PENDAHULUAN
Limfoma atau disebut juga kanker kelenjar getah
bening adalah sejenis kanker yang tumbuh akibat
mutasi sel limfosit (sejenis sel darah putih) yang
sebelumnya normal. Hal ini berakibat sel abnormal
nenjadi ganas. Seperti halnya limfosit normal,
limfosit ganas dapat tumbuh pada berbagai organ
dalam tubuh termasuk kelenjar getah bening, limpa,
sum-sum tulang, darah maupun organ lainnya contoh
saluran
cerna,
paru,
kulit
dan
tulang
Limfoma juga sering dikaitkan dengan paparan zat
karsinogenik.1.
Dalam kepustakaan yang lain disebut bahwa
Limfoma adalah setiap kelainan neoplastik jaringan
limfoid2. Limfoma juga disebut sebagai penyakit
limfosit yang menyerupai kanker. Disebut penyakit
limfosit karena menyerang sel darah putih sehingga
berkembang (membelah) abnormal dengan cepat dan
menjadi ganas. Limfosit abnormal yang semakin
banyak ini (kemudian disebut limfoma) sering
terkumpul di kelenjar getah bening dan membuat
bengkak.3 Karena sistem limfatik menyerupai
peredaran darah yang bersikulasi ke seluruh tubuh
membawa getah bening, maka penyakit limfoma
juga dapat terbentuk di mana saja. Tak mesti di satu
bagian tubuh saja3.
Limfoma pada otak jarang dialami oleh orang
dengan kadar sel CD4 yang tinggi. Gejala utama dari
limfoma susunan saraf pusat (SSP) adalah sakit
kepala dan demam. Perasaan seperti meningkatnya
tekanan di dalam kepala atau bahkan serangan sakit
kepala yang hebat juga sering terjadi. Sepertiga
orang yang mengalami limfoma SSP merasakan
gangguan bicara (aphasia), pandangan kabur dan
gangguan kepekaan atau pun koordinasi gerakan
pada satu sisi tubuh1.
Menurut klinik Mayo, tanda awal limfoma SSP bisa
dideteksi di mata. 11% dari orang yang belakangan
diketahui terserang limfoma SSP ternyata mengalami
uveitis (radang pada selaput pelangi mata dan bagian
di sekeliling mata) yang didahului dengan gejala
lainnya selama berbulan-bulan sampai tahunan. Jika
terapi kortikosteroid tidak menyembuhkan uveitis,
maka diperlukan sebuah biopsi cairan vitreus pada
mata yang akan menunjukkan adanya infiltrasi
(radang sel dan puing) sehingga diagnosa limfoma
SSP dengan secepatnya diketahui dan dapat segera
diobati dengan memeriksakan mata secara rutin.
Maka limfoma SSP akan lebih cepat dideteksi
dibandingkan dengan pemeriksaan khusus yang bisa
saja terlambat. Lagipula pemeriksaan mata tidaklah
begitu menakutkan bila dibandingkan dengan biopsi
otak3.
Faktor Prognostik
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik :
Indolent Limfoma dan Agresif Limfoma. LNH
Indolent memiliki prognosis yang relatif baik,
dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya
tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Tipe
Limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang
lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara
signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif5,6.
Pengobatan
Pengobatan inti LNH saat ini meliputi kemoterapi,
terapi antibodi monoklonal, radiasi, terapi biologik
dan cangkok sum-sum tulang. Penentuan jenis terapi
yang diambil amat bergantung kondisi individual
pasien dan bergantung pada 3 faktor utama :
1. Stadium
2. Ukuran
3. Derajat keganasan
Limfoma Agresif (intermediate/derajat keganasan
tinggi) cepat tumbuh dan menyebar dalam tubuh dan
bila dibiarkan tanpa pengobatan dapat mematikan
dalam 6 bulan. Angka harapan hidup rata-rata
berkisar 5 tahun dengan sekitar 30-40% sembuh.
