Anda di halaman 1dari 43

PENGARUH PROPOLIS TERHADAP KESEMBUHAN LUKA PADA

DIABETES
Diajukan ke Fakultas Kedokteran UKI
Sebagai Pemenuhan Salah Satu Syarat
Mendapatkan Gelar Sarjana Kedokteran

Disusun Oleh :
George Raden Mas Said
1061050186

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2012

PENGARUH PROPOLIS TERHADAP KESEMBUHAN LUKA DIABETES

Diajukan ke Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Sebagai Pemenuhan


Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Kedokteran

Disusun Oleh:
George Raden Mas Said
1061050100

Telah disetujui oleh Pembimbing


Tgl/bln/thn

(Dra Lucia Sri Sunarti, MS)


NIP : 861261

Mengetahui,

(Prof Rondang Soegianto, PhD)


Ketua Tim Skripsi

PERNYATAAN MAHASISWA

Nama Mahasiswa

: George Raden Mas Said

NIM

: 1061050186

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa skripsi berjudul Pengaruh Propolis


Terhadap Kesembuhan Luka Diabetes adalah betul-betul karya buatan sendiri. hal-hal
yang bukan karya saya, dalam Skripsi tersebut telah diberi tanda citation dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik.

Jakarta,
Yang membuat pernyataan,

(George Raden Mas Said)


NIM: 1061050186

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Pengaruh
propolis terhadap kesembuhan luka pada diabetes. Skripsi ini disusun sebagai
pemenuhan salah satu syarat mendapat gelar sarjana kedokteran. Diharapkan
skripsi ini dapat memberikan wawasan kepada penulis juga kepada
pembaca lainnya. Pada kesempatan ini terimakasih setulusnya saya sampaikan

kepada :
1. Prof. Rondang Soegianto, PhD, selaku Ketua Tim Skripsi
2. Dra. Lucia Srisunarti, MS, selaku Dosen Pembimbing
3. Orang tua saya (Alm.) Ragil Soedarmanto dan drg. Sri Hariningsih yang
selalu mendoakan dan memberi dorongan semangat dalam menyelesaikan
penulisan ini.
4. Abang-abang dan kakak saya, Mega Imanto, Aang Haryulatianto dan Diajeng
Lief Hari Pulung Heru Cakra Wulan yang selalu memberikan semangat dan
doa dalam penulisan ini.
5. Wulan Pingkan Sigit yang selalu memberikan motivasi, hiburan dan saran
terhadap penulisan ini
6. PT. Melia Sehat Sejahtera, sebagai perusahaan yang memberikan ide awal
dalam penulisan skripsi ini dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat, Armando, Gasha, Mikha, Nicholas, Adli yang juga samasama berjuang dalam penyusunan tugas penulisan ini

8. Rekan-rekan di Fakultas Kedokteran UKI angkatan 2010 dan semua pihak


yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu
terselesaikannya penulisan ini
Penulis yakin bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Karena itu, sangat
diharapkan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar
skripsi ini berguna secara luas bagi pembaca, masyarakat dan kemajuan dunia
kesehatan serta ilmu pengetahuan di Indonesia.
Jakarta,

Februari 2013

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang,
terutama dalam hal medis. Meskipun banyak pengobatan medis yang sudah teruji
dan terbukti kualitasnya, tetapi rata-rata masyarakat indonesia masih banyak
berpihak kepada pengobatan alternatif. Alasannya beragam, mulai dari harga
pengobatan alternatif yang lebih terjangkau, banyaknya testimoni dari banyak
orang dan pejabat-pejabat negara, hingga variasi cara pengobatan alternatif yang
cukup menarik. Sebagian besar masyarakat yang memilih pengobatan alternatif
sebagai sarana penyembuhan menilai pengobatan secara alternatif sudah terbukti
sejak lama, sehingga dipercaya oleh banyak orang, di belahan dunia mana pun.
Salah satunya adalah propolis. Banyaknya macam penyakit yang bisa
disembuhkan dengan mengkonsumsi propolis, menuai banyak lirikan masyarakat
untuk mulai menggunakan metode ini. Salah satu penyakit yang dikatakan dapat
disembuhkan dengan propolis adalah luka pada diabetes.
Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan
kadar gula darah yang tinggi yang disebabkan oleh gangguan pada
sekresi insulin atau gangguan kerja insulin atau keduanya. Tubuh
pasien dengan diabetes mellitus tidak dapat memproduksi atau
tidak dapat merespon hormon insulin yang dihasilkan oleh organ
pankreas, sehingga kadar gula darah meningkat dan dapat

menyebabkan komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang


pada pasien tersebut. Salah satu komplikasi jangka panjang yang
dapat terjadi pada kulit adalah luka atau nekrosis yang sulit
sembuh.

Penulis mencoba memberikan pendekatan secara alternatif, tetapi dapat


dibuktikan secara ilmiah. Penulis melihat masalah-masalah ini sebagai
permasalahan yang menarik untuk diangkat dalam penulisan ilmiah yang
berjudul Pengaruh Propolis Terhadap Kesembuhan Luka Diabetes
B. Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk beberapa hal, yang penulis bagi dalam tujuan
umum dan tujuan khusus,
1. Tujuan umum
Mengetahui pengaruh propolis pada kesembuhan luka diabetes
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui zat-zat yang terkandung dalam propolis
b. Mengetahui efek yang ditimbulkan dari pemakaian propolis pada luka
diabetes
c. Mengetahui penyakit diabetes, sebagai faktor resiko luka pada diabetes
d. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam terjadinya luka
diabetes
e. Mengetahui cara penyembuhan luka diabetes secara medis
f. Mengetahui cara penyembuhan luka diabetes secara alternatif dengan
menggunakan propolis
C. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain,
a. Bagi dokter dan perawat

Menjadikan penulisan ini sebagai pilihan alternatif sebagai pengobatan luka


pada diabetes dengan memakai propolis
b. Bagi fakultas
Menambah kepustakaan ilmu pengobatan alternatif dalam Karya Skripsi
FKUKI
c. Bagi Rumah Sakit
Mengurangi kasus luka pada diabetes dengan pilihan anjuran alternatif
d. Bagi masyarakat
Sebagai salah satu pengobatan yang terjangkau dengan masyarakat namun
juga teruji secara pre-klinis sehingga aman untuk dilakukan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. DIABETES MELITUS


