Anda di halaman 1dari 12

MATA KULIAH TATA GUNA RUANG WILAYAH DAN KOTA

TEORI-TEORI SUB URBAN

Oleh :
ALIM GIASI
D52113506

PENGEMBANGAN WILAYAH DAN KOTA


JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2014

Teori Kota dan Rencana Tata Guna Lahan


A. Kota
Kota adalah sebagai gabungan sel lingkungan perumahan, atau tempat di
mana orang bekerja bersama untuk kepentingan umum. Jenis daerah perkotaan
bisa
beragam sebesar beragamnya berbagai kegiatan yang dilakukan pada wilayah
perkotaan seperti perdagangan, transportasi, pengadaan barang dan jasa, atau
gabungan dari semua aktivitas tersebut (Gallion dan Eisner, 1992).
Sebuah kota adalah suatu pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen,
terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial. Kota adalah
salah satu ungkapan kehidupan manusia yang mungkin paling kompleks.
Kebanyakan
ilmuwan berpendapat bahwa, dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota
sebagai ekspresi kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya adalah paling
penting dan sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut disebabkan karena permukiman
perkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari
kehidupan di dalamnya (Zahnd, 2006).
Kota yang dipandang sebagai suatu obyek studi di mana di dalamnya terdapat
masyarakat manusia yang sangat komplek, telah mengalami proses interelasi antar
manusia dan antar manusia dengan lingkungannya. Produk hubungan tersebut
ternyata mengakibatkan terciptanya pola keteraturan daripada pengguna lahan yang
menghasilkan struktur ruang kota (Yunus, 2000).
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang struktur ruang kota, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Teori Konsentris; Menurut pengamatan Burgess, sesuatu kota akan terdiri dari
zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini mencerminkan
penggunaan lahan yang berbeda, seperti berikut:
Seperti terlihat pada model di atas, daerah perkotaan terdiri dari dari (I)
kawasan pusat kota, (II) kawasan pabrik, (III) kawasan transisi, (IV) kawasan
pemukiman pekerja, (V) kawasan pemukiman yang lebih baik, dan (VI) Kawasan
pengembangan.
2. Teori Sektor; Munculnya ide untuk mempertimbangkan variabel sektor ini
pertama kali dikemukan oleh Hoyt. Secara konseptual, model teori sektor
menunjukkan persebaran zona-zona konsentrisnya. Jelas sekali terlihat disini
bahwa jalur transportasi yang menjari (menghubungkan pusat kota ke bagianbagian
yang lebih jauh) diberi peranan yang besar dalam pembentukan pola
struktur ruang kota. Seperti pada gambar berikut ini :
Menurut gambar di atas teori sektor terdiri dari (1) Kawasan Pusat Kota (CBD),
(2) Kawasan pabrik, (3) Kawasan permukiman kelas rendah, (4) kawasan
pemukiman kelas menengah dan (5) Kawasan Permukiman kelas tinggi.
3. Teori Multiple Nuclei (Teori Pusat Kegiatan Banyak); Teori ini pertama kalinya
dicetuskan oleh C.D. Harris dan FL. Ulman. Menurut pendapatnya, bahwa
kebanyakan kota-kota besar tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang
sederhana, yang hanya ditandai oleh pusat kegiatan saja, namun terbentuk
sebagai suatu produk perkembangan dan integrasi yang berlanjut dan terus
menerus dari sejumlah pusat-pusat kegiatan terpisah satu sama lain dalam suatu
sistem perkotaan (multi centered theory). Pusat-pusat ini dan distrik-distrik di
sekitarnya di dalam proses pertumbuhan selanjutnya ditandai oleh gejala
spesialisasi dan deferensiasi ruang. Lokasi zona-zona keruangan yang terbentuk

