Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan pendidikan islam di Indonesia antara lain ditandai oleh
munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap,mulai dari yang amat
sederhana, sampai dengan tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Salah
satunya adalah pesantren. Menurut Ahmad Syafii Nur : pesantren atau pondok
adalah lembaga yang dapat dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan
sistem pendidikan dan selanjutnya,ia dapat merupakan bapak dari pendidikan Islam.
Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren
sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan
masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak
menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya pun mendapat
dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitarnya. Namun, kini reputasi pesantren
tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas
pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas social.
Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan. Untuk
membahas lebih jauh bagaimana pengembangan pesantren serta problemetika yang
dihadapi pesantren, maka akan kami bahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pesantren?
2. Apa tujuan, visi, dan misi pesantren?
3. Bagaimana sistem pendidikan di pesantren serta maslah dan tantangan yang
dihadapi dalam sistem pendidikan pesantren?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pesantren.
2. Mengetahui tujuan, visi, dan misi pesantren.
3. Mengetahui sistem pendidikan di pesantren serta maslah dan tantangan yang
dihadapi dalam sistem pendidikan pesantren.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pesantren
Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan
akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri
sendiri berasal kata sastri, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek
huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum santri
adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitabkitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri
berasal dari bahasa Jawa, dari kata cantrik, yang berarti seseorang yang selalu
mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Sedangkan secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan pesantren dengan
sebutan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren adalah dunia yang mewarisi dan
memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama (kiai) dari masa ke
masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam. Di Indonesia, istilah
pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan
pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah,
dan tempat tinggal sederhana.Dari terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara
kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid
berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga
pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal
meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.

B. Sejarah pondok pesantren


Tak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan pondok pesantren
pertama berdiri dan bagaimana perkembangannya pada zaman permulaan. Bahkan
istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihan. Menurut Manfred Ziemek,
kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma
sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi
para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata
santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran an yang berarti menunjukkan tempat,
maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap sebagai gabungan kata
santri (manusia baik) dengan suku kata (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat
berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.

Terlepas dari itu, karena yang di maksudkan dengan istilah pesantren dalam
pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama islam di
Tanah Air (khususnya jawa) di mulai dan di bawa oleh wali songo, maka model
pesantren di pulau jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman
wali songo. Karena itu tidak berlebihan bila di katakan pondok pesantren yang pertama
didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim
atau Syekh Maulana Maghribi.1
Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekomplek sekarang. Pada
awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga
unsur pendidikan, yakni ibadah: untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan
ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan seharihari.2
C. Tujuan Pondok Pesantren
Masing-masing pondok pesantren memiliki tujuan pendidikan yang berbeda, sering
kali sesuai dengan falsafah dan karakter pendirinya. Sekalipun begitu setiap pondok
pesantren mengemban misi yang sama yakni dalam rangka mengembangkan dakwah
Islam, selain itu di karenakan pondok pesantren berada dalam lingkungan Indonesia,
setiap pondok pesantren juga berkewajiban untuk mengembangkan cita-cita dan tujuan
kehidupan berbangsa sebagaimana tertuang dalam falsafah negara; Pancasila dan UUD
1945.
Secara umum tujuan pendidikan pondok pesantren adalah membimbing anak
didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu
agamanya menjadi muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan
amalnya.
Sedangkan secara khusus tujuan pondok pesantren adalah mempersiapkan para santri
untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang
bersangkutan serta mengamalkan dalam masyarakat sebagaimana yang telah dikembangkan
dalam pondok pesantren modern.
Tujuan pendidikan pondok pesantren di atas senada dengan tujuan pondok pesantren yang
dipaparkan oleh M. Arifin dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum)
bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berusaha menciptakan kaderkader Muballigh yang diharapkan dapat meneruskan misinya dalam hal dakwah Islam
1 Wahjoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren. (Jakarta : Gema Insani Press, 1997).hlm 70.
2 Reaktualisasi Nilai Kepesantrenan. (http://www.ginandjar.com/public, diakses tanggal 27 november 2015
3

disamping itu juga di harapkan bahwa mereka yang berstudi di pesantren menguasai betul
ilmu-ilmu ke-Islaman yang diajarkan oleh para kyai.3
Adapun tujuan pendidikan pondok pesantren, tidak boleh lepas dari tujuan pendidikan
nasional menurut undang-undang No.2 tahun 1989 adalah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani, dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sedangkan visi dan misi pesantren
adalah sebagai berikut :
Visi dan Misi Pesantren
Visi
1. untuk menyebarluaskan ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok
Nusantara yang sangat pluralis.
2. ntuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang
tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral dengan Amar maruf nahi
munkar.