II. 1. A. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis
dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes
mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik
dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis
hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan

klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa


ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap
berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes1
II. 1. B. Etiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes mellitus
bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda
akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik
biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes
mellitus.
Diabetes Melitus tipe 1. Adalah penyakit autoimun yang ditentukan
secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses
bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu
yang peka secara genetik tampaknya memberikan respon terhadap kejadiankejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi
autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya
sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Manifestasi diabetes mellitus
terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. Pada diabetes mellitus
dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya, sehingga
terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan
desifiensi insulin. Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah

adalah kaitan dengan tipe-tipe histokompabilitas (human leukocyte antigen


[HLA]) spesifik. Tipe dari gen histokompabilitas yang berkaitan dengan
diabetes tipe 1 (DW3 dan DW4) adalah yang memberi kode kepada proteinprotein yang berperanan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Proteinprotein ini mengatur respons sel T yang merupakan bagian normal dari respon
imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan
penting dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau Langerhans. Juga terdapat
bukti adanya peningkatan antibodi-antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans
yang ditujukan kepada komponen antigenik tertentu dari sel beta. Kejadian
pemicu yang menentukan proses autoimun pada individu yang peka secara
genetik dapat berupa virus coxsackie B4 atau gondongan atau virus lain.
Epidemik diabetes tipe 1 awitan baru telah diamati pada saat-saat tertentu
dalam setahun pada anggota-anggota dari kelompok sosial yang sama.
Obat-obat tertentu (mis, steroid2) yang diketahui dapat memicu
penyakit autoimun lain juga dapat memulai proses autoimun pada pasienpasien diabetes tipe 1. Antibodi sel-sel pulau Langerhans memiliki presentasi
yang tinggi pada pasien dengan diabetes tipe 1 awitan baru dan memberikan
bukti yang kuat adanya mekanisme autoimun pada patogenesis penyakit.
Penapisan imunologik dan pemeriksaan sekresi insulin pada orang-orang
dengan resiko tinggi terhadap diabetes tipe 1 akan memberi jalan untuk

pengobatan imunosupresif dini yang dapat menunda awitan manifestasi klinis


defisiensi insulin.
Pada pasien-pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, penyakitnya
mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar
monozigot hampir 100%. Resiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara
kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya.
Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat
dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes
yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika salah satu orangtua
menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan non-diabetes pada anak adalah
1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2
ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya
tampat terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin
mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu,
kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa
GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa menembus membran
sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam
pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membrane sel yang selnya
responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin
instrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks

reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor


dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta
dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk
mempertahankan euglekimia. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami
obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka
kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan
diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan
perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.

II. 1. C. Klasifikasi Diabetes Melitus


Beberapa

klasifikasi

diabetes

mellitus

telah

diperkenalkan,

berdasarkan metode presentasi klinis, umur awitan, dan riwayat penyakit.


Kotak 1 menjelaskan klasifikasi yang diperkenalkan oleh American Diabetes
Association (ADA) berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis
sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah
disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan telah dipakai di seluruh
dunia. Empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa : (1) diabetes
mellitus tipe 1 dan tipe 2, (2) diabetes gestasional (diabetes kehamilan), dan (3)

tipe khusus lain. Dua kategori lain dari toleransi glukosa abnormal adalah
gangguan toleransi glukosa dan gangguan glukosa puasa.
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai juvenile-onset dan tipe dependen
insulin; namun, kedua tipe ini dapat muncul pada berbagai usia. Insiden
diabetes mellitus tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat
dibagi dalam 2 subtipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan
kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan
tidak diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik
keturunan Afrika-Amerika dan Asia.
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset
maturitas dan tipe nondependent insulin. Insiden diabetes tipe 2 sebesar
650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit
ini.
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan
dan memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor resiko terjadinya GDM
adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat
diabetes gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai
hormone yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka
kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik. Pasien-pasien yang mempunyai

predisposisi diabetes secara genetik mungkin akan memperlihatkan intoleransi


glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada kehamilan.
Kriteria diagnosis biokimia diabetes gestasional yang dianjurkan
adalah kriteria yang diusulkan oleh OSullivan dan Mahan (1973). Menurut
kriteria ini, GDM terjadi apabila dua atau lebih dari nlai berikut ini ditemukan
atau dilampaui sesudah pemberian 75g glukosa oral ;puasa, 105mg/dl; 1 jam,
190 mg/dl; 2 jam, 165mg/dl; 3 jam, 145 mg/dl.
Pengenalan diabetes seperti ini penting karena penderita beresiko
tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas perinatal dan mempunyai frekuensi
kematian janin viable yang lebih tinggi. Kebanyakan perempuan hamil harus
menjalani penapisan untuk diabetes selama usia kehamilan 2 hingga 28
minggu.
Tipe khusus lain adalah (a) kelainan genetik dalam sel beta seperti
yang dikenali pada MODY. Diabetes subtipe ini memiliki prevalensi familial
yang tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien seringkali
obesitas dan resisten terhadap insulin. Kelainan genetik telah dikenali dengan
baik dalam empat bentuk mutasi dan fenotif yang berbeda (MODY 1, MODY
2, MODY 3, MODY 4); (b) kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan
sindrom resistensi insulin berat dan akantosis negrikans; (c) penyakit pada
eksokrin pancreas menyebabkan pankreatitis kronik; (d) penyakit endokrin