Pasien yang terdiagnosis dini dan langsung diobati
lebih mungkin meraih remisi sempurna dan jarang
mengalami kekambuhan. Karena ada potensi
kesembuhan, maka biasanya pengobatan lebih
agresif. Standar terapi dahulu meliputi kemoterapi
standar CHOP dan/atau kemoterapi dosis tinggi dan
cangkok sum-sum. Tetapi terapi tersebut dianggap
masih memiliki tingkat kekambuhannya 31,5 %
sampai 56,8 % dimana Complete Response dan
survival rate yang rendah. Pada saat ini sebagai first
line
treatment
digunakan
rituximab
yang
dikombinasi dengan CHOP. Rituximab ( suatu
monoklonal antibodi/ antibodi anti CD20 ) yang bisa
mengatasi kasus-kasus relaps LNH terhadap agen
kemoterapi. Sehingga baru-baru ini, penggunaan
rituximab
plus
kemoterapi
standar
telah
direkomendasikan oleh para peneliti Eropa yang
mengobati NHL agresif berdasarkan uji klinisi yang
menunjukkan perpanjangan harapan hidup pasien
ketika diobati dengan Rituximab ditambah CHOP
dibandingkan hanya CHOP6,7.
Limfoma Indolen (derajat keganasan rendah) tumbuh
lambat sehingga diagnostik awal menjadi lebih sulit.
Pasien dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun
dengan penyakit ini, tetapi standar pengobatan yang
ada tidak dapat menyembuhkannya. Biasanya, pasien
memberikan respon yang baik pada terapi awal,
tetapi sangat mungkin kanker tumbuh kembali.
Pasien dengan limfoma indolen bisa mendapatkan
terapi sebanyak lima sampai enam kali sepanjang
hidup mereka. Meskipun demikian, pasien biasanya
memberikan respon terapi yang semakin rendah.
Angka harapan hidup pada limfoma jenis ini, dimana
seringkali pasien terkalahkan oleh penyakit ini atau
komplikasi yang timbul, berkisar antara enam
tahun6,7.
Klasifikasi
WHO mengklasifikasikan limfoma Hodgkin ke
dalam 2 jenis yaitu :
1. Nodular Lymphobcyte predominance
Hodhkin Lymphoma (Nodular LPHL) :
Tipe ini mempunyai sel limfosit dan
histiosit, CD 20 positif tetapi tidak
memberikan gambaran sel ReedStenberg.
2. Classic
Hodgkin
Lymphoma
8
.
Diagnosis
Diagnosis pada penderita dilihat dari riwayat
penyakit, gejala klinis, dan pemeriksaan penunjang.
Pada riwayat penyakit didapati pada penderita
umumnya terdapat pembesaran kelenjar getah bening
yang tidak nyeri. Gejala sistenik berupa demam,
berkeringat malam hari, penurunan berat badan, dan
pruritus, terdapat hepatosplenomegali juga adanya
neuropati7,8.
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan
LIMFOMA HODGKIN (HODGKIN DISEASE)
laboratorium berupa darah lengkap, fungsi hati,
Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan fungsi ginjal, juga dilakukan pemeriksaan elektrolit.
limforetikular yaitu : limfoma malignum yang Selain itu dilakukan pemeriksaan biopsi sumsum
terbagi dalam limfoma malignum Hodgkin dan tulang juga pemeriksaan radiologis8.
limfoma malignum non Hodgkin. Kedua penyakit
tersebut dibedakan secara histopatologis, dimana Stadium Penyakit
pada limfoma Hodgkin ditemukan sel Reed Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan
Sternberg2,3.
menilai prognosis. Staging dilakukan menurut
Analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed Cotswolds (1990) yang merupakan modifikasi dan
Sternberg berasal dari folikel sel B yang mengalami klasifikasi Ann Arbor (1971).
gangguan struktur pada immunoglobulin, sel ini juga
Stadium I : Keterlibatan suatu region kelenjar
mengandung suatu faktor transkripsi inti sel. Kedua
geah bening atau struktur
hal tersebut menyebabkan gangguan apoptosis.
jaringan limfoid (limpa, timus, cincin
Di Amerka Serikat terdapat 7500 kasus baru
waldeyer) atau keterlibatan
penyakit Hodgkin setiap tahunnya, rasio kekerapan
satu organ ekstralimfatik.
antara laki-laki dan perempuan adalah 1,3-1,4
Stadium II : Keterlibatan 2 regio kelenjar
berbanding 1. Terdapat distribusi umur bimodal,
getah bening pada sisi diafragma
yaitu pada usia 15-34 tahun dan usia diatas 55
yang sama.
tahun5.
