65% kasus apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan
apendiks memungkinkan bergerak dalam ruang geraknya tergantung
pada panjangnya mesoapendiks. Pada kasus selebihnya apendiks
terletak retroperitoneal yaitu di belakang sekum, dibelakang kolon
askenden atau tepi lateral kolon askenden. Gejala klinis apendisitis
ditentukan oleh letak dari apendiks. Pada posisi retrosekal, kadangkadang appendiks menjulang kekranial ke arah ren dekster, sehingga
keluhan penderita adalah nyeri di regio flank kanan. Dan kadang
diperlukan palpasi yang agak dalam pada keadaan tertentu karena
appendiks yang mengalami inflamasi ini secara kebetulan terlindungi
oleh sekum yang biasanya mengalami sedikit dilatasi Letak appendik
mungkin juga bisa di regio kiri bawah hal ini dipakai untuk penanda
kemungkinan adanya dekstrokardia. Kadang pula panjang appendiks
sampai melintasi linea mediana abdomen, sehingga bila organ ini
meradang mengakibatkan nyeri perut kiri bawah. Juga pada kasus-kasus
malrotasi usus kadang appendiks bisa sampai diregio epigastrum,
berdekatan dengan gaster atau hepar lobus kanan.
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya bervariasi
berkisar antara 2-22 cm. Letak basis apendiks berada pada
posteromedial sekum pada pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2
cm di bawah ileum. Dari ketiga taenia tersebut terutama taenia anterior
yang digunakan sebagai penanda untuk mencari basis apendiks. Basis
apendiks terletak di fossa iliaka kanan, bila diproyeksikan ke dinding
abdomen terletak di kuadran kanan bawah yang disebut dengan titik Mc
Burney. Kira-kira 5% penderita mempunyai apendiks yang melingkar ke
belakang sekum dan naik (ke arah kranial) pada posisi retroperitoneal di
belakang kolon askenden. Apabila sekum gagal mengalami rotasi
normal mungkin apendiks bisa terletak di mana saja di dalam kavum

abdomen. Pada anak-anak apendiks lebih panjang dan lebih tipis


daripada dewasa oleh karena itu pada peradangan akan lebih
mudah mengalami perforasi. Sampai umur kurang lebih 10 tahun,
omentum mayus masih tipis, pendek dan lembut serta belum mampu
membentuk pertahanan atau pendindingan (walling off) pada
perforasi, sehingga peritonitis umum karena apendisitis akut lebih
umum terjadi pada anak-anak daripada dewasa (Raffensperger.
Apendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai lapisan otot
longitudinal, mukosanya diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi
apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke
arah ujung. Keadaan ini memungkinkan menjadi sebab rendahnya
kasus apendisitis pada umur tersebut , 1990).
Apendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing,
dan apeksnya menempel pada sekum. Apendiks pada bayi berbentuk
konikal. Panjang apendiks bervariasi dari 2 20 cm dengan panjang
rata-rata 6 9 cm. Diameter masuk lumen apendiks antara 0,5 15
mm. Lapisan epitel lumen apendiks seperti pada epitel kolon tetapi
kelenjar intestinalnya lebih kecil daripada kolon. Apendiks
mempunyai lapisan muskulus dua lapis. Lapisan dalam berbentuk
sirkuler yang merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus sekum,
sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal yang
dibentuk oleh fusi dari 3 tenia koli diperbatasan antara sekum dan
apendiks. Pada masa bayi folikel kelenjar limfe submukosa masih
ada. Folikel ini jumlahnya terus meningkat sampai puncaknya
berjumlah sekitar 200 pada usia 12 20 tahun.
Setelah usia 30 tahun ada pengurangan jumlah folikel sampai
setengahnya, dan berangsur menghilang pada usia 60 tahun.
Mesoapendiks terletak dibelakang ileum terminal yang bergabung
dengan mesenterium intestinal.
Vaskularisasi appendiks mendapatkan darah dari cabang a.
ileokolika berupa appendiksularis yang merupakan satu-satunya
feeding arteri untuk appendiks, sehingga apabila terjadi trombus
pada appendiksitis akuta akan berakibat berbentuk gangren, dan
bahkan perforasi dari appendiks tersebut. Arteri apendikuler adalah
cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan pada ujung bebas
mesoapendiks. Kadang-kadang pada mesenterium yang inkomplet,
arteri ini terletak panda dinding sekum. Pada mesoapendiks yang
pendek dapat berakibat apendiks yang terfiksir (immobile). Kadang-

kadang arteri apendikularis berjumlah dua. . Namun demikian pangkal


appendik ternyata mendapatkan vaskularisasi tambahan dari cabangcabang kecil arteri sekalis anterior dan posterior .
Vena appendiks bermuara di vena ileokalika yang melanjutkan diri
ke vena mesenterika superior. Sedangkan sistim limfatiknya mengalir
ke lymfonodi ileosekal Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe ke
satu atau dua noduli limfatisi yang terletak pada mesoapendiks. Dari
sini cairan limfe berjalan melalui sejumlah noduli limfatisi
mesenterika untuk mencapai noduli limfatisi mesenterika superior.
Syaraf apendiks berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus
vagus) dari pleksus mesenterika superior. Serabut syaraf aferen yang
menghantarkan rasa nyeri visceral dari apendiks berjalan bersama
saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi segmen torakal
X karena itu nyeri visceral pada apendiks bermula disekitar umbilikus.
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara
normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dicurahkan ke
sekum
Menurut Tranggono (1989) mempelajari posisi anatomi apendiks
vermiformis meliputi pembahasan secara topografi yaitu :
1. Holotopi
Holotopi adalah posisi yang sebenarnya dari suatu organ pada
tubuh manusia. Apendiks vermiformis terletak di kwadran kanan
bawah dan di region iliaka kanan.
.
2. Skeletopi
Skeletopi adalah posisi organ manusia menunjuk pada kerangka
atau tulang. Pangkal apendiks vermiformis terletak pada
perpotongan garis interspinal dengan garis lateral vertikal dari titik
pertengahan ligamentum inguinale dan ventral fossa iliaka kanan
3. Sintopi.
Sintopi adalah posisi organ terhadap organ-organ disekitarnya, Apendiks vermiformis di
sebelah bawah sekum di ventral ureter kanan, a. testikularis kanan, bisa di depan ileum atau
dibelakang ileum.
Malrotasi atau maldesesnsus dari sekum akan mengakibatkan kelainan
letak dari apendiks sehingga mungkin saja terletak disepanjang daerah

fossa iliaka kanan dan area infrasplenik kiri. Dalam hal terdapat
transposisi dari visera maka apendiks dapat terletak di kwadran kiri
bawah. Mengingat akan kemungkinan-kemungkinan kelainan posisi
atau letak sekum ini sangat penting, karena hal ini sering
mendatangkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila terjadi
peradangan pada apendiks tersebut. Suatu anomaly yang sangat jarang
terjadi adalah duplikasi apendiks seperti dikemukakan oleh Green.
Sementara menurut Waugh duplikasi apendiks ini tidak ada
hubungannya dengan duplikasi sekum. Kedua apendiks mungkin
terbungkus dalam sarung fibrous dan dikelilingi oleh satu lapisan otot
dan rongganya mungkin berhubungan sebagian atau seluruhnya atau
mungkin berasal secara terpisah dari sekum. Ada yang berpendapat
bahwa apendiks yang kedua merupakan suatu divertikel sekum yang
kongenital.
Karena apendiks merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen
yang sempit dan seperti traktus intestinalis lainnya secara normal
berisi bakteri, resiko stagnasi dari isi apendiks yang terinfeksi selalu
ada. Resiko ini akan bertambah hebat dengan adanya suatu
mekanisme valvula pada pangkal apendiks yang dikenal dengan
valvula Gerlach . Dengan adanya benda-benda asing yang
terperangkap dalam lumen apendiks, posisinya yang mobil, dan
adanya kinking, bands, adhesi dan lain-lain keadaan yang
menyebabkan angulasi dari apendiks, maka keadaan akan semakin
diperburuk. Banyaknya jaringan limfoid pada dindingnya juga akan
mempermudah terjadinya infeksi pada apendiks.
Organ lain di luar apendiks yang mempunyai peranan besar apabila
terjadi peradangan apendiks adalah omentum. Ini merupakan salah
satu alat pertahanan tubuh apabila terjadi suatu proses intraabdominal
termasuk apendiks. Pada umur dibawah 10 tahun pertumbuhan
omentum ini pada umumnya belum sempurna, masih tipis dan pendek,
sehingga belum dapat mencapai apensdiks apabila terjadi peradangan
apendiks. Hal inilah yang merupakan salah satu sebab lebih mudah
terjadi perforasi dan peritonitis umum pada apendisitis anak.

Catatan---------------------------------------------------------

---Appendiks vermiformis (umbai cacing) terletak pada puncak caecum ,


pada pertemuan ke-3 tinea coli yaitu :
Taenia libra
Taenia omentalis
Taenia mesocolica
Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal
junction terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal
appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara
7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumen bagian proksimal menyempit , bagian
distal melebar. Hal ini berlawanan pada bayi, sehingga menyebabkan
rendahnya insidensi appendisitis pada usia tersebut.

Secara histologis mempunyai 4 lapisan yaitu tunika :


Mukosa
Sub mukosa banyak terdapat limfoid
Muskularis
Terdapat Stratum circulare(dalam) dan stratum longitudinale
(luar), stratum longitunale merupakan gabungan dari ke-3 taenia
coli.
Serosa hanya pada appendiks letak intraperitoneal
Posisi appendik :
1. Ileocecal
2. Antecaecal di depan caecum
3. Retrocaecal Intra & Retro peritoneal
4. Anteileal
5. RetroIleal
6. Pelvical
Appendiks mendapat vaskularisasi dari a.Appendicularis
a.Iliocolica a. Mesenterica superior. a. Appendicularis merupakan

suatu arteri yang tidak memiliki kolateral (endarteri) , sehingga jika


tersumbat mengakibatkan ganggren. Darah dari appendiks di
drainage ke v. appendicularis v. Ileocolica. Innervasi appendiks
dari cabang n.X (parasimpatis), sehingga nyeri viseral pada
appendisitis bermula disekitar umbilikus.
Grade Appendisitis pada Anak :
I.
Simple
II. Suppuren
III. Ganggren
S-S-G-R-A
IV. Ruptur
V. Abses
Gambaran Appendicogram : Filling defect, Non Filling defect,
Parsial, Irreguler, Tail mouse