seperti sindrom Cushing dan akromegali; (e) obat-obat yang bersifat toksik
terhadap sel-sel beta; dan f) infeksi.
Sesuai dengan kriteria ADA untuk orang dewasa yang tidak hamil,
diagnosis diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan penemuan (1) gejala-gejala
klasik diabetes dan hiperglikemia yang jelas, (2) kadar glukosa plasma puasa >
126mg/dl (7mmol/L) pada sekurang-kurangnya dua kesempatan, dan (3) kadar
glukosa plasma yang didapat selama tes toleransi glukosa oral (OGTT)
>200mg/dl pada 2 jam dan paling sedikit satu kali antara 0 sampai 2 jam
sesudah pasien makan glukosa. Kadar glukosa puasa yang ditentukan adalah
125mg/dl karena kadar tersebut merupakan indeks terbaik dengan nilai setelah
2 jam pemberian glukosa adalah 200mg/dl dan pada kadar tersebut retinopati
diabetik, yaitu suatu komplikasi diabetes muncul untuk pertama kalinya.
Glukosa darah merupakan metode yang dianjurkan untuk penapisan diabetes.
Diagnosis diabetes mellitus pada anak-anak juga didasarkan pada
penemuan gejala-gejala klasik diabetes dan glukosa plasma secara acak adalah
>200mg/dl
Pasien dengan gangguan toleransi glukosa (IGT) tidak dapat
memenuhi kriteria diabetes mellitus yang telah dijelaskan diatas; tetapi, tes
toleransi glukosanya memperlihatkan kelainan. Pasien-pasien ini asimtomatis.
Dipandang dari sudut biokimia, pasien dengan IGT menunjukkan kadar

glukosa plasma puasa (>110 dan <126mg/100ml) namun nilai-nilai selama


diadakan OGTT adalah >220 mg/dl pada menit ke-30, 60 atau 90, dan
mencapai 140 sampai 200mg/dl setelah 2 jam. Beberapa pasien dengan IGT
mungkin menderita keadaan lain yang mungkin bertanggung jawab atas
diabetes tipe sekunder. Pada individu lain, IGT mungkin menunjukkan adanya
diabetes dalam stadium dini. Mereka ini tidak digolongkan sebagai penderita
diabetes, tetapi dianggap berisiko lebih tinggi terhadap diabetes dibandingkan
dengan masyarakat umum.
Beberapa diantaranya mungkin tetap dalam golongan ini sampai
bertahun-tahun lamanya. Banyak yang akan kembali spontan pada toleransi
glukosa normal, tetapi setiap tahunnya 1% hingga 5% dari mereka dengan IGT
dapat berlanjut menjadi diabetes. Meskipun pasien-pasien dengan IGT secara
klinis tidak menderita komplikasi mikroangiopati retina dan ginjal yang nyata,
tetapi dari hasil penyelidikan ternyata mereka memperlihatkan kecenderungan
yang meningkat terhadap penyakit arteria, kelainan elektokardiografi dan
kematian akibat penyakit jantung atau peningkatan kepekaan terhadap
penyakit aterosklerosis.
Intervensi yang tepat antara lain dengan restriksi kalori dan
mengurangi berat badan pada penderita yang obesitas, dapat memperbaiki
toleransi glukosa dan mungkin mengurangi terjadinya komplikasi. Gangguan
glukosa puasa ditetapkan dengan nilai antara 110 (diatas batas normal) dan

126mg/100ml. pasien-pasien dengan gangguan gluksa puasa juga meningkat


resikonya terhadap diabetes dan komplikasi metabolik akibat IGT.
II. 1. D. Epidemiologi
Tingkat prevalensi diabetes mellitus adalah tinggi. Diduga terdapat
sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya
didiagnosis 600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian
ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada
orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita
diabetes paling sedikit 2,5 kali lebih sering terkena serangan jantung
dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes.
Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena
penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah
komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterine pada ibuibu yang menderita diabetes tidak terkontrol juga meningkat.
Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya
pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena
banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskular.
II. 1. E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi


metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak
dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau
toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan
melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini
akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin
(polyuria) dan timbul rasa haus (polydipsia). Karena glukosa hilang bersama
urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan
berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul
sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala
yang eksplosif dengan polydipsia, polyuria, turunnya berat badan, polifagia,
lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu.
Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosi, serta dapat meninggal
kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya
diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka
terhadap insulin.
Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan
pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada
hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polydipsia,

polyuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalamai


ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun
hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk
menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak
berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemik oral,
mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya.
Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensifitasi perifer terhadap
insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau
malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar
glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.
II. 1. F. Penilaian Pengontrolan Glukosa
Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada
semua tipe diabetes adalah pengukuran glikat hemoglobin. Hemoglobin pada
keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari
sumsum tulang. Selama 120 hari masa hidup hemoglobin dalam eritrosit,
normalnya hemoglobin sudah mengandung glukosa. Bila kadar glukosa
meningkat diatas normal, maka jumlah glikat hemoglobin juga akan
meningkat. Karena pergantian hemoglobin yang lambat, nilai hemoglobin
yang tinggi menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tinggi selama 4 sampai 8
minggu. Nilai normal glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran

yang dipakai, namun berkisar antara 3,5% hingga 5,5%. Disarankan untuk
menentukan referensi nilai untuk setiap laboratorium.

II. 1. G. Penatalaksanaan
Penatalaksaan diabetes mellitus didasarkan pada (1) rencana diet, (2)
latihan fisik dan pengaturan aktivitas listrik, (3) agen-agen hipoglikemik oral,
(4) terapi insulin, (5) pengawasan glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan
tentang diabetes dan perawatan diri. Diabetes adalah penyakit kronik, dan
pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikan agar
tercapai kontrol metabolik yang optimal. Pasien dengan diabetes tipe 1 adalah
defisiensi insulin dan selalu membutuhkan terapi insulin. Pada pasien diabetes
tipe 2 terdapat resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif dan dapat
ditangani tanpa insulin.
Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur
jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang
disarakankan

bervariasi,

bergantung

pada

kebutuhan

apakah,

untuk

mempertahankan, menurunkan atau meningkatkan berat tubuh. Sebagai


contoh, pada pasien obesitas dapat ditentukan diet dengan kalori yang dibatasi
hingga berat badan pasien hingga kisaran optimal untuk pasien tersebut.
Sebaliknya pada pasien muda dengan diabetes tipe 1, berat badannya dapat