Stadium III : Keterlibatan regio kelenjar
getah bening pada kedua sisi
Etiologi
diafragma.
Penyebab yang pasti dari penyakit ini belum
Stadium IV : Keterlibatan difus/diseminata
diketahui dengan pasti. Pada penyakit ini beberapa
pada satu atau lebih organ
faktor resiko yang diperkirakan dapat menyebabkan
ekstranodal atau jaringan dengan atau tanpa
terjadinya limfoma Hodgkin adalah infeksi virus;
keterlibatan kelenjar
infeksi virus onkogenik diduga berperan dalam
getah bening8.
menimbulkan lesi genetik, virus memperkenalkan
gen asing ke dalam sel target. Virus-virus tersebut Pengobatan
adalah Epstein-Barr, Sitomegalovirus, HIV, HHV-6. Di dalam pengobatan Limfoma Hodgkin langkah
Faktor yang lain adalah defisiensi imun, misalnya pertama yang harus dilakukan adalah penentuan
pada pasien transplantasi organ dengan pemberian stadium penyakit.
obat imunosupresif 6.
Dipastikan dengan biopsi eksisi kelenjar
getah bening.
Prognosis
Pada penyakit ini ,jika masih terbatas maka memiliki
angka kesembuhan 80%; sedang penyakit lanjut
memiliki angka kesembuhan 50-70% 5.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amori. 2007. Jurnal Nasional : Pengobatan
tepat
untuk
Limfoma.
www.jurnalnasional/limfoma/44356.com.
Diakses pada tanggal 02 September 2008.
2. Anonymous. 2008. Limfoma non Hodgkin.
www.roche/products/limfoma/.com.
Diakses
pada tanggal 02 September 2008.
3. Novak. 1996. Kamus kedokteran Dorland. hal
638-39. EGC. Jakarta
4. Vinjamaran. 2007. Lymphoma, Non-Hodgkin.
www.emedicine.com. Diakses pada tanggal 02
September 2008.
5. Anonymous.
2006.
Limfoma
Maligna.
www.wordpress.com. Diakses pada tanggal 02
September 2008.
6. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. 2006. Buku ajar ilmu penyakit
dalam : LNH; Penyakit Hodgkin. Hal 727-33;
735-44. Pusat penerbitan departemen ilmu
penyakit dalam fakultas kedokteran universitas
Indonesia. Jakarta.
7. Anonymous.
2008.
Limfoma.
www.elearning.blogspot.com. Diakses pada
tanggal 02 September 2008.
8. Anonymous.
2008.
Hodgkin
Disease.
www.mayoclinic.com. Diakses pada tanggal 02
September 2008.
Limfoma Maligna
Pendahuluan
Limfoma adalah kanker yang berasal dari
jaringan limfoid mencakup sistem limfatik dan
imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen,
ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran
kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali,
dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga
dijumpai ekstra nodal yaitu di luar sistem limfatik
dan imunitas antara lain pada traktus digestivus,
paru, kulit, dan organ lain. Dalam garis besar,
limfoma dibagi dalam 4 bagian, diantaranya limfoma
Hodgkin (LH), limfoma non-hodgkin (LNH),
histiositosis X, Mycosis Fungoides. Dalam praktek,
yang dimaksud limfoma adalah LH dan LNH,
sedangkan histiositosis X dan mycosis fungoides
sangat jarang ditemukan.
Definisi
Limfoma
maligna
adalah
kelompok
neoplasma maligna/ganas yang muncul dalam
kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstranodal yang
ditandai dengan proliferasi atau akumulasi sel-sel
asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan prasel dan derivatnya).
Diagnosis
1. Ananmnesis
Epidemiologi
Keluhan terbanyak pada penderita adalah
Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu
pembesaran kelenjar getah bening di leher,
kira-kira 2% dari jumlah kanker yang ada. Akan
aksila, ataupun lipat paha. Berat badan semakin
tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di
menurun, dan terkadang disertai dengan demam,
Indonesia, tumor ini merupakan terbanyak setelah
sering berkeringat dan gatal-gatal.
kanker serviks uteri, payudara, dan kulit.