tidak ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor jarak dari CBD serta membentuk
persebaran zona-zona ruang yang teratur, namun berasosiasi dengan sejumlah
faktor dan pengaruh faktor-faktor ini akan menghasilkan pola-pola keruangan yang
khas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar berikut ini:
Berdasarkan gambar di atas struktur tata ruang kota terdiri dari (1) Kawasan
Pusat Kota, (2) Kawasan Industri, (3) Kawasan pemukiman kelas bawah, (4)
Kawasan pemukiman kelas sedang, (5) Kawasan pemukiman kelas atas, (6)
Kawasan industri ringan, (7) Kawasan sub pengembangan kota, (8) Kawasan sub
urban dan (9) kawasan industri sub urban.
Berdasarkan perkembangan fisik Kota Medan bentuk morfologi Kota Medan
sesuai dengan Teori Morfologi Kota yaitu Teori Multiple Nuclei (teori pusat kegiatan
banyak) yang dicetus oleh oleh C.D. Harris dan FL. Ulman.
Seiring perkembangan kota, tumbuh berkembang mengikuti dinamika
perkembangan sesuai dengan kondisi kota tersebut. Seperti terjadi di kota-kota
besar,
adanya pengelompokan fungsi-fungsi yang sejenis menimbulkan keuntungan
tersendiri. Pengelompokan akan berarti peningkatan konsentrasi
pelangganpelanggan
potensial dan memudahkan dalam membandingkan satu sama lain.
Ilustrasi perkembangan kota dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Pada gambar diatas dapat dilihat perkembangan kota mengikuti pola kegiatan
dengan mengadopsi teori basis ekonomi, teori lokasi dan teori model bangkitan dan
tarikan lalu lintas (Breter, 2001).
Pembangunan kota terus berlanjut akibat proses urbanisasi sehingga menyebar
ke bagian pinggir kota, yang berakibat pada perubahan struktur ruang dan bentuk
kota (Burnley dan Murphy 1995; Davis et al. 1994; Nelson 1992). Burnley dan
Murphy (1995) menjelaskan pembangunan sub urban dapat berakibat pada
ketimpangan wilayah perkotaan karena wilayah sub urban yang dibangun belum
dilengkapi jaringan infrastruktur yang memadai. Menurut Herbes (1987) daerah sub
urban yang baru dibangun oleh arus urbanisasi tumbuh dan berkembang mengikuti
pola perkampungan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya.
Meskipun
kita menyadari sebagai proses pembangunan kota telah membawa implikasi
terhadap
ketimpangan wilayah, namun dengan adanya literatur tentang perencanaan wilayah
dapat dijadikan sebagai dasar untuk mempersempit terjadinya ketimpangan wilayah
(
Bahl dkk,1992).
B. Rencana Tata Guna Lahan
Suatu rencana tata guna lahan merupakan ekspresi kehendak lingkungan
masyarakat mengenai bagaimana seharusnya pola tata guna lahan suatu
lingkungan
pada masa yang akan datang. Dalam rencana itu ditentukan daerah-daerah yang
akan
digunakan bagi berbagai jenis, kepadatan dan intensitas kategori penggunaan,
misalnya penggunaan untuk pemukiman, perdagangan, industri dan berbagai
kebutuhan umum. Ditentukan pula azas dan standar yang harus diterapkan pada
pembangunan atau pelestarian di daerah itu. Di dalam suatu rencana tata guna
lahan

biasanya tercantum naskah uraian dan beberapa peta. Di dalam uraiannya


terkandung
kebijaksanaan-kebijaksanaan, sedangkan peta-peta menggambarkan penerapan
rencana pada ruang yang tersedia, baik secara umum maupun terperinci, dengan
menetapkan jenis penggunaan tertentu untuk daerah-daerah tertentu pula.
Suatu rencana tata guna lahan biasanya merupakan bagian dari suatu rencana
menyeluruh. Dalam bagian-bagian lain dibahas persoalan transportasi, utilitas
umum;
seperti listrik, gas dan air; berbagai macam prasarana masyarakat dan
masalahmasalah
khusus yang membutuhkan perhatian, misalnya pembangunan ekonomi dan
pelestarian lingkungan.
Sifat rencana tata guna lahan bias berlainan karena jenis dan luas lingkungan,
struktur pemerintahan serta peraturan-peraturan negara bagian dan kotamadya atau
kabupaten yang mengatur soal perlahanan. Misalnya, suatu rencana tata guna lahan
untuk sebuah dusun di pedesaan barangkali akan lain sekali ruang lingkupnya dan
tidak begitu mendesak seperti rencana tata guna lahan di sebuah kota industri yang
besar. Sebuah rencana tata guna lahan di daerah pemukiman sekitar pusat kota
mungkin berorientasi lain daripada rencana tata guna lahan di daerah pusat kota.
Suatu rencana tata guna lahan untuk suatu wilayah yang dikelola beberapa
pemerintahan, misalnya suatu wilayah metropolitan, mungkin akan dilandasi
rancangan pelaksanaan yang lain sama sekali daripada rencana sejenis untuk suatu
wilayah kotamadya atau kabupaten dengan pemerintahan tunggal. Dan suatu
rencana
tata guna lahan untuk suatu lingkungan di dalam wilayah pemerintahan yang
memiliki sedikit saja atau sama sekali tidak memiliki peraturan-peraturan mengenai
perencanaan lingkungan barangkali akan lain sekali bila dibandingkan dengan
rencana tata guna lahan untuk wilayah pemerintahan yang memiliki perencanaan
yang kuat serta peraturan-peraturan pelaksanaan rencana tata guna lahan.
Jangka waktu rencana tata guna lahan juga berbeda-beda, tergantung berapa
jauh jangkauannya ke masa depan. Suatu rencana jangka panjang biasanya menuju
ke
sasaran yang terletak 20 atau 25 tahun yang akan datang, sedangkan suatu
rencana
tata guna lahan yang dimaksudkan untuk melaksanakan program pembangunan
tertentu mungkin hanya menjangkau sasaran 5 tahun atau kurang. Misalnya, kota
Atlanta di Negara bagian Georgia, Amerika Serikat, memiliki peraturan yang
mengharuskan penyusunan rencana-rencana tata guna lahan berjangka waktu 1,5
dan
15 tahun yang masing-masing harus diperbaharui tiap tahun.
Oleh sebab perencanaan perkotaan bersifat menyeluruh dan integral, maka
suatu rencana tata guna lahan biasanya hanya merupakan unsur fungsional dari
suatu
proses menyeluruh. Sekalipun merupakan unsur yang paling menentukan,
perencanaan perkotaan dilengkapi dengan unsur-unsur fungsional dan hasil-hasil
penelitian yang bersifat mendukungnya.
Undang-undang negara bagian Florida mengandung contoh tentang hal itu.
Berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-undang tentang Pengaturan Perencanaan
Menyeluruh serta Pengembangan Lahan Pemerintah Daerah Negarabagian Florida,

tiap kotamadya dan kabupaten harus menyusun serta mensahkan rencana


menyeluruh
yang mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbaikan modal
2. Rencana tata guna lahan untuk masa depan
3. Sirkulasi lalu lintas
4. Saluran pembuangan limbah manusia, sampah padat, saluran pembuangan air
hujan dan air minum
5. Pelestarian alam
6. Rekreasi dan ruang terbuka
7. Perumahan
8. Pengelolaan daerah pantai (hanya untuk kewenangan hukum daerah pantai)
9. Koordinasi antar instansi pemerintah
Unsur-unsur tambahan berikut ini bersifat mana suka tetapi yang pertama dan
kedua merupakan keharusan bagi pemerintah daerah yang berpenduduk lebih dari
50.000 jiwa:
a. Perjalanan Masal (Mass Transit)
b. Pelabuhan, penerbangan dan rencana-rencana fasilitas terkait
c. Kendaraan tidak bermotor (misalnya sepeda) dan lalu lintas pejalan-kaki
d. Parkir halaman
e. Bangunan umum dan fasilitas-fasilitas terkait
f. Pola kemasyarakatan
g. Pembangunan kembali daerah-daerah secara umum
h. Keselamatan
i. Pelestarian tempat-tempat bersejarah dan tempat-tempat dengan pemandangan
indah
j. Pembangunan ekonomi
k. Unsur-unsur yang bersifat khas dan merupakan kebutuhan bagi daerah itu
Di samping merupakan unsur tunggal dalam suatu rencana menyeluruh,
rencana tata guna lahan menjadi titik pusat semua rencana menyeluruh itu dan
merupakan semacam tali pengikat yang menyatukan unsur-unsur lain. Bagi suatu
lingkungan masyarakat, rencana tata guna lahan ibarat sebuah rencana dasar bagi
pembuatan sebuah gedung: di dalamnya tercantum ketentuan mengenai kapan,
bagaimana, berapa banyak dan mengapa kegiatan tersebut harus dilakukan.
Rencana
tata guna lahan merupakan kerangka kerja yang menetapkan keputusan-keputusan
terkait tentang lokasi, kapasitas dan jadwal pembuatan jalan, saluran air bersih dan
air
limbah, gedung sekolah, pusat kesehatan, taman dan pusat-pusat pelayanan serta
fasilitas umum lainnya. Rencana tata guna lahan juga membuka kesempatan bagi
pembangunan perumahan, daerah perbelanjaan dan pembangunan ekonomi yang
memadai, di samping memberikan perlindungan bagi daerah-daerah serta sumber
daya lingkungan yang menentukan.
Dengan cara demikianlah rencana tata guna lahan meletakkan kerangka dasar
bagi hal-hal terperinci yang dicantumkan pada banyak segi lain di dalam rencana
menyeluruh, seperti transportasi, tenaga listrik, air bersih dan gas, fasilitas dan
pelayanan masyarakat rekreasi dan ruang terbuka, perumahan serta pelestarian
tempat-tempat dan benda-benda bersejarah dan kawasan yang berpemandangan
indah. Hal-hal itu diusahakan untuk mencapainya secara mencoba menciptakan
suatu

