Anda di halaman 1dari 128

STRATEGI DASAR

PEMBANGUNAN EKONOMI
INDONESIA:

Mercantilism,
Liberalism, atau
Sosialism?

Oleh:
Free Trade atau
Protectionism?
Agus Brotosusilo

Materi Perkuliahan

Teori-Teori
Hukum
Agus Brotosusilo,
2005.Ekonomi
Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

Tuntutan Justice dan Peran Hukum


dalam Tatanan Ekonomi Internasional
Perkembangan
dalam
hukum
ekonomi
internasional dalam era globalisasi ekonomi
menunjukkan
pentingnya
pemahaman
terhadap hubungan antara perdagangan
dengan keadilan yang semakin meningkat.
Semakin luas peran hukum dalam perwujudan
tata ekonomi dan semakin besar perannya
didalam penataan aspek-aspek kehidupan
sosial lainnya, semakin tinggi tuntutan
pemahaman terhadap rightness atau justice
dalam tatanan ekonomi internasional.
Agus Brotosusilo, 2005.

GLOBALIZATION:
GLOBALIZATION:
(LIBERALIZATION
(LIBERALIZATION && PROTECTION)
PROTECTION)
Production Technology, high-tech, biotech, GMO
Trans-border Transportation/Information Tech.
International Trade Law (e.g. WTO)
Regional Trade
Arrangements

IM
P
EKS ORT/
POR
T

Vienna Convention on
The Law of Treaties, 1969.

IMPLICATIONS

Bilateral Trade
Arrangements
T/
R
PO RT
M
I SPO
EK

National Law
Domestic Laws
TRIPS LAWS
CUSTOM LAW
ANTI-DUMPING LAW
SAFEGUARD LAW
Agus
Agus Brotosusilo,
Brotosusilo, 2005.
2005

BRO 1934 Law No.7/1994

.
. Three theories of International Political Economy
Mercantilism

Economic
Liberalism

Marxism

Relationship between
Economics and
politics:

Politics decisive

Economics
Autonomous

Economics
decisive

Main actors/ units of


analysis:

States

Individuals

Classes

The nature of
Economic relations:

Conflictual,
zero-sum game

Cooperative,
positive-sum
game

Conflictual

Economic goals:

State power

Maximum individual
well-being
Agus
2005.
Agus Brotosusilo,
Brotosusilo,
2007

Class interests
4

Kontroversi Pro dan Kontra Terhadap


Perdagangan Bebas
Pada tahun 1998 oleh majalah The Economist diselenggarakan
pooling untuk mengukur perbandingan kekuatan antara
pendukung Free Trade dengan Protectionism. Pooling dalam
lingkup internasional ini melibatkan 22.000 orang di 22 Negara
dengan pertanyaan: Apa cara terbaik untuk meningkatkan
kondisi perekonomian dan lapangan kerja di masing-masing
Negara, melalui proteksi terhadap industri domestik dengan
cara restriksi impor, atau meningkatkan perdagangan
internasional dengan cara penghapusan restriksi perdagangan?

Hasil pooling ternyata diluar dugaan: para pendukung


Protectionism unggul terhadap pendukung Free Trade
dengan 47% lawan 42%.
Agus Brotosusilo, 2005.

Pro dan Kontra thd. Free Trade


Bahkan di Amerika Serikat, Negara yang berlagak
bagai Pendekar yang paling keras memperjuangkan
free trade hasilnya sangat mengejutkan: pendukung
Protectionism unggul terhadap pendukung Free
Trade dengan 56% lawan 37%.
Hasil pooling tersebut didukung oleh pooling yang
diselenggarakan oleh NBC News/Wall Street Journal
pada tahun 1999 yang hasilnya: 58% orang Amerika
Serikat
berpendapat
bahwa
perdagangan
internasional berakibat buruk terhadap perekonomian
Negaranya, dan hanya 32% yang berpendapat
Agus Brotosusilo, 2005.
6
sebaliknya

Ironi:
Bagaimana dalam arus globalisasi
ekonomi dan perdagangan yang
semakin laju ini ternyata pertentangan
antara para pengagum Free Trade
dengan pendukung Protectionism
justru semakin tajam; dan
sikap menentang arus globalisasi
justru semakin menguat.
Agus Brotosusilo, 2005.

Argumentasi-argumentasi Pengagum
Perdagangan Bebas/Free Trade
Argumentasi para pengagum perdagangan bebas/free
trade berkembang sedemikian beraneka ragam:
1. teori-teori klasik (serangan terhadap praktek merkantilism),
2. teori Ricardo tentang keunggulan komparatif/comparative
advantage;
3. teori ekonomi kontemporer;
4. teori ilmu hukum; dan
5. teori tentang dampak sosial dari perdagangan bebas/free
trade (pola perdagangan, Infant Industries, lapangan
kerja dan pengupahan, lingkungan, kemanan nasional, dan
kedaulatan).
Agus Brotosusilo, 2005.
8

Argumentasi para pendukung


proteksionism
Argumentasi para pendukung proteksionism tidak kalah
beragam:
serangan terhadap teori Comparative Advantage;
perlindungan terhadap Infant Industries;
revitalisasi industri domestik;
anti perdagangan curang;
perumusan strategi dan taktik dalam perdagangan
internasional;
6. dampak perdagangan internasional terhadap kualitas hidup
(hilangnya lapangan kerja dan pendapatan, kemerosotan
lingkungan, penyebaran penyakit, Amerikanisasi budaya
dunia); dan
7. keterkaitan antara perdagangan bebas/free trade dengan
nasionalism (mempertahankan
nasional, 9
Agus Brotosusilo, perekonomian
2005.
perlindungan kemanan nasional, penegakan kedaulatan).
1.
2.
3.
4.
5.

1. Serangan Terhadap Merkantilism

Argumentasi pro perdagangan bebas/free trade


dari sudut pandang ekonom klasik dirumuskan untuk
menentang praktek merkantilism yang diterapkan
oleh banyak negara sejak abad ke-XIX. Para
Merkantilist berpendapat kekayaan Negara ditentukan
oleh stok logam berharga (a.l. emas) yang dimiliki
oleh suatu Negara. Untuk mencapainya, Negara yang
bersangkutan harus menciptakan surplus dalam
neraca perdagangannya. Surplus perdagangan
terutama diupayakan melalui tarif bea masuk yang
tinggi (untuk menghambat impor) dan subsidi ekspor
(untuk meningkatkan ekspor).
Agus Brotosusilo, 2005.

10

Adam Smith:The Wealth of Nations


Adam Smith, melalui karyanya The Wealth of
Nations, mengkritik merkantilism. Pandangan
Merkantilist bahwa kekayaan suatu bangsa
ditentukan
oleh
stok
logam
berharga
dikritiknya, karena dia berpendapat bahwa
kekayaan suatu bangsa tercermin pada tingkat
standard of living bangsa yang bersangkutan,
yang ditentukan oleh tersedianya pilihan-pilihan
konsumsi bagi warganya. Kesempatan untuk
memaksimalkan konsumsi tersebut dapat
dicapai melalui perdagangan
bebas/free trade
.
Agus Brotosusilo, 2005.
11

2. Teori Ricardo Tentang Keunggulan


Komparatif/Comparative Advantage

Teori ekonomi Adam Smith dilandasi berasumsi


bahwa perdagangan internasional terjadi berdasarkan
absolute advantage, yaitu apabila eksporter dengan
sumber daya yang dimilikinya dapat menghasilkan
produk berupa output yang lebih banyak, dengan
harga yang lebih murah, dibandingkan dengan
pesaing-pesaingnya.

Berbeda dengan Smith, David Ricardo dalam


karyanya Principles of Political Economy and
Taxations
(1776)
berpendapat
bahwa
arus
perdagangan antar Negara ditentukan oleh tingkat
harga relatif --bukan
absolut--, dari barang yang
Agus Brotosusilo, 2005.
12
diproduksi.

Division of Labor
Pemilahan tenaga kerja (division of labor) dalam
lingkup internasional didasarkan pada tingkat harga
komparatif, dan Negara-negara cenderung untuk
mengambil spesialisasi untuk memproduksi komoditi
dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan
pesaing-pesaingnya. Dengan demikian perdagangan
internasional bukanlah suatu a zero-sum game,
tetapi
berdasarkan
keserasian
kepentingan
berlandaskan
spesialisasi
dan
comparative
advantage.
Melalui karyanya Ricardo menunjukkan bukti ilmiah
pertama bahwa perdagangan bebas/free trade
memberikan keuntungan kepada kedua-belah pihak
Agus Brotosusilo, 2005.
13
pelakunya

3. Teori Ekonomi Kontemporer


a. Model Komparasi Dinamis Tentang Manfaat
Perdagangan Bebas

Model komparasi dinamis dalam penelitian ini


mengacu pada pengaruh atas tingkat pertumbuhan
ekonomi yang diwujudkan dalam jangka panjang.
Model ini berbeda dengan model komparasi statis
yang mengukur tingkat efisiensi statis dengan jalan
membandingkan kinerja ekonomi dalam dua skenario
(dalam kasus ini antara: dengan dan tanpa liberalisasi
perdagangan)
pada tahun yang sama.
Ada
anggapan bahwa pengukuran dengan model
komparasi dinamis menghasilkan manfaat yang lebih
besar dari perdagangan dibandingkan dengan
pengukuran serupa melalui model komparasi statis.

Penelitian ini menghasilkan


rumus 72
Agus Brotosusilo, 2005.
14

Rumus 72
yaitu bahwa perbedaan yang berkelanjutan dalam
tingkat pertumbuhan ekonomi yang diperlukan untuk
pertumbuhan ekonomi sebesar dua kali lipat adalah
angka 72 dibagi dengan selisih tingkat pertumbuhan
pertahun antara kedua sistem ekonomi yang
diperbandingkan.
Jadi pada dua sistem ekonomi yang mulai dengan
income perkapita yang sama, tetapi pertumbuhan
income perkapita pada sistem ekonomi yang pertama
2% pertahun lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
ekonomi yang kedua, dalam waktu 36 tahun sistem
ekonomi yang pertama akan menikmati standar
kehidupan dua kali lipat dibanding sistem ekonomi
yang pertama
Agus Brotosusilo, 2005.
15

Rumus 72 (Conted)

Contoh yang sangat terkenal dari rumus ini adalah


dengan memperbandingkan tingkat pertumbuhan
ekonomi Elsalvador dengan Jepang.
Pada
pertengahan tahun 1950-an tingkat pertumbuhan
ekonomi kedua negara ini hampir sama.
Pada tahun 1993 berdasarkan data World Bank,
income satu orang Jepang setara dengan income 24
orang Elsalvador.
Perbedaan ini dapat dihitung
dengan mengamati perbedaan berkelanjutan yang
lebih rendah 9% per-tahun
dalam pertumbuhan
ekonomi per-kapita di Elsavador, selama 38 tahun.
Model ini mendukung pentingnya liberalisasi
Agus Brotosusilo, 2005.
16
perdagangan untuk pertumbuhan ekonomi

b. Teori Ekonomi Baru


Teori ekonomi klasik dari Ricardo menekankan bahwa
comparatif advantage adalah satu-satunya faktor yang
menyebabkan terjadinya pedagangan internasional.
Teori ekonomi baru menunjukkan bahwa disamping
faktor comparative advantage ada faktor lain yang tidak
kalah
penting
perannya
sebagai
penyebab
perdagangan internasional, yaitu: skala ekonomi.
Skala ekonomi ini akan memberikan tambahan insentif
untuk terjadinya spesialisasi.

Inovasi dari teori baru ini dilandasi oleh asumsi


bahwa kajian terhadap perdagangan internasional tidak
layak dilakukan dalam model tertutup, yang
memisahkan fenomena tersebut dari kehidupan sosial
lainnya. Terobosan Agus
dalam
kajian
Brotosusilo,
2005. ini dilakukan melalui
17
the Dixit-Stiglitz monopolistic competition model.

4. Teori Ilmu Hukum: Right Order


dan The Rule of Law

Pentingnya keadilan dalam analisis hukum


ekonomi internasional adalah hakekat dari
konsep keadilan itu sendiri. Konsep Plato
tentang keadilan sebagai right order, adalah
bahwa keadilan adalah prasyarat untuk
kehidupan bersama didalam masyarakat. Bagi
Plato keberadaan keadilan, dengan demikian
juga keberadaan right order tergantung kepada
apa yang dikategorikannya sebagai the good .
Aristoteles menguraikan lebih lanjut konsep ini
dalam distributif Agus
dan
corrective
justice 18
Brotosusilo,
2005.