menurun selama keadaan dekompensasi. Pasien ini harus menerima kalori


yang cukup untuk mengembalikan berat badan mereka ke keadaan semula dan
untuk pertumbuhan. Rencana diet harus didapat dengan berkonsultasi dahulu
dengan ahli gizi yang terdaftar dan berdasarkan pada riwayat diet pasien,
makanan yang lebih disukai, gaya hidup, latar belakang budaya, dan aktifitas
listrik.
Untuk mencegah hiperglikemia post-prandial dan glikosuria, pasienpasien diabetik tidak boleh makan karbohidrat berlebihan. Umumnya
karbohidrat merupakan 50% dari jumlah total kalori per hari yang diizinkan.
Karbohidrat ini harus dibagi rata sedemikian rupa sehingga apa yang dimakan
oleh pasien sesuai dengan kebutuhannya sepanjang hari. Contohnya, jumlah
yang lebih besar harus dimakan pada waktu melakukan kegiatan fisik yang
lebih berat. Lemak yang dimakan harus dibatasi sampai 30% dari total kalori
per hari yang diizinkan,dan sekurang-kurangnya, setengah dari lemak itu harus
berjenis poly-unsaturated. Sistem makanan penukar telah dikembangkan untuk
membantu pasien menangani dietnya sendiri. Sistem ini mengelompokkan
makanan-makanan dengan kadar karbohidrat, protein, dan lemak yang hampir
sama, sehingga kalorinya pun sama. Cara ini akan memungkinkan pasien
menukar makanannya dengan makanan lain dalam kelompok yang sesuai.
Pendekatan lain dalam merencanakan diet untuk menghitung karbohidrat dan
disesuaikan dengan dosis insulin kerja pendek yang sesuai. Pasien dapat

menghitung jumlah karbohidrat yang disajikan maupun gram karbohidrat total.


Insulin dapat digunakan dengan rasio 1 unit per 15 gram karbohidrat total.
Rasio ini dapat ditingkatkan bergantung pada respon pasien. Pasien dengan
diabetes tipe 2 yang resisten terhadap insulin mungkin membutuhkan 2 sampai
5 unit untuk setiap karbohidrat yang disajikan atau untuk setiap 15 gram
karbohidrat total.
Latihan fisik mempermudah transfer glukosa dalam sel-sel dan
meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan
insulin menurun selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan.
Namun, pasien yang mendapat suntikan insulin tidak mampu untuk memakai
cara ini dan peningkatan ambilan glukosa selama latihan fisik dapat
menimbulkan hipoglikemia. Faktor ini penting khususnya ketika pasien
melakukan latian fisik saat insulin telah mencapai kadar maksimal atau
puncaknya. Dengan menyesuaikan waktu pasien dalam melakukan latihan
fisik, pasien mungkin dapat meningkatkan pengontrolan kadar glukosa
mereka. Contohnya, bila pasien melakukan latihan fisik saat kadar glukosa
darahnya tinggi, mereka mungkin dapat menurunkan kadar glukosa hanya
dengan latihan fisik itu sendiri. Sebaliknya, bila pasien merasa perlu
melakukan latian fisik, ketika kadar glukosa rendah mereka mungkin harus
mendapatkan kadar karbohidrat tambahan untuk mencegah hipoglikemia.

Pasien-pasien dengan gejala diabetes mellitus tipe 2 dini dapat


mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan menjalankan
rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif,
obat-obatan oral hipoglikemik juga dianjurkan. Obat-obat yang digunakan
adalah pensesitif insulin dan sulfonylurea. 2 tipe pensensitif yang tersedia
adalah methformin dan tiazolidinedion. Methformin yang merupakan suatu
biguanid, dapat diberikan sebagai terapi tunggal pertama, dengan dosis 5001700mg/hari. Methformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin
sehingga biasa digunakan, khusunya pada pasien dengan obesitas. Asidosis
laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khususnya
pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Tiazolidinedion
meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi glukosa
hepatik. Efek obat-obatan ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan
proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma
(PPAR-gamma). Dua analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dan dengan
dosis 4-8mg perhari dan tioglitazon dengan dosis 30-45mg/hari dapat
diberikan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan methformin,
sulfonil urea, atau insulin. Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan
tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien gagal jantung kongestif.
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan
menggunakan cara-cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2

dengan sisa-sisa sel-sel pulau langerhans yang masih berfungsi, merupakan


calon yang tepat untuk menggunakan sulfonil urea. Obat-obat ini merangsang
fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien
dengan diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk
mensekresi insulin, pengobatan dengan sulfonil urea menjadi tidak efektif.
Namun sulfonil urea generasi ke-2 menyebabkan sedikit retensi air atau tidak
ada sama sekali, yang merupakan masalah potensial dengan beberapa agen
generasi pertama. Dua bahan sulfonylurea yang paling sering digunakan
adalah glipizid, 2,5-40mg/hari dan gliburid, 2,5-25mg/hari. Gliburid memiliki
waktu paruh yang lebih lama daripada glipizid, dan dosis total hariannya dapat
diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonylurea dengan pensensitif insulin
adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien-pasien dengan
diabtes tipe 2. Untuk menurunkan peningkatan kadar glukosa post-prandial
pada pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat
dengan mengkonsumsi akar bossa prepandia, yaitu penghambat alfa glukosida
yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan kompleks
karbohidrat.
Pada individu sehat, sekresi insulin mengimbangi jumlah asupan
makan yang bermacam-macam dengan latihan fisik. Sebaiknya, individu yang
menderita diabetes tidak mampu menyekresi jumlah insulin yang cukup untuk
mempertahankan euglikemia. Sebagai akibatnya, kadar glukosa darah

meningkat tinggi sebagai respon terhadap makanan, dan tetap tinggi pada
keadaan puasa. Pasien dengan insufisiensi insulin berat membutuhkan suntikan
insulin selain rencana makanan. Insulin ini serupa dengan insulin manusia dan
disiapkan dengan teknik rekombinan, asam deoksiribonukleat (DNA).
Perubahan rangkaian struktur kristalin dan asam amino dalam molekul insulin
mengakibatkan waktu kerja preparat yang berbeda yang dapat digunakan
untuk memodifikasi pengobatan insulin dengan kebutuhan khusus pasien.
Insulin diklasifikasikan sebagai insulin masa kerja pendek, masa kerja sedang,
atau masa kerja panjang, berdasarkan waktu yang digunakan untuk mencapai
efek penurunan glukosa plasma yang maksimal yaitu waktu untuk
meringankan efek yg terjadi setelah pemberian suntikan.
Insulin masa kerja pendek mencapai kerja maksimal dalam waktu
beberapa menit hingga 6 jam setelah penyuntikan dan digunakan untuk
mengontrol hiperglikemia postprandial. Insulin masa kerja pendek juga
digunakan untuk pengobatan intravena dan penatalaksanaan pasien dengan
ketoasidosis diabetik. Insulin masa kerja pendek juga dapat dikombinasikan
dengan insulin masa kerja panjang.
Insulin masa kerja sedang mencapai kerja maksimal anatara 6 hingga
8 jam setelah penyuntikan dan digunakan untuk pengontrolan harian pasien
dengan diabetes.