Patofisiologi
Apendiks vermiformis pada manusia biasanya dihubungkan dengan
organ sisa yang tidak diketahui fungsinya. Pada beberapa jenis
mamalia ukuran apendiks sangat besar seukuran sekum itu sendiri, yang
ikut berfungsi dalam proses digesti dan absorbsi dalam sistem
gastrointestinal Pada percobaan stimulasi dengan rangsangan, apendiks
cenderung menekuk ke sisi antimesenterial. Hal ini mengindikasikan
serabut muskuler pada sisi mesenterial berkembang lebih lemah.
Secara anatomi pembuluh arteri masuk melalui sisi muskuler yang
lemah ini. Kontraksi muskulus longitudinal akan diikuti oleh kontraksi
muskulus sirkuler secara sinergis, lambat, dan berakhir beberapa menit.
Gerakan aktif dapat dilihat pada bagian pangkal apendiks dan semakain
ke distal gerakan semakin berkurang. Pada keadaan inflamasi, kontraksi
muskuli apendiks akan terganggu
Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15 25
cmH2O dan meningkat menjadi 30 50 cmH2O pada waktu kontraksi.
Pada keadaan normal tekanan panda lumen sekum antara 3 4 cmH2O,
sehingga terjadi perbedaan tekanan yang berakibat cairan di dalam
lumen apendiks terdorong masuk sekum. Mukosa normal apendiks
dapat mensekresi cairan 1 ml dalam 24 jam (Riwanto I, 1992). Apendiks
juga berperan sebagai sistem immun pada sistem gastrointestinal (GUT).
Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid
Tissues (GALD) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi
ini mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah
penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Pemikiran bahwa
apendiks adalah bagian dari sistem GALD yang mensekresi globulin
kurang banyak berkembang.
Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi
efek pada sistem immunologi Meskipun kelainan pada apendisitis akut
disebabkan oleh infeksi bakteri, faktor yang memicu terjadinya infeksi
masih belum diketahui secara jelas. Pada apendisitis akut umumnya
bakteri yang berkembang pada lumen apendiks adalah Bacteroides

fragilis dan Escherichea colli. Kedua bakteri ini adalah flora


normal usus. Bakteri ini menginvasi mukusa, submukosa, dan
muskularis, yang menyebabkan udem, hiperemis dan kongesti local
vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi
trombosis pada vasa dengan nekrosis dan perforasi
Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi
terjadinya apendisitis akut diantaranya: obstruksi lumen apendiks,
Obstruksi bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet
rendah serat Percobaan pada binatang dan manusia menunjukkan
bahwa total obstruksi pada pangkal lumen apendiks dapat
menyebabkan apendisitis. Beberapa keadaan yang mengikuti setelah
terjadi obstruksi yaitu: akumulasi cairan intraluminal, peningkatan
tekanan intraluminal, obstruksi sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan
kongesti dinding apendiks, efusi, obstruksi arteri dan hipoksia, serta
terjadinya infeksi anaerob. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi
ditemukan dalam 60 - 70 persen kasus. Enam puluh persen obstruksi
disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35%
disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi
yang lain. Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi
Obstruksi pada bagian distal kolon akan meningkatkan tekanan
intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks akan terhambat
keluar. Arnbjornsson melaporkan prevalensi kanker kolorektal pada
usia lebih dari 40 tahun, ditemukan setelah 30 bulan sebelumnya
dilakukan apendektomi, lebih besar dibandingkan jumlah kasus
pada usia yang sama. Dia percaya bahwa kanker kolorektal ini
sudah ada sebelum dilakukan apendektomi dan menduga kanker
inilah yang meningkatkan tekanan intrasekal yang menyebabkan
apendisitis
Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa Entamoeba
histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis dapat
menyebabkan erosi membrane mukosa apendiks dan perdarahan.
Pada kasus infiltrasi bakteri, dapat menyebabkan apendisitis akut
dan abses Pada awalnya Entamoeba histolytica berkembang di
kripte glandula intestinal. Selama infasi pada lapisan mukosa,
parasit ini memproduksi ensim yang dapat menyebabkan nekrosis
mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus. Keadaan berikutnya
adalah bakteri yang menginvasi dan berkembang pada ulkus, dan

memprovokasi proses inflamasi yang dimulai dengan infiltrasi sel


radang akut
Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal
sekum, yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan
berkembangbiaknya bakteri. Penyebab utama konstipasi adalah diet
rendah serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses menjadi
memadat , lebih lengket dan berbentuk makin membesar, sehingga
membutuhkan proses transit dalam kolon yang lama Diet tinggi serat
tidak hanya memperpendek waktu transit feses dalam kolon, tetapi
dapat juga mengubah kandungan bakteri. Hill et al menyimpulkan
bahwa bakteri yang terdapat dalam feses orang Amerika dan Inggris
(yang mengkonsumsi rendah serat) lebih tinggi dibandingkan feses
orang Uganda, India, dan Jepang.
Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya insidesi apendisitis di
negara maju seperti Amerika dan Inggris yang kurang mengkonsumsi
serat lebih besar dibandingkan di Afrika dan Asia
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum.
Hambatan aliran dalam muara apendiks berperan besar dalam
patogenesis apendisitis. Jaringan limfoid pertamakali terlihat di
submukosa apendiks sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah
jaringan limfoid meningkat selama pubertas, dan menetap dalam waktu
10 tahun berikutnya, kemudian mulai menurun dengan pertambahan
umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid yang terdapat di
submukosa apendiks (Kozar dan Roslyn, 1999; Way, 2003).
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan
termasuk apendiks adalah Ig A. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung infeksi. Namun demikian pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh, sebab jaringan limfoid disini kecil
jika dibandingkan jumlah di saluran pencernaan dan seluruh tubuh
(Sjamsuhidayat, 1997
Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa,
lamina muskularis dan lamina serosa . Proses awal ini terjadi dalam
waktu 12 24 jam pertama. Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal
dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga mucus

yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya


akan menyebabkan tekanan intraluminer meningkat, kondisi ini akan
memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah
kuman di dalam lumen apendiks cepat. Selanjutnya terjadi gangguan
sirkulasi limfe yang menyebabkan udem. Kondisi yang kurang baik
ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus
mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka terjadilah
keadaan yang disebut apendisitis fokal , atau apendisitis simple .
Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan tekanan intraluminer
semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi
vaskuler. Sirkulasi venular akan mengalami gangguan lebih dahulu
daripada arterial. Keadaan ini akan menyebabkan udem bertambah
berat, terjadi iskemi, dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi
pernanahan pada dinding apendiks, terjadilah keadaan yang disebut
apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut tekanan
intraluminer akan semakin tinggi, udem menjadi lebih hebat, terjadi
gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadinya gangren
pada dinding apendiks terutama pada daerah antemesenterial yang
relatif miskin vaskularisasi. Gangren biasanya di tengah-tengah
apendiks dan berbentuk ellipsoid. Keadaan ini disebut apendisitis
gangrenosa. Apabila tekanan intraluminer semakin meningkat, akan
terjadi perforasi pada daerah yang gangrene tersebut. Material
intraluminer
yang infeksius akan tercurah ke dalam rongga
peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal maupun general tergantung
keadaan umum penderita dan fungsi pertahanan omentum. Apabila
fungsi omentum baik, tempat yang mengalami perforasi akan ditutup
oleh omentum, terjadilah infitrat periapendikular .
Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu
rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks,terjadilah keadaan
yang disebut abses periapendikular. Apabila omentum belum
berfungsi baik, material infeksius dari lumen apendiks tersebut akan
menyebar di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis
lokal.
Selanjutnya apabila keadaan umum tubuh cukup baik, proses akan
terlokalisir , tetapi apabila keadaan umumnya kurang baik maka
akan terjadi peritonitis general .
Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses
tersebut sehingga dapat terjadi keadaan keadaan seperti apendisitis
rekurens, apendisitis khronis, atau yang lain. Apendisitis rekurens

adalah suatu apendisitis yang secara klinis memberikan serangan yang


berulang, durante operasi pada apendiks terdapat peradangan dan
pada pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan akut.
Sedangkan apendisitis khronis digambarkan sebagai apendisitis yang
secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, pendapatan durante
operasi maupun pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda
inflamasi khronis, dan serangan menghilang setelah dilakukan
apendektomi. Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante
operasi, dimana apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan perlekatan
yang banyak. Dan kadang-kadang terdapat pita-pita bekas peradangan
dari apendiks keorgan lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat
tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadang-kadang terdapat
stenosis partial atau ada bagian yang mengalami distensi dan berisi
mucus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi fragmentasi dari
apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita
jaringan parut. Gambaran ini merupakan gross pathology dari suatu
apendisitis khronika .
Etiologi & Patogenesis
Penyebab belum diketahui
Faktor yang mempengaruhi :
Obstruksi
1. Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)
2. Fecolith (35%) masa feces yang membatu
3. Corpus alienum (4%) biji2an
4. Striktur lumen (1%) kinking , krn mesoappendiks
pendek, adesi
Infeksi
Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misal : pneumonia,
tonsilitis dsb. Antara lain jenis kuman : E. Coli, Streptococcus
Ada 4 faktor yang mempengaruhi terjadinya appendisitis :
1. Adanya isi lumen
2. Derajat sumbatan yang terus menerus
3. Sekresi mukus yang terus menerus
4. Sifat inelastis / tak lentur dari mukosa appendik

Akibat sumbatan / obstruksi mengakibatkan sekresi mukus terganggu ,


sehingga tekanan intra lumen meningkat mengakibatkan gangguan
drainage pada :
Limfe :
Oedem kuman masuk ulcerasi mukosa
Appendisitis akut
Vena :
TrombusIskhemikuman masuk pus Appendisitis
Supuratif
Arteri :
Nekrosis kuman masuk ganggren Appendisitis
ganggrenosa Perforasi peritonitis umum
Appendisitis akut setelah 48 jam dapat menjadi :
1. Sembuh
2. Kronik
3. Perforasi
4. Infiltrat / abses
Ini terjadi bila proses berjalan lambat, ileum terminale, caecum
dan omentum akan membentuk barier dalam bentuk infiltrat. Pada
anak-anak dimana omentum pendek dan orang tua dengan daya
tahan tubuh yang menurun sulit terbentuk infiltrat, sehingga
kemungkinan terjadi perforasi lebih besar.
Sampai saat ini masih menjadi perdebatan dan spekulasi umum di
kalangan para ahli mengenai penyebab pasti dari apendisitis. Beberapa
penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intra sekal yang
berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis. Ada beberapa teori yang sudah diajukan, seperti
teori sumbatan, teori infeksi, teori konstipasi dan teori hygiene ,namun
hal ini juga belum jelas benar. Diperkirakan pula bahwa pada
penderita tua
obstipasi merupakan factor resiko yang