4. Teori Ilmu Hukum: Right Order


dan The Rule of Law

Pentingnya
pemahaman
terhadap
hubungan antara perdagangan dengan
keadilan semakin meningkat dengan
globalisasi ekonomi dan perkembangan
dalam hukum ekonomi internasional.
Semakin luas peran hukum dalam
perwujudan tata ekonomi dan semakin
besar perannya didalam penataan aspekaspek kehidupan sosial lainnya semakin
tinggi tuntutan pemahaman terhadap
rightness atau justice dalam tatanan
ekonomi internasional.
Agus Brotosusilo, 2005.

19

The Rule of Law


Perihal paling mendasar dari konsepsi western justice
adalah komitmen terhadap the rule of law.
Western theory of justice juga dapat dipergunakan
sebagai pembenaran normatif konsep dasar ekonomi
liberalisasi perdagangan. Hal ini merupakan pencerminan
prinsip-prinsip ekonomi dari perdagangan, dimana
liberalisasi
perdagangan
memberikan
sumbangan
terhadap peningkatan kesejahteraan dari manfaat efisiensi
dan comparative advantage.
Peningkatan kesejahteraan adalah prasyarat yang
diperlukan untuk distribusi kekayaan yang lebih adil dan
peningkatan standarAgus
kehidupan
bagi pihak-pihak yang
Brotosusilo, 2005.
20
kurang diuntungkan kedudukannya.

5. Teori Dampak Sosial Perdagangan Bebas


(Free Trade) Terhadap Pola Perdagangan
a. The Heckscher-Ohlin (OH) Theorem
Teori klasik Comparative Advantage dari Ricardo
menekankan: apabila suatu negara memiliki
keunggulan komparatif (dalam arti cost) dalam
memproduksi suatu barang maka ia akan mengekspor
barang tersebut. Bila tidak memiliki comparative
advantage maka negara yang bersangkutan akan
mengimpor barang tersebut.
Teori ini gagal
memperhitungkan
perubahan-perubahan
dalam
faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh suatu negara
(tanah, tenaga kerja,
modal,
sumberdaya
manusia
Agus Brotosusilo, 2005.
21
dan teknologi)

The Heckscher-Ohlin (OH)


Theorem
Pada tahun 1930 teori Ricardo disempurnakan
melalui the Heckscher-Ohlin (OH) Theorem.
Heckscher dan Ohlin setuju dengan pendapat
Ricardo bahwa perdagangan internasional
terjadi karena perbedaan dalam comparative
cost. Tetapi lebih lanjut lagi mereka berusaha
untuk menjawab pertanyaan yang diabaikan
oleh Ricardo: apa penyebab dari cost
deferrentials? Jawabannya adalah dukungan
faktor-faktor produksi.
Agus Brotosusilo, 2005.
22

The Heckscher-Ohlin (OH)


Theorem
Jadi Heckscher dan Ohlin berpendapat perdagangan
internasional disebabkan oleh perbedaan dalam
pemilikan faktor-faktor produksi yang berlimpah dari
masing-masing negara.
The Heckscher-Ohlin (OH) Theorem ini disebut juga
sebagai faktor Proportions Theory, menekankan
hubungan timbal balik antara proporsi dari perbedaan
faktor-faktor produksi masing-masing negara dengan
proporsi dalam hal mana masing-masing faktor
tersebut dipergunakan
untuk menghasilkan produk
Agus Brotosusilo, 2005.
23
barang-barang yang berbeda.

Krauss: The New Protectionism


Perbedaan-perbedaan harga relatif dari suatu barang
merupakan konsekuensi dari perbedaan-perbedaan
relatif pemilikan faktor-faktor produksi.
Dengan
demikian teori ini dianggap sebagai alat yang tepat
untuk
memprediksi
pengaruh
liberalisasi
perdagangan terhadap pola perdagangan.
Berdasarkan teori ini suatu negara akan mengekspor
barang-barang yang produksinya dengan intensif
mempergunakan
faktor-faktor
produksi
yang
berlimpah di negaranya. Sebaliknya, suatu negara
akan mengimpor barang-barang yang dalam
produksinya dengan intensif mempergunakan faktorfaktor produksi yang secara relatif tidak dimilikinya.

Agus Brotosusilo, 2005.

24

Krauss: The New Protectionism


Dalam bukunya yang berjudul The New
Protectionism (1978, p. 5) Krauss
menyimpulkan bahwa manfaat dari
perdagangan internasional adalah hasil
pertemuan yang tepat antara teknologi
produksi barang-barang dari land-intensif
dan labor-intensif dengan perbedaan
ketersediaan faktor-faktor produksi antara
negara-negara.
Agus Brotosusilo, 2005.

25

Leontif Paradox
Sayang, pengujian-pengujian empiris terhadap
the Heckscher-Ohlin (OH) Theorem tidak
selalu menghasilkan dukungan.
Pada Leontif Paradox, penelitian yang
dilakukan terhadap 200 industri di Amerika
Serikat pada tahun 1947 oleh seorang ekonom
kelahiran Rusia yang menjadi pemenang
hadiah nobel di tahun 1973 menunjukkan hasil
yang bertentangan dengan the HeckscherOhlin (OH) Theorem , yaitu: Amerika justru
mengekspor produk-produk labor-intensif dan
mengimpor produk-produk
capital-intensif. 26
Agus Brotosusilo, 2005.

Leontif Paradox
Penelitian Jaroslav Vanek dan Donald
Keesing pada tahun 1959 dianggap dapat
memberikan penjelasan terhadap fenomenafenomena Leontif Paradox, antara lain
menekankan pentingnya faktor-faktor nonagricultural land (misalnya raw materials)
pada impor Amerika serikat.
Dia berpendapat bahwa faktor-faktor modal
fisik dan tanah saling komplementer dalam
Agus Brotosusilo, 2005.
27
produksi raw materials

Teori the Competitive Advantage

Michael Porter dalam bukunya The


Compepetitive Advantage of Nations (1990)
berusaha melangkah lebih jauh melampaui teori
Ricardo tentang comparative advantage.
Porter berpendapat bahwa keberhasilan suatu
bangsa ditentukan oleh kemampuannya untuk
mewujudkan lingkungan yang memungkinkan
perusahaan-perusahaan dan industri-industri
untuk mendapatkan dan memelihara a
competitive advantage. Proses ini bersifat
highly localized.
Agus Brotosusilo, 2005.

28

Teori the Competitive Advantage (Conted)


Perbedaan-perbedaan pada struktur, sistem
nilai,
kebudayaan,
kelembagaan,
dan
pengalaman sejarah dari perekonomian
nasional sangat menetukan keberhasilan
dalam persaingan. Tidak ada strategi tunggal
untuk mewujudkan keunggulan kompetitif pada
industri tertentu.

Struktur industri dan posisi kompetitif dari


perusahaan-perusahaan dalam suatu industri,
menetukan
strategi
apa
yang
akan
menghasilkan keunggulan
kompetitif
Agus Brotosusilo, 2005.
29

Teori the Competitive Advantage


Porter juga berpendapat bahwa prinsip-prinsip dasar strategi
persaingan berlaku bagi perusahaan baik dalam persaingan
domestik maupun internasional. Pada dasarnya penelitian
Porter mencakup 4 (empat) permasalahan mendasar:
Pertama, apa yang menjadi sumber dari keunggulan kompetitif
domestik? Jawabnya adalah the value chain yaitu cara
suatu perusahaan untuk mendapatkan penghargaan dari
pelanggan-pelanggannya dengan cara menunjukkan kegiatan
yang sangat berbeda dibandingkan pesaingnya.
Kedua, bagaimana keunggulan kompetitif domestik diciptakan?
Porter menekankan bahwa keunggulan kompetitif suatu
perusahaan diciptakan dengan cara menimbulkan persepsi
atau penemuan dan cara untuk bersaing yang baru dan lebih
baik dalam industri, dan menyajikannya ke pasar. Dengan kata
lain kunci untuk penciptaan
kunci untuk menciptakan
Agus Brotosusilo, 2005.
30
keunggulan kompetitif adalah inovasi.

Teori the Competitive Advantage


Ketiga, bagaimana cara mempertahankan keunggulan
kompetitif domestik? Jawabannya tergantung dari
sumber keunggulan, jumlah dari sumber sumber
yang menghasilkan keunggulan, dan sampai sejauh
mana perusahaan berupaya untuk meningkatkan dan
memperbesar keunggulannya. Semakin besar jumlah
sumber-sumber keunggulan kompetitif, semakin tinggi
kemampuan perusahaan untuk mempertahankan
keunggulannya.
Keempat,
bagaimana
keunggulan
kompetitif
diciptakan melalui strategi internasional, dan apa
peran yang dapat dilakukan oleh suatu bangsa dalam
meningkatkan keunggulan kompetitif pada konteks
global? Jawabannya adalah: konfigurasi dan
31
koordinasi global. Agus Brotosusilo, 2005.

Value Chain
Suatu
perusahaan
mendapatkan
keunggulan
kompetitif di arena global dengan cara mewujudkan
konfigurasi kegiatan-kegiatan value chain dengan
cara yang memadai dan menjamin bahwa kegiatankegiatan tersebut dilakukan dengan terintegrasi.

Suatu bangsa akan sukses di arena global apabila


lingkungannya mendukung upaya untuk pelaksanaan
konfigurasi dan koordinasi yang tepat.

Pada intinya teori Porter tentang keunggulan


kompetitif
diantara
bangsa-bangsa
adalah
argumentasi yang memihak pada ekonomi pasar yang
Brotosusilo, 2005.
32
didukung kebijakan Agus
pemerintah
yang terarah.

6. Teori Tentang Dampak Sosial Perdagangan


Bebas/Free Trade Terhadap Infant Industries
Satu diatara argumentasi tertua untuk membela
proteksionism adalah argumentasi infant industry
bahwa industri baru tertentu yang menunjukkan
harapan sifat competitiveness dalam pasar dunia
harus dilindungi pada saat mereka berada pada tahap
awal pertumbuhannya yang belum kompetitif untuk
menjamin kelangsungan hidupnya dalam jangka
pendek.
Teori ini menganalogikan pertumbuhan manusia
dengan perkembangan industri. Bila manusia perlu
perlindungan pada tahap awal kehidupannya oleh
masyarakat, demikian
pula halnya dengan industri 33
Agus Brotosusilo, 2005.

Teori Tentang Dampak Sosial Perdagangan


Bebas/Free Trade Terhadap Infant Industries
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagaimana halnya
nasib manusia, sebagian dari industri yang diproteksi
ini tidak pernah tumbuh dewasa. Itulah sebabnya
Milton Friedman berpendapat bahwa argumentasi
infant industry dipergunakan sebagai tabir asap
untuk
menutupi
tujuan
sebenarnya,
yaitu
mendapatkan dukungan politik untuk proteksi.
Dikemukakannya:
The infant industry argument is a smoke screen. The
so-called infant never grow up. Once impose, tariff are
seldom eliminated. ... It is used to justify tariffs for
rather aged infant that
mount
Agus can
Brotosusilo,
2005. political pressure
34

Teori Tentang Dampak Sosial Perdagangan


Bebas/Free Trade Terhadap Infant Industries
Bill Gates memperingatkan bahwa agar sutu industri
dapat bertahan hidup dalam kompetisi di pasar, dia
harus dapat melakukan innovasi. Subsidi pemerintah
mematahkan
semangat
untuk
innovasi.
Dikemukakannya:
Every company is going to have avoid business as usual.
The only big companies that succeed will be those that
obsolete their own products before someone else does.

Namun harus dicatat apa yang tidak diucapkan oleh


Wira-usaha yang paling sukses di Amerika Serikat:
The only big companies that succeed will have to lobby
Washington for handouts.
Agus Brotosusilo, 2005.
35

Teori Tentang Dampak Sosial Perdagangan


Bebas/Free Trade Terhadap Infant Industries

Kelemahan kedua yang menunjukkan tidak tepatnya argumentasi infant


industry untuk proteksi adalah asumsi bahwa pemerintahyang tidak
mampu mengelola kantor pos sekalipunmemiliki pengetahuan dan
kemampuan untuk memilih pemenang dan menyingkirkan pecundang pada
saat memilih industri mana yang harus disubsidi dan mana yang tidak perlu
mendapatkannya.