2. Pemeriksaan Fisik
Palpasi pembesaran kelenjar getah
Etiologi
bening di leher terutama supraklavikuler aksila
Limfoma merupakan golongan gangguan
dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba
limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi
membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan
dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr
untuk
menentukan
kemungkinan
cincin
yang ditemukan pada limfoma Burkitt. Adanya
Weldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlibat
peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin
perlu diperiksa gastrointestinal sebab sering
dan non-Hodgkin pada kelompok penderita AIDS
terlibat bersama-sama.
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap 3. Pemeriksaan laboratorium
virus HIV, tampaknya mendukung teori yang
Pemeriksaan darah yaitu hemogran dan
menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh
trombosit. LED sering meninggi dan
virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini
kemungkinan ada kaitannya dengan prognosis.
adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti
Keterlibatan hati dapat diketahui dari
kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat
meningkatnya alkali fosfatase, SGOT, dan
timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan
SGPT.
lain.
4. Sitologi biopsi aspirasi
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH)
Klasifikasi
sering
dipergunakan
pada
diagnosis
Dua kategori besar limfoma dilakukan atas
pendahuluan
limfadenopati
jadi
untuk
dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar limfe
identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti
yang terlibat. Kategori tersebut adalah limfoma
reaksi hiperplastik kelenjar getah bening,
penyakit Hodgkin dan non-Hodgkin.
metastasis karsinoma, dan limfoma maligna.
Ciri khas sitologi biopsi aspirasi limfoma
Hodgkin yaitu populasi limfosit yang banyak
Gejala Klinis
aspek serta pleomorfik dan adanya sel ReedSternberg. Apabila sel Reed-Sternberg sulit
ditemukan adanya sel Hodgkin berinti satu atau
dua
yang
berukuran
besar
dapat
dipertimbangkan sebagai parameter sitologi
Limfoma Hodgkin.
Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi
pada Limfoma non-Hodgkin adalah kurang
sensitif dalam membedakan Limfoma nonHodgkin folikel dan difus. Pada Limfoma nonHodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus,
sitologi, biopsi aspirasi dapat dipergunakan
sebagai diagnosis definitif.
Penyakit lain dalam diagnosis sitologi
biopsi aspirasi Limfoma Hodgkin ataupun
Limfoma non-Hodgkin adalah adanya negatif
palsu termasuk di dalamnya inkonklusif. Untuk
menekan jumlah negatif palsu dianjurkan
melakukan biopsi aspirasi multipel hole di
beberapa tempat permukaan tumor. Apabila
ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai
dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik
adalah biopsi insisi atau eksisi.
5. Histopatologi
Biopsi tumor sangat penting, selain
untuk diagnosis juga identifikasi subtipe
histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi
jelas limfoma Hodgkin ataupun Limfoma nonHodgkin.
6. Radiologi
a. Foto thoraks
b. Limfangiografi
c. USG
d. CT scan
7. Laparotomi rongga abdomen sering dilakukan
untuk melihat kondisi kelenjar getah bening
pada iliaka, para aorta dan mesenterium dengan
tujuan menentukan stadium.
Terapi
Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium
lanjut yang merupakan penyakit dalam terapi kuratif.
Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan
faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia
berbagai jenis kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini
angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan
sembuh berkat manajemen tumor yang tepat dan
tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Peranan
pembedahan pada penatalaksanaan limfoma maligna
terutama hanya untuk diagnosis biopsi dan laparotomi
splenektomi bila ada indikasi.
1. Radiasi
a. Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
b. Untuk stadium III A/B secara total nodal
radioterapi
LIMFOMA HODGKIN
Insidensi
Insidensi penyakit
Hodgkin (morbus
Hodgkin; MH) kira-kira 3 per 100.000 penderita per
tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi
daripada wanita. Perbandingan pria dan wanita
adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi
menurut umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua
puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak pertama
terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 35
tahun dan puncak kedua terjadi pada orang diatas
umur 50 tahun. Selama dekade terakhir terdapat
kenaikan berangsur-angsur kejadian morbus
Hodgkin, terutama bentuk nodular sklerotik pada
golongan umur lebih muda.
Etiologi
Patogenesis morbus Hodgkin mungkin
kompleks dan masih banyak hal yang kurang jelas
dalam bidang ini. Epidemiologi morbus Hodgkin
menunjukkan kemungkinan adanya peran infeksi
virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak.