Insulin masa kerja panjang mencapai kadar puncaknya dalam waktu


14 hingga 20 jam setelah pemberian dan jarang digunakan untuk pemakaian
rutin pada pasien-pasien diabetes.
Satu dari dua analog insulin terbaru adalah lispro, yaitu analog insulin
dengan masa kerja sangat singkat yang menurunkan kemampuan gabungan
dan absorbsinya lebih cepat; lispro memiliki awitan kerja yang sangat cepat
dan dapat digunakan sesaat sebelum atau sesudah makan. Jika diberikan
setelah makan, dosis dapat disesuaikan untuk menutupi makan yang dimakan,
dan memenuhi fleksibilitas pasien dalam pilihan makanan mereka. Tipe lain
insulin adalah glargine, yaitu pada posisi 21 rantai A, asparagine digantikan
oleh glisin dan dua molekul orginin telah ditambahkan pada posisi 30 rantai B.
Analog insulin ini memiliki masa kerja yang sangat panjang tanpa puncak dan
dapat digunakan untuk menetapkan kadar basal insulin pada pasien dalam
program terapi insulin yang intensif.
Pengendalian glukosa darah pada pasien-pasien diabetes yang
memerlukan insulin dapat dicapai dengan pemberian insulin masa kerja sedang
sebelum sarapan dan makan malam, dengan dosis yang lebih besar diberikan
sebelum sarapan. Insulin dengan masa kerja singkat sering dikombinasi
dengan insulin masa kerja sedang untuk pengaturan fisiologis dari glukosa
pada fase postprandial, khususnya pada pasien diabetes tipe 1. Pasien dapat
mempersiapkan kombinasi ini dengan mencampur dua tipe insulin dalam

jumlah yang tidak sama atau dapat diberikan sebagai campuran yang sudah
tersedia yang terdiri dari 70% NPH, 30% insulin regular (70/30), atau 75%
NPH, 25 insulin lispro (75/25). Terapi insulin yang lebih tepat dapat dicapai
dengan suntikan insulin yang lebih sering atau sistem infus insulin subkutan
yang terus menerus. Jika sering diberikan suntikan insulin, insulin regular
masa kerja cepat diberikan setiap kali sebelum makan, sedangkan insulin NPH
masa kerja sedang diberikan saat menjelang tidur. pilihan yang tepat untuk
pengobatan jenis ini adalah insulin glargine yang diberikan sekali sehari
menjelang tidur dikombinasikan dengan lispro dosis multiple saat makan.
Dosis regular insulin disesuaikan sebelum ditentukan algoritme yang
menghitung kadar glukosa secara luas dan jumlah makanan. Pasien-pasien
membutuhkan spuit insulin dan jarum yang harus dibeli untuk menyuntikkan
insulin secara subkutan pada dirinya sendiri. Pen yang diisi insulin dengan
jumlah yang sudah ditetapkan juga tersedia untuk digunakan secara tepat bagi
pasien. Suntikan biasanya diberikan di abdomen atau di lengan. Pastikan
bahwa tempat penyuntikan tersebut bergerak dan insulin tidak disuntikan
masuk ke dalam pembuluh darah atau ke dalam jaringan parut.
Terapi insulin yang intensif dapat diberikan melalui pompa infus insulin
subkutan. Beberapa pompa infus insulin yang ringan dan mudah dibawa telah
tersedia sehingga dapat diberikan infus basal yang terus menerus dan bolus
preprandial yang diberikan 30 menit sebelum makan. Pemakaian sistem ini

seringkali menghasilkan kontrol glukosa yang lebih baik. Pasien yang sedang
diterapi insulin harus diawasi kadar glukosa mereka sebelum diberikan setiap
dosis insulin. Penilaian ini dilakukan pada ujung jari, yang menghasilkan
darah kapiler yang menetes. Darah diletakkan pada sebuah uji strip dan dibaca
dengan pengukur glukosa. Alat tersebut dapat menyiman nilai glukosa dalam
memorinya, dan informasi ini dapat dilihat oleh ahli kesehatan untuk saran
selanjutnya dalan program insulin. Terapi insulin yang intensif seringkali
berakibat pada perbaikan kontrol glukosa.
Pasien diabetes relatif dapat hidup normal asalkan mereka mengetahui
dengan baik keadaan dan cara penatalaksanaan penyakit yang dideritanya.
Mereka dapat belajar menyuntikkan sendiri insulin, memantau kadar glukosa
darah mereka, dan memanfaatkan informasi ini untuk mengatur dosis insulin
dan merencanakan diet serta latihannya sedemikian rupa sehingga dapat
mengurangi hiperglikemia atau hipoglikemia. Pada pasien-pasien dengan
diabetes tipe 2 yang mengalami obesitas, asimtomatik, dan mempunyai kadar
glukosa yang cukup tinggi, pengobatan pilihan adalah pembatasan diet dan
penurunan berat badan. Namun, tingkat keberhasilan penurunan berat badan di
antara pasien-pasien ini rendah, dan pada akhirnya mereka membutuhkan
terapi dengan agen hipoglikemik.
II. 2. Luka pada Diabetes Melitus