Argumentasi infant industry untuk proteksi harus ditolak karena:


pemerintah tidak memiliki keahlian untuk memilih industri mana yang harus
disubsidi dan mana yang tidak perlu mendapatkannya;
bahkan andaikata pemerintah memiliki keahlian untuk memilih industri mana
yang harus disubsidi dan mana yang tidak perlu, dampak dari proteksi akan
merampok potensi industri yang kompetitif atas insentifnya untuk melakukan
innovasi.

Meskipun mengandung kelemahan-kelemahan, argumentasi infant


industry mampu bertahan karena argumentasi tersebut memberikan
dalih yang sesuai bagi pemerintah untuk memberikan bantuan khusus
yang berpihak kepada industri-industri,
kroni-kroni, dan pendukungAgus Brotosusilo, 2005.
36
pendukung setianya.

7. Teori Dampak Sosial Perdagangan Bebas/Free


Trade Terhadap Lapangan Kerja dan Pengupahan

Paul
Krugman
dalam
bukunya
Pop
Internationalism (1996) membahas tentang
pengaruh liberalissi perdagangan terhadap
lapangan kerja dan pengupahan.
Krugman menyangkal pokok-pokok pemikiran
pada buku Rafi Batra yang berjudul The Myth
of Free Trade (1973).
Agus Brotosusilo, 2005.

37

Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
Krugman berpendapat bahwa stagnasi
pengupahan di Amerika Serikat sejak
1973 (yaitu penurunan penghasilan bluecollar workers sejak 1973) bukanlah
disebabkan oleh free trade
Argumentasi-argumentasi Krugman untuk
merumuskan
dan
mempertahankan
pendapatnya adalah sebagai berikut:
Agus Brotosusilo, 2005.

38

Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
Pertama, Krugman menunjukkan bahwa
kompensasi untuk pekerja berpendidikan tinggi
meningkat.
Dia juga menunjukkan bahwa
tingkat pengupahan buruh Amerika antara
tahun 1945 dan 1973 meningkat dua kali lipat.
Kedua, dia menolak pandangan konvensional
bahwa stagnasi upah blue-color workers
setelah 1973 disebabkan karena penurunan
tingkat competitiveness
dari buruh-buruh
Agus Brotosusilo, 2005.
39
Amerika.

Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
Adalah kesalahan besar, menurut Krugman,
mempersalahkan impor yang dihasilkan dari buruh
berpendidikan rendah yang berlimpah di negaranegara dunia ketiga sebagai sumber stagnasi
pengupahan di Amerika Serikat.
Adalah kesalahan logika untuk merumuskan
hubungan sebab akibat antara peningkatan impor dan
keterpurukan sektor industri.
Pertanyaan yang harus diajukan adalah: apakah
pengaruh yang timbul dari pertumbuhan simultan
dalam ekspor dan impor produk-produk manufaktur?
Apakah defisit neraca perdagangan pada produkproduk manufaktur
semakin meningkat dalam
Agus Brotosusilo, 2005.
40
prosentase GDP?

Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
Dari naik turunnya data statistik neraca perdagangan 19701990 ditunjukkannya bahwa de-industrialisasi di Amerika
Serikat tetap akan terjadi meskipun negara ini dalam kurun
waktu 1970 1990 tidak mengimpor produk-produk manufaktur
lebih banyak dari produk-produk manufaktur yang diekspornya.
Apakah penyebab de-industrialisasi ini? Kalau bukan dari
perdagangan internasional?
Krugman menjelaskan bahwa penyebabnya adalah perubahan
pada komposisi pembelanjaan domestik. Orang-orang Amerika
Serikat tidak lagi membeli produk-produk manufaktur sebanyak
yang dilakukan sebelumnya. Pada tahun 1970 konsumsi
Amerika Serikat terhadap produk manufaktur adalah 46%, dan
konsumsi produk jasa 54%. Pada tahun 1991 perimbangan
tersebut berubah menjadi 40,7% dan 59,3%. Ini berarti bahwa
sektor manufaktur semakin
perannya dalam
Agus Brotosusilo,menurun
2005.
41
perekonomian Amerika Serikat

Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
Penjelasan tersebut menimbulkan pertanyaan lebih
lanjut: mengapa orang-orang Amerika membelanjakan
income-nya lebih sedikit terhadap produk-produk
manufaktur?
Jawaban Krugman adalah: bahwa harga produkproduk manufaktur secara relatif menjadi jauh lebih
murah dibandingkan biaya pelayanan jasa.
Selama periode 1970 1990 harga barang-barang
dibandingkan dengan biaya pelayan jasa turun 22,9%.
Mengapa produk-produk manufaktur menjadi semakin
murah?. Karena produktivitas dalam sektor manufaktur
meningkat jauh lebih pesat dibanding produktivitas disektor
jasa. Pertumbuhan ini menurut Krugman diterjemahkan
Brotosusilo, 2005.
42
sebagai harga yang Agus
lebih
rendah.

Paul Krugman:
Pop Internationalism,1996.
De-industrialisasi di Amerika Serikat selama periode
1970 1990 bukan disebabkan oleh perdagangan
bebas yang berakibat pertumbuhan ekspor yang
cepat dari negara-negara seperti China dan
Indonesia, tetapi disebabkan oleh faktor domestik,
yaitu semakin turunnya pertumbuhan real income.
Disini timbul ironi: bahwa peningkatan produktivitas
pekerja di Amerika Serikat telah menyebabkan
terpuruknya kegiatan sektor manufaktur di Negara
tersebut
Agus Brotosusilo, 2005.
43

8. Teori Tentang Dampak Sosial Perdagangan


Bebas (Free Trade) Terhadap Lingkungan
Diilhami oleh keputusan panel penyelesaian sengketa GATT
yang menyatakan tidah sah terhadap larangan impor ikan Tuna
oleh Amerika Serikat dari Negara-negara yang tidak
mensyaratkan cara penangkapan ikan yang tidak mengancam
kehidupan Lumba-lumba, para pembela lingkungan dengan
mudah menarik kesimpulan bahwa: perdagangan bebas secara
membabi buta mendorong terjadinya perusakan lingkungan.
Sebaliknya, para pendukung perdagangan bebas berpendapat
bahwa sikap para pembela lingkungan terhadap perdagangan
bebas sangat picik dan salah. Pertentangan pendapat antara
kedua belah pihak semakin dipertajam dengan kenyataan
bahwa keduanya sebenarnya tidak banyak tahu dan tidak
saling memperhatikan tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang
Agus
Brotosusilo, 2005.
44
diperjuangkan oleh pihak
lainnya

Schoenbaum: Proteksionism tersamar


Sebagai pembela perdagangan bebas, Schoenbaum
berpendapat bahwa semua restriksi terhadap
perdagangan bebas yang dapat dikategorikan ke
dalam empat kelompok adalah salah.
Kategori pertama adalah peraturan-peraturan impor
dan ekspor yang diadopsi oleh semua Bangsa untuk
mengamankan sumber-daya alam dan lingkungan,
serta perlindungan terhadap kesehatan dan
keselamatan masyarakat di wilayahnya. Penerapan
standar
perlindungan
lingkungan
sebenarnya
memberikan sumbangan terhadap efisiensi ekonomi,
karena mencegah terjadinya penyalah-gunaan
lingkungan oleh sebagian Produsen, yang kemudian
akan membebani masyarakat dengan external cost
yang timbul dari penyalah-gunaan alokasi sumberAgus Brotosusilo, 2005.
45
daya alam.

Schoenbaum: Proteksionism tersamar


Schoenbaum berpendapat bahwa akhir-akhir ini
penerapan standar lingkungan dan keamanan telah
memicu kontroversi internasional. Misalnya saja
sengketa antara Masyarakat Ekonomi Eropa dengan
Amerika Serikat pada tahun 1989 tentang larangan
impor daging dari Amerika Serikat yang berasal dari
binatang yang dirangsang pertumbuhannya dengan
hormon, telah memancing Amerika Serikat untuk
melakukan retaliasi senilai $ 100 juta terhadap impor
dari Uni Eropa.
Demikian juga standar perlindungan lingkungan yang
berbeda-beda bukan saja seringkali menimbulkan
non-tariff barriers bagi perdagangan bebas dalam
lingkup internasional,
tetapi juga merupakan
Agus Brotosusilo, 2005.
46
Proteksionism yang tersamar

Schoenbaum: Proteksionism tersamar


Kategori kedua restriksi perdagangan adalah semakin
meningkatnya penggunaan kebijakan sebagai alat untuk
penerapan standar perlindungan lingkungan dalam
persetujuan-persetujuan internasional.
Schoenbaum berpendapat bahwa meskipun restriksirestriksi terhadap perdagangan internasional ini merupakan
alat yang sah untuk perlindungan lingkungan global,
peningkatan persetujuan-persetujuan internasional jenis ini
telah menimbulkan beberapa permasalahan, antara lain
tentang: jastifikasi terhadap restriksi-restriksi perdagangan,
proporsionalitas penerapan perlidungan lingkungan, dan
penerapan restriksi-restriksi apakah melalui tindakan
unilateral atau berdasarkan
persetujuan
multilateral
Agus Brotosusilo,
2005.
47

Schoenbaum: Proteksionism tersamar.


Kategori ketiga restriksi perdagangan untuk
perlindungan lingkungan bersifat lebih
kontroversiel. Terjadi kecenderungan
peningkatan jumlah Negara-negara dengan
standar lingkungan ketat yang
mempertanyakan kurang memadainya
perlindungan lingkungan di Negara-negara lain.
Protes ini tidak hanya berakar pada masalah
lingkungan, tetapi telah bergeser ke tuduhan
unfair competition.
Agus Brotosusilo, 2005.

48

. Schoenbaum: Proteksionism tersamar


Kategori ke empat restriksi perdagangan untuk
perlindungan lingkungan berupa kontrol terhadap
ekspor produk-produk, teknologi, dan limbah-limbah
berbahaya.
Masalah ini menjadi semakin menonjol sejak terjadinya
bencana meledaknya pabrik Union Carbide di Bhopal,
India, pada tahun 1984 yang menimbulkan korban jiwa yang
sangat besar. Masalah yang timbul berkaitan dengan hal ini
antara lain adalah: bagaimana menentukan ukuran sifat
berbahaya pada suatu produk, teknologi, atau limbah,
sehingga layak untuk dibatasi perdagangannya? Methoda
apa yang tepat digunakan untuk analisis resiko? Perlukan
harmonisasi pengaturan antar-negara untuk hal ini? Apakah
masalah ini harus diselesaikan dengan cara tindakan
unilateral, ataukah melalui konvensi multilateral? Melalui
pengaturan bidang apa cara yang tepat untuk mencapai
tjuan: pajak, larangan,
atau 2005.
didahului dengan inform
Agus Brotosusilo,
49
consent?

9. Teori Tentang Dampak Sosial Perdagangan


Bebas/Free Trade Terhadap Keamanan
Nasional
Satu diantara argumen yang dikemukakan oleh pembela proteksionism
adalah bahwa perlindungan harus diberikan kepada industri tertentu
berdasarkan pertimbangan keamanan nasional. Masalahnya adalah: ada
kekhawatiran pihak pendukung perdagangan bebas/free trade bahwa
apabila satu pengecualian telah diberikan untuk satu industri, secara logis
tidak ada cara untuk menghentikannya.

Mereka berdalih bahwa ancaman terhadap keamanan nasional sebenarnya


tidak datang dari perdagangan bebas/free trade, tetapi justru sebaliknya,
tidak adanya perdagangan bebas/free trade merupakan ancaman bagi
perdamaian. Mereka merujuk pada Revolusi Amerika melawan Inggris yang
disebabkan oleh kebijakan Merkantilism yang diterapkan terhadap negara
konoli ini.

Demikian pula Perang Dunia I diawali dengan perang tarif dan perang
dagang. Sedangkan Perang Dunia II diawali dengan resesi ekonomi 1930an
yang disebabkan karena penerapan trade barriers melalui Smoot-Hewley
Tariff Act. Dengan demikian semua peperangan tersebut sebenarnya dapat
dihindarkan apabila di kawasan
tersebut
Agus Brotosusilo,
2005.sebelumnya telah diterapkan
50
perdagangan bebas/free trade.