utama,sedangkan pada umur muda adalah adanya pembengkakan sistim


limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula adanya perubahan
konsentrasi flora usus dan spasme sekum mempunyai peranan yang
besar.
Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali
adanya sumbatan dari lumen apendiks. Hal ini disokong dari hasil
pemeriksaan histologis pascaoperasi dan eksperimen pada binatang
percobaan. Seperti yang di dapat oleh Collins yang dikutip oleh
Arnbjornsson pada 3400 kasus, 50% nya telah terbukti apendisitis dan
ditemukan adanya factor obstruksi ini. Condon menyebutkan bahwa
apendisitis adalah akibat dari obtruksi yang diikuti infeksi. Disebutkan
bahwa 60% kasus berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan
hiperplasi jaringan limfoid submukosa dan 35% karena stasis fekal atau
fekalit sementara 4% karena benda asing lainnya dan 1% karena striktur
atau hal-hal lainnya yang menyebabkan penyempitan dari lumen
apendiks.Teori ini juga didukung oleh penemuan Wangensteen dan
Brower (1939) yang mengatakan bahwa pada 75% apendisitis akut
terdapat obstruksi dari lumen apendiks, dan
pada apendisitis
gangrenosa seluruhnya terdapat obstruksi.
Selanjutnya apendisitis yang berhubungan dengan obstruksi yang
disebabkan hyperplasia jaringan limfoid submukosa disebutkan lebih
banyak lagi terjadi pada anak-anak, sementara obstruksi karena fekalit
atau benda
asing lebih banyak ditemukan sebagai penyebab
apendisitis pada orang dewasa. Adanya fekalit dihubungkan oleh para
ahli dengan hebatnya perjalanan penyakitnya
Bila terdapat fekalit (apendikolit) pada pasien-pasien dengan gejala
akut kemungkinan apendiks telah mengalami komplikasi yaitu
gangren 77%, sedang bila tidak ditemukan apendikolit dan hanya
gangren 42%.Satu seri lain menyebutkan bahwa apendisitis akut
dengan apendikolit terdapat kemungkinan gangren atau perforasi
sebanyak 50%
. Selain fekalit dan hyperplasia kel limfoid kita
hendak tidak boleh melupakan sebab obstruksi yang lain ,apalagi
untuk negara kita Indonesia dan negara-negara Asia khususnya yaitu
penyumbatan yang disebabkan oleh cacing dan parasit lainnya.
Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan yang penting.
Pada penderita muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak,
maka akan terjadi reaksi radang dan selanjutnya jaringan limfoid akan
berproliferasi akibat selanjutnya akan mengakibatkan penyumbatan

pada lumen apendiks. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa ada
yang beranggapan bahwa obstruksi yang terjadi merupakan adalah
proses lanjutan dari inflamasi yang terjadi sebagai akibat adanya
infeksi. Kalaupun obstruksi berperan hanyalah pada proses awalnya
saja.19 Selanjutnya dipercaya juga bahwa infeksi bakteri enterogen
merupakan factor patogenetik primer pada proses apendisitis.
Diyakini bahwa adanya fekalit didalam lumen apendiks yang
sebelumnya telah terinfeksi hanya memperburuk dan memperberat
infeksi karena terjadinya peningkatan tekanan intraluminar
apendiks. Ada kemungkinan lain yang menyokong teori infeksi
enterogen ini adalah kemungkinan tertelannya bakteri dari suatu
focus di hidung atau tenggorokan sehingga dapat menyebabkan
proses peradangan pada apendiks. Secara hematogen dikatakan
mungkin saja dapat terjadi karena dianggap apendiks adalah tonsil
abdomen.
Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai
penyebab dan mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Tapi hal
ini masih perlu dipertanyakan lagi, sebenarnya apakah konstipasi ini
benar berperan dalam terjadinya apendisitis. Banyak pasien-pasien
konstipasi kronis yang tidak pernah menderita apendisitis dan
sebaliknya orang orang yang tidak pernah mengeluh konstipasi
mendapatkan apendisitis. Penggunaan yang berlebihan dan terus
menerus dari laksatif pada kasus konstipasi akan memberikan
kerugian karena hal tersebut akan merubah suasana flora usus dan
akan menyebabkan terjadinya keadaan hyperemia usus yang
merupakan permulaan dari proses inflamasi. Bila kebetulan sakit
perut yang dialami disebabkan apendisitis maka pemberiaan
purgative akan merangsang peristaltic yang merupakan predisposisi
untuk terjadinya perforasi dan peritonitis.

Radang appendix biasanya disebabkan karena obstruksi lumen yang disertai dengan
infeksi. Appendicitis diklasifikasikan sebagai berikut: (Ellis, 1989)

1. Acute appendicitis tanpa komplikasi. (cataral appendicitis)


Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mucosa saja.
Appendix kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila

appendix tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal,


oedema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari
jaringan limpoid ke dalam dinding appendix. Karena lumen appendix
tak tersumbat. Maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa.
Bila jaringan limpoid di dinding appendix mengalami oedema, maka
akam mengakibatkan obstruksi lumen appendix, yang akan
mempengaruhi feeding sehingga appendix menjadi gangrena,
seterusnya timbul infark. Atau hanya mengalami perforasi
(mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi
eksudat fibrin Post appendicitis acute, kadang-kadnag terbentuk adesi
yang mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa membentuk
sumbatan pula
2. Acute appendicitis dengan komplikasi:
Peritonitis.
Abses atau infiltrat.
Merupakan appendicitis yang berbahaya, karena appendix menjadi
lingkaran tertutup yang berisi fecal material, yang telah mengalami
dekomposisi. Perbahan setelah terjadinya sumbatan lumen appendix
tergantung daripada isi sumbatan. Bila lumen appendix kosong,
appendix hanya mengalami distensi yang berisi cairan mucus dan
terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab, biasanya
merupakan flora normal lumen usus berupa aerob (gram + dan atau
gram - ) dan anaerob
Pada saat appendix mengalami obstruksi, terjadi penumpukan sekresi mucus, yang
akan mengakibatkan proliferasi bakteri, sehingga terjadi penekanan pada moukosa
appendix, dikuti dengan masuknya bakteri ke dalam jaringan yang lebih dalam lagi.
Sehingga timbulah proses inflamasi dinding appendix, yang diikuti dengan proses
trombosis pembuluh darah setempat. Karena arteri appendix merupakan end arteri
sehingga menyebabkan daerah distal kekurangan darah, terbentuklah gangrene yang
segera diikuti dengan proses nekrosis dinding appendix.
Dikesempatan lain bakteri mengadakan multiplikasi dan invesi melalui erosi
mukosa, karena tekanan isi lumen, yang berakibat perforasi dinding, sehingga
timbul peritonitis. Proses obstruksi appendix ini merupakan kasus terbanyak untuk
appendicitis. Dua per tiga kasus gangrene appendix, fecalith selalu didapatkan
Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensir dengan
proses pembentukan dinding oleh karingan sekitar, misal omentum dan jaringan
viscera lain, terjadilah infiltrat atau (mass), atau proses pultulasi yang
mengakibatkan abses periappendix

Manifestasi Klinis
a. Symptoma.
Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdominal. Secara klinis
nyeri dimulai difus terpusat di daerah epigatrium bawah atau
umbilical , dengan tingkatan sedang dan menetap, kadang-kadang
disertai dengan kram intermiten. Nyeri akan beralih setelah periode
yang bervariasi dari 1 hingga 12 jam, biasanya 4 - 6 jam , nyeri
terletak di kuadran kanan bawah. Anoreksia hampir selalu
menyertai apendisitis.
Hal ini begitu konstan sehingga pada pemeriksaan perlu ditanyakan
pada pasien. Vomitus terjadi pada 75% kasus, umumnya hanya satu
dua kali. Umumnya ada riwayat obstipasi sebelum onset nyeri
abdominal. Diare terjadi pada beberapa pasien. Urutan kejadian
symptoms mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar,
lebih dari 95% apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala
pertama, diikuti oleh nyeri abdominal dan baru diikuti oleh vomitus,
bila terjadi.
b.Signa.
Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperature jarang
lebih dari 1C, frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi. Adanya
perubahan atau peninggian yang besar berarti telah terjadi
komplikasi atau diagnosis lain perlu diperhatikan. Pasien biasanya
lebih menyukai posisi supine dengan paha kanan ditarik ke atas,
karena suatu gerakan akan meningkatkan nyeri. Nyeri kuadran
kanan bawah secara klasik ada bila apendiks yang meradang terletak
di anterior. Nyeri tekan sering maksimal pada atau dekat titik yang
oleh McBurney dinyatakan sebagai terletak secara pasti antara 1,5
2 inchi dari spina iliaca anterior pada garis lurus yang ditarik dari
spina ini ke umbilicus. Adanya iritasi peritoneal ditunjukkan oleh
adanya nyeri lepas tekan dan Rovsings sign. Adanya hiperestesi
pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11, T12 ,
meskipun bukan penyerta yang konstan adalah sering pada
apendisitis akut. Tahan muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar
dengan derajat proses peradangan, yang pada awalnya terjadi secara

volunteer seiring dengan peningkatan iritasi peritoneal terjadi


peningkatan spamus otot, sehingga kemudian terjadi secara involunter.
Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator
sign.
PENYULIT
Menjadi penyulit untuk mendiagnosis appendisitis adalah posisi dari
appendik dalam perut dapat bervariasi. Kebanyakan appendik terdapat
di perut kanan bawah. Appendik seperti bagian lain dari usus, memiliki
mesenterium. Mesenterium ini adalah suatu membran seperti kertas
yang melekatkan appendik pada struktur lain di dalam abdomen. Jika
mesenterium lebar, memungkinkan appendik untuk bergerak. Sebagai
tambahan, appendik dapat lebih panjang dari normal. Kombinasi dari
mesenterium yang lebar dan appendik yang panjang memungkinkan
appendik untuk bergerak ke bawah ke dalam pelvis (diantara organorgan pelvis pada wanita). Ini juga memungkinkan appendik untuk
berpindah ke belakang kolon (disebut appendik retrokolika). Pada kasus
lain, inflamasi pada appendik dapat tampak sebagai inflamasi pada
organ lain, sebagai contoh, organ-organ pelvis pada wanita.
Apendisitis akut
Etiologi dan Patogenesis

a. Peranan Lingkungan: diet dan higiene


Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang
berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis Diet memainkan peran utama pada
pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan
fekalit. Kejadian apendisitis jarang di negara yang sedang
berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses
lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah
penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan
menghasilkan feses dengan konsistensi keras
b. Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam
apendisitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi

lumen apendiks pada


20% anak-anak dengan apendisitis,
terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat Frekuensi
obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit
ditemukan 40% pada kasus apendisitis sederhana (simpel),
sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur
terdapat 65% dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur
terdapat 90%
Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan
mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi
virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan
menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital
terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke
dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu alasan
terjadinya apendisitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamuba
hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk
jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup
untuk menimbulkan risiko terjadinya perforasi
Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah
adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh
fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi
lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan
terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya
terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan tersebut
akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan
dinding apendiks , lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari
lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam
submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan
supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding
yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan
intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada
dinding apendiks
akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa
dinding apendiks Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa
limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya

akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya


melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut
dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus
akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat
terjadinya peradangan pada peritoneum parietale Hasil akhir dari
proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan
organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi
tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada
anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna,
sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan
mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi .
c. Peranan Flora Bakterial
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan
ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga
bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit
kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya
negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis
supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak
ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk
Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat
ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah
E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik
terutama Bacteroides fragilis .
Diagnosis klinis
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar
diagnosis apendisitis akut. Apendisitis akut adalah diagnosis klinis.
Penegakkan diagnosis terutama didasarkan pada riwayat penyakit
dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan hanya dikerjakan bila
ada keragu-raguan atau untuk menyingkirkan diagnosis. Kesalahan
diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki,
perempuan dua kali lebih banyak mempunyai apendiks normal
daripada laki-laki dalam kasus apendektomi, Primatesta (1994)
melaporkan bahwa perempuan tiga kali lebih banyak dibanding
laki-laki dalam insidensi kasus apendektomi negatif. Hal ini dapat

disadari mengingat perempuan yang masih sangat muda sering


timbul gejala mirip apendisitis akut terutama penyakit ginekologis.
Hal-hal penting yang dapat membantu penegakkan diagnosis
apendisitis akut adalah bahwa apendisitis biasanya mempunyai
perjalanan akut atau cepat. Dalam beberapa jam sudah timbul
gejala atau bahkan memburuk oleh karena nyeri, penderita
biasanya cenderung mempertahankan posisi untuk tidak bergerak.
Penderita tampak apatis dan menahan nyeri. Oleh karena nyeri
yang sangat, penderita segera dibawa ke rumah sakit.
Gejala Klinis
Merupakan kasus akut abdomen yang dimulai dengan ketidaknyamanan perut
dibagian atas, diikuti dengan mual dan penurunan nafsu makan. Nyeri menetap dan
terus menerus, tapi tidak begitu berat dan diikuti dengan kejang ringan didaerah
epigastrium, kadang diikuti pula dengan muntah, kemudian beberapa saat nyeri
pindah ke abdomen kanan bawah. Nyeri menjadi terlokalisir, yang menyebabkan
ketidakenakan waktu bergerak, jalan atau batuk.Penderita kadang juga mengalami
konstipasi. Sebaliknya karena ada gangguan fungsi usus bisa mengakibatkan diare,
dan hal ini sering dikacaukan dengan gastroenteritis acute. Penderita appendicitis
acute biasanya ditemukan ditemukan terbaring di tempat tidur serta memberkan
penampilan kesakitan. Mudah tidaknya gerakan penderita untuk menelentangkan
diri merupakan tanda ada atau tidaknya rangsang peritoneum ( somatic pain).
Pemeriksaan pada abdomen kanan bawah, menghasilkan nyeri terutama bila
penderita disuruh batuk.. Pada palpasi dengan satu jari di regio kanan bawah ini,
akan teraba defans musculer ringan . Tujuan palpasi adalah untuk menentukan
apakah penderita sudah mengalami iritasi peritoneum atau belum. Pada
pemeriksaan auskultasi, peristaltik usus masih dalam batas normal, atau kadang
sedikit menurun. Suhu tubuh sedikit naik, kira-kira 7,8 der.C, pada kasus appendix
yang belum mengalami komplikasi. Nyeri di epigastrium kadang merupakan awal
dari appendicitis yang letaknya retrocaecal/ retroileal Untuk appendix yang terletak
retrocaecal tersebut, kadang lokasi nyeri sulit ditentukan bahkan tak ada nyeri di
abdomen kanan bawah. Karena letak appendix yang dekat dengan uretra pada lokasi
retrocaecal ini, sehingga menyebabkan frekuensi urinasi bertambah dan bahkan
hematuria. Sedang pada appendix yang letaknya pelvical, kadang menimbulkan
gejala seperti gastroenteritis acut .
Untuk appendicitis acute yang telah mengalami komplikasi, misal perforasi,
peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti dibawah ini (Ellis, 1989).
Perforasi :
Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dasyat
dan mulai dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3 der. C). Jumlah lekosit
yang meninggi merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi perforasi.

Peritonitis :
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendicitis yang telah
mengalami gangrene. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut
daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans musculer yang
meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala
peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis,
menunjukkan peritonitis yang makin berat.
Abses / infiltrat :
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah.
Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah walling off (pembentukan
dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah
massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-mula bisa
berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan
USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini,
beberapa ahli menganjurkan anti biotika dulu, setelah 6 minggu kemudian
dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi

Anamnesis

Nyeri / Sakit perut


Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan
terjadi pada seluruh saluran cerna , sehingga nyeri viseral dirasakan
pada seluruh perut ( tidak pin-point). Mula2 daerah epigastrium
kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi (
> 6 jam ) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat
somatik.
Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap anak
dengan gejala nyeri abdomen yang belum pernah mengalami
apendektomi seharusnya dicurigai menderita apendisitis. Anak
yang sudah besar dapat menerangkan dengan jelas permulaan
gejala nyeri abdomen dan dapat menerangkan lokasi yang tepat.
Anak dapat menunjuk dengan satu jari tempat permulaan nyeri,
dimana saja yang pernah nyeri dan sekarang dimana yang nyeri
Setelah itu dilanjutkan dengan anamnesis terpimpin seperti
misalnya:
a. Bagaimana hebatnya nyeri ?
b.

Apakah nyerinya mengganggu anak sampai tidak mau main atau anak
tinggal di tempat tidur saja ?

c. Apakah nyerinya sampai menyebabkan anak tidak mau masuk


sekolah ?

d. Apakah anak dapat tidur seperti biasa semalam ?


e.

Apakah pagi ini makannya baik dan cukup seperti biasa ?

Beberapa anak dapat menentukan dengan tepat waktu mulainya


nyeri yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu, umpamanya
nyeri sesudah makan malam, sesudah berolah raga atau sesudah
bangun tidur. Anak dapat menunjukkan dan menceritakan
perjalanan rasa nyeri, kadang-kadang perlu juga bantuan
informasi dari orang tuanya. Perlu diperhatikan bahwa sebagian
orang tua sering membesar-besarkan keluhan anaknya.
Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan
dan makin lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan
oleh karena adanya kontraksi apendiks, distensi dari lumen
apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang
mengalami peradangan Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu
nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di
daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal
tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus mempunyai
persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan
mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal Secara
klasik, nyeri di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6
jam) seterusnya akan menetap di kuadran kanan bawah dan pada
keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah
terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan
sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat
bila batuk ataupun berjalan kaki.
Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi n.vagus
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam
sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat
permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap
penderita apendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis
apendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita
disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan
kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga
timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria

Obstipasi karena penderita takut mengejan


Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum
datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal
tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang
merangsang daerah rektum
Panas (infeksi akut) bila timbul komplikasi
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara
37,50 - 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi
perforasi.
Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri
somatik yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan
ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan
menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan
menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan
menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri
spermatika dan ureter
Pemeriksaan Fisik

Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada


tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah.
Kadang-kadang diagnosis salah pada anak prasekolah, karena anak
dengan anamnesis yang tidak karakteristik dan sekaligus sulit diperiksa.
Anak akan menangis terus-menerus dan tidak kooperatif.
Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang
sakit, kembung (+) bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan
bawah terlihat pada appendikuler abses.
Pemeriksaan pada anak, perhatikan posisi anak yang terbaring pada
meja periksa. Anak menunjukkan ekspresi muka yang tidak gembira.
Anak tidur miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada
sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri .

Palpasi

Pada pemeriksaan abdomen pada anak dengan permukaan


tangan yang mempunyai suhu yang sama dengan suhu
abdomen anak. Biasanya cukup dipanaskan dengan
menggosok-gosok tangan dengan pakaian penderita. Tangan
yang dingin akan merangsang otot dinding abdomen untuk
berkontraksi sehingga sulit menilai keadaan intraperitoneal.
Terkadang kita perlu melakukan palpasi dengan tangan anak
itu sendiri untuk mendapatkan otot abdomen yang tidak
tegang. Abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan
sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi
nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas, kemudian secara
perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah.
Palpasi dengan permukaan dalam (volar) dari ujung-ujung jari
tangan, dengan tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya
nyeri tekan, ketegangan otot atau adanya tumor yang
superfisial. Waktu melakukan palpasi pada abdomen anak,
diusahakan mengalihkan perhatiannya dengan boneka atau
usaha yang lain, sambil memperhatikan ekspresi wajahnya.
Hindari gerakan yang cepat dan kasar karena hal ini akan
menakuti anak dan membuat pemeriksaan nyeri tekan tidak
mungkin dilakukan
Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :
Nyeri tekan (+) Mc.Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan
bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci
diagnosis

Nyeri lepas (+) rangsangan peritoneum


Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri
yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen
kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah
sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam
di titik Mc Burney.
Defens musculer (+) rangsangan m.Rektus abdominis

Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan


abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietale.
Rovsing sign (+)
Penekanan perut sebelah kiri nyeri sebelah kanan, karena
tekanan merangsang peristaltik dan udara usus , sehingga
menggerakan peritoneum sekitar appendik yang meradang
(somatik pain)
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah,
apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri
bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang
dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan

Psoas sign (+)


Pada appendik letak retrocaecal, karena merangsang peritoneum
Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks
Ada 2 cara memeriksa :
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan
pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxae
kanan nyeri perut kanan bawah.
2. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan
pemeriksa, nyeri perut kanan bawah
Obturator Sign (+)
Dengan gerakan fleksi & endorotasi articulatio coxae pada posisi
telentang nyeri (+)
Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan
lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar
secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks
terletak pada daerah hipogastrium

Perkusi Nyeri ketok (+)


Auskultasi

Peristaltik normal, peristaltik(-) pada illeus paralitik karena


peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. Auskultasi
tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis,
tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi
peristaltik usus

Rectal Toucher / Colok dubur nyeri tekan pada jam 9-12


Colok dubur juga tidak banyak membantu dalam menegakkan
diagnosis apendisitis pada anak kecil karena biasanya menangis
terus menerus

Pada anak kecil atau anak yang iritabel sangat sulit untuk diperiksa,
maka anak dimasukkan ke rumah sakit dan diberikan sedatif non
narkotik ringan, seperti pentobarbital (2,5 mg/kg) secara suppositoria
rektal. Setelah anak tenang, biasanya setelah satu jam dilakukan
pemeriksaan abdomen kembali. Sedatif sangat membantu untuk
melemaskan otot dinding abdomen sehingga memudahkan penilaian
keadaan intraperitoneal
Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
1. Nyeri seluruh abdomen
2. Pekak hati hilang
3. Bising usus hilang

Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering


terjadi dengan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
b. Demam tinggi lebih dari 38,50C
c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
d. Dehidrasi dan asidosis
e. Distensi
f. Menghilangnya bising usus
g. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
h. Rebound tenderness sign
i. Rovsing sign

j. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal


Insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 6 tahun lebih
dari 50%, ini berhubungan dengan dinding apendiks yang lebih tipis
dan omentum mayus yang berkembang belum sempurna dibanding
anak yang lebih besar
Dalam penelitiannya Schwartz (1999) melaporkan bahwa anak di
bawah umur 8 tahun mempunyai angka perforasi dua kali lebih besar
daripada anak yang lebih besar. Sedang menurut Way (2003) insidensi
perforasi apendiks pada anak di bawah umur 10 tahun sebesar 50%.
Perforasi apendiks paling sering terjadi di distal obstruksi lumen
apendiks sepanjang tepi antimesenterium (Kozar dan Roslyn, 1999).
Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa
di kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan
adanya inflamasi abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan
apendiks yang mengalami inflamasi (Lally, 2001).
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk


menilai awal keluhan nyeri kwadran kanan bawah dalam menegakkan
diagnosis apendisitis akut. Pada pasien dengan apendisitis akut, 7090% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat,
walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada
pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium
yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut Pemeriksaan
laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi
merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas.
Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan
seluler. Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk
pertahanan tubuh dan membawa mereka pada tempat yang terkena
jejas dengan cara:
1.

mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear, makrofag)


pada tempat tersebut.

2. pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi.


3. menetralisir dan mencairkan iritan.
4.

membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan terbentuknya


dinding jaringan granulasi.

Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik


apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya
lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis
menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit
lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan
peritonitis (Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada penderita
apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3
dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.00030.000/mm3. Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa
komnbinasi antara kenaikan angka lekosit dan granulosit adalah yang
dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendicitis acut
Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik., sehingga hasilnya juga
kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkkan diagnosa. Jumlah lekosit
untuk appendisitis akut adalah >10.000/mmk dengan pergeseran kekiri pada
hemogramnya (>70% netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan
granulosit dipakai sebagai pedoman untuk appendicitis acute (Bolton et al, 1975).
Kontroversinya adalah beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki
jumlah lekosit dan granulosit tetap normal (Nauts et al, 1986).

Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis


apendisitis akut adalah C-rective protein (CRP). Petanda respon
inflamasi akut (acute phase response) dengan menggunakan CPR
telah secara luas digunakan di negara maju. Nilai senstifitas dan
spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80 - 90% dan lebih dari 90%.
Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak
memerlukan waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
Urinalisa sangat penting pada anak dengan keluhan nyeri abdomen
untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran
kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan menempel
pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis
ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang
(Raffensperger, 1990; Cloud, 1993).
.

2. Foto Polos abdomen

Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak


membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah
kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini
ditemukan pada 20% kasus (Cloud, 1993).

Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada
bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan
seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari
udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses
peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot
sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada
penderita apendisitis akut (Mantu, 1994). Bila sudah terjadi perforasi,
maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah
diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto
khusus untuk melihatnya.

gagalnya barium memasuki appendik (20% tak terisi) Terisinya


sebagian dengan distorsi bentuk kalibernya tanda appendisitis
akut,terutama bila ada impresi sekum. Sebaliknya lumen appendik
yang paten menyingkirkan diagnosa appendisitis akut. Bila barium
mengisi ujung appendik yang bundar dan ada kompresi dari luar
yang besar dibasis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya
appendik tanda abses appendik
Barium enema juga dapat
menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai
appendiks, misalnya penyakit Chrons, inverted appendicel stump,
intususepsi, neoplasma benigna/maligna.
2. Ultrasonograf

Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantongkantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata
dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan
bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan
psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat
pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level)
yang menunjukkan adanya obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu,
1994). Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran
yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong
yang menyumbat pembukaan appendik) yang dapat menyebabkan
appendisitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen
supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak
udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ),
kalsifikasi bercak rim-like( melingkar ) sekitar perifer mukokel yang
asalnya dari appendik. Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah
perlu diperiksa untuk mencari appendikolit : kalsifikasi bulat lonjong,
sering berlapis.
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan
pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium
enema dapat menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis
Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair
dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini dapat
seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar appendik dimana
peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon. Impresi ireguler
pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan dengan

Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis


akut maupun apendisitis dengan abses. Untuk dapat mendiagnosis
apendisitis akut diperlukan keahlian, ketelitian, dan sedikit
penekanan transduser pada abdomen. Apendiks yang normal jarang
tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak
sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada
peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada
penampakan transversal (Gustavo GR, 1995) Keadaan awal
apendisitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan
apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 11 mm. Keadaan
apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen
oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa
apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal
dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan
abses tunggal atau multipel (Gustavo GR, 1995).
Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan
kemampuan pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90
94%, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92% (Erik
K, 2003). Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada apendisitis
akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks
lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan
pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur
atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup
udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi.

Ultrasound adalah suatu prosedur yang tidak menyakitkan yang


menggunakan gelombang suara untuk mengidentifikasi organ-organ
dalam tubuh. Ultrasound dapat mengidentifikasi appendik yang
membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat
pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan
tidak terlihatnya apendiks selama ultrasound tidak menyingkirkan
adanya appendisitis. Ultrasound juga berguna pada wanita sebab dapat
menyingkirkan adanya kondisi yang melibatkan organ ovarium, tuba
falopi dan uterus yang gejalanya menyerupai appendisitis. Hasil usg
dapat dikatagorikan menjadi normal, non spesifik, kemungkinan
penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil usg yang
tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus.
Hasil usg dikatakan kemungkinan appaendik jika ada pernyataan curiga
atau jika ditemukan dilatasi appendik di daerah fossa iliaka kanan, atau
dimana usg di konfermasikan dengan gejala klinik dimana kecurigaan
appendisitis.
3. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)

Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan


pemeriksaan skening ini. Gambaran penebalan diding apendiks
dengan jaringan lunak sekitar yang melekat, mendukung keadaan
apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90 100% dan 96 97%, serta akurasi
94 100%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks
dengan abses atau flegmon
Perbandingan pemeriksaan penunjanng apendisitis akut:
Ultrasonografi
CT-Scan
Sensitivit 85%
90 - 100%
as
Spesifisit 92%
95 - 97%
as
Akurasi
90 - 94%
94 - 100%
Keuntung Aman
Lebih akurat
an
relatif tidak mahal
Mengidentifikasi
abses dan flegmon
lebih baik

Dapat mendignosis
kelainan lain pada wanita
Kerugian

Baik untuk anak-anak


Tergantung operator
Sulit secara tehnik
Nyeri
Sulit di RS daerah

Mengidentifikasi
apendiks normal lebih
baik
Mahal
Radiasi ion
Kontras
Sulit di RS daerah

Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat
berguna untuk mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular
sekaligus menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut
dan pelvis yang menyerupai appendisitis.
4. Laparoskopi (Laparoscopy)

Meskipun laparoskopi mulai ada sejak awal abad 20, namun


penggunaanya untuk kelainan intraabdominal baru berkembang
sejak tahun 1970-an. Dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi
sebagai alat diagnostik dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis
apendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat digenakan untuk
melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat
bermanfaat terutama pada pasien wanita. Pada apendisitis akut
laparoskopi diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi
laparoskopi
5. Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard)


untuk diagnosis apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat
mengenai gambaran histopatologi apendisitis akut. Perbedaan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran
histopatologi apendisitis akut secara universal dan tidak ada
gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak
dilakukan opersi Riber et al, pernah meneliti variasi diagnosis
histopatologi apendisitis akut. Hasilnya adlah perlu adanya
komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli
bedahnya.
Difinisi histopatologi apendisitis akut:

1
2
3
4
5

Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di


lapisan epitel.
Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam
lapisan epitel.
Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses
apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses
mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi
periapendisitis.

Reaksi fase akut (Acute phase reaction)


Reaksi fase akut adalah pertahanan pertama tubuh dalam melawan
proses inflamasi (innate immune), yang berfungsi tanpa melalui sistem
spesifik dan memori (adaptive immune). Inflamasi adalah respon
terhadap kerusakan jaringan oleh stimulus yang dapat berupa trauma
mekanik, nekrosis jaringan, dan infeksi. Tujuan proses inflamasi
adalah untuk melawan agen pengrusak, awal proses perbaikan, dan
mengembalikan fungsi jaringan yang rusak. Proses inflamasi dapat
berlangsung akut dan kronik. Inflamasi akut dapat disebabkan oleh
agen mikroba (virus, bakteri, jamur, dan parasit), trauma, nekrosis
jaringan oleh kanker, arthritis rematiod, luka bakar, dan toksin yang
disebabkan oleh obat atau radiasi.
Keadaan inflamasi merangsang tubuh untuk mengeluakan sitokin dan
hormon yang berfungsi dalam regulasi haematopoesis, sintesis protein,
dan metabolisme. Sistem immun dibagi menjadi dua, immun bawaan
(innate immune) dan immune didapat (adaptive immune) Immun
bawaan terdiri dari sel fagosit, sistem komplemen, dan fase akut protein,
bekerja tanpa melalui proses spesifik dan memori. Ketika sel fagosit
teraktivasi, maka ia akan memacu sintesis sitokin. Sitokin tidak hanya
berfungsi dalam regulasi sistem immun bawaan, tetapi juga sistem
immun yang didapat.
Ada 4 komponen yang menyertai proses inflamasi akut, yaitu:
1. Dilatasi vaskuler (permaebilitas vaskuler meningkat)

Dilatasi vaskuler (permaebilitas membaran meningkat) adalah


relaksasi muskulus vaskuler yang menyebabkan jaringan
hiperemis. Proses transudasi yang terjadi melalui membran sel,
diikuti lepasnya sel PMN (polimorfonuklear) ke jaringan. Jika
fibrinogen terekstravasasi kedalam jaringan juga, maka terjadilah
mekanisme pembekuaan .
2. Emigrasi neutrofi
Emigrasi neutrofil dimulai dengan menempelnya sel ini pada
permukaaan endotel. Sel PMN tampak dominan menempel pada
permukaan endotel. Emigrasi sel neutrofil pada area inflamasi
disebabkan adanya faktor kemotatik. Keterlibatan proses immunkompleks dalam proses awal inflamasi, menyebabkan faktor
kemotaktik mengaktivasi komplemen C5a. Komplemen C5a ini
kemudiaan menyebabkan sel PMN tertarik ke area inflamasi.
Produk bakteri juga bersifat kemotaktik terhadap sel PMN.
Intensitas dan durasi emigrasi sel PMN biasanya dalam 24-48
jam, tergantung faktor kemotaktik pada area inflamasi
3. Eemigrasi sel mononuclea
Proses ini dimulai 4 jam setelah adanya stimulasi dan mencapai
puncaknya 16-24 jam. Pada keadaan awal respon seluler, sel
mononuklear akan tampak dalam jumlah sedikit bersama sel
polimorfonuklear. Keluarnya sel mononuclear ini distimulasi oleh
proses fagositosis debris, produk fagositosis neutrofil, dan
sitokin . Proses terakhir inflamasi adalah proliferasi seluler
4. Pproliferasi seluler.
Proses ini diawali dengan proliferasi fibroblas yang dimulai
dalam 18 jam dan mencapai puncaknya 48 sampai 72 jam.
Fibroblas mengeluarkan acidic mukopolysaccharides yang
menetralisis afek beberapa mediator kimiawi. Pada akhir proses
ini diharapkan kembalinya fungsi area yang terkena inflamasi,
namun dalam beberapa keadaan, proses ini berakhir dengan
terbentuknya abses dan granuloma


Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu beberapa penyakit dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding, diantaranya adalah berasal dari saluran pencernaan
seperti gastroenteritis, ileitis terminale, tifoid, divertikulitis meckel
tanpa perdarahan, intususepsi dan konstipasi. Gangguan alat kelamin
perempuan termasuk diantaranya infeksi rongga panggul, torsio kista
ovarium, adneksitis dan salpingitis. Gangguan saluran kencing seperti
infeksi saluran kencing, batu ureter kanan. Penyakit lain seperti
pneumonia, demam dengue dan campak
Kelainan Gastrointestinal
Cholecystitis akut
Divertikel Mackelli
Merupakan suatu penonjolan keluar kantong kecil pada usus
halus yang biasanya berlokasi di kuadran kanan bawah dekat
dengan appendik. Divertikulum dapat mengalami inflamasi
dan bahkan perforasi ( robek atau ruptur). Jika terjadi
inflamasi atau perforasi, harus ditangani dengan pembedahan.
Enterirtis regional
Pankreatitis
Kelainan Urologi
Batu ureter
Cystitis
Kelainan Obs-gyn
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
Salphingitis akut (adneksitis) keputihan (+)
Penyakit peradangan panggul. Tuba falopi kanan dan ovarium terletak dekat
appendik. Wanita yang aktif secara seksual dapat mengalami infeksi yang
melibatkan tuba falopi dan ovarium. Biasanya terapi antibiotik sudah cukup, dan
pembedahan untuk mengangkat tuba dan ovarium tidak perlu.

Penatalaksanaan
Appendiktomi
Cito akut, abses & perforasi

Elektif kronik

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat


adalah apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang
terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik
dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi apendiks
normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada
apendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.
Konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat)
Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)
Diet rendah serat
Antibiotika spektrum luas
Metronidazol
Monitor : Infiltrat, tanda2 peritonitis(perforasi), suhu tiap 6 jam,
LED, AL bila baik mobilisasi pulang
Penderita anak perlu cairan intravena untuk mengoreksi dehidrasi
ringan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan
untuk mengurangi bahaya muntah pada waktu induksi anestesi. Pada
apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi
menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan anak
sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah,
sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Anak
memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum
dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk
mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan
mencegah muntah. Kalau anak dalam keadaan syok hipovolemik
maka diberikan cairan ringer laktat 20 ml/kgBB dalam larutan glukosa
5% secara intravena, kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau
darah sesuai indikasi. Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya
dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan cairan. Sebelum
pembedahan, anak harus memiliki urin output sebanyak 1
ml/kgBB/jam. Untuk menurunkan demam diberikan acetaminophen
suppositoria (60mg/tahun umur). Jika suhu di atas 38 0C pada saat

masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk


mengontrol demam.
Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua anak dengan
apendisitis, antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi
infeksi apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam
selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya
sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob
sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis . Antibiotika
diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis
penderita. Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob
dan anaerob spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan.
Kombinasi ampisilin (100mg/kg), gentamisin (7,5mg/kg) dan
klindamisin (40mg/kg) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif
untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi apendisitis
perforasi. Metronidasol aktif terhadap bakteri gram negatif dan
didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan. Obat ini lebih
murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin
Pembedahannya adalah dengan apendektomi, yang dapat dicapai melalui
insisi Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan
pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis
berupa
apendektomi
yang
dicapai
melalui
laparotomi
(Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).

Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :


1. Cutis
6. MOI
2. Sub cutis
7. M. Transversus
3. Fascia Scarfa
8. Fascia transversalis
4. Fascia Camfer
9. Pre Peritoneum
5. Aponeurosis MOE
10. Peritoneum
APPENDECTOMY
Appendisitis Akut disebut
Appendisitis Kronis disebut
Indikasi

: Appendictomi Chaud
: Appendictomi Froid

1.
2.
3.
4.

Appendisitis Akut
Appendisitis kronis
Peri appendicular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)
Appendiks terbawa pada laparatomi operasi kandung
empedu
5. Appendisitis perforata
Macam Incisi pada appendectomi
Gridiron incision ( Mc Burney incision)
Incisi tegak lurus garis Mc Burney
Caecum lebih mudah dipegang
Kontaminasi kuman minimal

Incisi Paramedian kanan


Caecum lebih sukar dipegang
Kontaminasi lebih besar
Terutama pada wanita, sekaligus explorasi adnexa, genetalia
interna, meragukan
Incisi Transversal

Prosedur Appendektomi
Desinfeksi medan operasi dengan alkohol 70 % kemudian
betadin 10 %
Pasang doek steril kecuali daerah tindakan pasang doek klem
pasang doek lubang
Dilakukan Incisi Gridion(MC.Burney) / paramedian / transversal
pada kulit dengan mess / pisau besturi kira-kira 57 cm
kontrol perdarahan
Incisi diperdalam lapis demi lapis dengan mess / cauter sampai
tampak Aponeurosis MOE
Aponeurosis MOE dibuka dengan mess searah seratnya,
diperlebar ke craniolateral dan caudomedial dengan pertolongan
pinset anatomis, Wondhaak tumpul dipasang dibawah MOE,
sampai tampak MOI yang seratnya transversal
MOI dan m.Transversus abdominis dibuka secara tumpul dengan
klem / pean dengan bantuan pinset anatomis searah seratnya ,

kemudian diperlebar dengan langenback sampai tampak peritonium


warna putih mengkilat, haak dipasang dibawah m. Transversus
abdominis
Dengan pinset chirrugis 2 buah peritoneum diangkat gunting
diantara kedua pinset, perhatikan cairan yang keluar : pus, udara,
darah peritoneum dijepit dengan kocher sonde 2 buah pinset
dilepas diperluas kearah cranial dan
caudal dengan gunting
dengan tuntunan dua jari / pinset untuk melindungi
usus / organ
lain pasang langenback 2 buah
Evaluasi apakah ada cairan, darah atau pus pus(+) lakukan
pemeriksaan bakteriologis
Cari Caecum dengan tanda2 :
Warna putih
Terdapat taenia coli
Dinding tebal
Terdapat appendices epiploica
Setelah caecum ditemukan dikeluarkan / diluxir dengan pinset
anatomis dengan dua jari / gaas basah, ditarik kearah bawah,
keluar dan keatas appendiks akan ikut keluar Identifikasi
appendiks (odem, hiperemis, fecalith)
Bila appendiks mudah keluar lanjutkan dengan antegrade
appendictomy, dan bila sukar keluar lanjutkan dengan retrograde
appendictomy.
Antegrade Appendictomy
Setelah appendiks keluar, mesoappendiks dipegang dengan
klem arteri / Ellis klem dekat ujung appendiks.
Pasang klem 2 buah diantara appendiks dan mesoappendik dari
ujung appendiks mesoappendiks digunting diantara kedua
klem mesoappendiks diligasi dengan zide 2.0 ulangi
terus sampai pangkal appendiks
Pangkal appendiks dijepit dengan 2 klem / kocher dilandasi
kasa betadin dipotong dengan mess pangkal appendiks

diligasi side 2.0 klem dilepas bekas appendik yang


terpotong dicauter untuk cegah fistel
Buat tabakzak naad / jahitan tembakau sekitar pangkal
appendiks pada lapisan seromuscularis caecum dengan side
2.0 appendiks dipegang dengan pinset anatomis dorong
kearah caecum, sambil mempererat tabakzak naad, sedikit
demi sedikit sambil melepas pinset pelan-pelan Caecum
dimasukkan kembali ke rongga perut
Lakukan penutupan luka
- Peritoneum dijahit dengan catgut Plain 2.0 secara
continous withtlocking / jelujur Feston
- MOI & M.Transversus abdominis dijahit simpul /
interupted dengan catgut chromic 2.0
-

Aponeurosi MOE dijahit simpul dengan plain catgut


2.0
Subcutis dijahit simpul dengan cromic 2.0
Cutis dijahit simpul dengan side 3.0

Retrograde Appendictomy
Setelah caecum keluar , appendiks sukar dikeluarkan,
mesoappendiks di basis appendiks dibuka kemudian
dibuat lubang pada mesenterium dengan klem yang
tertutup
Pangkal Appendiks diklem melalui lubang tersebut
diligasi dengan zide 2.0 dipotong antara klem dan
ikatan bekas potongan dicauter
Buat tabak zak naad appendiks diinvaginasikan
kecaecum dengan pinset tabak zak dieratkan pelanpelan sambil melepas klem
Mesoappendiks diklem dipotong secara retrograde
diligasi dengan zide 2.0
Komplikasi

Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat


mengalami perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun
umum.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada bagian apendiks yang telah
mengalami pendindingan (Walling off) sehingga berupa massa yang
terdiri dari kumpulan mesoapendiks, apendiks, sekum dan lengkung
usus yang disebut sebagai massa periapendikuler Pada anak sering
terjadi perforasi bebas, hal ini disebabkan oleh:
1. ding apendiks yang masih tipis,
2. anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu
diagnosis dan proses pendindingan kurang sempurna,
3. perforasi berlangsung cepat dan omentum anak belum
berkembang.
Terjadinya massa periapendikuler bila apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum dan lengkung
usus. Pada massa periapendikuler yang pendindingannya belum
sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum
jika perforasi diikuti peritonitis umum
Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu
merupakan thrombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat
perluasan infeksi apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam
tinggi, ikterik ringan dan abses hepatik (Way, 2003).
Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya
adalah infeksi. Beberapa tahun yang lalu insidensi infeksi setelah
pembedahan sebesar 20-40%, insidensi ini mengalami penurunan
sampai sekitar 5% setelah digunakannya tripel antibiotika. Infeksi
setelah pembedahan sering terjadi pada apendisitis perforasi atau
gangrenosa. Meskipun infeksi bisa terjadi di sejumlah lokasi, infeksi
yang terletak di lokasi pembedahan yang paling sering, yaitu pada
luka subkutan dan dalam rongga abdominal. Insidensi kedua
komplikasi ini bervariasi tergantung pada derajat apendisitis, umur
penderita, kondisi fisiologis dan tipe penutupan luka.
Obstruksi intestinal bisa terjadi setelah pembedahan pada kasus
apendisitis, hal ini disebabkan oleh abses, phlegmon intraperitoneal atau
adhesi. Infertilitas dapat terjadi pada perempuan dengan apendisitis
perforasi (Cloud, 1993; Lally, 2001).