Misalnya, negara non industri, dimana terjadi
pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada
umur lebih muda, puncak insidensi pertama morbus
Hodgkin juga terjadi jauh lebih dini (antara 5 dan 15
tahun) daripada di negara-negara Barat. Dalam hal
pemaparan terhadap virus umum terjadi belakangan,
(misalnya pada keluarga kecil, status ekonomi social
yang lebih tinggi) insidensi morbus Hodgkin relatif
lebih tinggi. Ini dapat menunjukkan bahwa
mengalami infeksi virus tertentu mempunyai efek
predisposisi, yang terutama berlaku kalau infeksinya
timbul pada usia lebih belakangan. Ada petunjuk
bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin
memegang peran pada patogenesis morbus Hodgkin.
Dengan menggunakan teknik biologi molecular pada
persentase yang cukup tinggi kasus morbus Hodgkin
(kecuali bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan
adanya DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga
dapat ditunjukkan produksi protein EBV tertentu.
Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara
infeksi EBV dan terjadinya morbus Hodgkin,
ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena
tanpa hubungan kausa langsung (misalnya
imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.
Klasifikasi
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan
pemeriksaan histologik, yang dalam hal ini adanya
sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin
varian mononuklear) dengan gambaran dasar yang
cocok merupakan hal yang menentukan sistem
klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25
tahun yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan
Sub-tipe
Nodular
Difus
Reticular
Fibrosis difus
Frekuensi
}5%
70-80%
10-20%
}1%
Diagnosis
Pemeriksaan untuk penentuan stadium
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik
diperhatikan kelenjar regional, hepar dan lien.
Diagnosis
morbus
Hodgkin
berdasarkan
Gejala-gejala B
Anamnesis keluarga
Mononukleosis infeksiosa sebelumnya
Pemeriksaan
Pemeriksaan
tulang
X-thorax
CT-scan toraks-abdomen
Limfangiogram
Dipertimbangkan/jika
indikasi scan ada
Gallium
Scan tulang
Biopsi hepar
Stadium
Untuk pembagian stadium masih selalu
digunakan klasifikasi Ann Arbor. Dalam suatu
pertemuan kemudian diadakan beberapa perubahan.
Atas dasar penetapan stadium klinis pada
penyakit Hodgkin pada 60% penderita penyakitnya
terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita
terdapat perluasan sampai stadium III dan pada 1015% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda dengan
limfoma non-Hodgkin, yang biasanya terdapat pada
stadium III-IV.
Terapi
Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin
harus diterapi dengan tujuan kuratif. Ini juga berlaku
Stadium I II
Stadium IIIA
Stadium IIIB IV
Terapi pertama
- Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan
radiasi kelenjar paraaorta dan limpa;
kadang-kadang hanya lapangan mantel
saja
- Jika ada faktor resiko, kemoterapi
dilanjutkan dengan radioterapi
- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas
dengan involved field radiation
Kemoterapi ditambah dengan radioterapi
Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi
1. Stadium IIIA
Jika dalam stadium III perluasannya
hanya terbatas, radiasi memang mungkin,
misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II
pada laparotomi terdapat perluasan terbatas di
limpa atau perut atas. Penyinaran harus terdiri
dari radiasi lapangan mantel dan radiasi Y
terbalik (radiasi total node). Pada stadium
klinik III lebih dipilih penanganan dengan
kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai pasien
dalam stadium IIIB IV.
2. Stadium IIIB IV
Penderita dalam stadium ini diterapi
dengan kemoterapi (Longo, 1990). Skema
MOPP yang telah lama sebagai pilihan pertama
tampaknya digeser oleh skema MOPP/ABV.
Dalam hal ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat
diberikan berbagai obat. Dari penelitian ternyata
bahwa dengan pilihan ini kemungkinan
penyembuhan lebih besar daripada dengan
MOPP saja. Persentase remisi komplit adalah
80%, dengan 60% kemungkinan penyembuhan.
Sesudah periode istirahat biasanya 2
minggu seri berikutnya diberikan, dengan
kadang-kadang mengatur kembali dosisnya atas
dasar jumlah leukosit dan trombosit. Mengenai
lamanya terapi berlaku aturan bahwa diberikan
terapi sampai tercapai remisi komplit, diteruskan
dengan 2 terapi konsolidasi. Jika cepat terjadi
remisi ini berarti 6 seri, jika tidak, menjadi 8
seri. Lebih lama dari ini tidak ada artinya.