10. Teori Dampak Sosial Dari Perdagangan


Bebas/Free Trade Terhadap Kedaulatan
Sejak dekade 1990an muncul kritik bahwa globalisasi telah menggerogoti
otonomi nasional. Apabila perdagangan dan investasi asing memiliki
kebebasan internasional untuk melampaui batas-batas wilayah kenegaraan,
pasar finansiel global dapat dengan mudah mewujudkan tekanan ekonomi
yang menyingkirkan kemampuan untuk melakukan penentuan kebutuhankebutuhan sendiri secara demokratis.
Pendapat ini ditentang keras oleh para pembela perdagangan bebas/free
trade yang menekankan bahwa permasalahan sebenarnya: bukan apakah
persetujuan perdagangan internasional merongrong kedaulatan nasional,
tetapi apakah kewajiban-kewajiban dan persyaratan-persyaratan khusus
yang dibebankan kepada suatu bangsa mendatangkan manfaat yang lebih
besar atau lebih kecil apabila kewajiban-kewajiban dan persyaratanpersyaratan khusus tersebut diterapkan juga kepada bangsa-bangsa lain
(bersama dengan bangsa sendiri).
Mereka berpendapat bahwa berdasarkan standar ini, menerapkan prinsipprinsip perdagangan bebas/free trade melalui kesepakatan WTO akan lebih
banyak mendatangkan keuntungan dibandingkan dengan kerugian yang
harus ditanggung.
Agus Brotosusilo, 2005.
51

Argumentasi-argumentasi Pendukung
Proteksionism
1. Penolakan-penolakan Terhadap Teori Free
Trade
a). Serangan Terhadap Teori Comparative Advantage:
Kritik Morris terhadap free trade diawali dengan uraiannya
bahwa selama ini kita telah mengalami cuci otak tentang
manfaat prinsip-prinsip free trade, yaitu:
Competition, yang dianggap lebih baik daripada cooperation,
karena mendorong inovasi, meningkatkan produktivitas, dan
menurunkan harga produk;
The division of labor yang memungkinkan spesialisasi,
meningkatkan produktivitas, dan menurunkan harga produk;
Semakin besar Unit Produksi, semakin tinggi tingkat The
division of labor yang memungkinkan spesialisasi, dan
menurunkan harga produk;
Penerapan comparative advantage, mampu mengarahkan
Agus Brotosusilo, 2005.
52
spesialisasi, sehingga meningkatkan
standar hidup

Kritik Morris terhadap free trade


Prinsip
terakhir
dan
kemampuannya
untuk
semakin
meningkatkan standar hidup pantas dipertanyakan: standar hidup
siapa yang ditingkatkan? Dikemukakan oleh Morris bahwa
ketidak-setaraan/inequality antar negara, maupun dalam satu
negara semakin meningkat.
Merujuk kepada ekonom Paul Bairoch, dikemukakan nya bahwa
GNP per kapita pada tahun 1750 hampir sama antara Negaranegara Maju dan Negara-negara Berkembang.
Pada tahun 1930 ratio perbandingan GNP per kapita antara
Negara-negara Maju dan Negara-negara Berkembang memburuk
menjadi 4:1.
Sekarang (2001) ratio tersebut adalah 8:1. Morris berkesimpulan
bahwa ketidak-setaraan/inequality
hanya menjadi
Agus Brotosusilo, 2005. bukan
53
penyebab, tetapi juga merupakan akibat dari globalism

Kritik Morris terhadap free trade


Ketidak-setaraan/inequality menjadi sebab dari globalism,
karena ketidak-setaraan/inequality di dalam satu negara
menyebabkan turunnya jumlah warganegara yang memiliki
daya beli yang cukup, sehingga Produsen harus menjual
sebagian barangnya kepada Pembeli dari Negara lain agar
tercapai skala produksi yang diperlukan untuk menghasilkan
produk dengan harga murah.
Ketidak-setaraan/inequality di dalam satu Negara merupakan
akibat globalism, karena industri untuk ekspor mempekerjakan
hanya sedikit Buruh, yang penghasilannya lebih tinggi
dibanding Pekerja lainnya.
Ketidak-setaraan/inequality antar Negara juga merupakan
akibat globalism, karena Negara-negara Maju cenderung
mengambil dari Negara-negara Berkembang lebih banyak dari
Agus Brotosusilo, 2005.
54
nilai kapital yang mereka
tanamkan

. Kritik Morris terhadap free trade


Free trade diharapkan dapat meningkatkan standar hidup
manusia. Tapi kenyataannya bahkan di Amerika Serikat
sekalipun standar hidup rakyatnya semakin turun sejak tahun
1980.
Bahkan lebih dramatis lagi, pada tahun 1988 Buruh di Amerika
Serikat harus bekerja hampir setengah hari lebih lama untuk
upah yang lebih rendah dari nilai rielnya pada tahun 1970.
Dengan demikian maka segala doktrin tentang kehebatan free
trade dan hasilnya berupa perekonomian global harus ditinjau
kembali.

Demikian pula nasib teori comparative advantage yang telah


Agus Brotosusilo, 2005.
55
kehilangan kredibilitasnya

Kritik Morris terhadap free trade.


Teori comparative advantage hanya valid pada
penyebaran teknologi berlangsung dengan lambat.

saat

Pada awal revolusi industri, saat Inggris menguasai supremasi


industri tekstil, Negara ini tidak hanya melarang expor peralatan
pabrik tekstil, tetapi bahkan melarang emigrasi orang-orang
yang tahu bagaimana membangun dan menjalankan pabrik
tekstil. Pada tahun 1789, saat Samuel Slater, seorang magang
di suatu pabrik tekstil Inggris ingin membangun pabrik tekstil di
Amerika Serikat, ia hanya dapat mengandalkan memorinya atas
design dan peralatan pabrik ditempat dia magang sebelumnya.

Saat ini, berdasarkan keterangan


Dataquest, sebuah
perusahaan riset pasar, hanya perlu waktu satu minggu bagi
suatu produk baru yang diperkenalkan di Amerika Serikat untuk
dikopi, diproduksi secara massal di Asia, dan dikirim kembali ke
Amerika Serikat. Dengan demikian teori comparative
Agus Brotosusilo, 2005.
56
advantage kehilangan kredibilitasnya

b. Perlindungan Terhadap Infant Industries


Kaum liberal meyakini bahwa catatan sejarah menunjukkan
keunggulan free trade atas proteksionism. Mereka memberikan
contoh bahwa pada masa tahun 1848 Inggris yang menerapkan
free trade berhasil melampaui Perancis, yang menjadi negara
industri paling maju di abad ke-XIX, karena Perancis
mempertahankan tingkat proteksi yang tinggi sehingga
indstrinya menjadi tidak efisien.
Namun dilain pihak, Kaum Nasionalist menunjukkan bahwa
pada masa-masa sebelumnya Inggris mempergunakan
kekuatan militer untuk menekan pesaing-pesaingnya di bidang
ekonomi, baru kemudian menerapkan free trade setelah
industrinya cukup maju dibalik perlindungan proteksionism.
Sikap yang sama juga terjadi pada perkembangan industri
Jerman, sehingga sikap kedua negara tersebut diberi label
sebagai imperialism of free trade, karena ekspansi
investasi Inggris ke luarAgus
negeri
tidak2005.
berlandaskan kemampuan
Brotosusilo,
57
kompetitif industrinya.

b. Perlindungan Terhadap Infant Industries


Pada dasarnya, kedua belah pihak, baik Liberalist
maupun Nasionalist dapat menerima alasan untuk
perlindungan kepada infant industries. Keduanya
menyadari bahwa Negara-negara Maju memiliki posisi
khusus yang memberikan keuntungan atas Negaranegara Berkembang, sehingga sangat sulit bagi
Negara-negara Berkembang untuk membangun
industrinya sendiri.
Namun keduanya secara mendasar berbeda
pendapat perihal tujuan khusus proteksionism bagi
58
infant industries: Agus Brotosusilo, 2005.

b. Perlindungan Terhadap Infant Industries


Bagi liberalist, proteksionism pada hakekatnya adalah menguji
apakah bangsa yang bersangkutan benar-benar memiliki
comparative advantage pada industri tertentu. Dengan
demikian proteksionism hanya merupakan tindakan sementara
sebagai batu lompatan, pembuka jalan ke arah free trade.
Sebaliknya, bagi ekonom Nasionalist, proteksionim adalah
merupakan tujuan itu sendiri, bukan sekedar pembuka jalan.
Tujuan akhir Nasionalist bukan free trade dan akumulasi
kekayaan, tetapi pembentukan kekuatan industri dan statebuilding.
Bagi mereka, proteksi terhadap infant industries merupakan
tindakan defensif, sebagai pelengkap bagi strategi kebijakan
perdagangan yang offensif.
Manfaat suatu strategi kebijakan perdagangan tidak dapat
dibantah, misalnya saja pada tindakan untuk mengatasi
kesulitan keuangan yang dialami oleh pabrik pesawat udara
Agus Brotosusilo, 2005.
59
Airbus, konsorsium perusahaan-perusahaan
Eropa.

c. Revitalisasi Industri Domestik.


Perdagangan internasional meningkatkan kesejahteraan
perekonomian nasional suatu bangsa dengan memberikan
kesempatan untuk memilih spsesialisasi pada barang-barang
dan jasa yang dapat mereka produksi dengan efisien.
Namun pada saat yang bersamaan, untuk industri-industri
tertentu mungkin saja menghadapi kesulitan ketika harus
bersaing melawan perusahaan-perusahaan asing; Dalam
keadaan demikian, proteksi diberikan dengan tujuan utama
untuk memberi kesempatan kepada industri yang bersangkutan
untuk melakukan penyesuaian dalam rangka menghadapi
kondisi persaingan yang berubah.
Proteksi diharapkan dapat memberi waktu dan sumber daya
agar dapat bersaing dengan lebih efektif. Disamping itu,
proteksi dapat menghindarkan terjadinya pengurangan tenaga
kerja, yang terpaksa harus mengalami pemutusan hubungan
Agus Brotosusilo, 2005.
60
kerja, seandainya proteksi
tidak dilakukan.

c. Revitalisasi Industri Domestik.


Proteksi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bersaing
dari suatu perusahaan hanya secara tidak langsung.
Pertama, restriksi terhadap impor meningkatkan harga jual
produk mereka.
Kedua, peningkatan kebutuhan terhadap produk substitusi
impor meningkatka harga, output, dan keuntungan industri
domestik.
Ketiga, peningkatan keuntungan memberi kesempatan kepada
perusahaan-perusahaan domestik untuk melakukan investasi
pada teknologi baru yang lebih hemat biaya, atau untuk
menghasilkan
produk baru.
Peningkatan keuntungan
meningkatkan pula harapan terhadap keuntungan dari
investasi.
Dengan demikian proteksi dapat melakukan restorasi terhadap
kemampuan bersaing dalam harga bagi suatu industri, apabila
gagal dalam usaha untuk
melakukan
Agus Brotosusilo,
2005. investasi pada teknologi
61
baru yang lebih hemat biaya akibat kelangkaan sumber daya.

d. Dibutuhkan: Fair Trade, Bukan Free Trade


Manifestasi paling nyata dari kesulitan-kesulitan
mutakhir yang dihadapi oleh Amerika Serikat dalam
sistem perdagangan adalah upaya merubah tujuan
dari free trade atau freer trade menjadi fair trade.
Fair trade sebagai konsep yang bersifat lebih
subyektif, semakin meningkat penggunaannya untuk
justifikasi bagi tindakan-tindakan pemerintah yang
ditujukan untuk proteksi industri domestik, atau untuk
melakukan tekanan bagi liberalisasi perdagangan.

Bersama dengan prinsip resiprositas, fair trade


landasan
bagi
pembangunan
kebijakan
interventionist.
Prinsip-prinsip ini merupakan
desakan bagi pemerintah
bertindak untuk berjuang
Agus Brotosusilo, 2005.
62
mewujudkan level the playing field.

Fair Trade, Bukan Free Trade.


Gegap gempita tuntutan untuk fair trade telah
menggeser landasan dari perdebatan tentang
kebijakan perdagangan, kearah penentuan arah
kebijakan baru dan mengancam integritas sistem
perdagangan multilateral melalui dua cara
Pertama, sugesti bahwa fair trade harus dikejar
sebagai tujuan kebijakan obyektif yang eksplisit
menjadi alasan bagi Negara-negara Maju (a.l. USA)
untuk melakukan tindakan-tidakan unilateral atau
bilateral yang bukan saja melampaui aturan-aturan
GATT, tetapi bahkan seringkali menyingkirkan hasil
kesepakatan multilateral tersebut sama sekali. Ini
merupakan bukti bahwa kesepakatan-kesepakatan
dan proses-proses multilateral tidak mampu untuk
menghadirkan hasil yang adil, dan apa yang tertinggal
2005.
63
adalah: selamatkan Agus
diriBrotosusilo,
masing-masing.