pola pengembangan lahan yang masuk akal dan bukan pola pengembangan dan
penyebaran yang acak-acakan, tidak teratur, tidak mantap dan mahal yang akan
terjadi jika tidak diciptakan pola pengembangan yang masuk akal, melainkan
konfigurasi khusus yang logis dan bertahap, didasarkan pada kebijakan-kebijakan
yang sudah disahkan.
Bagi pelaksanaan rencana tata guna lahan tidak ada penjadwalan pasti
berkaitan dengan jadwal pelaksanaan bagian-bagian lain di dalam proses
perencanaan
menyeluruh. Penjadwalan bergantung pada hasil penelitian atau unsur rencana
mana
yang sudah tersedia; kendala-kendala anggaran, penjadwalan, dan politik, juga para
kebutuhan-kebutuhan lain yang mendesak, misalnya situasi gawat di dalam
masyarakat yang harus segera diperhatikan atau pada syarat-syarat perencanaan
hukum pada pemerintahan federal, negara bagian atau daerah di bawahnya.
Lagipula,
karena perencanaan perkotaan bersifat berulang-ulang dan terus-menerus maka
jarang
adawaktu yang ideal bagi pelaksanaan rencana tertentu.
Tetapi karena hal-hal lain bernilai sama maka dapat disebut beberapa
penelitianyang biasanya mendahului persiapan penyusunan rencana tata guna
lahan,
yaitu:
1. Penelitian kependudukan
2. Penelitian ekonomi
3. Analisis lingkungan
4. Identifikasi masalah-masalah, sasaran dan tujuan masyarakat
Unsur-unsur rencana menyeluruh yang bukan rencana tata guna lahan (seperti
unsur-unsur mengenai transportasi, listrik, air bersih dan gas, serta fasilitas umum)
mungkin mendahului, menyertai atau menyusuli persiapan perencanaan tata guna
lahan. Hal itu tergantung pada struktur, jadwal dan kendala-kendala yang terdapat
dalam proses perencanaan menyeluruh. Unsur-unsur rencana menyeluruh yang
biasanya menyusul sesudah tersusun rencana tata guna lahan meliputi:
a. Rencana-rencana untuk daerah yang lebih kecil, seperti daerah pemukiman,
pusatpusat
bisnis, lingkungan industri atau daerah-daerah pelestarian
b. Rencana-rencana fungsional untuk tujuan-tujuan khusus, seperti rencana untuk
perumahan atau tempat-tempat rekreasi.
Sekalipun mungkin ada tahapan analitis yang ideal (tentunya sampai batas-batas
tertentu bias terwujud) pertimbangan praktis mengenai anggaran, ketentuan hukum
dan hal-hal yang menimbulkan keresahan masyarakat yang sering menjadi faktor
penentu mengenai bagaimana dan kapan pelaksanaan rencana tata guna lahan
harus dilaksanakan (Catenese dan Snyder, 1988).
C. Proses Perencanaan Tata Guna Lahan
Proyek perencanaan tata guna lahan biasanya seperti dilukiskan pada gambar
1. sebenarnya proses ini lebih bersifat umum karena dapat diterapkan secara sama,
dalam bentuk yang bagaimanapun, pada semua perencanaan masyarakat,
termasuk
perencanaan menyeluruh, Perencanaan tata guna lahan itu sendiri, dan
perencanaan

tata guna lahan sebagai bagian dalam perencanaan menyeluruh. Dalam pengertian
yang paling sederhana, proses itu meliputi tiga tahap (lihat segi empat di tengah) :(1)
dimana tempat anda, (2) kemana anda hendak pergi dan (3) bagaimana cara
pencapaiannya.
Tahapan pelaksanaan 10 langkah yang ditunjukkan dalam gambar itu akan
berganti-ganti, demikian pula berapa jauh keterkaitan tata guna lahan sebagai
masalah tersendiri atau sebagai bagian dalam suatu proses perencanaan yang lebih
lengkap. Misalnya saja, langkah 1 (identifikasi permasalahan masyarakat dan
peluangnya) mungkin sudah dikerjakan pada tingkat lebih menyeluruh sebelum
dilaksanakan proses perencanaan tata guna lahan, atau langkah itu mungkin perlu
dilaksanakan secara khusus untuk menggerakkan proses tersebut. Langkah 2 dan 3
mencakup pengumpulan dan analisa informasi, mungkin sebagian sudah atau belum
dapat diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya, tetapi sudah hampir dapat
dipastikan juga akan membutuhkan pengumpulan dan analisis informasi khusus
untuk keperluan perencanaan tata guna lahan.
Dalam mempelajari bagian ini mungkin akan bermanfaat bila melihat lagi
diagram dasar pada gambar untuk mengetahui bagian mana saja yang tepat untuk
berbagai bagian perencanaan tata guna lahan dan proses implementasinya.
D. Teori Pembangunan Wilayah
Pembangunan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk
memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan
menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Kebijakan
pengembangan
wilayah sangat diperlukan karena kondisi fisik geografis, sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya
sehingga penerapan kebijakan pengembangan wilayah itu sendiri harus disesuaikan
dengan kondisi, potensi, dan isu permasalahan di wilayah bersangkutan.
Istilah pembangunan ekonomi digunakan secara bergantian dengan istilah
seperti pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan ekonomi, kemajuan ekonomi, dan
perubahan jangka panjang. Pembangunan ekonomi mengacu pada masalah
negara/masyarakat yang sedang membangun, sedangkan pertumbuhan mengacu
pada
masalah negara-negara maju. Pembangunan, menurut Schumpeter, adalah
perubahan
spontan dan terputusputus dalam keadaaan stasioner yang senantiasa mengubah
dan
mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya. Sedangkan pertumbuhan
adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui
kenaikan tabungan dan penduduk. Menurut Boner, pembangunan memerlukan dan
melibatkan semacam pengarahan, pengaturan, dan pedoman dalam rangka
menciptakan kekuatan-kekuatan bagi perluasan dan pemeliharaan, sedang ciri
pertumbuhan spontan merupakan ciri perekonomian maju dengan kebebasan usaha
(Sjafrizal, 2008).
Menurut Todaro (2006) bahwa pembangunan harus berlangsung pada satu
tingkat perubahan secara menyeluruh sehingga suatu sistem sosial yang telah
diselaraskan dengan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan dasar pribadi dan
kelompok
yang beraneka ragam dalam sistem tersebut akan bergerak menjauhi kondisi hidup
yang secara umum dianggap kurang memuaskan dan mengarah ke situasi atau