Pertanyaannya adalah apakah ada artinya
bila pada kemoterapi diberikan penyinaran
tambahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan. Ini tidak seluruhnya jelas.
Kemungkinan residif lokal di daerah yang
disinar dapat diperkecil, tetapi belum jelas
dibuktikan bahwa kemungkinan kurasi menjadi
lebih baik.
Pada penderita yang lebih tua juga
digunakan skema ChlVPP, yang pada umumnya
lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping
kemoterapi disamping efek akut yang terjadi
(misalnya nausea, vomitus, depresi sumsum
tulang, dan kerontokan rambut), juga harus
diperhatikan efek samping yang timbul
Dosis
(mg/m2)
MOPP
Nitrogen
mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
ChlVPP
Chlorambusil
Vinblastin
Procarbazine
Prednisone
ABVD
Adriamisin
Bleomisin
Vinblastin
DTIC
MOPP/ABV
Nitrogen
mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
Adriamisin
6
1,4
100
25
6
6
100
25
25
10
6
250
6
1,4
100
40
35
6
Vinblastin
Bleomisin
CEP
CCNU
Etoposid
prednimustin
10
i.v.
80
100
80
p.o.
p.o.
p.o.
Penanganan residif
Jika penderita hanya disinar pada terapi
pertama dan kemudian mengalami residif, maka dia
harus ditangani dengan kemoterapi. Hasil-hasilnya
dapat disamakan dengan penderita yang dalam
instansi pertama ditangani dengan kemoterapi. Pada
residif sesudah kemoterapi dengan atau tanpa
radioterapi, kebijaksanaan ditentukan oleh interval
akhir terapi sebelumnya dan residifnya.
Prognosis penderita dengan residif selama
atau segera sesudah (kurang dari 1 tahun) akhir
kemoterapi pertama adalah buruk. Terapi dengan
skema lain yang disebut skema non cross resistant,
ditambah dengan radiasi jika memungkinkan,
memberi 20% kemungkinan ketahanan hidup lebih
lama pada residif dini. Jika penderita diterapi dengan
MOPP/ABV dan selama atau segera sesudah itu
mendapat residif, akan lebih sukar lagi untuk
menemukan terapi lini kedua, karena hampir semua
obat yang aktif telah terpakai dalam skema ini.
Jika residif timbul belakangan ternyata
dengan kemoterapi yang sama atau dengan alternatif
yang non cross resistant, ditambah dengan
radioterapi jika masih memungkinkan, dapat dicapai
remisi jangka panjang pada 30-40% penderita.
Baik untuk residif dini maupun jangka
i.v.
setengah panjang sedang diadakan penelitian
i.v.
mengenai nilai kemoterapi dosis tinggi dengan
p.o.
reinfusi sumsum tulang autolog (ABMT). Prinsipnya
p.o.
adalah diambil sumsum tulang dan dibekukan.
Kemudian penderita diberi kemoterapi yang biasa
dipakai untuk mencapai remisi sebaik mungkin,
p.o.
kemudian diadakan intensifikasi dengan kemoterapi
i.v.
dosis tinggi, dengan reinfusi sumsum tulang yang
p.o.
tersimpan
untuk
memperpendek
periode
p.o.
pansitopenia. Tahun-tahun terakhir didapat banyak
pengalaman dalam hal ini. Sedang diadakan
i.v.
penelitian acak untuk menunjukkan golongan
i.v.
penderita mana yang dengan prosedur demikian itu
i.v.
mendapat kenaikan kemungkinan kesembuhan
i.v.
dibanding dengan terapi standar.
Perkembangan yang lebih baru sebagai
i.v.
pengganti sumsum tulang adalah sel induk perifer
i.v.
(PSC) dipanen dari darah dan dikembalikan pada
p.o.
penderita. Sel-sel induk ini dapat dimobilisasi
p.o.
dengan satu kuur kemoterapi dengan memberikan Gi.v.
CSF (Granulocyte stimulating factor). Efek tindakan
i.v.
ini adalah bahwa sesudah penurunan singkat jumlah