Ulkus merupakan nekrosis iskemik pada jaringan yang biasanya tampak


sebagai biru gelap atau neurifikasi hitam pada bagian ekstremitas. Ulkus pada
penyakit diabetes bisa melibatkan jari kaki, bagian depan kaki, atau
keseluruhan kaki. Neuropati, trauma ringan dan infeksi invasif yang tidak
terkendali bisa menyebabkan gangren luas, walaupun ada sirkulasi besar dan
utuh. Banyak pasien diabetes melitus menderita gangren luas karena infeksi
yang tidak dikenal pada jari kaki. Infeksi ruangan plantaris profunda bisa sulit
dikenal secara klinis dan bisa menyebabkan trombosis sekunder pada arteria
plantaris atau digitalis, dengan akibat jaringan nekrosis yang luas.3
Ulkus Diabetik adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat
dalam yang berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada
tungkai bawah. Hiperglikemia pada DM yang tidak dikelola dengan baik akan
menimbulkan berbagai komplikasi kronis yaitu neuropati perifer dan
angiopati. Dengan adanya angiopati perifer dan neuropati, trauma ringan dapat
menimbulkan ulkus pada penderita DM. Ulkus DM mudah terinfeksi karena
respons

kekebalan

tubuh

pada

penderita

DM

biasanya

menurun.

Ketidaktahuan pasien dan keluarga membuat ulkus bertambah parah dan


menjadi gangren yang terinfeksi.4 Komplikasi kaki diabetik merupakan
penyebab tersering dilakukannya amputasi yang didasari oleh kejadian non
traumatik. Risiko amputasi 15-40 kali lebih sering pada penderita DM
dibandingkan dengan non-DM.5 Komplikasi akibat kaki diabetik menyebabkan

lama rawat penderita DM menjadi lebih panjang. Lebih dari 25% penderita
DM yang dirawat adalah akibat kaki diabetik. Sebagian besar amputasi pada
kaki diabetik bermula dari ulkus pada kulit. Bila dilakukan deteksi dini dan
pengobatan yang adekuat akan dapat mengurangi kejadian tindakan amputasi.
Ironisnya evaluasidini dan penanganan yang adekuat di rumah sakit tidak
optimal.6 Perhatian yang lebih pada kaki penderita DM dan memeriksa secara
regular diharapkan akan mengurangi kejadian komplikasi berupa ulkus
diabetik, yang pada akhirnya akan mengurangi biaya rawat dan kecacatan.7
Ulkus diabetik merupakan komplikasi penyakit diabetes melitus yang
sering dijumpai pada kaki. Sekitar 15% penderita diabetes melitus (DM)
dalam perjalanan penyakitnya akan mengalami komplikasi ulkus diabetik
terutama ulkus di kaki yang disebut juga ulkus kaki diabetik8
Infeksi superfisial di kulit pada penderita diabetes disebut infeksi
ulkus diabetik. Apabila infeksi ulkus diabetik tidak segera di atasi dapat
berkembang menembus jaringan di bawah kulit seperti otot, tendon, sendi dan
tulang, atau bahkan menjadi infeksi sistemik. Secara klinis bila ulkus sudah
berlangsung lebih dari 2 minggu harus dicurigai adanya osteomyelitis. Infeksi
ulkus diabetik jika tidak ditangani dengan serius akan berkembang menjadi
gangren dan amputasi bahkan kematian apabila berkembang menjadi infeksi
sistemik.

Dari hasil uji sensitvitas ditemukan bahwa bakteri Staphylococcus


aureus merupakan kuman yang banyak menginfeksi pasien ulkus diabetik
sebesar 27,45% dari 102 jenis kuman hasil isolat pus pasien ulkus diabetik
yang dirawat selama tahun 2005-20088
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif terbanyak
yang ditemukan pada ulkus diabetikum (18%) dan ulkus non diabetikum
(7.14%). Citrobacter diversus merupakan bakteri Gram negatif dari golongan
enterobacteriaceae yang banyak ditemukan pada ulkus diabetikum (18%) dan
ulkus

non

diabetikum

(14.29%).

Sedangkan

dari

golongan

non

enterobacteriaceae, Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri terbanyak


yang ditemukan pada ulkus diabetikum (13%) dan ulkus non diabetikum
(25%). Bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus) pada ulkus diabetikum.

II. 3. Propolis
Propolis atau lem lebah merupakan suatu bahan resin yang
dikumpulkan oleh lebah madu dari berbagai macam jenis tumbuhan.9,10 Salah
satu jenis lebah yang mampu menghasilkan propolis dalam jumlah banyak
yaitu jenis Trigona sp. Jenis lebah ini banyak dijumpai di propinsi Sulawesi
Selatan baik didataran tinggi maupun dataran rendah, namun demikian

propolis yang dihasilkan pemanfaatannya belum optimal oleh karena


penelitian yang dilakukan masih terbatas. 8 Namun demikian, di luar negeri,
penelitian terhadap propolis telah banyak dilakukan baik secara

in vitro

maupun in vivo dan hasilnya menunjukkan bahwa propolis memiliki beberapa


aktivitas biologis dan farmakologis antara lain bersifat antibakteri baik
terhadap bakteri Gram positif

11-13

maupun Gram negatif.14

Aktivitas

antibakteri propolis yang sangat bervariasi ini lebih disebabkan komposisi dari
propolis yang digunakan. Komposisi propolis sendiri sangat dipengaruhi oleh
jenis dan umur tumbuhan, iklim, dan waktu di mana propolis tersebut
diperoleh.

15,16

Salah satu kandungan senyawa kimia yang penting pada

propolis adalah senyawa flavonoid. 9


Flavonoid
merupakan salah satu senyawa fenol alami yang tersebar luas pada
tumbuhan, yang disintesis dalam jumlah sedikit (0,51,5%)17 dan dapat
ditemukan pada hampir semua bagian tumbuhan.

