Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS KASUS

Seorang anak laki-laki usia 6 tahun 4 bulan datang ke RS dr Abdul Aziz


dengan keluhan utama badan lemas sejak tadi padi SMRS. Lemas badan tersebut
menyebabkan pasien tidak dapat banyak bergerak dan pasien merasa kepala terasa
mengambang. Pasien juga mengeluhkan sejak 7 hari SMRS bengkak pada seluruh
tubuhnya. Pasien memiliki riwayat 3 tahun yang lalu pasien pernah mengalami
keluhan bengkak pada mata, wajah, tangan, perut, skrotum, kaki disertai dengan
keluhan kencing yang berwarna keruh. Sejak saat itu pasien rutin untuk berobat
dan kontrol. Kemudian 8 bulan setelahnya penyakit pasien kambuh kembali
dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh. Sosial ekonomi keluarga menengah
kebawah Hasil perhitungan status gizi menunjukkan pasien merupakan anak
dengan gizi kurang. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan adanya edema
palpebra, kesan wajah sembab, susp. efusi pleura D/S, rhonki basah basal, asites,
pitting edema pada kedua tungkai bawah.
Dari hasil anamnesis ditemukan keluhan bengkak pada kedua tungkai dan
wajah. Pendekatan klinis untuk pasien anak dengan edema ditunjukkan oleh
gambar di bawah ini.

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan bahwa bengkak


didapatkan di daerah wajah dan kaki. Hal ini menunjukkan edema merupakan
edema generalisata. Edema generalisata adalah edema atau bengkak akibat
akumulasi cairan pada seluruh tubuh dibandingkan pada organ-organ tertentu.1
Dari hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda sirkulasi yang
berlebihan seperti peningkatan JVP, takikardi, sesak napas, dan rhonki pada paru.
Kemudian dari hasil pemeriksaan urinalisis ditemukan proteinuria sehingga
berdasarkan bagan di atas, edema pada pasien ini kemungkinan disebabkan oleh
kelainan pada ginjal.1
Kelainan pada ginjal yang menyebabkan edema generalisata dapat disertai
beberapa kondisi seperti sindrom nefritik dan sindrom nefrotik. Gambar dibawah
menjelaskan bagaimana mekanisme edema generalisata pada sindrom nefritik dan
sindrom nefrotik dapat terjadi.

Pada anak dengan sindrom nefritik akan ditemui gejala dan tanda kelebihan
cairan intravaskular berupa ortopneu, kardiomegali, peningkatan JVP, kongesti
paru dan hepatomegali. Gejalan dan tanda tersebutlah yang membedakan antara
sindrom nefritik dengan sindrom nefrotik. Maka pasien ini didiagnosis Sindrom

Nefrotik karena memenuhi semua kriteria berdasarkan Konsensus Tatalaksana


Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak (Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012). :
a. Proteinuria massif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstick +2).
b. Hipoalbuminemia (<2,5 g/dL).
c. Edema.
d. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dl.
Sindrom nefrotik dapat terjadi karena perubahan struktur glomerulus yang
terjadi karena kerusakan permukaan endotel, kerusakan membrana basalis dan
atau kerusakan podosit oleh beberapa faktor yang mempengaruhi. Satu atau lebih
mekanisme ini akan terjadi pada salah satu tipe SN (Cohen E.P., 2009).

Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap


protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal mambrana basalis
glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah
kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul
(size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge Barrier) pada
SN keduanya terganggu(Prodjosudjadi, 2013). Penyebab proteinuria yang pasti
belum diketahui. Tetapi SN idiopatik diyakini memiliki patogenesis yang
dikaitkan dengan system kekebalan. Berbagai penelitian menunjukkan regulasi
abnormal subset sel T dan ekspresi factor permeabilitas glomerular. Bukti-bukti

yang menunjukkan bahwa SN idiopatik dimediasi oleh system kekebalan


ditunjukkan oleh kenyataan bahwa agen imunosupresif seperti kortikosteroid dan
agen alkylating dapat meremisi sindrom nefrotik (Behram, 2005).
Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat
penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik
plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis
albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi
protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong
peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat juga terjadi
akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal
(Prodjosudjadi, 2013; Behram, 2005).
Mekanisme terjadinya hiperlipidemia belum jelas sepenuhnya. Albumin
yang rendah atau tekanan onkotik yang rendah diduga dapat menstimulasi hati
untuk meningkatkan sintesis lipoprotein yang mengikat kolesterol. Teori lain
mengatakan bahwa adanya proteinuria pada SN menyebabkan terjadinya reaksi
balik yang mengakibatkan produksi lipoprotein di hati yang meningkat.
Walaupun hati pada SN dapat menghasilkan lebih banyak lipoprotein, tetapi
HDL tidak meningkat. Kadar dari HDL yang merupakan factor protektif terhadap
terjadinya aterosklerosis ternyata rendah. Hal ini disebabkan karena HDL
merupakan molekul yang kecil, sehingga lebih mudah keluar melalui urine.
Lipoprotein lain yang dihasilkan hati pada SN adalah cholesterol ester transfer
protein yang juga memegang peranan terjadinya hiperlipidemia. Peran dari protein
ini adalah transfer kolesterol ester dari HDL ke lipoprotein LDL. Pasien SN yang
tidak diobati mempunyai kadar cholesterol ester transfer protein yang sangat
tinggi bila dibandingkan dengan pasien lain yang mendapat terapi. Penurunan
tekanan onkotik plasma, berperan penting dalam meningkatkaan sintesis
lipoprotein hepatic, sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan hiperlipidemia pada
pasien dengan SN yang mendapatkan infuse albumin atau dextran.
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik

plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan intertisium dan


terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan
plasma

terjadi

hipovolemi,

dan

ginjal

melakukan

kompensasi

dengan

meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan


memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut (Prodjosudjadi, 2013).

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga
terjadi edema. Penurunan LFG akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi
natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada SN. Faktor
seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi
ginjal, jenis lesi gromerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati
akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan (Prodjosudjadi, 2013).

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder


mengikuti penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES),
purpura Henoch Schonlein, dan lain lain (UKKN, 2012). Sindrom nefrotik
kongenital terjadi pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia
kurang dari 6 bulan merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan
mempunyai prognosis buruk. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya
adalah edema pada masa neonatus. Selain itu, penyebabnya bisa karena infeksi
kongenital (sifilis, toksoplasmosis, sitomegalovirus) dan sklerosis mesangium
difus yang tidak diketahui sebabnya (sindrom drash yang terdiri dari nefropati,
tumor wilms, kelainan kongenital). sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom
nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa
ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Kelainan
glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya,
dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron
dan imunofluoresensi. Bentuk-bentuk sindroma nefrotik sekunder berkembang
pada perjalanan berbagai penyakit yang berhubungan, di antaranya diabetes
melitus, penyakit Alport, SLE, sifilis, malaria, purpura anafilaktoid,amiloidosis,
neoplasma limfoproloferatif, glomerulonefritis poststreptokok, dan infeksi
sistemik seperti endokarditis bakterialis subakut.

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah


tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi
pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam
waktu 10-14 hari (Greenberg, 2005).
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan
berikut:
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis 5. INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut :
Tabel 1. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak
dengan
sindrom nefrotik
Remisi
Proteinuria negatif atau trace, atau proteinuria < 4
mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut.
Kambuh

Proteinuria > 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3

Kambuh

tidak hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami

sering

remisi.
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam

Kambuh sering

periode 12 bulan.
Kambuh > 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons

Responsif-steroid

awal, atau > 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.

Dependen-steroid
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.

Resisten-steroid

Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering


terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid

Responder lambat

dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi
prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60
mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.

Nonresponder awal

Resisten-steroid sejak terapi awal

Nonresponder

Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya

lambat

responsif-steroid

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa


kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison
60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis
terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)
inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

Pasien pada kasus ini 3 tahun yang lalu pasien pernah mengalami keluhan
bengkak pada mata, wajah, tangan, perut, skrotum, kaki disertai dengan keluhan
kencing yang berwarna keruh. Sejak saat itu pasien rutin untuk berobat dan
kontrol. Kemudian 8 bulan setelahnya penyakit pasien kambuh kembali dengan
keluhan bengkak pada seluruh tubuh. Sehingga berdasarkan Konsensus
Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak (Ikatan Dokter Anak Indonesia
2012) pasien ini didiagnosis menderita sindrom nefrotik kasus relaps jarang, yaitu
relaps < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.
Pada SN kambuh diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal
4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran
nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian
proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal
ditemukan proteinuria ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat
ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.

Keterangan : Pengobatan SN relaps diberikan prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai
remissi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau
alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.

Untuk pemberian dosis penuh (full dose) prednison sesuai berat badan ideal
(BB terhadap TB) (KDIGO, 2012). Berdasarkan CDC-NCHS Growth Chart, pada
pasien ini BB ideal nya dengan TB 112 cm adalah 19,5 kg, sehingga dosis
prednison yang diberikan adalah 19,5 kg x 2 mg = 39 mg/hari, dibulatkan menjadi
40 mg/hari dikarenakan:
1. Satu tablet prednison mengandung 5 mg sehingga mempermudah dalam
penentuan jumlah tablet yang akan diberikan dan mempermudah dalam
pengkonsumsian obat;

2. Dosis pembulatan menjadi 40 mg masih dalam dosis aman prednison yaitu


maksimal 80 mg/hari. Sehingga pasien ini menggunakan prednison
sebanyak 8 tablet sehari dengan dosis terbagi 3-3-2.
Kemudian 4 minggu setelah pemberian dosis penuh (FD), dilanjutkan
dengan pemberian dosis intermitten (AD) selama 4 minggu dengan dosis
1,5mg/kg/bb/hari, 1 x sehari setelah makan pagi sehingga prednison yang
diberikan adalah 19,5 x 1,5 mg = 29,25 mg/hari, dibulatkan menjadi 30 mg/hari.
Penatalaksanaan edema generalisata merupakan salah satu terapi suportif
pada sindorom nefrotik. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3
mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian
diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pemberian diuretik yang
berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi hipovolemia dengan gejala
hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut. Pada
pasien ini terdapat riwayat penggunaan obat pil berwarna hijau diminum sebanyak
2x/hari yang diberikan oleh mantri selama 3 hari. Obat tersebut menyebabkan
pasien menjadi sering BAK. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda syok
hipovolemik pada pasien ini berupa hipotensi, dan akral dingin.
Syok hipovolemik terjadi akibat berkurangnya volume darah intravaskular.
Hipovolemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat sehingga kesempatan
pertukaran O2 dan CO2 ke dalam pembuluh darah lebih lama akibatnya akan
terjadi hipoksia pada sel. Akibat dari hipoksia dan berkurangnya nutrisi ke
jaringan maka metabolisme tubuh berubah menjadi metabolisme anaerobik.
Akibat dari metabolisme anaerobik ini adalah terjadinya penumpukan asam laktat
dan pada akhirnya metabolisme tidak mampu lagi menyediakan energi yang
cukup untuk mempertahankan homoestasis seluler, terjadi kerusakan pompa ionik
dinding sel, natrium masuk kedalam sel dan kalium keluar sel dan terjadi
akumulasi kalsium dalam sitosol, terjadi edema dan kematian sel. Pada akhirnya
terjadi banyak kerusakan sel organ tubuh atau terjadi kegagalan organ multiple
(multiple organ failure) dan renjatan yang ireversibel.

Tatalaksana syok hipovolemik bertujuan untuk optimalisasi perfusi


jaringan dan organ vital serta mencegah dan memperbaiki kelainan metabolik
yang timbul sebagai akibat hipoperfusi jaringan. Prioritas utama yang harus
segera dilakukan adalah pemberian oksigen aliran tinggi, stabilisasi jalan nafas,
dan pemasangan jalur intravena, diikuti segera dengan resusitasi cairan. Apabila
jalur intravena perifer sukar didapat, jalur intraoseus (IO) segera dimulai.
Setelah jalur vaskular didapat, segera lakukan resusitasi cairan dengan bolus
kristaloid isotonik (Ringer lactate, normal saline) sebanyak 20 mL/kg dalam
waktu 5-20 menit.
Apabila setelah pemberian 20-60 mL/kg kristaloid isotonik masih
diperlukan

cairan,

pertimbangkan

pemberian

koloid.

Darah

hanya

direkomendasikan sebagai pengganti volume yang hilang pada kasus


perdarahan akut atau anemia dengan perfusi yang tidak adekuat meskipun telah
mendapat 2-3 x 20 mL/kg bolus kristaloid.
Pemberian albumin 20-25% dengan dosis 1g/kgBB (5ml/kg) selama 2-4
jam untuk menarik cairan dari jaringan interstitial dilakukan atas indikasi
seperti edema refrakter, syok, atau kadar albumin 1 g/dl. Bila syok belum
teratasi dapat diberikan

dopamin 2-10 g/kg/menit atau dobutamine 5-20

g/kg/menit.
Nilai respon penderita terhadap pemberian cairan dengan memantau
status kardiovaskular, tanda vital dan perfusi perifer. Dengan meningkatkan

preload diharapkan kontraktilitas otot jantung meningkat, curah jantung


bertambah sehingga sirkulasi dapat diperbaiki kembali. Pasang kateter urin
untuk menilai respon perbaikan sirkulasi dengan memantau produksi urin.
Usahakan kadar Hb lebih besar dari 5g/dl. Foto torak dilakukan secepatnya bila
kondisi klinis stabil, konsultasi bedah bila diperlukan. Setelah restorasi cairan
dilakukan, berbagai kemungkinan komplikasi yang bisa terjadi akibat renjatan
perlu dievaluasi untuk tatalaksana lanjutan.

Anda mungkin juga menyukai