Anda di halaman 1dari 12

A.

ETIOLOGI PENYAKIT FILARIASIS


Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing
filaria yang cacing dewasanya hidup dalam kelenjar limfe dan darah manusia,
ditularkan oleh serangga (nyamuk) secata biologik, penyakit ini besifat
menahun

(kronis)

dan

bila

tidak

mendapaykan

pengobatan

akan

menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki (disebut elephantiasis /


kaki gajah), pembesaran lengan, payudara dan alat kelamin wanita maupun
laki-laki.

Filariasis

merupakan

penyakit

infeksi

sistemik

kronik

yang

disebabkan oleh cacing seperti benang, dari genus Wuchereria dan Brugia
yang dikenal sebagai filarial yang tinggal di sistem limfa (mengandung getah
bening), yaitu jaringan pembuluh yang berfungsi untuk menyangga dan
menjaga keseimbangan cairan antara darah dan jaringan otot yang merupakan
komponen esensial dari sistem kekebalan tubuh. 1 Filariasis atau yang lebih
dikenal dengan sebutan penyakit kaki gajah ini disebabkan oleh tiga spesies
filarial.
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu :
Wuchereria bancrofiti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Cacaing ini
menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar
getah bening dan darah. Cacing dapat hidup dalm kelenjar getah bening
manusia selama 4-6 tahun dan dalam tubuh manusia cacing dwasa betina
menghasilkan jutaan anak cacing/larva (disebut mictofilaria). Larvafilaria
memiliki perilaku yang spesifik yaitu pada siang hari larva filaria berada di
paru-paru atau pembukuh darah besar sedangkan pada malam hari larva ini
berpindah ke pembuluh darah arteri atas atau vena perifer dekat kulit.
Anak cacing (mikrofilaria) muncul diperedaran darah enam bulan
sampai satumtahun kemudian dan dapat bertahan hidup hingga 5 10 tahun.
Pada

Wuchereria bancrofiti, mikrofilaria berukuran 250 300 mikron,

sedangkan pada Brugia malayi, dan Brugia timori, mikrofilaria berukuran


177 230 mikron.

Banyak spesies nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis,


tergantung pada jenis cacing filarianya. Di Indonesia ada 23 spesies nyamuk
yang diketahui bertindak sebagai vektor yaitu dari genus : Mansonia, Culeks,
Anopheles, Aedes dan Armigeres. Karena inilah filariasis dapat menular
dengan sangat cepat. Secara rincih vektor nyamuk itu adalah :

Wuchereria

quinquefasciatus
Wuchereria bancrofiti pedesaan dengan vektor Anopheles, Ades

dan Armigeres
Yaknya Brugia malayi dengan vektor ansonia spp, dan Anopheles

barbirostris.
Brugia timori dengan vektor Anopheles barbirostris.

bancrofiti

perkotaan

dengan

vektor

Culex

Faktor-faktor yang terbukti sebagai faktor risiko terjadinya


filariasis adalah adanya genangan air, adanya persawahan, tidak adanya
hewan predator, kebiasaan tidak menggunakan kelambu, dan kebiasaan
tidak menggunakan obat anti nyamuk. Melakukan kebersihan lingkungan,
membersihkan saluran-saluran air yang tergenang, menggunakan kelambu
dan obat anti nyamuk pada waktu tidur, melakukan penyuluhan agar
masyarakat tahu cara penanggulangan filariasis, Pemeliharaan ikan
predator (ikan pemakan jentik nyamuk vektor) seperti : mujair, lele, kepala
timah dan sejenisnya sebagai musuh alami larva/jentik nyamuk vektor
pada genangan-genangan air.

B. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT FILARIASIS

Penyakit filariasis merupakan penyakit parasit yang penyebarannya


tidak merata, melainkan terkonsentrasi dibeberapa kantong-kantong wilayah
tertentu. Dataran pulau sumatera sebagian wilayah Jawa dan Bali menjadi
kawasan yang dari tahun ketahun menjadi infeksi penyakit ini. Meskipun
demikian, penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang penting, karena
menyebabkan

kerugian

masyarakat

berupa

penurunan

produktivitas

penderitanya, oleh karena itu harus ada pemberabtasan penyakit ini. Penyakit
filariasis tidak menyebebkan kematian secara langsiung, tetapi menyebabkan
penderitaan seta kerigian tidak sedikit, jika dihitung kehilangan jam kerja
yang disebabkannya.
Dalam segitiga epidemiologi dikemukakan bahwa penularan penyakit
dapat terjadi karena adanya interaksi antara host, agent dan vektor. Sementara,
menurut Hendrik L. Blum (1974), terdapat empat faktor yang yang
mempengaruhi status kesehatan manusia, yaitu: lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan dan keturunan. Diantara keempat faktor tersebut, faktor
yang akan diteliti adalah pelayanan kesehatan yang mencakup akses dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Filariasis menyebar hampir di seluruh
wilayah Indonesia. Jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6233
orang yang tersebar di 1553 desa, di 231 kabupaten dan di 26 Propinsi.
Berdasarkan hasil survey tahun 2002-2005 jumlah penderita terbanyak
ditemukan di Sumatera dan Kalimantan dengan 84 kabupaten/kota memiliki
microfilaria rate 1% atau lebih, hal ini menggambarkan bahwa seluruh daerah
di Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah endemis filariasis. Akses

terhadap pelayanan kesehatan yang rendah merupakan salah satu factor risiko
peningkatan kasus filariasis sehingga perlu dilakukan analisis untuk
mengetahui hubungan akses pelayanan kesehatan dengan kejadian filariasis.
Analisis dilakukan terhadap data Riskesdas tahun 2007. Hasil analisis
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara akses pelayaan
kesehatan terhadap kejadian filariasis yang meliputi: jarak dan waktu tempuh
ke RS, PKM, Pustu, Dokter dan Bidan praktek, Posyandu dan Poskesdes;
ketersediaan sarana transportasi ke sarana kesehatan.

C. DAUR HIDUP WUCHERERIA BANCROFTI, BRUGIA MALAYI,


DAN BRUGIA TIMORI

Cacing ini habitatnya dalam sistem peredaran darah, limfa, otot,


jaringan ikat, atau rongga serosa. Cacing dewasa merupakan cacing yang
langsing seperti benang, berwarna putih kekuningan, pajangnya 2-70 cm,
cacing betina panjangya lebih kurang dua kali cacing jantan. Biasanya tidak
mempunyai bibir yang jelas, mulutya sederhana, rogga mulut tidak nyata.
Eksofagus berbentuk seperti tabung, tanpa gulbus eksofagus, biasanya bagian
enterior berotot sedangkan bagian posterior berkelejar. Cacing jantan
memiliki dua spikula untuk populasi, kadang-kadang pada bagian ekor
memiliki alae. Cacing betia vivipar melahirka mikro filaria paralarva. Mikro
filaria, W. Bacrofii, B. Malayi, B. Timori dan I oa loa memiliki sarung yang
belum diketahui kegunaannya, haya tampak pada bagian kepala dan ekor
yang berupa membran halus, melekat ketat, berasal dari kulit telur. Terdapat
sebaris sel yang berwarna tua pada pewarnaannya, merupaka sisa usus dan
mungkin alat-alat lain yang berderet hampir sepanjang tubuh dan hampir
mengisi seluruh lebar tubuh, disebut inti, dipakai untuk menentukan
spesies, yaitu ada atau tidaknya susunan dari inti tersebut pada ujug ekor pada
bagian kepala terdapat bagian kosong yang tidak mengadung inti disebut
eepbalic space atau ruang kepala. Untuk membantu spesies, biasanya panjang
eepbalic spacedibandigka dengan lebarnya. Mikrofilaria ukuraya bervariasi,
hidupnya didalam darah, supkuta atau jaringan lainnya tergantung spesies.
Larva filarial memiliki perilaku spesifik yaitu pada siang hari larva
filarial berada di paru-paru atau pembuluh darah besar sedangkan pada

malam hari larva ini berpindah ke pembuluh arteri atau vena perifer dekat
kulit.
Menurut Gandahusada (1998), siklus hidup cacing filarial terdiri dari
2 fase yaitu :
1. Perkembangan dalam tubuh manusia sebagai hospes
Transmisi penyakit muncul melalui gigitan nyamuk genus
Anopheles, Aedes, Culex atau Mansonia, yang telah menggigit
penderita

filariasis

dan

mengandung

larva

filaria.