18

Penelitian secara in vitro

maupun in vivo menunjukkan aktivitas biologis dan farmakologis dari


senyawa flavonoid sangat beragam, 19 salah satu diantaranya yakni memiliki
aktivitas antibakteri. 20,21
Propolis merupakan zat yang dihasilkan oleh lebah untuk melindungi
sarangnya dari berbagai ancaman, baik ancaman lingkungan yang tidak
menguntungkan ataupun organisme lain. Komponen utama propolis berasal
dari resin atau getah tanaman yang dikumpulka oleh lebah. Selain itu, propolis
juga berfungsi sebagai zat perekat. Zat tersebut berasal dari jenis-jenis

tanaman tertentu. Propolis bersifat disinfektan atau antibakteri sehingga


mampu membunuh semua kuman yang masuk ke dalam sarang lebah. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya bangkai tikus yang tidak berbau karena tidak
membusuk. Bangkai tersebut dibngkus oleh propolis, yang juga dikenal
dengan istilah lem lebah.
Propolis dibentuk dari resi berbagai bagian tanaman, terutama bunga
dan pucuk tanaman. Banyak sekali tanaman yang dapat menjadi sumber resin
bagi lebah. Namun, tidak semua jenis tanaman dapat dijadikan sumber resin
untuk bahan baku pembentuk propolis.
Propolis digunakan untuk menambal celah kecil dalam sarang lebah
(sekitar 6,35 mm), sementara ruang yang lebih besar biasanya diisi dengan
cara melapisinya dengan lilin.
Warna, aroma, dan kandungan propolis bervarisasi. Kebanyakan
propolis berwarna cokelat terang sampai gelap, tetapi ada yang berwarna hijau,
merah, hitam, kuning, maupun putih. Sifat fisik dan kimia propolis tersebut
tergantung pada tanaman sumbernya. Propolis dapat berfungsi sebagai bahan
pelindung bangunan yang kuat. Selain itu, propolis juga berfungsi sebagai
perekat yang tahan terhadap berbagai macam cuaca. Misalnya, lebah yang
bersarang di dekat tiang listrik bertegangan tinggi akan melapisi sarangnya
dengan propolis yang cukup tebal.
Propolis memiliki fungsi yang unik bagi lebah. Propolis dapat
memperkuat stabilitas struktural sarang lebah, mengurangi getaran yang
berasal dari luar sarang, melindungi sarang lebah dengan menambal celah-

celah yang rusak, mencegah parasit dan penyakit masuk ke dalam sangkar,
serta mencegah pembusukan dalam sarang.
Propolis dapat berbentuk cair sampai padat. Bentuk ini dipengaruhi oleh
temperatur penyimpanan seperti duiraikan pada table 1. Semakin tinggi
temperatur penyimpanan, propolis akan semakin cair. Untuk membuat propolis
alkohol (propolis tincture) 10%, satu bagian propolis dilarutkan dalam
Sembilan bagian alcohol. Jadi untuk 100 gram propolis diperlukan 900 gram
alkohol.2
Propolis terdiri dari 150 bahan kimia berbeda yang masih terus
ditemukan setiap tahun. Komponen utamanya adalah flavonoid dan asam
fenolat, termasuk caffeic acid phenylesther (CAPE) yang kandungannya
mencapai 50% dari seluruh komposisi. Di antara 150 bahan kimia tersebut
ditemukan zat yang mengandung antivirus25 (fenolik, ester caffeic, ester fenil,
asam ferulat, luteolins, quercetin) antiperadangan 26 (asam caffeic, ester fenil,
galangin, kaempferol, dan kaempfecrid) mengurangi nyeri (alkohol, campuran
ester caffeat) antitumor25 (asam caffeic, ester fenetil) dan antimikroba
(flavonoid, galangin, pinocembrin)24

BAB III
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai korespondensi antara senyawa
aktif dalam propolis dengan kesembuhan ulkus diabetikum. Pengaruh dari zat
yang terkandung dalam propolis terhadap kesembuhan ulkus diabetikum.
Seperti yang sudah dibahas pada bab-bab sebelumnya, propolis mengandung
zat-zat :
1. Resin-resin yang dikumpulkan oleh lebah sebagai bahan baku propolis,
mengandung zat-zat seperti,
2. Flavonoid, yang berperan sebagai anti mikroba9,19,20,21,24 .
3. Caffeic Acid
Phenylester, yang berperan sebagai

antivirus,

antiinflammatori, dan antitumor25,26


4. Lilin dan asam lemak, yang pada saat pembuatan produk propolis,
sering dipisahkan.
5. Minyak esensial, yang berasal dari berbagai jenis tanaman, tergantung
dari sumber lebah mengambilnya
6. Polen, mengandung asam amino, yaitu arginin dan prolin.2
7. Mineral dan vitamin. Zat besi dan kalsium merupakan mineral
terbanyak yang terkandung dalam propolis. Selain zat besi dan kalsium,
terdapat magnesium, selenium, sodium, aluminium, posfor, dan iodium.

Pada ulkus diabetikum, Dari hasil uji sensitvitas ditemukan bahwa


bakteri Staphylococcus aureus merupakan kuman yang banyak menginfeksi
pasien ulkus diabetik sebesar 27,45% dari 102 jenis kuman hasil isolat pus
pasien ulkus diabetik yang dirawat selama tahun 2005-200823

Staphylococcus.aureus merupakan bakteri Gram positif terbanyak yang ditemukan


pada ulkus diabetikum (18%) dan ulkus non diabetikum (7.14%). C.diversus
merupakan bakteri Gram negatif dari golongan enterobacteriaceae yang banyak
ditemukan pada ulkus diabetikum (18%) dan ulkus non diabetikum (14.29%).
Sedangkan dari golongan non enterobacteriaceae, Ps.aeruginosa merupakan bakteri
terbanyak yang ditemukan pada ulkus diabetikum (13%) dan ulkus non diabetikum
(25%). Bakteri Gram positif (S.aureus) pada ulkus diabetikum dan non diabetikum
paling peka terhadap Imipenem dan Meropenem demikian pula dengan bakteri Gram
negatif pada ulkus diabetikum dan non diabetikum.

BAB IV
PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Ed.

