Ekbang Strategi Pembangunan Ekonomi Indonesia
Ekbang Strategi Pembangunan Ekonomi Indonesia
PEMBANGUNAN EKONOMI
INDONESIA:
Mercantilism,
Liberalism, atau
Sosialism?
Oleh:
Free Trade atau
Protectionism?
Agus Brotosusilo
Materi Perkuliahan
Teori-Teori
Hukum
Agus Brotosusilo,
2005.Ekonomi
Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia.
GLOBALIZATION:
GLOBALIZATION:
(LIBERALIZATION
(LIBERALIZATION && PROTECTION)
PROTECTION)
Production Technology, high-tech, biotech, GMO
Trans-border Transportation/Information Tech.
International Trade Law (e.g. WTO)
Regional Trade
Arrangements
IM
P
EKS ORT/
POR
T
Vienna Convention on
The Law of Treaties, 1969.
IMPLICATIONS
Bilateral Trade
Arrangements
T/
R
PO RT
M
I SPO
EK
National Law
Domestic Laws
TRIPS LAWS
CUSTOM LAW
ANTI-DUMPING LAW
SAFEGUARD LAW
Agus
Agus Brotosusilo,
Brotosusilo, 2005.
2005
.
. Three theories of International Political Economy
Mercantilism
Economic
Liberalism
Marxism
Relationship between
Economics and
politics:
Politics decisive
Economics
Autonomous
Economics
decisive
States
Individuals
Classes
The nature of
Economic relations:
Conflictual,
zero-sum game
Cooperative,
positive-sum
game
Conflictual
Economic goals:
State power
Maximum individual
well-being
Agus
2005.
Agus Brotosusilo,
Brotosusilo,
2007
Class interests
4
Ironi:
Bagaimana dalam arus globalisasi
ekonomi dan perdagangan yang
semakin laju ini ternyata pertentangan
antara para pengagum Free Trade
dengan pendukung Protectionism
justru semakin tajam; dan
sikap menentang arus globalisasi
justru semakin menguat.
Agus Brotosusilo, 2005.
Argumentasi-argumentasi Pengagum
Perdagangan Bebas/Free Trade
Argumentasi para pengagum perdagangan bebas/free
trade berkembang sedemikian beraneka ragam:
1. teori-teori klasik (serangan terhadap praktek merkantilism),
2. teori Ricardo tentang keunggulan komparatif/comparative
advantage;
3. teori ekonomi kontemporer;
4. teori ilmu hukum; dan
5. teori tentang dampak sosial dari perdagangan bebas/free
trade (pola perdagangan, Infant Industries, lapangan
kerja dan pengupahan, lingkungan, kemanan nasional, dan
kedaulatan).
Agus Brotosusilo, 2005.
8
10
Division of Labor
Pemilahan tenaga kerja (division of labor) dalam
lingkup internasional didasarkan pada tingkat harga
komparatif, dan Negara-negara cenderung untuk
mengambil spesialisasi untuk memproduksi komoditi
dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan
pesaing-pesaingnya. Dengan demikian perdagangan
internasional bukanlah suatu a zero-sum game,
tetapi
berdasarkan
keserasian
kepentingan
berlandaskan
spesialisasi
dan
comparative
advantage.
Melalui karyanya Ricardo menunjukkan bukti ilmiah
pertama bahwa perdagangan bebas/free trade
memberikan keuntungan kepada kedua-belah pihak
Agus Brotosusilo, 2005.
13
pelakunya
Rumus 72
yaitu bahwa perbedaan yang berkelanjutan dalam
tingkat pertumbuhan ekonomi yang diperlukan untuk
pertumbuhan ekonomi sebesar dua kali lipat adalah
angka 72 dibagi dengan selisih tingkat pertumbuhan
pertahun antara kedua sistem ekonomi yang
diperbandingkan.
Jadi pada dua sistem ekonomi yang mulai dengan
income perkapita yang sama, tetapi pertumbuhan
income perkapita pada sistem ekonomi yang pertama
2% pertahun lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
ekonomi yang kedua, dalam waktu 36 tahun sistem
ekonomi yang pertama akan menikmati standar
kehidupan dua kali lipat dibanding sistem ekonomi
yang pertama
Agus Brotosusilo, 2005.