Larva

berkembang menjadi dewasa dan menghasilkan microfilaria lagi.


Larva (mikrofilaria)
dewasa
mikrofilaria
2. Perkembangan dalam tubuh nyamuk sebagai vector
Pertumbuhan parasit dalam tubuh nyamuk kurang lebih selama
dua minggu. Fase ini dimulai dari microfilaria/larva (dari
penderita) dalam lambung nyamuk selanjutnya menuju usus,
migrasi ke thorax, selanjutnya menuju proboscis, setelah beberapa
hari baru ditularkan lagi kepada manusia.
Secara umum dapat dilihat dalam skema berikut :

D. PATOMEKANISME PENYAKIT FILARIASIS


Filariasis berbula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing
filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa ini melalui saliran limfe
atau sinus-sinus limfe menyebabkan pengembangan/ dilatasi limfe pada
tempat-tempat yang dilalui. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan
plasma yang teridsi dari pembuluh darah yang menyebabkan penabalan
pembuluh darah disekitarnya. Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi
infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar
pembuluh darah yang terinfeksi. Infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi
proliverasi jaringan ikat dan menyebabkan pembukuh limfe disekelilingnya
menjadi

berkelok-kkelok

serta

menyebabkan

rusaknya

katup-katup

disepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya terjadi limfedema dan

perubahan pad akulit di atas pembuluh menjadi tak terhindarkan lagi.


Singkatnya cacing filaria dewasa yang merusak pembukuh limfe serta muncul
mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi
jaringan ikat disekitar pembuluh. Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe
akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang
memicu timbulnya granuoma dan vibrosis sekitar limfe yang berakibat
terjadinya penyumbatan (malfungsi) drainase limfe di daerah tersebut,
sehingga jadilah pembengkakan pada lengan, kaki atau kelamin.
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila
orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung
larva. Nyamuk mendapat cacing flaria kecil (mikrifilaria) sewaktu menghisap
darah penderita yang mengandung micrifilaria atau binatang reservoir yang
mengandung mikrofilaria.
Klinik Akut berupa demam berulang-ulang selama 3 5 hari, demam
dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat, pembengkakan
kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak
(lymphadenitis) yang tamopak kemerahan, panas dan sakit, radang saluran
kelenjar getah bening terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki
dan pangkal lengan karena ujung (retrograde lymphangitis).
Gejalah Klinis yang Kronis berupa pembesaran yang menetap pada
tungkai (elephantiasis), lengan, buah dada, buah zakar (elephentiasis skroti),
pembesaran tersebut dapat pecah, mengeluarkan darah dan nanah.

DAFTAR PUSTAKA
Juriastuti, Puji, dkk. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis Di Kelurahan Jati
Sampurna. Makara Kesehatan. Vol 14 (1). Hal 31-36.
Mulyono, R.,A, dkk. 2008. Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku yang
Berpengaruh Terhadapo Kejadian Filariasis (Studi Kasus diWilayah
Kerja Kabupaten Pekalongan). Program Studi Magister Epidemiologi
Program Pasca Sarjana Undip. Hal 1-3.
Natadisastra, D., Agoes R. 2009. Parasitologi Kedokteran. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Putri, Y.,V, dkk. 2012. Upaya Keluarga Dalam Pencegahan Primer Filariasis Di
Desa Nanjung Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung. Students ejournals. Vol 1 (1). Hal 1-15.
Zulkoni,Akhsin. 2011. Parasitologi. Penerbit Nuha Medika. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai