Anda di halaman 1dari 5

Distemper

Distemper anjing (Canine Distemper) merupakan penyakit viral yang bersifat


sistemik, disebabkan oleh Canine Distemper Virus (CDV) yang merupakan golongan
Morbilivirus dari famili Paramyxoviridae (Blixenkrone-Moller, 1991). Anjing yang diserang
pada umumnya berumur muda yaitu kurang dari satu tahun. Hal ini terjadi karena pada umur
ini terjadi penurunan antibodi maternal, tingkat stress yang tinggi karena masa pertumbuhan,
dan serangan penyakit lain yang menurunkan kondisi tubuh (Suartha et al., 2008). Radius
penyebaran distemper dapat mencakup daerah luas. Cara penularan melalui kontak langsung
dan udara. Penyakit ini memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada populasi
anjing yang tidak divaksinasi. Morbiditas dapat mencapai 25 %-75%, sedangkan mortalitas
dapat mencapai 50%-90%. Penularan dari virus ini sering disertai infeksi sekunder oleh
kuman yakni streptokokus hemolitik, stapilokokus, Brucella bronchiseptica dan kumankuman Salmonella sp. Faktor-faktor yang berperan pada infeksi ialah keadaan gizi, keletihan,
ektoparasit dan endoparasit (Ressang, 1984).
Distemper merupakan penyakit multisitemik yang menyerang saluran respirasi,
gastrointestinal, dan sistem saraf pusat. Kejadian pada anjing dapat berbentuk akut, sub akut,
kronis, dan bahkan dapat berbentuk sub klinis. Penyakit ini sangat sulit untuk disembuhkan
sehingga jika tidak ditangani secara dini dapat menyebabkan kematian pada anjing. Penyakit
distemper ditemukan hampir di seluruh. Selain menyerang anjing, penyakit ini juga
dilaporkan menyerang musang, rakun, panda, mamalia air seperti anjing laut dan anjing liar
di Afrika.
Virus masuk ke dalam tubuh secara aerosol, mula-mula akan berkembang di dalam
kelenjar getah bening terdekat. Dalam waktu 1 minggu virus mengalami replikasi dan
menyebabkan viremia. Virus tersebar ke berbagai organ limfoid, sumsum tulang dan lamina
propria mukosa. Pada minggu ke-2 dan ke-3 pasca infeksi, anjing akan membentuk antibodi
baik humoral maupun seluler untuk merespon infeksi. Apabila respon jaringan
retikuloendotelial terhadap virus bagus, maka terbentuk antibodi yang cukup dan virus akan
dinetralisasi hingga tubuh bebas dari virus. Sebaliknya kalau antibodi tidak terbentuk, pada
minggu berikutnya virus menyebar cepat ke dalam epitel dan sistem saraf pusat anjing dan
akan memperlihatkan penyakit baik akut atau subakut (Dharmojono, 2001). Saat itu suhu
tubuh akan meningkat, anoreksia, depresi dan sel-sel kelenjar di saluran pernafasan dan mata
menghasilkan sekretnya secara berlebihan. Batuk, dispnoea, disertai suara cairan dari paruparu segera terjadi. Rusaknya epitel saluran pencernaan menyebabkan diare, muntah dan

hilangnya nafsu makan (Subronto, 2006). Strain virus yang mampu menginfeksi secara akut
dan fatal secara jelas kelihatan merusak bahan abu (grey matter) dari susunan saraf pusat
yang menyebabkan kerusakan neuronal. Strain virus yang menyebabkan infeksi lebih lambat
akan menyerang bahan putih (white matter) dari susunan saraf pusat dan menimbulkan
demyelinisasi. Resolusi strain virus yang bersifat demikian dapat terjadi 2-3 bulan. Gejalagejala susunan saraf pusat dapat timbul pada anjing yang sebelumnya tidak memperlihatkan
penyakit ini, karena virus dapat menetap dalam otak (Dharmojono, 2001).