15
Rumus 72 (Conted)
Pentingnya
pemahaman
terhadap
hubungan antara perdagangan dengan
keadilan semakin meningkat dengan
globalisasi ekonomi dan perkembangan
dalam hukum ekonomi internasional.
Semakin luas peran hukum dalam
perwujudan tata ekonomi dan semakin
besar perannya didalam penataan aspekaspek kehidupan sosial lainnya semakin
tinggi tuntutan pemahaman terhadap
rightness atau justice dalam tatanan
ekonomi internasional.
Agus Brotosusilo, 2005.
19
24
25
Leontif Paradox
Sayang, pengujian-pengujian empiris terhadap
the Heckscher-Ohlin (OH) Theorem tidak
selalu menghasilkan dukungan.
Pada Leontif Paradox, penelitian yang
dilakukan terhadap 200 industri di Amerika
Serikat pada tahun 1947 oleh seorang ekonom
kelahiran Rusia yang menjadi pemenang
hadiah nobel di tahun 1973 menunjukkan hasil
yang bertentangan dengan the HeckscherOhlin (OH) Theorem , yaitu: Amerika justru
mengekspor produk-produk labor-intensif dan
mengimpor produk-produk
capital-intensif. 26
Agus Brotosusilo, 2005.
Leontif Paradox
Penelitian Jaroslav Vanek dan Donald
Keesing pada tahun 1959 dianggap dapat
memberikan penjelasan terhadap fenomenafenomena Leontif Paradox, antara lain
menekankan pentingnya faktor-faktor nonagricultural land (misalnya raw materials)
pada impor Amerika serikat.
Dia berpendapat bahwa faktor-faktor modal
fisik dan tanah saling komplementer dalam
Agus Brotosusilo, 2005.
27
produksi raw materials
28
Value Chain
Suatu
perusahaan
mendapatkan
keunggulan
kompetitif di arena global dengan cara mewujudkan
konfigurasi kegiatan-kegiatan value chain dengan
cara yang memadai dan menjamin bahwa kegiatankegiatan tersebut dilakukan dengan terintegrasi.
Paul
Krugman
dalam
bukunya
Pop
Internationalism (1996) membahas tentang
pengaruh liberalissi perdagangan terhadap
lapangan kerja dan pengupahan.
Krugman menyangkal pokok-pokok pemikiran
pada buku Rafi Batra yang berjudul The Myth
of Free Trade (1973).
Agus Brotosusilo, 2005.
37
Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
Krugman berpendapat bahwa stagnasi
pengupahan di Amerika Serikat sejak
1973 (yaitu penurunan penghasilan bluecollar workers sejak 1973) bukanlah
disebabkan oleh free trade
Argumentasi-argumentasi Krugman untuk
merumuskan
dan
mempertahankan
pendapatnya adalah sebagai berikut:
Agus Brotosusilo, 2005.
38
Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
Pertama, Krugman menunjukkan bahwa
kompensasi untuk pekerja berpendidikan tinggi
meningkat.
Dia juga menunjukkan bahwa
tingkat pengupahan buruh Amerika antara
tahun 1945 dan 1973 meningkat dua kali lipat.
Kedua, dia menolak pandangan konvensional
bahwa stagnasi upah blue-color workers
setelah 1973 disebabkan karena penurunan
tingkat competitiveness
dari buruh-buruh
Agus Brotosusilo, 2005.
39
Amerika.
Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
Adalah kesalahan besar, menurut Krugman,
mempersalahkan impor yang dihasilkan dari buruh
berpendidikan rendah yang berlimpah di negaranegara dunia ketiga sebagai sumber stagnasi
pengupahan di Amerika Serikat.
Adalah kesalahan logika untuk merumuskan
hubungan sebab akibat antara peningkatan impor dan
keterpurukan sektor industri.
Pertanyaan yang harus diajukan adalah: apakah
pengaruh yang timbul dari pertumbuhan simultan
dalam ekspor dan impor produk-produk manufaktur?
Apakah defisit neraca perdagangan pada produkproduk manufaktur
semakin meningkat dalam
Agus Brotosusilo, 2005.
40
prosentase GDP?
Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
Dari naik turunnya data statistik neraca perdagangan 19701990 ditunjukkannya bahwa de-industrialisasi di Amerika
Serikat tetap akan terjadi meskipun negara ini dalam kurun
waktu 1970 1990 tidak mengimpor produk-produk manufaktur
lebih banyak dari produk-produk manufaktur yang diekspornya.
Apakah penyebab de-industrialisasi ini? Kalau bukan dari
perdagangan internasional?
Krugman menjelaskan bahwa penyebabnya adalah perubahan
pada komposisi pembelanjaan domestik. Orang-orang Amerika
Serikat tidak lagi membeli produk-produk manufaktur sebanyak
yang dilakukan sebelumnya. Pada tahun 1970 konsumsi
Amerika Serikat terhadap produk manufaktur adalah 46%, dan
konsumsi produk jasa 54%. Pada tahun 1991 perimbangan
tersebut berubah menjadi 40,7% dan 59,3%. Ini berarti bahwa
sektor manufaktur semakin
perannya dalam
Agus Brotosusilo,menurun
2005.
41
perekonomian Amerika Serikat
Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
Penjelasan tersebut menimbulkan pertanyaan lebih
lanjut: mengapa orang-orang Amerika membelanjakan
income-nya lebih sedikit terhadap produk-produk
manufaktur?
Jawaban Krugman adalah: bahwa harga produkproduk manufaktur secara relatif menjadi jauh lebih
murah dibandingkan biaya pelayanan jasa.
Selama periode 1970 1990 harga barang-barang
dibandingkan dengan biaya pelayan jasa turun 22,9%.
Mengapa produk-produk manufaktur menjadi semakin
murah?. Karena produktivitas dalam sektor manufaktur
meningkat jauh lebih pesat dibanding produktivitas disektor
jasa. Pertumbuhan ini menurut Krugman diterjemahkan
Brotosusilo, 2005.
42
sebagai harga yang Agus
lebih
rendah.
Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
De-industrialisasi di Amerika Serikat selama periode
1970 1990 bukan disebabkan oleh perdagangan
bebas yang berakibat pertumbuhan ekspor yang
cepat dari negara-negara seperti China dan
Indonesia, tetapi disebabkan oleh faktor domestik,
yaitu semakin turunnya pertumbuhan real income.
Disini timbul ironi: bahwa peningkatan produktivitas
pekerja di Amerika Serikat telah menyebabkan
terpuruknya kegiatan sektor manufaktur di Negara
tersebut
Agus Brotosusilo, 2005.
43
48
Demikian pula Perang Dunia I diawali dengan perang tarif dan perang
dagang. Sedangkan Perang Dunia II diawali dengan resesi ekonomi 1930an
yang disebabkan karena penerapan trade barriers melalui Smoot-Hewley
Tariff Act. Dengan demikian semua peperangan tersebut sebenarnya dapat
dihindarkan apabila di kawasan
tersebut
Agus Brotosusilo,
2005.sebelumnya telah diterapkan
50
perdagangan bebas/free trade.
Argumentasi-argumentasi Pendukung
Proteksionism
1. Penolakan-penolakan Terhadap Teori Free
Trade
a). Serangan Terhadap Teori Comparative Advantage:
Kritik Morris terhadap free trade diawali dengan uraiannya
bahwa selama ini kita telah mengalami cuci otak tentang
manfaat prinsip-prinsip free trade, yaitu:
Competition, yang dianggap lebih baik daripada cooperation,
karena mendorong inovasi, meningkatkan produktivitas, dan
menurunkan harga produk;
The division of labor yang memungkinkan spesialisasi,
meningkatkan produktivitas, dan menurunkan harga produk;
Semakin besar Unit Produksi, semakin tinggi tingkat The
division of labor yang memungkinkan spesialisasi, dan
menurunkan harga produk;
Penerapan comparative advantage, mampu mengarahkan
Agus Brotosusilo, 2005.
52
spesialisasi, sehingga meningkatkan
standar hidup
saat
66
Strategic
Trade
Theories
dapat
dipergunakan sebagai justifikasi teoritis
bagi Strategic Trade Policy yang
dipergunakan untuk legitimasi tindakantindakan untuk menanggulangi praktek
perdagangan curang yang dilakukan oleh
Negara lain.Meskipun teori ini mendukung
Proteksionism,
namun
argumentasiargumentasinya secara politis lebih dapat
diterima daripada Proteksionism tradisionel,
Agus Brotosusilo, 2005.