kondisi hidup yang secara material dianggap lebih baik.


Pencapaian tujuan pembangunan masyarakat tersebut, unsur penting dan
strategis sebagai fasilitator adalah pemerintah, yang diharapkan mampu
memberikan
kemudahan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam perekonomian dan
pembangunan untuk mewujudkan perubahan pada kondisi yang lebih
menguntungkan. Pemerintah pada dasarnya merupakan alat bagi masyarakat untuk
dapat melakukan secara bersama hal-hal yang tidak dapat dilakukan secara
individu.
Kebutuhan yang semakin meningkat terhadap fasilitas dan pelayanan
pembangunan umum dalam masyarakat menuntut adanya institusi-institusi daerah
yang cekatan (Sarundajang, 1997).
Pembangunan secara umum dapat diartikan sebagai usaha yang memajukan
kehidupan masyarakat dari kondisi yang tidak baik menjadi kondisi yang lebih baik.
Siagian (1983) mendefinisikan bahwa pembangunan itu adalah sebagai usaha atau
rangkaian usaha yang pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan
secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam
rangka pembinaan bangsa (nation building).
Pembangunan ekonomi didefinisikan dalam tiga pengertian sebagai berikut:
1. Pembangunan ekonomi harus diukur dalam arti kenaikan pendapatan nasional riil
dalam suatu jangka waktu yang panjang. Definisi ini tidak memuaskan, karena
tidak mempertimbangkan berbagai perubahan misalnya pertumbuhan penduduk.
Jika suatu kenaikan dalam pendapatan nasional riil dibarengi dengan
pertumbuhan penduduk yang lebih cepat, maka yang terjadi bukan kemajuan
tetapi adalah sebaliknya yaitu kemunduran.
2. Meier dalam Siagian (1983) bahwa pembangunan ekonomi sebagai proses
kenaikan pendapatan riil per kapita dalam suatu jangka waktu yang panjang.
Baran dalam Siagian (1983) membenarkan pertumbuhan (pembangunan)
ekonomi adalah kenaikan output perkapita barang-barang material dalam suatu
jangka waktu. Definisi di atas menekankan bahwa pembangunan ekonomi
dicerminkan oleh tingkat kenaikan pendapatan riil lebih tinggi dibandingkan
tingkat pertumbuhan penduduk. Definisi tersebut mengabaikan masalah yang
bertalian dengan struktur masyarakat, struktur penduduk, lembaga dan budaya
masyarakat, dan bahkan distribusi output di antara anggota masyarakat.
3. Ada kecenderungan untuk mendefinisikan pembangunan ekonomi dilihat dari
tingkat kesejahteraan ekonomi. Misalnya pendapatan nasional riil per kapita naik
dibarengi dengan penurunan kesenjangan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan
masyarakat secara keseluruhan. Definisi ini mempunyai beberapa keterbatasan,
(a) kenaikan pendapatan nasional atau per kapita riil, si kaya bertambah kaya dan
si miskin bertambah miskin, berarti kesenjangan bertambah lebar; (b) dalam
mengukur kesejahteraan ekonomi harus hati-hati, output dapat dinilai dengan
kenaikan pendapatan nasional riil, dan (c) harus dipertimbangkan tidak saja
barang apa yang diproduksi, tetapi juga bagaimana barang tersebut diproduksi.
Pembangunan nasional didukung oleh pembangunan yang terjadi di wilayah.
Untuk itu diperlukan pendekatan yang penting didalami adalah teori yang berkaitan
dengan pengembangan wilayah, dan adapun teori tersebut adalah sebagai berikut:
1. Teori Lokasi dan Aglomerasi
Teori Lokasi memberikan kerangka analisa yang baik dan sistematis
mengenai pemilihan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial, serta analisa interaksi antar