Gejala Klinis Distemper


Gejala klinis yang timbul dapat bermacam-macam tergantung dari virulensi strain
virus, kondisi lingkungan, umur anjing (hospes), dan status kekebalan. Variasi gejala klinis
mulai dari subklinis, gangguan pernafasan, gangguan saluran cerna, sampai dengan adanya
gangguan saraf yang bersifat fatal (Zhao et al., 2009). Gejala klinis pada kasus akut ditandai
timbulnya demam dan kematian secara mendadak. Anoreksia, pengeluaran lendir,
konjungtivitis dan depresi biasa terjadi selama stadium ini. Kenaikan suhu terjadi pada hari
ke 1-3, diikuti penurunan suhu tubuh selama beberapa hari kemudian naik lagi selama 1
minggu atau lebih. Saat awal kejadian segera akan diikuti dengan leukopenia dan limfopenia.
Selanjutnya terjadi netrofilia selama beberapa minggu.
Pada tipe pernafasan, adanya demam biasanya disertai gangguan pada saluran
pernafasan berupa keluarnya leleran hidung yang bersifat encer maupun kental, leleran mata,
dan batuk (Subronto, 2006). Distemper yang memiliki tipe kulit ialah terjadi hiperkeratosis
(penebalan kulit) dari telapak kaki (Hardpad Disease) dan epitelium dari cuping hidung. Pada
beberapa kejadian penyakit distemper dapat diamati adanya pustula pada kulit daerah
abdomen. Distemper yang memiliki tipe pencernaan memiliki gejala diantaranya muntah,
diare dan hilangnya nafsu makan (anoreksia). Gejala dehidrasi sangat menonjol dan mungkin
penderita mengalami kematian dan gagal ginjal sebagai kompensasi dari dehidrasi yang
sangat hebat (Subronto, 2006). Gejala saraf sering terlihat bersamaan dengan terjadinya
hiperkeratosis (penebalan kulit). Gangguan sistem saraf pusat yang muncul antara lain:
kejang tak terkendali yang bersifat lokal dari otot atau grup otot seperti di bagian kaki atau
otot wajah. Hewan yang terlihat kejang-kejang menandakan bahwa infeksi telah menyebar
sampai otak dan menyebabkan kerusakan saraf. Kerusakan yang terjadi pada neuron dan
astrosit oleh virus distemper menyebar secara perlahan namun infeksi ini menyebabkan

kematian sel secara besar-besaran termasuk pada sel neuron yang tidak terinfeksi. Gejala
saraf lain yang terjadi ialah kekakuan leher, kelumpuhan serta kejang yang dicirikan dengan
adanya hipersalivasi (pengeluaran liur tak terkendali) dan gerakan mengunyah oleh rahang
(chewing-gum fits) disebabkan oleh poliencephalomalacia dari lobus temporalis (Ressang,
1988). Kejang akan menjadi lebih sering dan semakin parah, kemudian anjing dapat terjatuh
pada salah satu sisinya. Selain itu, pengeluaran urin dan feses yang tak terkendali juga sering
terjadi. Pada stadium akhir terlihat adanya kejang kejang atau tanpa kejang dengan bola
mata mengalami nystagmus (Subronto, 2006).

Pemeriksaan Fisik Distemper


1. Inspeksi/adspeksi (melihat, mendengar tanpa alat bantu)
Dilihat dari jarak jauh ataupun dekat gejala yang tampak, seperti anoreksia,
dehidrasi, pengeluaran lendir, konjungtivitis, depresi, leleran pada mata, leleran pada
hidung, batuk, muntah, diare, pustul pada abdomen, gejala saraf berupa kejang tak
terkendali yang bersifat lokal dari otot atau grup otot seperti di bagian kaki atau otot
wajah, gejala saraf lain yang terjadi ialah kekakuan leher, kelumpuhan, kejang yang
dicirikan dengan adanya hipersalivasi dan gerakan mengunyah oleh rahang (chewinggum fits) serta terlihat adanya penebalan telapak kaki (hard pad) dan cuping hidung.

2. Palpasi
Dapat dilakukan umtuk mengetahui perubahan suhu tubuh. Serta diraba untuk
memastikan adanya penebalan pada telapak kaki dan cuping hidung.
3. Uji Refleks
Uji aktivitas otot/kelenjar secara involunter sebagai respon rangsangan, pada
hewan yang sudah parah terjadi kekakuan leher dan kelumpuhan. Tes yang dilakukan
meliputi pupillary reflex test (untuk refleks mata), palpebral reflex test, refleks kulit,
refleks lokomotor, dan refleks tendo. Pada stadium akhir terlihat adanya kejang
kejang atau tanpa kejang dengan bola mata mengalami nystagmus (disfungsi sistem
motorik).

DAFTAR PUSTAKA
Blixenkrone-Mller, M., Pedersen, I. R., Appel, M. J, Griot, C. 1991. Detection of IGM
Antibodies Against Canine Distemper Virus in Dog and Mink Sera Employing
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Journal of Veterinary Diagnostic
Investigation.
Dharmojono. 2001. P3K anjing dan kucing. Jakarta : Penebar Swadaya.
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Ed ke-2. Bali: Percetakan Bali.
Ressang. 1988. Penyakit Viral Pada Hewan Edisi Cetakan Pertama. Jakarta : Universitas
Indonesia ( UI-Press)
Suartha, I.N., D. Mustikawati, I.G.M.K. Erawan, dan S.K. Widyastuti. 2011. Prevalensi dan
faktor risiko penyakit virus parvo pada anjing di Denpasar. J. Vet. 12(3):235-240.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba Pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Zhao et all. 2009. Ben Functions with scamp during synaptic transmission and long-term
memory formation in Drosophila. J. Neurosci. 29(2): 414--424. (Export to RIS)

Anda mungkin juga menyukai