Pada suatu hari di Junggringsaloka, tempat tinggal para
dewa, dikepung oleh ribuan raksasa. Para dewata yang sedang berada di situ, baik yang lagi piket maupun yang tidak, tak berhasil membendung serangan itu. Menurut "wangsit" yang diterima, raja raksasa hanya dapat dibunuh oleh salah seorang putra Bathara Shiwa, yang berkepala gajah. Namun karena Hyang Shiwa sedang bertapa, maka tidak seorang pun berani mengganggu beliau, akhirnya dicapai kata sepakat bahwa Bathara Kamajaya atau Asmara akan menggoda Hyang Shiwa supaya timbul berahinya terhadap istrinya, Uma. Karena merasa terganggu, maka bangkitlah marahnya Bathara Shiwa yang luar biasa (duka yayah sinipi) terhadap Kama, sehingga Dewa Kama terbakar menjadi abu karena terkena pandang mata Hyang Shiwa. Itulah sebabnya syair itu dinamakan Smaradahana yang berarti
pembakaran dewa cinta. Karena istri Kama, yakni Dewi
Ratih tak dapat menguasai dirinya, maka iapun ikut menerjunkan diri ke dalam api yang sedang menyalanyala. Atas permohonan dewa-dewa, mereka dianugerahi hidup kekal, tetapi sebagai makhluk siluman. Dalam keadaan itu Kama menitis ke dalam tubuh Hyang Shiwa; dan Ratih menitis ke tubuh Dewi Uma. Ketika Dewi Uma akan melahirkan, dilepaskanlah seekor gajah. Uma sangat terkejut dan mengalami "shok", sehingga melahirkan seorang anak yang berkepala gajah: Ganesya. Begitu lahir langsung dewasa dan mengepalai tentara dewa melawan para denawa (raksasa) serta berhasil memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Selamatlah Kahyangan dari keangkara-murkaan.