Fair Trade, Bukan Free Trade.


Kedua, Dapat juga ditarik kesimpulan bahwa ketiadaan
fairness dalam hubungan perdagangan mengungkapkan
kebutuhan akan intervensi dan planning pada
perekonomian domestik untuk menghindari privatisasiprivatisasi yang akan menyusul sebagai akibat permainan
curang pihak-pihak asing.
Respon ini mengarah pada inkonsistensi karena
mempraktekkan
intervensi
dan
planning
dalam
perekonomian dalam negeri, tetapi sebaliknya merendahkan
dan menentangnya di luar negeri, demi rethorika pasar bebas.
Tindakan-tindakan ini akan meningkatkan eskalasi perang
subsidi dan retaliasi. Kasus-kasus penerapan market sharing
seharusnya menimbulkan kesadaran bahwa perekonomian
pasar secara sistematis telah gagal, atau bahwa pemerintahpemerintah di berbagai Negara secara sistematis menjadi
(semakin) jahat dan keji.
Agus Brotosusilo, 2005.
64

Fair Trade, Bukan Free Trade.


Namun hendaknya disadari bahwa prospek untuk
sukses bagi strategic trade policy tidaklah terlalu
bagus, baik dari sudut pandang ekonomi, maupun
politik.
Dari sudut pandang ekonomi, tidak pernah ada bukti
bahwa pelaksanaan strategic trade policy secara
agresif menghasilkan manfaat yang besar.
Sedangkan dari sudut pandang politik, tiadanya
kepastian tentang strategic trade policy seperti apa
yang harus diterapkan, dapat berakibat bahwa upaya
untuk mewujudkannya justru diselewengkan untuk
kepentingan-kepentingan
kelompok politik yang
Agus Brotosusilo, 2005.
65
terselubung.

Fair Trade, Bukan Free Trade


Pada dasarnya, resiprositas merupakan
upaya untuk pencapaian fair trade,
perihal diskriminasi, dan tentang market
sharing.
Bukan tentang bagaimana meningkatkan
kinerja pasar yang terbuka dan kompetitif,
berdasarkan aturan-aturan dan disiplin
yang telah ditentukan sebelumnya
Agus Brotosusilo, 2005.

66

e. Kebijakan Perdagangan Strategis dan


Perdagangan Terkelola
Untuk menanggapi permasalahan industri manakah yang
harus dikembangkan di suatu negara? Paul Krugman menunjuk
pada dua kriteria:
Kriteria pertama mengacu pada potensi teknologi untuk
mudah menyebar. Argumentasi klasik mengemukakan karena
sifat teknologi ini suatu pengembangan industri dasar perlu
dibangun meskipun perlu subsidi, karena hasilnya lebih mahal
daripada produk impor. Diharapkan agar industri dasar ini
meskipun berbiaya tinggi dapat merangsang tumbuhnya
industri derivasi. Sedangkan argumentasi kontemporer
mendukung pembangunan industri dasar
berdasarkan
pendapat bahwa comparative advantage memang seringkali
harus diciptakan, tidak datang dengan sendirinya. Dengan
demikian subsidi pantas diberikan, meskipun sifatnya hanya
sementara, jangan menjadi
permanen.
Agus Brotosusilo, 2005.
67

Fair Trade, Bukan Free Trade.


Kriteria kedua, untuk penentuan target industri
memiliki istilah keren, yaitu strategic trade
policy.
Kebijakan ini memang memberikan dukungan
terhadap proteksionism, tetapi bukan untuk
proteksionism per se, tetapi berupa dukungan
terhadap kebijakan industri yang terbatas
berupa subsidi yang diberikan dengan sangat
berhati-hati, penuh perhitungan, mengacu pada
target yang jelas, dan bukan untuk tarif dan
kuota impor. Inilah
yang
disebut
sebagai
Agus Brotosusilo, 2005.
68
managed trade

f. Strategic Trade Theories Untuk Justifikasi


Strategic Trade Policy, dan Industrial Policy

Strategic
Trade
Theories
dapat
dipergunakan sebagai justifikasi teoritis
bagi Strategic Trade Policy yang
dipergunakan untuk legitimasi tindakantindakan untuk menanggulangi praktek
perdagangan curang yang dilakukan oleh
Negara lain.Meskipun teori ini mendukung
Proteksionism,
namun
argumentasiargumentasinya secara politis lebih dapat
diterima daripada Proteksionism tradisionel,
Agus Brotosusilo, 2005.
69
terutama di Amerika Serikat.

f. Strategic Trade Theories Untuk Justifikasi


Strategic Trade Policy, dan Industrial Policy
Strategic Trade Theories mempergunakan konsep
economies of scale untuk berargumentasi bahwa
Pemerintah dapat memperoleh lebih banyak pendapatan
dengan cara meningkatkan akses pasar bagi produserproduser mereka dan membatasi akses pasar bagi
pesaing-pesaing asing.
Apabila industri domestik dapat menurunkan biaya
produksinya
dibawah
pesaing-pesaing
asingnya,
keuntungan dari monopoli dapat digeser dengan beban
yang ditanggung pihak asing.
Dengan melindungi pasar domestik, Pemerintah dapat
menciptakan competitive
advantage
untuk industri
Agus Brotosusilo,
2005.
70
domestiknya sendiri

f. Strategic Trade Theories Untuk Justifikasi


Strategic Trade Policy, dan Industrial Policy

Berdasarkan Strategic Trade Theories,


langkah unilateral kearah free trade
dapat meningkatkan potensi pasar bagi
pesaing-pesaing asing.
Hal ini dapat merusak posisi kompetitif
dari industri domestik, dan dapat berakibat
penurunan kesejahteraan nasional
Agus Brotosusilo, 2005.

71

. f. Strategic Trade Theories Untuk Justifikasi


Strategic Trade Policy, dan Industrial Policy

Pendukung
Strategic Trade Theories
menyatakan bahwa Pemerintah dapat
menjamin bahwa perusahaan domestik
akan menikmati strategic advantage atas
pesaing-pesaing asingnya dengan cara
penerapan instrument-instrument trade
policy.
Apabila dukungan Pemerintah cukup
meyakinkan, ancaman terhadap akses
asing terhadap pasar dapat dicegah
sepenuhnya.
Agus Brotosusilo, 2005.

72

f. Strategic Trade Theories Untuk Justifikasi Strategic


Trade Policy, dan Industrial Policy (Conted)

Segera setelah perusahaan domestik telah


mencapai tingkat optimum dengan biaya
rendah, mereka akan dapat mempertahankan
competitive advantage
tanpa dukungan
Pemerintah lagi.
Dengan cara ini trade policy dapat
memberikan sumbangan terhadap industrial
policy dengan cara memberikan dukungan
terhadap
sektor-sektor
yang
dipandang
strategis, dan dengan menciptakan posisi
defensible competitive
Agus Brotosusilo, 2005.

73

2. Free Trade dan Kualitas Hidup


a). Hilangnya Lapangan Kerja dan Income

Free trade bukan sesuatu yang begitu saja


dapat dinikmati dengan free. Jauh lebih banyak
orang yang harus dikorbankan, demi untuk
segelintir individu yang menikmati manfaatnya.
Banyak
orang yang harus
kehilangan
penghasilan, bahkan pekerjaannya, demi untuk
memperbesar profit segelintir pemegang saham
Tansnational Corporations/TNCs. Tidak dapat
disangkal lagi bahwa pihak yang menikmati
keuntungan sebesar-besarnya dari free trade
adalah Tansnational Corporations/TNCs
Agus Brotosusilo, 2005.

74

2. Free Trade dan Kualitas Hidup


Dalam operasional sehari-hariTansnational
Corporations/TNCs ini jelas tidak merasa
memiliki tanggung-jawab moral apapun kecuali
untuk menangguk keuntungan sebesarbesarnya dan untuk memperluas ekspansi
global perusahaannya. Apa yang Mereka kejar
hanyalah
bagaimana
mendatangkan
keuntungan finansiel bagi para pemegang
sahamnya, tidak peduli apabila untuk mencapai
tujuannya tersebut banyak lapangan kerja
yang harus dikorbankan dan masyarakat
berada di tepi jurang
kehancuran.
Agus Brotosusilo, 2005.
75

2. Free Trade dan Kualitas Hidup


Teori Ricardo comparative advantage tentang menekankan
bahhwa perdagangan antara dua negara selalu masuk akal,
bahkan meskipun diantara keduanya sangat jauh berbeda
tingkat kemajuannya.
Praktek free trade masa kini ternyata melupakan pengalaman
pahit doktrin pasangan teori tersebut, yaitu: the Iron Law of
Wages, yang mematok nilai alamiah tenaga kerja hanya
sedikit di ambang batas cukup untuk bertahan hidup agar dapat
bekerja dengan giat di pabrik-pabrik. Tragisnya, doktrin yang
tidak manusiawi dan telah menelan jutaan korban Buruh-buruh
Inggris di abad ke-XIX ini, meskipun tidak dikemukakan secara
tegas sebagai ideologi free trade kontemporer, sampai saat ini
tetap diterapkan, bahkan dengan kondisi dan persyaratan yang
jauh lebih buruk. Atas nama efisiensi, segala pertimbangan
moral tentang keadilan sosial maupun perlindungan lingkungan
dibuang jauh-jauh.
Agus Brotosusilo, 2005.
76

Free Trade dan Kualitas Hidup


Pemegang tampuk kekuasaan di Washington selalu
mempropagandakan free trade seakan-akan magic
bullet yang secara alamiah meningkatkan upah dan
melahirkan lapangan kerja baru. Faktanya adalah: di
Amerika Serikat saja, negara yang paling siap
menerapkan free trade, sejak tahun 1973
perdagangan Amerika Serikat dengan Negara-negara
lain meningkat dua-kali lipat, tetapi sebaliknya pada
periode yang sama upah Buruh di Negara tersebut
turun 18%.
Hanya dalam dekade terakhir saja, jumlah Buruh
muda yang bekerja full time tetapi hanya menerima
upah di tingkat kemiskinan
meningkat
sebanyak 100%
Agus Brotosusilo,
2005.
77

2. Free Trade dan Kualitas Hidup


Perekonomian nasional Negara ini meningkat: GNP per kapita
naik 28%, tetapi jumlah orang miskin semakin bertambah,
karena sebagian besar pendapatan mengalir ke sekelompok
kecil orang dengan income tertinggi.
Inequality semakin
meningkat, akibat struktur perekonomian Amerika Serikat
secara pasti mengalami deregulasi dan internasionalisasi
kearah keberpihakan kepada para eksekutif perusahaan,
investor, dan lawyer bisnis, dengan kerugian pihak-pihak
lainnya.
Ditengah
makin
berkembangnya
ekspansi
perdagangan ke luar negeri, tidak ada kebijakan pemerintah
yang menetapkan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas
utamav
Hanya perusahaan-perusahaan yang memiliki koneksi politis,
yang dapat melepaskan diri dari arus perdagangan bebas,
karena mereka mendapatkan perlakuan yang khusus dan
diuntungkan, misalnya saja melalui Yarn Forward Clause yang
dirumuskan untuk melindungi produsen tekstil USA dari
78
pesaing-pesaing asing.Agus Brotosusilo, 2005.

2. Free Trade dan Kualitas Hidup

Untuk pertanyaan: kepentingan finansiel siapa yang diproteksi, dan apa


alasannya? Jawabannya cukup singkat: Tansnational Corporations/TNCs
dan para pemegang sahamnya harus diproteksi, karena mereka memiliki
kekuatan politik yang luar biasa di Negaranya

Dani Rodrik dalam karyanya Has Globalization Gone too Far (1997)
menekankan bahwa akibat kelemahan dalam cara Negara-negara Maju
mengendalikan konsekuensi globalisasi adalah timbulnya ketegangan[2]
yang secara kumulatif semakin meningkatkan munculnya pasanganpasangan baru class divisions, antara mereka yang semakin makmur dan
mereka yang semakin terpuruk dalam globalisasi ekonomi, antara mereka
yang mendukung nilai-nilai yang dibawa globalisasi lepas kendali dan yang
menentangnya, antara mereka yang dapat mengelola resiko dan mereka
yang tidak mampu melakukannya. Phenomena ini bukanlah prospek yang
menggembirakan, bahkan bagi individu-individu yang menjadi pemenang
dalam perpecahan kelas tersebut, yang tiada kenal rasa emphati kepada
pihak lainnya. Inilah sosial disintegrasi, yang meskipun bukan arena
pertunjukan lomba olah-raga, semua pihak yang berada di sekitar arena
mendapatkan cipratan lumpur di mukanya
Agus Brotosusilo, 2005.