Komplikasi Lain :

Nekrosis dinding appendiks


Perforasi dinding appendiks pus keluar masuk cavum
peritonii
General peritonitis
Periappendikular infiltrat / Phlegmon / Mass
Appendiks yang mengalami perforasi(mikroperforasi)
segera ditutup (walling of) oleh omentum dan usus
halus gumpalan massa rdangberlanjut
mjd:Periappendicular abses
Sepsis
Appendisitis kronis

Penyulit Appendektomi :
1. Durante Operasi
Perdarahan dari a. mesenterium / omentum
Robekan sekum atau usus lain
2. Pasca Operasi
Perdarahan
Infeksi
Hematom
Paralitik ileus
Peritonitis
Fistel usus
Streng Ileus karena band
Hernia sikatrik
Sistem skor Alvarado
Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi
antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk
mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih
mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka
apendektomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30%

(Ramachandran, 1996). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan


kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah
banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendektomi
negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado.
Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan
dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan
Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor
yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan
laboratorium.
Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai
derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini
menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea
dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah,
nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan
netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan
lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing
mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah
skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999).

Skor Alvarado
Faktor Risiko
~ migrasi nyeri
~ nausea dan vomitus
~ anoreksia

Skoring
1
1
1

Tanda

~ nyeri kuadran kanan


bawah
~ nyeri lepas tekan
~ temperatur > 37,20C

~ angka lekosit >


10.000
~ persentase netrofil >
75%

1
1

Laboratorium

Penelitian yang dilakukan oleh Amri dan Bermansyah (1997) mengenai skor
Alvarado pada diagnosis apendisitis akut dengan skor pembatas (cut off point) 6 ,
didapatkan sensitivitas: 90,90% dan spesifisitas: 75,75% dengan akurasi
diagnostik: 83,33%, Tranggono (2000) melaporkan dengan memakai skor
pembatas (cut off point) 7 didapatkan sensitivitas: 71,43% dan spesifisitas:
69,09% dengan akurasi diagnostik 69,74%. Sedangkan Fenyo melaporkan
sensitivitas: 90,20% dan spesifisitas: 91,40%.
Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam sistem skor
Alvarado seperti tertulis di atas maka dapat diasumsikan bahwa semakin lengkap
gejala, tanda dan pemeriksaan laboratorium yang muncul atau keberadaannya
positif maka skor Alvarado akan semakin tinggi, mendekati 10, ini mengarahkan
kepada apendisitis akut atau apendisitis perforasi. Demikian pula sebaliknya jika
semakin tidak lengkap maka skor Alvarado semakin rendah, mendekati 1, ini
mengarahkan kepada apendisitis kronis atau bukan apendisitis.
Skor Alvarado adalah sistem skoring yang didasarkan pada gejala dan tanda klinis
apendisitis akut, telah banyak dipergunakan. Pada tulisan aslinya, Alvarado
merekomendasikan untuk melakukan operasi pada semua pasien dengan skor 7
atau lebih dan melakukan observasi untuk pasien dengan skor 5 atau 6

Skor Alvarado untuk diagnosis apendisitis akut:


Gejala dan tanda:
Nyeri berpindah
Anoreksia
Mual-muntah
Nyeri fossa iliaka kanan
Nyeri lepas
Peningkatan suhu > 37,30C
Jumlah leukosit > 10x103/L

Skor
1
1
1
2
1
1
2

Jumlah neutrofil > 75%


Total skor:

1
10

Andersson, dalam studi meta-analisis gejala klinis dan laboratorium mendapatkan hasil
bahwa riwayat nyeri berpindah (migration pain) dari umbilikus dan reaksi peritoneal
(nyeri tekan kanan bawah, nyeri lepas/Rebounds sign, Rovsings sign) adalah
informasi diagnostik apendisitis akut yang penting (Andersson, 2004)

ALVARADO SCORE
1. Vomitus/nausea
2. Anoreksia
1
3. NT Mc Burney
4. Nyeri lepas
1
5. Nyeri alih
1
6. Demam > 37,2 C 1
7. AL > 10.000
2
8. Segmen > 70
1
Nilai
10

1
2

Nilai : < 4 kronis


4 7 ragu2
> 7 akut

Klasifikasi Klinikopatologi Cloud


Klasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut adalah klasifikasi
yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Cloud, klasifikasi ini
berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :
1. Apendisitis Simpel (grade I): Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks
tampak normal atau hiperemi ringan dan edema, belum tampak adanya eksudat
serosa.
2. Apendisitis Supurativa (grade II): Sering didapatkan adanya obstruksi, apendiks
dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah, mungkin didapatkan
adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen pada serosa serta terjadi
kenaikan jumlah cairan peritoneal.
Pada stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses Walling off oleh
omentum, usus dan mesenterium didekatnya.
3. Apendisitis Gangrenosa (grade III): Selain didapatkan tanda-tanda supurasi
didapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan, kecoklatan
atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah terjadi adanya
mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau busuk.
4. Apendisitis Ruptur (grade IV): Sudah tampak dengan jelas adanya ruptur
apendiks, umumnya sepanjang antimesenterium dan dekat pada letak obstruksi.
Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.

5. Apendisitis Abses (grade V): Sebagian apendiks mungkin sudah hancur, abses
terbentuk disekitar apendiks yang ruptur biasanya di fossa iliaka kanan, lateral
dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis bahkan mungkin
seluruh rongga abdomen.
Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud apendisitis akut grade I dan II belum
terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis akut grade III, IV
dan V telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).

Antibiotika Proflaksis pd Apendisitis


Kronis

----------------------------------------------------------------------------------------------------RDCollection 2002

Pemberian antibiotika pada kasus kasus bedah bertujuan untuk menurunkan


morbiditas dan mortalitas infeksi bedah. Infeksi bedah didefinisikan sebagai
infeksi yang terjadi setelah tindakan pembedahan atau kasus-kasus infeksi yang
penyembuhannya memerlukan tindakan pembedahan disamping anti biotika.
Iinfeksi bedah dibedakan dengan infeksi medikal, oleh karena pada infeksi bedah
terdapat masalah mekanik atau anstomis yang harus diatasi dengan tindakan
invasif atau tindakan pembedahan. Al Ibrahim et al, (1990) mengatakan kasus
kasus infeksi setelah pembedahan adalah masalh klinik yang besar. Dikatakan di
Amerika Serikat insidensi luka infeksi setelah pembedahan secara keseluruhan
diperkirakan sebesar 7,5 %, dan angka tersebut menimbulkan peningkatan biaya
perawatan sebesar 10 juta dolar setiap tahun. Proses radang yang mengenai
appendik fermiformis atau appendisitis adalah merupakan salah satu contoh kasus
infeksi bedah, karena untuk kesembuhannya diperlukan tindakan pembedahan.
Demikian juga setelah tindakan pembedahan kadang-kadang terdapat komplikasi
yang dapat memperpanjang masa perawatan dan bahkan dapat meningkatkan
angka mortalitas.

Menurut Al Ibrahim et al (1990), resiko terjadinya infeksi setelah pembedahan


dapat berasal dari faktor pembedahannya, maupun dari faktor penderita sendiri.

I. Faktor Resiko Dari Pembedahan.


Beberapa hal yang dapat menimbulkan infeksi pasca bedah dari segi pembedahan
adalah :

a. Tipe prosedure bedah.

Pembedahan pada mata mempunyai resiko infeksi yang paling rendah. Angka
infeksi yang tinggi terjadi pada pembedahan toraks, bedah umum dan
kandungan. Angka infeksi pasca bedah paling tinggi didapatkan pada
pembedahan perut yang menembus organ berongga.

b. Lama pembedahan.
Pembedahan yang berlangsung 2 jam atau lebih berhubungan dengan kejadian
infeksi pasca bedah yang tinggi.

c. Pembedahan emergency
Dibanding dengan pembedahan elektif, pembedahan emergency mempunyai
angka infeksi pasca bedah yang lebih tinggi.

d. Faktor lokal
Faktor lokal yang meningkatkan terjadinya infeksi termasuk adanya jaringan
nekrotik, rongga mati, penurunan perfusi lokal, hematoma dan adanya benda
asing.

e. Derajat pencemaran luka selama pembedahan


Infeksi luka merupakan penyebab tersering terjadinya infeksi pasca bedah, dan
merupakan tipe terbanyak dari infeksi nosokomial setelah infeksi traktus
urinarius. Terjadinya infeksi pasca operasi sangat ditentukan oleh derajat
pencemaran oleh mikroorganisme, dan derajat tersebut berhubungan langsung
dengan prosedur yang dilakukan.
The Nationale Reserch Counsil telah mengusulkan klasifikasi luka operasi
berdasarkan atas kontaminasinya dan peningkatan resiko operasi sebagai
berikut :

1) Luka bersih (kelas I)


Luka bersih adalah luka yang tidak menembus rongga rongga
di dalam tubuh termasuk traktus gastrointestinalis,
respiratorius dan traktus urogenitalis. Tidak terdapat
pelanggaran terhadap teknik aseptik, dan tidak terdapat proses
peradangan di tempat lain. Tempat pembedahan steril dan
kontaminasi bersumber dari luar. Stafilokokus aureus adalah
penyebab terbanyak infeksi luka operasi pada luka bersih.
Luka bersih mempunyai angka infeksi pasca operasi yang
terendah (1-4%). Contoh prosedure operasi yang termasuk
luka bersih adalah operasi hernia.