wilayah. Teori Lokasi menjadi penting dalam analisa ekonomi karena pemilihan
lokasi yang baik akan dapat memberikan penghematan yang sangat besar untuk
ongkos angkut sehingga mendorong terjadinya efisiensi baik dalam bidang produksi
maupun pemasaran. Sedangkan interaksi antar wilayah akan dapat pula
mempengaruhi perkembangan bisnis yang pada gilirannya akan dapat pula
mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Sjafrizal, 2008).
Untuk menganalis pembangunan kota dan wilayah, kita harus memahami
sepenuhnya mengenai kekuatan-kekuatan aglomerasi dan deaglomerasi.
Kekuatankekuatan
tersebut dapat menjelaskan terjadinya konsentrasi dan dekonsentrasi atau
dispersi kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya. Manfaat-manfaat yang
ditinbulkan oleh kegietan-kegiatan di atas dapat dikelompokkan dalam tiga kategori,
antara lain: yaitu (1) penghematan skala (scale economies), penghematan lokasi
(localization economies). dan penghematan urbanisasi (urbanization economies).
1. Penghematan skala (scale economies). Terdapat penghematan dalam produksi
secara internal bila skala produksinya ditingkatkan. Biaya tetap yang besar
sebagai akibat investasi dalam bentuk pabrik dan peralatan, yang memungkinkan
dilaksanakan pemanfaatan pabrik dan peralatan tersebut dalam skala besar dapat
membagi-bagi beban biaya-biaya tetap pada berbagai unit terdapat dalam sistem
produksi. Sebagai konsekuensinya, unit biaya produksi menjadi lebih rendah
sehingga dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain. Produksi pada skala
besar dimaksudkan untuk menghundari unit biaya operasi yang eksesif. Hal ini
dapat dipertanggungjawabkan hanya pada lokasi-lokasi yang melayani penduduk
dalam jumlah besar, atau dengan perkataan lain mempunyai suatu pasar yang
luas. Jadi dapat disimpulkan bahwa terjadinya penghematan skala internal
memberikan manfaat pada konsentrasi penduduk dalam jumlah besar daripada
jumlah penduduk yang sedikit, industri dan kegiatan-kegiatan lainnya.
2. Penghematan lokalisasi (lokalization economies). Jenis kedua, kekuatan yang
terpenting konsentrasi industri diasosiasikan dengan penghematan yang
dinikmati oleh semua perusahaan dalam suatu industri yang sejenis pada suatu
lokasi tertentu. Hal ini disebabkan karena bertambahnya jumlah keluaran (total
output) industri tersebut. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan mengenai pabrik
tekstil. Kasus disuatu wilayah yang belum berkembang, dimana terdapat
kelayakan untuk mendirikan pabrik-pabrik modern ukuran kecil yang tidak
membutuhkan investasi modal yang eksesif dan dapat beroperasi tanpa dilayani
oleh tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang tinggi dan spesialistis.
Berkelompok dan terkonsentrasinya pabrik-pabrik sejenis pada suatu daerah
geografis tertentu, misalnya di daerah-daerah perkotaan, akan menciptakan
penghematan lokalisasi dan akan meningkatkan pertumbuhan kota-kota tersebut.
3. Penghematan urbanisasi (urbanization economies). Penghematan urbanisasi
diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total (penduduk, hasil industri,
pendapatan, dan kemakmuran) di suatu lokasi untuk semua kegiatan yang
dilakukan bersama-sama. Penghematan ini terkait pada kegiatan-kegiatan
industri-industri dan sektor-sektor secara agregatif
Keuntungan aglomerasi baru dapat muncul bilamana terdapat keterkaitan
yang erat antara kegiatan ekonomi yang ada pada konsentrasi tersebut baik dalam
bentuk keterkaitan dengan input (Backward Linkages) atau keterkaitan output
(Forward Linkages). Dengan adanya keterkaitan ini akan menimbulkan berbagai
bentuk keuntungan eksternal bagi para pengusaha, baik dalam bentuk penghematan
biaya produksi, ongkos angkut bahan baku, dan hasil produksi serta penghematan