79

Free Trade dan Kualitas Hidup


Rodrik merinci sumber-sumber ketegangan antara pasar
global dengan stabilitas sosial adalah:
(1) penurunan hambatan-hambatan terhadap perdangan dan
investasi semakin meningkatkan kesenjangan antara
kelompok-kelompok yang dapat melampaui batas wilayah
nasional (misalnya melalui outsourcing);
(2) globalisasi melahirkan konflik-konflik di dalam maupun
antar bangsa, terutama berkaitan dengan nilai-nilai domestik
dan institusi-institusi yang mmendukungnya; dan
(3) globalisasi selama dua dekade terakhir telah melindas
kemampuan Negara-negara Barat untuk mewujudkan welfare
state yang merupakan jaminan sosial bagi warganya.
(Lihat Rodrik, Dani. Has Globalization Gone Too Far?. Washington,
DC.: Institute For International Economics, 1997, pp. 4-7.)
Agus Brotosusilo, 2005.

80

2. Free Trade dan Kualitas Hidup


b). Kemerosotan Lingkungan Hidup
Dengan bermodal jargon free trade yang cacat moral,
Tansnational Corporations/TNCs berusaha keras
untuk semakin memperluas imperiumnya, dan
melakukan kontrol terhadap ekonomi internasional
dengan mekesampingkan perlindungan-perlindungan
terhadap kesehatan, keamanan, dan lingkungan.
Demi untuk memperbesar profit para pemegang
saham Tansnational Corporations/TNCs, anda harus
rela menghirup udara yang lebih kotor, meminum air
yang lebih terpolusi, dan menelan makanan yang
tercemar pestisida. Warga Negara di dunia ketiga
boleh ditenggelamkan lebih dalam ke lembah
kemiskinan. Bagi mereka boleh diterapkan standar
lingkungan, keamanan, dan pengupahan yang
Agus Brotosusilo, 2005.
81
rendah.

2. Free Trade dan Kualitas Hidup


Kegiatan-kegiatan
produksi
Tansnational
Corporations/TNCs
yang
menimbulkan
ancaman
kerusakan lingkungan boleh direlokasi ke Negara-negara
dunia ketiga, sekaligus memperkuat kontrol Tansnational
Corporations/TNCs terhadap perekonomian dan sumbersumber daya Negara-negara tersebut. Tansnational
Corporations/TNCs ini telah mengalami pengalaman yang
panjang tentang bagaimana menyelenggarakan race to
the bottom, yaitu bagaimana menangguk keuntungan
sebesar-besarnya dengan mengorbankan pihak lain
karena upah yang rendah, polusi-polusi, dan sistem
perpajakan yang tidak adil. Melalui gelar race to the
bottom di arena global, Tansnational Corporations/TNCs
memaksa Negara-negara berkembang menerima nasib
untuk hidup dalam standar yang berlaku di Negara Maju
pada pada abad yang
lalu, atau bahkan seringkali
Agus Brotosusilo, 2005.
82
memaksakan standar yang lebih rendah lagi.

2. Free Trade dan Kualitas Hidup


Bukan hanya warga Negara-negara berkembang yang
harus makin tenggelam dalam penderitaan, tetapi
nasib serupa harus dialami oleh bagian terbesar
warga Negara-negara Maju. Industri furniture
California industri otomotif USA lainnya direlokasi ke
Meksiko. Industri IT dari Silicon Valley di California
dan tempat-tempat lain di USA direlokasi ke
Heyderabad, India. Inilah berkah dari free trade:
race to the bottom, arena tanding dimana tidak akan
ada Negara-negara atau komunitas yang menjadi
pemenangnya. Itulah sebabnya, di Negara-negara
Maju, sebelum tidur anak-anak kecil diajarkan untuk
melongok ke kolong ranjang untuk melihat apakah
ada monster GATTzilla
disana, bila tidak ada barulah
Agus Brotosusilo, 2005.
83
mereka dapat tidur dengan nyaman

2. Free Trade dan Kualitas Hidup

c). Penyebaran Penyakit


Pola-pola perubahan perekonomian global sepenuhnya didorong oleh
pertimbangan-pertimbangan ekonomi: profits, neraca perdagangan,
pinjaman, ksempatan-kesempatan investasi. Dampak dari perubahanperubahan tersebut terhadap kesehatan manusia, yang merupakan efeksamping, terjadi disebabkan ketidak hati-hatian kegiatan-kegiatan yang
dilakukan karena sebab-sebab yang lain. Strategi ekonomi utama-privatisasi, agrikultur untuk ekspor, deregulasi, pertumbuhan tinggi,
perdagangan bebas telah merubah pola penyebaran penyakit melalui
beraneka cara:
Perubahan tata-guna tanah, termasuk perusakan hutan, irigasi, monokultur,
dan urbanisasi, telah menyebabkan kepunahan aneka bio-diversity;
Peningkatan penderita kurang gizi, akibat melebarnya kesenjangan antara
kaya dan miskin, menghilangnya fungsi pelayanan kesehatan umum;
Perusakan sumber daya alam dan polusi produk-produk kimiawi terhadap
tanah dan perairan;
Peningkatan, dan tidak terkontrolnya pemakaian terapi dengan prekursor
kimiawi narkotika, vaksin, dan pestisida mengubah pelayanan
kesehatan itu sendiri menjadi komoditi
Agus Brotosusilo, 2005.

84

Free Trade dan Kualitas Hidup

Perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi


kesehatan melalui berbagai jalan. Kepunahan
bio-diversity berkibat semakin sedikit predator
alamiah yang dapat mengkontrol vektor
penyebar penyakit; manusia makin sering
bepergian dan memasuki wilayah-wilayah baru
dengan
pathogen-pathogen
yang
tidak
dikenalnya; euthropication (pencemaran pantai
dari limbah buangan dan pupuk kimiawi)
berakibat pertumbuhan plankton tak terkendali
dan meningkatkan
bakteri
serta virus
Agus
Brotosusilo, 2005.
85

. Free Trade dan Kualitas Hidup


Setelah memahami kondisi-kondisi khusus
sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dilihat
pola-pola keseluruhannya. Sebagai akibat
umum: penyebaran mikro-organism penybab
penyakit meningkat, sementara daya tahan
manusia terhadapnya semakin menurun.
Penyakit-penyakit lama timbul kembali,
penyakit-penyakit baru timbul, dan sistem
kesehatam masyarakat terjebak dalam ketidaksiapan menghadapinya
Agus Brotosusilo, 2005.

86

d). Amerikanisasi Budaya Dunia


Dari bangsa yang tidak memiliki akar budaya immateriel
sendiri, berkat kekuatan cengkeraman imperium sistem
kapitalism dan dukungan mass-medianya, Amerika Serikat
dengan cepat berubah menjadi sumber budaya materiel global.
Holywood, Union Artist, Coca-cola dan Disneyland menjadi
menjadi ikon budaya materiel global.
Pada saat pemerintahan, sistem kekeluargaan, dan struktur
kekuasaan adat terjerumus ke dalam krisis di abad keduapuluh, artis pop tampil sebagai pemegang tampuk penguasa
global.
Perusahaan-perusahaan
entertainment
global
memanjakan kebutuhan dua-perlima penduduk dunia dibawah
umumr dua puluh tahun.
Meskipun produk budaya entertainment global menyebar
kesegala penjuru dunia, tetapi mereka tidak menciptakan
kesadaran global baru yang positif, selain menyebarkan selera
bersama terhadap produk-produk dan pengalaman global.
Wabah ini bahkan telahAgus
melanda
Eropa Timur,
Brotosusilo, Negara-negara
2005.
87
bahkan Rusia

Islam Fudamentalis
Satu-satunya hambatan ideologis terkuat bagi budaya
materiel Amerika Serikat ini adalah
Islam
Fudamentalis. Berdasarkan aliran ini, produk-produk
budaya materiel global ini adalah simbol paling nyata
dari dekadensi akibat pengaruh setan.
Akibatnya, kecenderungan mutakhir yang melanda
seluruh dunia inipenyusupan teknologi maju,
privatisasi, deregulasi, dan komersialisasi media
elektronikatelah membuat keluarga-keluarga dan
para pendidik harus bersaing sangat keras dengan
media global untuk merebut perhatian generasi
mudanya
Agus Brotosusilo, 2005.

88

3). Free Trade dan Nasionalitas


a). Mempertahankan Perekonomian Nasional

Ekonom Nasinalist menonjolkan beban yang harus


dipikul oleh kelompok-kelompok tertentu dan Negara
dalam perdagangan, dan mendukung proteksi
ekonomi dan kontrol Negara terhadap perdagangan
Internasional.
Kritik
mereka
terhadap
teori
perdagangan liberal dapat dikelompokkan ke dalam
tiga kategori:
implikasi perdagangan bebas terhadap pembangunan
ekonomi dan pemilahan buruh (division of labor)
internasional;
memilih keuntungan relatif (dari distributive effects
perdagangan) dibanding yang absolut; dan
akibat yang ditimbulkan
otonomi nasional 89dan
Agus Brotosusilo, 2005.
dampaknya terhadap kesejahteraan domestik

Free Trade dan Nasionalitas


Nasinalism ekonomi berakar dari merkantilism abad XVII dan XVIII.
Namun dalam laporannya kepada the US House of Representative
pada tahun 1791 berjudul Report on the Subject of Manufactures,
Alexander Hamilton secara ilmiah membedakan antara Nasionalism
Ekonomi Modern dengan Proteksi Perekonomian Klasik yang
Defensif.
Hamilton memodernisir thesis Nasinalism ekonomi merkantilism abad
XVII dan mengembangkan teori dinamis dari pembangunan
ekonomi yang berdasarkan superioritas sektor manufaktur terhadap
sektor agrikultur. Dia merumuskan apa yang sekarang dikenal
sebagai an import substitution strategy of economic development.
Ditekankannya bahwa: Bukan hanya kesejahteraan, tetapi
kemerdekaan dan keamanan Negara, secara nyata berkaitan-erat
dengan kemakmuran sektor manufaktur. Setiap Negara, dengan
sudut pandang obyek yang penting ini, harus berupaya untuk
memiliki dalam dirinya sendiri, apa yang esensiel dalam kebutuhan
nasionalnya. Perihal iniAgus
terdiri
dari peralatan untuk memenuhi
Brotosusilo, 2005.
90
kebutuhan sendiri, pemukiman, pakaian, dan pertahanan

. 2. Free Trade dan Kualitas Hidup


Dari Hamiltonlah kaum Nasionalist berargumentasi bahwa lokasilokasi kegiatan ekonomi harus menjadi perhatian utama dari
kebijakan
Negara.
Menurut
mereka,
pemerintah
dapat
mentransformasikan sifat perekonomian mereka dan posisi mereka
dalam perekonomian internasional memalui apa yang disebut
sebagai industrial policies. Transfer faktor-faktor produksi dari
perekonomian yang lebih maju dapat mendorong untuk
pembangunan industri tertentu.
Hamilton mengemukakan bahwa migrasikhususnya dari tenagakerja ahliharus didorong untuk mempercepat industrialisasi. Suatu
Bangsa harus didorong untuk melakukan impor modal asing dan
harus membangun sistem perbankan untuk penyediaan modal
investasi. Pada intinya, Laporan Hamilton merumuskan teori dinamis
dari comparative advantage berdasarkan kebijakan pemerintah
dalam pembangunan ekonomi, menentang asumsi ekonom liberal
yang berpendapat bahwa comparative advantage secara relatif
bersifat statis. Mereka menekankan bahwa pada dasarnya adalah
rasionalisasi dari pemilahan buruh (division of labor) internasional
yang sekarang ada, menganjurkan
kebijakan perdagangan 91
yang
Agus Brotosusilo, 2005.
mendorong pembangunan atau pelestarian industri domestik

2. Free Trade dan Kualitas Hidup


Jadi apabila ekonom liberal klasik menitik-beratkan keuntungan dalam
kesejahteraan global dari rezim perdagangan bebas, ekonom Nasionalist
abad XVIII dan ekonom Nasionalist abad XIX sebagai pewarisnya
menekankan distribusi internasional keuntungan dari perdagangan.
Kaum Nasionalist memperingatkan bahwa dalam perdagangan bebas
yang mendunia, term of trade cenderung berpihak pada perekonomian
Negara-negara idustri yang lebih maju.
The German Historical School mengemukakan bahwa Inggris
mempertahankan kebijakan proteksionis sampai industri mereka cukup
kuat untuk bersaing dengan pesaing-pesaing dari perekonomian lain,
dan bahwa superioritas teknologi Inggris pada proses-proses dan
produk-produk
manufaktur
memungkinkan
Inggris
menikmati
keuntungan term of trade yang tinggi dalam berhadapan dengan
eksporter makanan, produk-produk, dan bahan mentah dari Negaranegara dengan tingkat teknologi yang lebih rendah.
Kaum Nasionalist juga berpendapat bahwa perdagangan bebas
menggerogoti otonomi nasional dan kemampuan Negara untuk
melakukan kontrol terhadap perekonomian karena menempatkan
perekonomian di dalam pasar dunia yang selalu berubah, tidak stabil,
Aguslebih
Brotosusilo,
92
exploitasi dari pihak lain yang
kuat 2005.
perekonomiannya

b. Melindungi Keamanan Nasional


Internasionalist Henry R. Nau, gurubesar George
Washington University, dalam karyanya Trade and
Security
(1995)
menekankan
bahwa
kebijakan
perdagangan internasional Amerika Serikat seharusnya
tidak diisolasi dari kepentingan kebijakan luar-negeri yang
lebih luas. Dikemukakannya bahwa perdagangan
internasional bukan tentang pandangan picik untuk
mengejar ekspor dan lapangan kerja dengan upah tinggi,
tetapiberhubungan sangat erat dengan kemanan nasional.
Kepentingan keamanan nasional Amerika Serikat tidak
boleh dibiarkan tergantung kepada perusahaanperusahaan asing yang memproduksi komponenkomponen peralatan militer berteknologi tinggi pada
pesawat tempur jet, sistem peluru kendali dan pesawat
angkut militer
Agus Brotosusilo, 2005.
93

b. Melindungi Keamanan Nasional.