2) Luka Bersih terkontaminasi (klas II)

Yang termasuk luka bersih terkontaminasi adalah luka operasi


yang menembus traktus digestivus traktur respiratorius tetapi
tidak terjadi pencemaran yang berarti. Prosedure tersebut
termasuk menembus orofaring, vagina, traktus urinarius dan
traktus billiaris yang tidak terinfeksi. Pelanggaran kecil
terhadapap teknik aseptik juga diklasifikasikan sebagai luka
bersih terkontaminasi. Pada luka jenis ini terjadi tambahan
pencemaran dari bakteri endogen, dan angka infeksi
mencapai 5-15 %. Prosedure operasi yang damasukkan dalam
kategori ini antara lain : koleksistektomi, appendektomi
subtotal gastrektomi, dan partial kolektomi.
3) Luka Kontaminasi (klass III)
Prosedure yang termasuk kelas ini adalah prosedure yang
disertai pencemaran yang nyata dari isi organ berongga,
adnya inflamasi akut tanpa terdapatnya pus. Luka trauma
yang baru , dan luka operasi yang disertai pelanggaran besar
terhadap teknik aseptik dimasukkan ke dalam kategori ini.
Angka kejaian infeksi pasca bedah adalah 15-40%
.
4) Luka Kotor (klasIV)
Luka operasi kotor adalah luka operasi yang tercemari oleh
pus atau terdapat perforasi fiscus. Luka traumatik yang lama
juga termasuk dalam kategori luka kotor. Angka infeksi pasca
operasi adalah 40% atau lebih.
II. Faktor Resiko Dari penderita
Faktor resiko dari penderita dapat bersifat umum dan dapat bersifat organ
spesifik atau lokal. Yang termasuk faktor-faktor umum adalah sebagai
berikut :

a. Malnutrisi.
Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% penderita
yang dipondokkan mungkin mengalami gangguan nutrisi.
Gangguan nutrisi yang berat akan menyebabkan insidensi
pasca operasi yang tinggi khususnya infeksi luka operasi.
b. Umur diatas 65 tahun

Penelitian menunjukkan bahwa angka infeksi pasca operasi


meningkat sesuai dengan peningkatan umur. Angka infeksi
tersebut mencapai 8-13% lebih tinggi pada penderita yang
berumur 65 tahun atau lebih.
c. Diabetes melitus Penderita sangat rentan terhadap infeksi.
d. Tumor ganas
Tumor ganas yang solid pada traktus digestivus dapat
menimbulkan obstruksi, ulserasi dan perforasi yang dapat
merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi.
e. Pemondokan yang lama sebelum pembedahan
Diluar kasus-kasus emergency, angka infeksi pasca operasi
didapatkan lebih tinggi jika pemondokan preoperasi lebih
lama.
f. Penggunaan anti biotika sebelumnya
Penggunaan anti biotika terhadap infeksi yang sedang
berlangsung atau infeksi sebelumnya akan menimbulkan
perubahan flora mikrobial yang normal dan bahkan dapat
menimbulkan pseudomembranous colitis.
g. Terapi dengan imunosupresif
h. Terdapatnya infeksi pada tempat lain
Angka infeksi pasca bedah pada penderita yang mengalami
infksi sebelum pembedahan, didapatkan 3-4 kali lebih besar
dibandingkan dengan penderita yang tidak mengalami infeksi.
i. Tipe rumah sakit
Infeksi pasca bedah didapatkan lebih tinggi pada rumah sakit
pendidikan dibandingkan dengan rumah sakit yang bukan
tempat pendidikan.
Antibiotika Proflaksis dan Pembedahan
Menurut Al Ibrahim et al (1990), tujuan pemberian antibiotika profilaksis pada
pembedahan adalah untuk mencegah infeksi. Namun demikian perlu ditekankan disini
bahwa untuk mencegah infeksi pasca bedah perlu memperhatikan empat hal yaitu :
1) taktik pembedahan,
2) Teknik pembedahan,
3) perawatan pre dan pasca operasi,
4) pemberian antibiotika (Geroulanos et al, 1989).

Menurut Al Ibrahim et al, (1990), masih didapatkan beberapa


kontroversi dalam hal pemberian anti biotika profilaksis, baik dalam
hal diberi atau tidak, cara pemberian maupun jenis antibiotika yang
dipergunakan. Untuk beberapa macam prosedur pembedahan yang
mempunyai resiko infeksi yang rendah pemberian antibiotika
profilaksis adalah tidak pada tempatnya.
Menurut Alexander et al (1991), kontroversi yang berkepanjangan
tersebut disebabkan oleh karena kurangnya pengertian mengenai
prinsip-prinsip dasar mengenai anti biotika dan infeksi bedah.
Keputusan pemberian anti biotika profilaksis haruslah didasarkan
kepada besarnya manfaat yang didapat, dibandingkan dengan
besarnya efek yang merugikan.
Prinsip-prinsip pemberian antibiotika profilaksis dijelaskan sebagai
berikut (Jones, 1988 ; Al Ibrahim et al 1990).
1. Antibiotika profilaksis dan tipe luka
Pemberian anti biotoka profilaksis sebaiknya difunakan pada
opersi-operasi yang mempunyai resiko infeksi pasca operasi tinggi.
Anti biotika profilaksis diberikan juga pada operas-operasi dengan
luka bersih yang bila terjadi infeksi menimbulkan akibat yang
sangat berat, seperti endokarditis pada penggantian kelep, atau
pada penggantian sendi panggul dengan protesa. Luka kotor
ditangani seperti penanganan luka infeksi dan antibiotika
profilaksis tidak mencukupi.
2. Penentuan jenis kuman
Bakteri yang paling banyak menimbulakn infeksi pada luka
bersih adalah stapilokokus dan stretokokus. Dilain pihak pada
luka bersih terkontaminasi atau luka kontaminasi, bakteri yang
menimbulkan infeksi biasanya bersumser dari daln seperti dari
traktus digestivus atau traktus urinarius. Bakteri yang sering
menimbulkan infeksi tersebut sebaiknya diidentifikasi, dan
antibiotika yang dipilih haruslah cocok dengan mikroorganisme
tersebut.
3. Timing dan konsentrasi dari antibiotika
Dengan beberapa perkecualian seperti contoh anti biotika yang
terarbsobsi pada pembedahan kolorektal antibiotika sebaiknya
telah sampai pada tempat operasi, dengan konsentrasi yang

cukup pada saat melakukan irisan, dan konsentrasi tersebut


dipertahankan selama pembedahan.
4. Efek samping dan pembiayaan
Antibiotika yang dipilih sebaiknya yang menimbulkan efek
samping yang paling minimal, dan kalau mungkin yang
mempunyai harga yang paling murah.
5. Lama penggunaan antibiotika
Penggunaan antibiotika profilaksis sebaiknya dalm waktu
pendek, misalnya selama operasi. Penggunaan yang lama
tampaknya tidak memberikan hasil yang lebih baik. Dilain pihak
penderita akan dirugikan oleh biaya yang seharusnya tidak perlu
dan resiko efek samping yang mungkin terjadi.
Pemberian antibiotika pd Apendisitis

Luka operasi pada pembedahan appendisitis pada umumnya termasuk


katagori luka bersih terkontaminasi, kecuali terjadi gangren atau
perforasi dari appendik (Al Ibrahim et al 1990 ; Condon et al 1991 ).
Dikatakan pemberian anti biotika profilaktis pada appendisitis masih
merupakan kontroversi. Penelitian kontrol-trial yang membandingkan
pemberian antibiotika dan plasebo, secara konsisiten menunjukkan,
bahwa pemberian antibiotika yang efektif terhadap kuman anaerob,
baik terhadap pemberian tersendiri maupun pemberian kombinasi
terbukti terbukti efektif dalam menurunkan infeksi luka pasca operasi.
Sedangkan pemberian antibiotika yang terutama aktif terhadap kuman
aerob tidak konsisten efektif. Dikatakan hal ini adalah merupakan
penemuan yang aneh, sebab kebanyakan kuman yang berhasil
diisolasi dari luka adalah escherichia coli (Alexander et al 1991).
Meskipun eschericia coli adalah kuman aerob, pemberian anti anaerob
tampaknya sangat esensial. Antibiotika mungkin mempunyai peranan
yang kecil kecuali appendik dalam keadaan gangren atau perforasi. Al
Ibrahim et al (1990), menggunakan cefoxitim 2 gr perioperatif dan
ditambah 1 gr lagi 6 jam berikiutnya untuk appendisitis yang tidak
perforasi. Apabila penderita alergi terhadap safalospirin atau penicilin,
digunakan bagi yang tidak perforasi metronidazole 500 mg preoperatif
dan gentamisin 1,5 mg /kg iv. Menurut Alexander et al (1991), telah
dapat dibuktikan dengan jelas bahwa pemberian anti biotik yang

maksimal akan tercapai bila pemberiannya akan dilakukan


preoperatif.

Apendektomi Insidental
----------------------------------------------------------------------------------------------------D-Collection 2002

Apendektomi Insidental ialah Suatu tindakan apendektomi dengan


tujuan sebagai propilaksis. Pelaksanaan apendektomi insidental
merupakan hal yang kontroversial, mungkin sebaiknya tak perlu
dilakukan pada sebagian besar penderita. Apendektomi insidental
secara selektif pada penderita dengan resaiko tinggi untuk apendisitis
atau nyeri kuadran kanan bawah mungkin memegang peranan.
Apendektomi insidental pada histrektomi atau cholecystictomi tidak
akan meningkatkan komplikasi, tetapi tidak akan meningkatkan
efektifitas secara finansial (cost) jika ini meningkatkan charge
pembedahan, sebab sebagian besar apendisitis terjadi pada penderita
muda dan sebagian besar apendektomi insidental terjadi pada
penderita tua, insidental apendektomi secara rutin mungkin tidak akan
berpengaruh secara nyata terhadap pengurangan rawat inap karena
apendisitis. Meskipun insidental apendektomi dikontra indikasikan
pada kondisi-kondisi tertentu, penerapannya secara selektif pada
penderita muda (misal 10 30 th) pada status kesehatan yang baik,
tetapi beresiko apendisitis mungkin menguntungkan. Perempuan
muda yang menderita keluhan pelvis berulang atau nyeri, mungkin
menguntungkan untuk dilakukan insidetal apendektomi.
Kami telah sering melakukan insidental apendektomi saat insisi kanan
bawah di lakukan untuk operasi-operasi seperti reduksi intususepsi, ini
pada umumnya dipikirkan untuk mengurangi kebingungan bila jika
terjadi nyeri kanan bawah di kemudian hari. Tidak ada trial sedara
klinik yang mendukung yang berhubungan dengan aproach beyeleuf.
Apendektomi insidental pada kondisi-kondisi tertentu seperti
limpodenectomi secara radial perinatal untuk kanker testis atau groft
vasculer, di kaitkan dengan konplikasi infeksi yang lebih tinggi
sebaiknya dihindari. Pada studi dengan 4,5 kasus dengan insidental
apendektomi pada 1910 anak yang mengalami nefrektomy karena
williams tumor, tidak ditemukan peningkatan komplikasi infeksi atau
obstruksi post operasi pada penderita yang mengalami insidental

apendektomi. Indikasi lain insidental apendektomi mungkin meliputi


akut atau kronis di kuadran kanan bawah dimana apendisitis di temukan
normal saat eksplorasi. Sebagai tambahan penderita dengan crohns
desease yang merasa nyeri kuadran kanan bawah, saat dilakukan operasi
eksplorasi pada umumnya cenderung di lakukan apendektomi untuk
menghindari dilema diagnostik di masa yang akan datang. Menurut Tai
Sugimoto (1987), secara cost sangat menguntungkan dilakukan
dilakukan apendektomi incidental.
Appendektomi incidental masih kontrapersial untuk dilakukan, ada 4
indikasi untuk dilakukan appendektomi incidental menurut sabiston
2001:
nyeri perut kanan bawah yang terusmenerus
tumor williams
pada durante operasi ditemukan apendik, hiperenis, udema

Anda mungkin juga menyukai