69
terutama di Amerika Serikat.
71
Pendukung
Strategic Trade Theories
menyatakan bahwa Pemerintah dapat
menjamin bahwa perusahaan domestik
akan menikmati strategic advantage atas
pesaing-pesaing asingnya dengan cara
penerapan instrument-instrument trade
policy.
Apabila dukungan Pemerintah cukup
meyakinkan, ancaman terhadap akses
asing terhadap pasar dapat dicegah
sepenuhnya.
Agus Brotosusilo, 2005.
72
73
74
Dani Rodrik dalam karyanya Has Globalization Gone too Far (1997)
menekankan bahwa akibat kelemahan dalam cara Negara-negara Maju
mengendalikan konsekuensi globalisasi adalah timbulnya ketegangan[2]
yang secara kumulatif semakin meningkatkan munculnya pasanganpasangan baru class divisions, antara mereka yang semakin makmur dan
mereka yang semakin terpuruk dalam globalisasi ekonomi, antara mereka
yang mendukung nilai-nilai yang dibawa globalisasi lepas kendali dan yang
menentangnya, antara mereka yang dapat mengelola resiko dan mereka
yang tidak mampu melakukannya. Phenomena ini bukanlah prospek yang
menggembirakan, bahkan bagi individu-individu yang menjadi pemenang
dalam perpecahan kelas tersebut, yang tiada kenal rasa emphati kepada
pihak lainnya. Inilah sosial disintegrasi, yang meskipun bukan arena
pertunjukan lomba olah-raga, semua pihak yang berada di sekitar arena
mendapatkan cipratan lumpur di mukanya
Agus Brotosusilo, 2005.
79
80
84
86
Islam Fudamentalis
Satu-satunya hambatan ideologis terkuat bagi budaya
materiel Amerika Serikat ini adalah
Islam
Fudamentalis. Berdasarkan aliran ini, produk-produk
budaya materiel global ini adalah simbol paling nyata
dari dekadensi akibat pengaruh setan.
Akibatnya, kecenderungan mutakhir yang melanda
seluruh dunia inipenyusupan teknologi maju,
privatisasi, deregulasi, dan komersialisasi media
elektronikatelah membuat keluarga-keluarga dan
para pendidik harus bersaing sangat keras dengan
media global untuk merebut perhatian generasi
mudanya
Agus Brotosusilo, 2005.
88
96
98
c. Mempertahankan Kedaulatan.
Tidak disangsikan lagi, penguasa suatu negara
dapat campur tangan terhadap globalisasi
melalui cara-cara defensif maupun offensif.
Intervensi
defensif
melalui
tindakan
mempertahankan
hambatan
terhadap
globalisasi melalui tindakan proteksi ekonomi
pada akhirnya akan dapat mengembalikan
kedaulatan nasional
Agus Brotosusilo, 2005.
99
c. Mempertahankan Kedaulatan..
Sedangkan tindakan intervensi offensif dilakukukan oleh suatu
Negara dengan cara terjun langsung dalam arena persaingan
global, berupaya keras untuk mewujudkan lingkungan yang
paling menarik yang membuka kemungkinan bagi strategi
global perusahaan-perusahaan dalam lingkup wilayah
nasionalnya, atau melakukan lobbi terhadap Negara-negara
lain atas nama perusahaan-perusahaan domestiknya dalam
rangka mendukung strategi mereka di luar wilayah Negaranya.
Pada awal tahun 1990an oleh sebagian pakar geoekonomi
Amerika Serikat diperjuangkan intervensi offensif dengan
argumentasi bahwa dengan berakhirnya perang dingin,
persaingan ekonomi akan menggantikan persaingan militer.
Meskipun gambaran tentang perang di bidang ekonomi ini
semakin kurang populer, namun beberapa aspek diantaranya
masih tersisa, terutama tentang national competitiveness,
yang terus mempengaruhi perdebatan dan pemikiran di
Brotosusilo, 2005.
100
Negara-negara industri Agus
maju
c. Mempertahankan Kedaulatan.