6. Vol 2. Jakarta : EGC, 2005. 1260-1267

2. Siregar, Hotnida CH. Fuah, Asnath M. Propolis : Madu Multikhasiat. Jakarta :

Penebar Swadaya, 2011. 5-10

3. Waspaji, S. Kaki diabetes. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta:

Pusat Penerbitan IPD FKUI.2006.p.1933-6

4. Singh N, Armstrong DG, Lipsky BA. Preventing foot ulcers in patients with

diabetes. JAMA 2005;293:217-21

5. Lee JS, Lu M, Lee VS, Russell D, Bahr C, Lee ET. Lower extremity amputation.

incidence, risk factors, and mortality in the Oklahoma Indian Diabetes Study.
Diabetes 1993;42:876-82

6. Edelson GW, Armstrong DG, Lavery LA, Caicco G. The acutely infected

diabetic foot is not adequately evaluated in an inpatient setting. Arch Intern Med
1996;156:2373-8

7. Boyko EJ, Ahroni JH, Stensel V, Forsberg RC, Denise RD, Smith DG. A

prospectivestudy of risk factors for diabetic foot ulcer. Diabetes Care


1999;22:1036-9

8. Sila M. Madu tropis, gizi dan kesehatan masyarakat. Ujung Pandang: Lembaga

penelitian Universitas Hasanuddin;1998. 5-15

9. Ghisalberti EL. Propolis: a review. Bee World1979; 60:5984

10. Dadant CC. The hive and the honey bee. Illinois: Dadant and sons; 1984. p. 25

35

11. Dobrowolski JW, Vohora SB, Sharma K, Shah SA, Naqvi SAH, Dandiya PC.

Antibacterial, antifungal, antiamoebic, antiinflammatory and antipyretic studies


on propolis bee products. J Ethnopharmacol 1991; 35:7782

12. Kujumgiev A, Tsvetkova I, Serkedjieva Y, Bankova V, Cristov R, Popov S.

Antibacterial, antifungal and antiviral activity of propolis of different geographic


origin. J Ethnopharmacol 1999; 64:23540

13. Moreno MIN, Isla MI, Cudmani NG, Vattuone MA, Sampietro AR. Screening of

antibacterial activity of Amaicha del Valle (Tucumn, Argentina) propolis. J


Ethnopharmacol 1999; 69:97102

14. Grange JM, Davey RW. Antibacterial properties of propolis (bee glue). J R Soc

Med 1990; 83(3):15960

15. Hill R. Propolis: the natural antibiotic. 6th ed. Wellingborough: Thorsons

Publishers Limited; 1981. 10-21

16. Chen Y. Apiculture in China. 1st ed. Agricultural Publishing House; 1993.967

17. Havsteen B. Flavonoids, a class of natural products of high pharmacological

potency. Biochem Pharmacol 1983; 32 (7):11418

18. Markham KR. Techniques of flavonoid identification. London: Academic Press

Inc Ltd; 1982. p.120

19. Sabir A. Pemanfaatan flavonoid di bidang kedokteran gigi. Maj Ked Gigi (Dent

J) FKG Unair 2003; (Edisi khusus Timnas III): 817

20. Pepeljnjak S, Jalenjak I, Maysinger D. Flavonoid content in propolis extracts and

growth inhibition of Bacillus subtilis. Pharmazie 1985; 40:122-3

21. Mirzoeva OK, Grishanin RN, Calder PC. Antimicrobial action of propolis and

some of its components: the effects on growth, membrane potential, and motility
of bacteria. Microbiol Res 1997; 152:239-46

22. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah. Bagian 2. Jakarta : EGC, 2011. 565

23. Suharjo JB. 2007. Manajemen Ulkus Kaki Diabetik. Jurnal Kedokteran dan

Farmasi. Dexa Medica. No. 3, Vol. 20, Juli-September 2007. Diakses dari
http://www/dexamedica.com/images/publicationupload071026997350001193390
257Dexa%20Medica%20Jul-Sept07.pdf. Pada tanggal11 April 2008

24. Nusanto, dr Aji. Terapi Madu. Jakarta : Niaga Swadaya, 2010. 84-85

25. Nagata T, Ebizuka Y. Medicinal and Aromatic Plants, Volume 12 : Volume 51 of

Biotechnology in agriculture and forestry. Springer, 2002. 173

26. Caffeic acid derivatives: in vitro and in vivo anti-inflammatory


properties. Diunduh dari www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15621702 17

Februari 2013

27. Lublin. Poland. Quantitative determination of beteriostatic activity against

Staphyloccoccus aureus of certain flavonoid, phelonic acids, and esthers occuring


in propolis. Bulletin vest. Inst. Pulawy 43, 71, 1999

28. Wiarte, Chrishtope. Medicinal Plants of China, Korea, and Japan:


Bioresources for Tomorrow's Drugs and Cosmetics. CRC Press, 2012.
216

BIODATA MAHASISWA
BIMBINGAN SKRIPSI FK UKI T.A. 2012/2013
Nama
: George Raden Mas Said
NIM
: 1061050186
Tempat/ Tgl Lahir
: Jakarta, 8 Juni 1992
Riwayat Pendidikan
1. SMP
: SMP St. Fransiskus Asisi
2. SMA
: SMAK 7 BPK Penabur Jakarta
3. UNIVERSITAS
: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Indonesia

Lampiran
Temperatur

Bentuk propolis

< KOTAK
15
1

Keras dan rapuh. Tetap rapuh meskipun disimpan pada

Klasifikasi Diabetes
ADA
Glukosa
temperatur
yangdan
lebihintoleransi
tinggi
Abnormal

15 45

Lunak dan lengket

1. Diabetes mellitus
45 60 a. Tipe 1Lebih lengket dan gummy (seperti karet)
i. autoimun
ii. idiopatik
60 - 70 b. Tipe 2Cair
2. Diabetes mellitus kehamilan (GDM)
100 3. Tipe spesifik
Titik cair
beberapa jenis propolis
lain
a. Cacat genetik fungsi sel beta : MODY
b. Cacat genetic kerja insulin : sindrom resistensi
insulin berat
c. Endokrinopati : sindrom Cushing, akromegali
d. Penyakit eksokrin pancreas
e. Obat atau diinduksi secara kimia
f. infeksi
4. Gangguan toleransi glukosa (IGT)
5. Gangguan glukosa puasa (IFG)

(sumber : Propolis Madu Berkhasiat, 2011, Jakarta : Penebar Swadaya)

Anda mungkin juga menyukai