Permasalahan yang dihadapi dalam hal ini adalah karena adanya
perbedaan antara national security dengan economic security.
Clyde Prestowitz menunjukkan perbedaan antara national security
dengan economic security mengacu pada Section 232 of the 1962
Act, as amended, 19 U.S.C 1862.
Dikemukakannya bahwa doktrin ekonomi Negara ini tidak
memberikan perbedaan yang berarti antara satu industri dengan
industri lainnya. Tetapi sebaliknya, doktrin militernya memberikan
perbedaan terhadap industri-industri yang ada. Dengan demikian
terjadi konflik antara pure free-trade doctrine dengan military
doctrine.
Proteksi terhadap industri dalam negeri berdasarkan kepentingan
ekonomi memang diperbolehkan dan diberi landasan hukum di dalam
kesepakatan GATT-WTO. Lian halnya dengan proteksi terhadap
industri dalam negeri untuk kepentingan militer. Kesulitan berikutnya
adalah: bagaimana membedakan antara kepentingan ekonomi dengn
kepentingan militer? Pembedaan dalam beberapa hal mungkin
mudah dilakukan, tetapi antara kedua kepentingan tersebut seringkali
lebih sulit dipilahkan. Padahal, sampai sejauh mana sebenarnya
AgusSerikat
Brotosusilo,
2005.
94
kemandirian militer Amerika
terhadap
sektor industri?

Shintaro Ishihara: The Japan that Can Say No


Shintaro Ishihara dalam bukunya The Japan that Can
Say No secara kontroversiel mengemukakan:
While US companies may already have the
technological know-how for the advance chips, only
Japanene electronic firms have the mass-production
and quality-control capability to supply the multimegabit semiconductors for the weapons systems and
other equipment.
In short, without using new-generation computer chips
made in Japan, the U.S. Department of Defence
cannot guarantee the precision of its nuclear weapon.
If Japan told Washington it would no longer sell
computer chips to the United States, the Pentagon
Agus Brotosusilo, 2005.
95
would be totally helpless.

b. Melindungi Keamanan Nasional.


Section 232 of the 1962 Act, as
amended, 19 U.S.C 1862 memberikan
kewenangan kepada Presiden untuk
memberikan proteksi terhadap industriindustri yang berada pada kondisi kritis
apabila kemampuannya untuk penyediaan
kebutuhan pertahanan nasional mendapat
ancaman dari impor
Agus Brotosusilo, 2005.

96

b. Melindungi Keamanan Nasional.


Namun proteksi yang terlalu besar justru akan
menimbulkan kerugian terhadap perekonomian
Amerika Serikat sendiri, dan dengan demikian dalam
jangka
panjang
akan
memperlemah
posisi
pertahanannya. Padahal masih ada satu ancaman lagi
yang dari waktu ke waktu semakin mencengkam bagi
Amerika Serikat, yaitu Global Terrorism. Ancaman
keamanan jenis ini timbulnya mungkin tidak hanya
dari satu Negara, tetapi dari gerakan-gerakan yang
populer di dorong oleh faktor-faktor etnis, religi,
bahasa, atau bahkan motif individuel. Penerapan
proteksi berdasarkan argumentasi kemanan nasional
dari waktu ke waktu berubah berdasarkan konteks.
Hal
tersebut
berdasarkan
penilaian
tentang
Agus Brotosusilo, 2005.
97
kemungkinan adanya
ancaman di masa mendatang.

. b. Melindungi Keamanan Nasional


Bagi Amerika Serikat, ancaman tersebut tidak
hanya muncul di dalam negeri, tetapi justru
mungkin karena perang saudara yang timbul
nun jauh di Afrika, kriminalitas di Kolombia,
atau mungkin dari separatis Muslim di Filipina.
Sebagaimana geopolitik selalu berkembang,
demikian juga definisi tentang ancaman selalu
berubah,
sehingga
argumentasi
untuk
keamanan nasional juga tidak terkecualikan
dari perubahan.
Agus Brotosusilo, 2005.

98

c. Mempertahankan Kedaulatan.
Tidak disangsikan lagi, penguasa suatu negara
dapat campur tangan terhadap globalisasi
melalui cara-cara defensif maupun offensif.
Intervensi
defensif
melalui
tindakan
mempertahankan
hambatan
terhadap
globalisasi melalui tindakan proteksi ekonomi
pada akhirnya akan dapat mengembalikan
kedaulatan nasional
Agus Brotosusilo, 2005.

99

c. Mempertahankan Kedaulatan..
Sedangkan tindakan intervensi offensif dilakukukan oleh suatu
Negara dengan cara terjun langsung dalam arena persaingan
global, berupaya keras untuk mewujudkan lingkungan yang
paling menarik yang membuka kemungkinan bagi strategi
global perusahaan-perusahaan dalam lingkup wilayah
nasionalnya, atau melakukan lobbi terhadap Negara-negara
lain atas nama perusahaan-perusahaan domestiknya dalam
rangka mendukung strategi mereka di luar wilayah Negaranya.
Pada awal tahun 1990an oleh sebagian pakar geoekonomi
Amerika Serikat diperjuangkan intervensi offensif dengan
argumentasi bahwa dengan berakhirnya perang dingin,
persaingan ekonomi akan menggantikan persaingan militer.
Meskipun gambaran tentang perang di bidang ekonomi ini
semakin kurang populer, namun beberapa aspek diantaranya
masih tersisa, terutama tentang national competitiveness,
yang terus mempengaruhi perdebatan dan pemikiran di
Brotosusilo, 2005.
100
Negara-negara industri Agus
maju

c. Mempertahankan Kedaulatan.
Intervensi offensif dapat dilakukan
melalui beraneka jalur perekonomian.
Misalnya
saja
Pemerintah
yang
memusatkan
perhatian
untuk
memperoleh competitive advantage
bagi perusahaan-perusahaan domestik
dapat melakukan deregulasi industri,
atau penurunan pajak untuk menarik
investor ke wilayahnya. Intervensi
offensif lainnya dapat berupa subsidi,
promosi ekspor yang agresif, jaminan
asuransi ekspor, dan mengkaitkan
bantuan asing dengan ekspor.
Agus Brotosusilo, 2005.

101

Mempertahankan Kedaulatan (Conted)


Bahkan peningkatan perekonomian telah meningkatkan
keterlibatan agen-agen intelijen untuk mengumpulkan
informasi-informasi ekonomi. Spionase ekonomi
semakin menyebar luas di Amerika Serikat, Jepang,
dan Negara-negara Uni Eropa. Meskipun strategi
intervensi tidak dapat menjawab segala tantangan
globalisasi terhadap pemerintah nasional, strategi ini
tetap menarik dan populer, karena memberikan kendali
kontrol kepada penguasa Negara, disamping rethorika
yang dipergunakan oleh pendukungnya menimbulkan
rasa aman ditengah-tengah penurunan efektifitas
kedaulatan Negara. Itulah sebabnya penerapan strategi
intervensi semakin meningkat di berbagai Negara
Agus Brotosusilo, 2005.

102

3. Posisi Indonesia
a. Posisi Indonesia Dalam Perdagangan Multilateral

Indonesia telah meratifikasi keanggotaannya di


WTO melalui Undangundang Nomor 7 Tahun
1994
tentang
Pengesahan
Agreement
Establishing the World Trade Organization
(Perjanjian
Pembentukan
Organisasi
Perdagangan Dunia).
Berdasarkan "The Vienna Convention on the
Law of Treaties, May 23, 1969"
ratifikasi
menimbulkan akibat hukum eksternal maupun
internal bagi negara
yang melakukannya. 103
Agus Brotosusilo, 2005.

Posisi Indonesia Dalam Perdagangan Multilateral

Tiadanya kesepahaman dalam interpretasi


konsekuensi keanggotaan RI dalam WTO
berakibat tersendat-sendatnya pelaksanaan isi
kesepakatan WTO apabila pelaksanaan
tersebut
memerlukan
kerjasama
interdepartemental yang melibatkan aparat-aparat
yang berbeda pendapat tersebut.
Masalah ini menjadi semakin rumit akibat
besarnya egosentrisme sektoral di kalangan
aparat pemerintah.
Agus Brotosusilo, 2005.
104

Posisi Indonesia Dalam Perdagangan Multilateral


Sebagaimana telah dikemukakan di atas, hingga saat
ini negara ini belum memiliki perundang-undangan
yang integral dan komprehensif dibidang perdagangan.
Landasan paling mendasar kegiatan di bidang
perdagangan masih mengacu pada produk perundangundangan kolonial, yaitu Bedrifsreglementerings
Ordonantie Stbl. 1934 (BRO 1934).
Akibatnya, sebagian besar kebijakan pemerintah di
bidang perdagangan dirumuskan dalam Peraturan
Perundang-undangan
sektoral yang mengatur
kegiatan-kegiatan tertentu di bidang perdagangan yang
masing-masing dirumuskan berdasarkan urgensi
sesaat.
Agus Brotosusilo, 2005.

105

b.

Posisi IndonesiaDalam Perdagangan Regional

Pada dasarnya perkembangan yang pararel antara


regionalism dengan multilateralism diwarnai dengan
paradoks.
Pada millenium pertama bentuk perdagangan
internasional
diwarnai
kesepakatan-kesepakatan
multilateral.
Akhir millenium kedua dan awal millenium ketiga
bentuk-bentuk perdagangan internasional tidak saja
ditandai dengan kecenderungan pola multilateralism,
tetapi juga diwarnai dengan pola-pola regionalism
maupun bilateralism dalam perdagangan ditopang
oleh pilar non-diskriminasi, sedangkan regionalism
justru sebaliknya: merupakan
perwujudan diskriminasi
Agus Brotosusilo, 2005.
106
terhadap mitra-mitra dagang yang bukan anggota

Posisi Indonesia Dalam Perdagangan Regional

Akibatnya wacana di bidang ini tidak terlepas


dari kontradiksi opini tentang hakekat
regionalism dan multilateralism: apakah
keduanya merupakan lawan yang saling
berkompetisi, atau merupakan pasangan yang
komplementer?
Apakah
regionalism
merupakan
building
block,
ataukah
merupakan
stumbling
block
bagi
multilateralism
Agus Brotosusilo, 2005.