biaya penggunaan fasilitas karena beban dapat ditanggung bersama. Penghematan


tersebut selanjutnya akan dapat menurunkan biaya yang harus dikeluarkan oleh
para
pengusaha sehingga daya saingnya menjadi semakin meningkat. Penurunan biaya
inilah yang selanjutnya mendorong terjadinya peningkatan efisiensi dan
pertumbuhan
ekonomi yang berada dalam kawasan pusat pertumbuhan tersebut.
2. Teori tempat Sentral (Central Place Theory)
Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis pusatpusat
kota atau wilayah-wilayah nodal, tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola
georafis tersebut terjadi secara gradual dan bagaimana pola tersebut mengalami
perubahan-perubahan pada masa depan, atau dapat dikatakan tidak menjelaskan
gejala-gejala (fenomena) pembangunan. Dengan demikian teori tersebut dapat
dikatakan bersifat statis. Agar teori tempat sentral mampu menjelaskan gejala-gejala
dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah. Salah satu
diantaranya adalah teori Perroux (kutub pertumbuhan) yang membahas perubahanperubahan struktural pada tata ruang geografis. Atau dapat dikatakan teori tempat
sentral merupakan dasar dari teori kutub pertumbuhan.
Teori tempat sentral sebagian brsifat positif karena berusaha menjelaskan pola
aktual arus pelayanan jasa, dan sebagian lagi bersifat normatif karena berusaha
menentukan pola optimal distribusi tempat-tempat sentral. Teori tempat sentral
mempunyai kontribusi pada pemahaman interrelasi spasial dan kota-kota sebagai
sistem di dalam sistem perkotaan.
Teori tempat sentral tidak memberikan pejelasan secara lengkap mengenai
pertumbuhan kota karena teori tersebut diformulasikan berdasarkan pembangunan
daerah pertanian yang tersusun secara herarkis dan berpenduduk merata. Dengan
tumbuhnya kota-kota maka muncullah jasa-jasa yang tidak berkanaan dengan pasar
wilayah belakang. Sebagai contoh kehidupan kota metropolitan dapat mencipakan
kebutuhan-kebutuhan sendiri (internal), misalnya peningkatan penyediaan fasilitas
penyediaan air minum, listrik, angkutan umum, demikian pula kebutuhan fasilitas
parkir. Persoalan-persoalan yang dihadapai dalam pertumbuhan kota ternyata tidak
sesederhana seperti persoalan pemasaran barang-barangdan jasa-jasa yang
dihasilkan
oleh tempat sentral. Analisis tempat sentral menekankan pada peranan sektor
perdagangan dan kegiatan-kegiatan jasa daripada kegiatan-kegiatan manufaktur.
Kegiatan manufaktur dianggap sebagai kegiatan produktif non tempat sentral. Hal ini
tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak kota-kota besar dan kota-kota lainnya
sering
kali mengalami perluasan dalam hal lokasi manufaktur karena kota-kota yang
bersangkutan merupakan pasar tenaga kerja yang luas dan pada umumnya
memberikan keuntungan-keuntungan aglomerasi, dimana perusahaan-perusahaan
manufaktur lebih banyak melayani pasar nasional daripada pasar-pasar regional.
Model tempat sentral ternyata tidak berhasil menjelaskan timbulnya kecendrungan
yang kuat dalam masyarakat mengenai pengelompokkan perusahaan-perusahaan
karena pertimbangan keuntungan-keuntungan aglomerasi dan ketergantungan.
3. Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory)
Sebagaimana diketahui bahwa potensi dan kemampuan masing-masing
wilayah berbeda-beda satu sama lainnya, demikian pula masalah pokok yang
dihadapinya tidak sama. Sehingga usaha-usaha pembangunan sektoral yang akan
dilaksanakan harus disinkronisasikan dengan usaha-usaha pembangunan regional.