Intervensi offensif dapat dilakukan
melalui beraneka jalur perekonomian.
Misalnya
saja
Pemerintah
yang
memusatkan
perhatian
untuk
memperoleh competitive advantage
bagi perusahaan-perusahaan domestik
dapat melakukan deregulasi industri,
atau penurunan pajak untuk menarik
investor ke wilayahnya. Intervensi
offensif lainnya dapat berupa subsidi,
promosi ekspor yang agresif, jaminan
asuransi ekspor, dan mengkaitkan
bantuan asing dengan ekspor.
Agus Brotosusilo, 2005.
101
102
3. Posisi Indonesia
a. Posisi Indonesia Dalam Perdagangan Multilateral
105
b.
107
Economic Integration
(Static Effects)
Static effects (Jacob Viner, 1950):
(a) trade creation : takes place whenever
economic integration leads to a shift in
product origin from a domestic producers
(whose resource costs are higher) to a
member producers (whose resource costs are
lower)
(b) trade diversion : takes place whenever there
is a shift in product origin from a nonmember
producers (whose resource costs are higher)
Agus Brotosusilo, 2005.producers
108
to a member-country
(whose
Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional
Untuk keperluan analisis dalam kegiatan ilmiah
perlG dibedakan antara regionalism pada
periode pra-WTO dengan regionalism setelah
terbentuknya WTO.
regionalism periode pra-WTO dibedakan dalam
3 (tiga) perwujudan
Kategori pertama, adalah regionalism klasik
yang
merupakan
hambatan
bagi
multilateralism, merupakan upaya untuk
menjauhkan diri dari integrasi perekonomian
dunia, banyak muncul
di awal 1990an
Agus Brotosusilo, 2005.
109
Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional.
Kategori kedua, yang banyak timbul pada periode
yang sama di dorong oleh tujuan yang berbeda
dengan regionalism klasik kategori pertama, yaitu
justru untuk meningkatkan integrasi dalam dunia
perdagangan internasional, sehingga regionalism
bentuk ini merupakan upaya untuk meningkatkan
fasilitasi bagi partisipasi para anggotanya dalam dunia
perekonomian.
Regionalism bentuk baru ini antara lain dipengaruhi
oleh semakin meningkatnya pandangan bahwa
keterbukaan terhadap globalisasi perdagangan dan
investasi
memainkan
peran
penting
dalam
pembangunan dan Agus
pertumbuhan
perekonomian suatu
Brotosusilo, 2005.
110
negara
Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional.
111
Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional.
Lebih jauh lagi, setting regionalism berubah
saat dunia bergerak ke arah perdagangan
semakin terbuka sebagaimana komitmen
dirumuskan dalam negosiasi-negosiasi
Uruguay-Round.
pada
yang
yang
pada
112
Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional
Dengan demikian meskipun tahapan regionalism
mutakhir dapat dikategorikan sebagai integrasi yang
lebih mendalam, adalah terlalu menyederhanakan
permasalahan apabila semua Regional Trade
Agrements (RTAs) dianggap sebagai sama.
Satu diantara penyebabnya adalah karena beraneka
Regional Trade Agrements (RTAs) dewasa ini pada
umumnya memiliki perbedaan-perbedaan yang
sangat mendasar apabila dilihat pada tiga unsurnya:
tujuan; komposisi Negara-negara anggotanya; dan
lingkup isinya.
Agus Brotosusilo, 2005.
113
Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional
Beraneka-ragam Regional Trade Agrements (RTAs) mutakhir
apabila dilihat pada motivasi tujuan pembentukannya dapat
dibedakan dari sudut pandang komersiel, ekonomi, strategis,
dan politik ekonominya.
Dilihat dari komposisi Negara-negara anggotanya, data sampai
akhir tahun 2002 menunjukkan bahwa 16% dari Regional Trade
Agrements (RTAs) berupa Plurilateral Agreement, sedangkan
98 dari 172 Regional Trade Agrements (RTAs) yang berlaku
efektif berupa Bilateral Agreement.
Disamping itu terdapat bentuk Regional Trade Agrements
(RTAs) dimana salah satu pihak diantara pesertanya adalah
berupa Regional Trade Agrements (RTAs) itu sendiri, yang
meliputi 30% dari Regional Trade Agrements (RTAs) yang
Brotosusilo, 2005.