107

Economic Integration
(Static Effects)
Static effects (Jacob Viner, 1950):
(a) trade creation : takes place whenever
economic integration leads to a shift in
product origin from a domestic producers
(whose resource costs are higher) to a
member producers (whose resource costs are
lower)
(b) trade diversion : takes place whenever there
is a shift in product origin from a nonmember
producers (whose resource costs are higher)
Agus Brotosusilo, 2005.producers
108
to a member-country
(whose

Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional
Untuk keperluan analisis dalam kegiatan ilmiah
perlG dibedakan antara regionalism pada
periode pra-WTO dengan regionalism setelah
terbentuknya WTO.
regionalism periode pra-WTO dibedakan dalam
3 (tiga) perwujudan
Kategori pertama, adalah regionalism klasik
yang
merupakan
hambatan
bagi
multilateralism, merupakan upaya untuk
menjauhkan diri dari integrasi perekonomian
dunia, banyak muncul
di awal 1990an
Agus Brotosusilo, 2005.
109

Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional.
Kategori kedua, yang banyak timbul pada periode
yang sama di dorong oleh tujuan yang berbeda
dengan regionalism klasik kategori pertama, yaitu
justru untuk meningkatkan integrasi dalam dunia
perdagangan internasional, sehingga regionalism
bentuk ini merupakan upaya untuk meningkatkan
fasilitasi bagi partisipasi para anggotanya dalam dunia
perekonomian.
Regionalism bentuk baru ini antara lain dipengaruhi
oleh semakin meningkatnya pandangan bahwa
keterbukaan terhadap globalisasi perdagangan dan
investasi
memainkan
peran
penting
dalam
pembangunan dan Agus
pertumbuhan
perekonomian suatu
Brotosusilo, 2005.
110
negara

Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional.

Sedangkan kategori ketiga, merupakan


inisiatif Negara-negara Berkembang untuk
meningkatkan integrasi diantara sesama
mereka,
merupakan
peningkatan
kebijakan substitusi-impor dari level
nasional ke level regional, tumbuh dan
berkembang pada masa-masa 1950an
dan 1960an
Agus Brotosusilo, 2005.

111

Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional.
Lebih jauh lagi, setting regionalism berubah
saat dunia bergerak ke arah perdagangan
semakin terbuka sebagaimana komitmen
dirumuskan dalam negosiasi-negosiasi
Uruguay-Round.

pada
yang
yang
pada

Dalam konstelasi ini Regional Trade Agrements


(RTAs) dianggap lebih memiliki potensi sebagai
pelengkap (komplementer) daripada sebagai
pesaing bagi sistem perdagangan multilateral
Agus Brotosusilo, 2005.

112

Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional
Dengan demikian meskipun tahapan regionalism
mutakhir dapat dikategorikan sebagai integrasi yang
lebih mendalam, adalah terlalu menyederhanakan
permasalahan apabila semua Regional Trade
Agrements (RTAs) dianggap sebagai sama.
Satu diantara penyebabnya adalah karena beraneka
Regional Trade Agrements (RTAs) dewasa ini pada
umumnya memiliki perbedaan-perbedaan yang
sangat mendasar apabila dilihat pada tiga unsurnya:
tujuan; komposisi Negara-negara anggotanya; dan
lingkup isinya.
Agus Brotosusilo, 2005.
113

Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional
Beraneka-ragam Regional Trade Agrements (RTAs) mutakhir
apabila dilihat pada motivasi tujuan pembentukannya dapat
dibedakan dari sudut pandang komersiel, ekonomi, strategis,
dan politik ekonominya.
Dilihat dari komposisi Negara-negara anggotanya, data sampai
akhir tahun 2002 menunjukkan bahwa 16% dari Regional Trade
Agrements (RTAs) berupa Plurilateral Agreement, sedangkan
98 dari 172 Regional Trade Agrements (RTAs) yang berlaku
efektif berupa Bilateral Agreement.
Disamping itu terdapat bentuk Regional Trade Agrements
(RTAs) dimana salah satu pihak diantara pesertanya adalah
berupa Regional Trade Agrements (RTAs) itu sendiri, yang
meliputi 30% dari Regional Trade Agrements (RTAs) yang
Brotosusilo, 2005.
114
berlaku efektif maupun Agus
yang
sedang dalam negosiasi

Dilihat dari luas lingkup isi kesepakatankesepakatan dalam beraneka Regional


Trade Agrements (RTAs) terdapat suatu
bentuk perkembangan regionalism yang
pantas mendapatkan perhatian khusus, yaitu
apa yang tertuang ke dalam konsep WTOPlus, yang dirumuskan sebagai indikator
apakah suatu agreements merupakan
penambahan
terhadap
hak-hak
dan
kewajiban-kewajiban dalam WTO, atau
penyimpangan dari hak-hak dan kewajibankewajiban tersebut.
Agus Brotosusilo, 2005.

115

Studi kasus yang dilakukan oleh


Sampson dan Woolcock (2003) sampai
pada kesimpulan bahwa pengaruh dari
kesepakatan-kesepakatan
regional
terhadap permasalah pengaturan yang
baru pada segi substantif umumnya
konsisten
dengan
prinsip-prinsip
kesepakatan
multilateral
tentang
pengaturan hambatan perdagangan
dalam WTO.
Agus Brotosusilo, 2005.

116

Penelitian mereka menunjukkan


bahwa
WTO-Plus
hasil
persetujuan-persetujuan
regional
lebih menekankan pada ketentuan
prosedural (adjective law) daripada
peningkatan kewajiban-kewajiban
substansif (substantive law).
Agus Brotosusilo, 2005.

117

.
Sampson dan Woolcock
menekankan
bahwa ketentuan prosedural (adjective
law) yang dikaji dalam penelitian ini pada
umumnya
terbukti
efektif
dalam
meningkatkan transparansi membantu
pembangunan
kelembagaan
serta
infrastruktur pengaturan; dan melalui
kerjasama
maupun
bantuan-bantuan
teknis antar pihak-pihak yang berwenang
merumuskan pengaturan.
Agus Brotosusilo, 2005.

118

Kedua Peneliti juga berpendapat


bahwa kombinasi antara ketentuanketentuan prosedural (adjective law)
dan
review-review
ternyata
memberikan sumbangan terhadap
fasilitasi perdagangan, dan dengan
demikian juga terhadap keterbukaan
pasar pada sektor-sektor yang ditandai
dengan
peraturan-peraturan
yang
menghambat perdagangan
Agus Brotosusilo, 2005.

119

Posisi Indonesia Dalam AFTA


Pada berbagai mass-media dikemukakan opini bahwa diantara
negara-negara anggota ASEAN Indonesia adalah negara yang
paling tidak siap untuk menghadapi AFTA.*

Kondisi semacam ini menimbulkan konsekuensi bahwa apabila


Indonesia ikut serta dalam organisasi perdagangan regional
tersebut, negara ini harus mengejar ketertinggalannya dari
sesama anggota AFTA lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut
diperlukan kerja keras untuk segera mempersiapkan diri
menghadapi persaingan dengan sesama negara anggota AFTA
lainnya.
* Misalnya pendapat Dr. Donald Wilson, mantan Presiden Pittsburg State University, juga
penulis biografi Presiden RI ke-2 Soeharto: The Long Journey from Turmoil to Self-suffisiency.
Wilson menyatakan bahwa Indonesia belum siap untuk AFTA tahun 2003 maupun APEC tahun
2020 karena kondisi sumber daya manusia Indonesia masih sangat memprihatinkan sehingga
belum siap untuk bersaing. Untuk menjadi bagian dari Asia, si raksasa yang bangkit
(awakening giant) pada abad 21, kepemimpinan yang kuat dan segelintir orang yang pintar di
level atas saja tidak cukup. Indonesia harus memiliki visi serta mampu menyatukan seluruh
sektor dalam masyarakat menjadiAgus
satuBrotosusilo,
kesatuan 2005.
tim yang kuat untuk menyongsong
120masa
depan.

Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional
Asean memang dibentuk dengan belajar dari
pengalaman European Community. Namun berbeda
dengan European Community yang kerjasamanya
berbentuk integration, kerjasama diantara negaranegara Asean hanya bersifat co-operation.
Berbeda dengan kerjasama diantara negara-negara
anggota European Community yang meliputi baik
bidang politik maupun ekonomi, dengan konsekuensi
para anggota harus menerima pembatasanpembatasan tertentu atas kedaulatan nasionalnya,
sebaliknya dalam kerjasama diantara negara-negara
Asean para anggotanya tidak boleh mengurangi
kedaulatan nasionalAgus
masing-masing.
Brotosusilo, 2005.
121

Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Bilateral
Posisi Indonesia Dalam Perdagangan Bilateral
Kecuali melalui kerangka hukum Multilateral dan
Regional, liberalisasi perdagangan dapat juga
dilakukan melalui kerangka hukum Bilateral, misalnya
saja US Canada Free Trade Agreement (1988), US
Mexico Free Trade Agreement (1991), dan perjanjian
perdagangan bebas antara Amerika Serikat dengan
Singapura ( US Singapore FTA, 2004).
Data sampai akhir tahun 2002 menunjukkan bahwa 98
dari 178 Regional Trade Agrements (RTAs) berupa
Bilateral Agreement Agus Brotosusilo, 2005.
122

Sao Paulo Declaration, 2004: Pemanfaatan


Global System of Trade Preference/GSTP
Bagi Negara Berkembang
Dalam Konferensi UNCTAD XI yang diselenggarakan di Brasil
pada bulan Juni 2004 berhasil dirumuskan Sao Paulo
Declaration, 2004 yang intinya dan non-tarif.
Urgensi dari deklarasi ini tidak diragukan lagi apabila diingat
bahwa porsi perdagangan antar Negara-negara berkembang
semakin adalah untuk peningkatan akses pasar antar Negaranegara berkembang dan Negara-negara Selatan-Selatan
dengan cara mengurangi hambatan-hambatan tariff mengalami
peningkatan, dari 20% pada tahun 1980an menjadi 30% pada
saat ini.
Apalagi data menunjukkan bahwa 70% tariff yang dihadapi
produk ekspor Negara berkembang ternyata dikenakan oleh
Negara berkembang lainnya.
Agus Brotosusilo, 2005.

123

Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional
Adapun manfaat Sao Paulo Declaration, 2004 bagi
Negara-negara pesertanya antara lain akan ditentukan oleh
jenis-jenis produk diantara Negara peserta, apakah saling
komplementer, atau saling bersaing karena menghasilkan
produk yang sama. Semakin besar tingkat komplementer
produk antar Negara peserta, semakin besar manfaat yang
dapat dinikmati.
Selain melalui pemanfaat maksimal Sao Paulo
Declaration, 2004 Indonesia harus berperan aktif dalam
mencari dan memanfaatkan Trade Preference lainnya.
Misalnya saja seminggi setelah bencana Tsunami melanda
Aceh dan Sumatera Utara, Ketua Kaukus Indonesia di
Konggres USA menyatakan akan berusaha agar bagi
ekspor tekstil Indonesia ke USA diberikan Trade
Preference berupa keringanan bea masuk.
Agus Brotosusilo, 2005.

124

Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Regional (Conted)
Menurut Ketua Kaukus tersebut, bila tidak
diberikan kepada Indonesia, keuntungan akan
dinikmati oleh Republik Rakyat China. Tawaran
dan niat baik semacam ini seharusnya segera
direspon agar segera dapat dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya.
Pihak yang paling berkepentingan dalam tawaran
Ketua Kaukus Indonesia di Konggres USA ini
kecuali Departemen Perdagangan adalah KADIN
dan Asosiasi Eksporter Tekstil dan Pakaian
Jadi/Garmen.
Agus Brotosusilo, 2005.

125

Posisi Indonesia
Dalam Perdagangan Multilateral:
Indonesia Sebagai Ketua G-33

Dalam
pertentangan
kepentingan
antara dua kelompok dalam WTO,
posisi Indonesia tidak hanya sekedar
sebagai anggota negara berkembang,
tetapi negara ini menjadi pelopor
negara berkembang, yaitu dengan
perannya sebagai ketua G-33.
Agus Brotosusilo, 2005.

126

Trashing, deconstruction dan


genealogy
Di dalam perjuangan melawan
penyalahgunaan hukum perdagangan
internasional oleh negara maju,
negara berkembang seyogyanya
menerapkan methode yang biasa
dipergunakan oleh aliran Critical
Legal
Studies,
yaitu
trashing,
deconstruction dan genealogy
Agus Brotosusilo, 2005.

127

Kegagalan WTO
Mendorong Pertumbuhan
Perdagangan dan Perekonomian Dunia:

World Trade and Economy


(Growth, before and after Uruguay Round)
Year
GDP
Trade
1985 1994 (%)
1995 2004 (%)
2009
(%)

2,64
7,15
2,58
6,53
- 0,5 (IMF)

Agus Brotosusilo, 2005.

Sources:

from various publication

128

Anda mungkin juga menyukai