Hirschman mengatakan bahwa untuk mencapai tingkat pendapatan yang lebih


tinggi,
terdapat keharusan untuk membangun sebuah atau beberapa buah pusat kekuatan
ekonomi dalam wilayah suatu negara, atau yang disebut sebagai pusat-pusat
pertumbuhan (growth point atau growth pole). Terdapat elemen yang sangat
menentukan dalam konsep kutub pertumbuhan, yaitu pengaruh yang tidak dapat
dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Pengaruh
tersebut semata adalah dominasi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata ruang
geografis dan dimensi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata ruang geografis
dan
dimensi tata ruang (geographic space and space dimension. Proses pertumbuhan
adalah konsisten dengan teori tata ruang ekonomi (economic space theory), dimana
industri pendorong (propulsive industries atau industries motrice) dianggap sebagai
titik awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan selanjutnya.
Nampaknya Perroux lebih menekankan pada aspek pemusatan pertumbuhan
(Adisasmita, 2005). Hirschman berdalil bahwa pertumbuhan awalnya terbatas pada
wilayah-wilayah yang disukai, meskipun ketimpangan menyebar berdasarkan letak
geografis, meliputi terpencil dan pertumbuhan ini terjadi melalui dampak hubungan
dengan kutub-kutub pertumbuhan. Teori kutub pertumbuhan menyajikan dua fungsi
baik fungsi idiologi maupun fungsi politik. Di dalam suatu arti idiologis dan pada
suatu tingkat teoritis yang tidak dapat diambil melalui pertanyaan-pertanyaan sosial
yang lebih mendalam. Teori kutub pertumbuhan bersandar terhadap mekanisme
harga
sebagai faktor penengah dan retribusi sumberdaya. Perroux menetapkan bahwa
sektor-sektor pertumbuhan didefinisikan dengan hubungan-hubungan ekonomi
dengan unit-unit lain di dalam ekonomi. Asumsi Perroux adalah tujuan sosial dari
perkembangan wilayah yang dimanfaatkan oleh agen-agen yang ingin memperoleh
keuntungan pribadi. Mengikuti pendapat Perroux, Boudeville mendefenisikan kutub
pertumbuhan wilayah sebagai seperangkat industri sedang berkembang yang
berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong lebih lanjut perkembangan
ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (localized development pole). Teori
Boudeville dapat dianggap sebagai pelengkap terhadap teori tempat sentral yang
diformulasikan oleh Chirstaller dan kemudian diperluas oleh Losch. Boudeville
mengemukakan aspek kutub fungsional dan memberikan pula perhatian pada
aspek
geografis (Piche, 1982).
4. Teori Konvergen (Convergence Theory)
Bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana
dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan
semakin lancar. Teori Konvergen dapat terjadi jika negara yang bersangkutan telah
maju, maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang (Convergence).
Dari
pandangan neo-klasik, ketimpangan wilayah dapat dihubungan dengan faktor
ketidaksempurnaan pasar dan sifat kelambanan proses pembangunan.
Menyamaratakan faktor harga antara wilayah dalam suatu wilayah melalui integrasi
akan meningkatkan faktor mobilitas sehingga dengan demikian akan ada
pencapaian
keseimbangan atau pola pertumbuhan wilayah konvergen. Hal tersebut juga
ditanggapi rendahnya pendapatan wilayah akan meningkatkan para pekerja melalui

migrasi, sehingga menarik investor dengan biaya pekerja yang rendah. Teori
konvergen akan terus berlanjut sampai para pekerja dan penghasilan seimbang.
Karena wilayah yang produktivitas dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih
tinggi kedepannya akan lebih sulit menghitung hasil pengurangnya. Akibatnya, untuk
dapat menyeimbangkan perekonomian dapat dilakukan jika perekonomian berada
pada posisi yang lemah. Teori harga Factor Price Equalization (FPE) sudah menjadi
dasar pemikiran yang kuat dalam perdagangan bebas internasional sejak Heckscher
berpendapat bahwa pada kondisi tertentu membuka perdagangan yang akan
menyamakan hasil- terhadap kesamaan faktor-faktor pada negara-negara lain, dan
Ohlin pada awal abad ini, dan disempurnakan oleh Paul Samuelson
menyempurnakan
secara matematis. Dalam analisa integrasi perekonomian dunia, beberapa ahli
seperti
Porter dan Krugman mulai melihat pentingnya jarak geografis. Bertil Ohlin membuat
asumsi bahwa dua faktor produksi merupakan hal yang penting di setiap negara,
yang
sebahagian faktor tersebut merupakan hal yang tidak penting pada beberapa
negara.
Komoditas bergerak dengan baik di perdagangan internasional, tanpa didukung
pajak
atau biaya transportasi. Dari pandangannya, perdagangan bebas telah cukup
mampu
menggantikan mobilitas internasional sehingga pergerakan terhadap perdagangan
bebas akan menyebabkan harga pada negara negara menjadi sama. Dan jika
kedua
negara melanjutkan untuk menghasilkan barang-barang pada perdagangan bebas,
faktor harganya sebenarnya akan menjadi sama tanpa pergerakkan. Kesamaan
faktor
harga ini (FPE) dibuktikan secara matematis oleh Samuelson. Teori konvergen
masih
digunakan sebagai model dalam literatur teori pertumbuhan, yang menyatakan
bahwa
liberalisasi dalam asas dasar dapat meningkatkan proses konvergen melalui wilayah
(Hwang, 1996).
5. Teori Divergen (Divergence theory)
Divergence terjadi pada saat modal dan tenaga kerja ahli cenderung
terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan
regional cenderung melebar. Ketimpangan wilayah yang tinggi menyebabkan
pengangguran atau tingkat pendapatan yang cenderung menurun pada sebahagian
masyarakat. Untuk mengatasi ini diperlukan campur tangan pemerintah untuk
membuat kebijakan yang akan mengurangi ketimpangan wilayah (Jeong, 1995). Bila
wilayah miskin mampu untuk menaikkan pendapatan per kapita masyarakat secara
terus menerus, maka ketimpangan wilayah dapat dipersempit secara perlahan
(Dapeng, 1998).
Ada tiga strategi dasar dimana para pembuat kebijakan bisa membantu variasi
basis ekonomi

Anda mungkin juga menyukai