114
berlaku efektif maupun Agus
yang
sedang dalam negosiasi
115
116
117
.
Sampson dan Woolcock
menekankan
bahwa ketentuan prosedural (adjective
law) yang dikaji dalam penelitian ini pada
umumnya
terbukti
efektif
dalam
meningkatkan transparansi membantu
pembangunan
kelembagaan
serta
infrastruktur pengaturan; dan melalui
kerjasama
maupun
bantuan-bantuan
teknis antar pihak-pihak yang berwenang
merumuskan pengaturan.
Agus Brotosusilo, 2005.
118
119
Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional
Asean memang dibentuk dengan belajar dari
pengalaman European Community. Namun berbeda
dengan European Community yang kerjasamanya
berbentuk integration, kerjasama diantara negaranegara Asean hanya bersifat co-operation.
Berbeda dengan kerjasama diantara negara-negara
anggota European Community yang meliputi baik
bidang politik maupun ekonomi, dengan konsekuensi
para anggota harus menerima pembatasanpembatasan tertentu atas kedaulatan nasionalnya,
sebaliknya dalam kerjasama diantara negara-negara
Asean para anggotanya tidak boleh mengurangi
kedaulatan nasionalAgus
masing-masing.
Brotosusilo, 2005.
121
Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Bilateral
Posisi Indonesia Dalam Perdagangan Bilateral
Kecuali melalui kerangka hukum Multilateral dan
Regional, liberalisasi perdagangan dapat juga
dilakukan melalui kerangka hukum Bilateral, misalnya
saja US Canada Free Trade Agreement (1988), US
Mexico Free Trade Agreement (1991), dan perjanjian
perdagangan bebas antara Amerika Serikat dengan
Singapura ( US Singapore FTA, 2004).
Data sampai akhir tahun 2002 menunjukkan bahwa 98
dari 178 Regional Trade Agrements (RTAs) berupa
Bilateral Agreement Agus Brotosusilo, 2005.
122
123
Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional
Adapun manfaat Sao Paulo Declaration, 2004 bagi
Negara-negara pesertanya antara lain akan ditentukan oleh
jenis-jenis produk diantara Negara peserta, apakah saling
komplementer, atau saling bersaing karena menghasilkan
produk yang sama. Semakin besar tingkat komplementer
produk antar Negara peserta, semakin besar manfaat yang
dapat dinikmati.
Selain melalui pemanfaat maksimal Sao Paulo
Declaration, 2004 Indonesia harus berperan aktif dalam
mencari dan memanfaatkan Trade Preference lainnya.
Misalnya saja seminggi setelah bencana Tsunami melanda
Aceh dan Sumatera Utara, Ketua Kaukus Indonesia di
Konggres USA menyatakan akan berusaha agar bagi
ekspor tekstil Indonesia ke USA diberikan Trade
Preference berupa keringanan bea masuk.
Agus Brotosusilo, 2005.
124
Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional (Conted)
Menurut Ketua Kaukus tersebut, bila tidak
diberikan kepada Indonesia, keuntungan akan
dinikmati oleh Republik Rakyat China. Tawaran
dan niat baik semacam ini seharusnya segera
direspon agar segera dapat dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya.
Pihak yang paling berkepentingan dalam tawaran
Ketua Kaukus Indonesia di Konggres USA ini
kecuali Departemen Perdagangan adalah KADIN
dan Asosiasi Eksporter Tekstil dan Pakaian
Jadi/Garmen.
Agus Brotosusilo, 2005.
125
Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Multilateral:
Indonesia Sebagai Ketua G-33
Dalam
pertentangan
kepentingan
antara dua kelompok dalam WTO,
posisi Indonesia tidak hanya sekedar
sebagai anggota negara berkembang,
tetapi negara ini menjadi pelopor
negara berkembang, yaitu dengan
perannya sebagai ketua G-33.
Agus Brotosusilo, 2005.
126
127
Kegagalan WTO
Mendorong Pertumbuhan
Perdagangan dan Perekonomian Dunia:
2,64
7,15
2,58
6,53
- 0,5 (IMF)
Sources:
128