Misi
1. Mendidik santri agar memiliki kemantaban akidah, kedalaman spiritual, keluasan
ilmu dan ketrampilan serta keluhuran budi pekerti.
2. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kesenian yang bernafaskan
islami.
3. Memberikan pelayanan terbaik & keteladanan atas dasar nilai-nilai Islam yang
inklusif dan humanis.
D. Sistem Pendidikan Pesantren
Paling tidak terdapat delapan poin yang menunjukan karakteristik sistem pendidikan
model pesantren.

3 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Bumi Aksara, Jakarta. 1995. Hlm 65
4 Nur Cholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina, Jakarta, 1997, hlm. 3-5

1. Sistem pendidikan berasrama, di mana tri pusat pendidikan menjadi satu kesatuan yang
terpadu. Yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat berada dalam satu lingkungan, sehingga
lebih memungkinkan penciptaan suasana yang kondusif bagi pencapain tujuan pendidikan.
2. Dalam tradisi pesantren, para santri merupakan subjek dari proses pendidikan, mereka
mengatur kehidupan mereka sendiri (self governance) melalui berbagai aktifitas, dan
interaksi sosial yang sangat penting artinya bagi pendidikan mereka.
3. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang berasal dari, dikelola oleh, dan berkiprah untuk
masyarakat.
4. Terkait dengan orientasi kemasyarakatan pesantren, lingkungan pesantren diciptakan untuk
mendidik santri agar mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan
bermanfaat, tidak canggung untuk terjun dan berjuang ke masyarakat. Dalam bidang
pekerjaan misalnya, boleh dibilang tidak ada istilah nganggur (menunggu pekerjaan) bagi
para alumni pesantren.
5. Antara pengajaaran (formal) dan pendidikan (informal) lebih terintegrasi, sehingga proses
pembentukan mental karakter yang didasarkan pada jiwa, falsafah hidup, dan nilai-nilai
pesantren serta transfer knowledge lebih membumi.
6. Hubungan antara anggota masyarakat pesantren berlangsung dalam suasana ukhuwwah
Islamiyya yang bersumber dari tauhid yang lurus dan prinsip-prinsip akhlak mulia. Suasana
ini tertanam dalam jiwa santri dan menjadi bekal berharga untuk kehidupan di luar
masyarakat pesantren.
7. Pendidikan pesantren didasarkan pada prinsip-prinsip keikhlasan, kejuangan, pengorbanan,
kesederhanaan, kemandirian, dan persaudaraan. Dengan menjiwai nilai-nilai ini, pesantren
tidak memiliki masalah apapun dengan paradigma School Based Management (SBM) yang
kini menjadi model pendidikan modern pasca reformasi di Indonesia.
8. Dalam masyarakat pesantren, Kyai atau pimpinan sekolah, selain berfungsi sebagai central
figure, juga menjadi moral force bagi para santri dan seluruh penghuni pesantren. Hal ini
adalah suatu kondisi yang mesti bagi dunia pendidikan, tetapi kenyataannya jarang didapati
dalam sistem pendidikan selain pesantren.
E. Problematika dan tantangan pengembangan pesantren
1. Tantangan pengembangan pesantren
Dalam peranannya sebagai benteng imperialisme budaya, memang pesantren
sampai saat ini telah membuktikan keberhasilannya. Namun akselerasi
modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat
5

pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren
ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi
pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati
dirinya.[12]
Di sinilah tantangan yang cukup berat yang dihadapi oeh pesantren, yakni
masalah pokok yang menjadi delima: di satu pihak pesantren perlu menjalankan
fungsi tradisionalnya, yaitu pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu Islam
konvensional yang khusus untuk pendalaman agama (tafaqquh fi al-din) guna
mencetak kiai, guru agama, muballigh, dan ahli agama, tetapi di pihak lain
dituntut juga untuk mengembangkan kurikulum baru (di luar kajian
Islam/penguasaan sains) untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja yang lebih
luas, dengan konsekuensi pengurangan pengajaran agama konvensional.[Dalam
artian, pesantren harus memilih untuk masuk menjadi kategori, meminjam istilah
Zamakhsyari Dhofir, pesantren salaf atau kategori pesantren khalaf.[Padahal
dalam prakteknya, mayoritas pesantren yang memasukkan kurikulum baru (di
luar kajian Islam) dan mengurangi materi pendidikan agama Islam justru
mengakibatkan penurunan kualitas santri dalam melakukan pendalaman agama
(tafaqquh fi al-din). Inilah dilema pendidikan pesantren: antara memilih
pendalaman ilmu agama atau menerima materi-materi umum di luar kajian
agama

dengan

konskuensi

merosotnya

tingkat

tafaqquh

fi

al-din. 5

2. Problem Pendidikan Pesantren


Secara kuantitatif, pesantren di Indonesia saat ini berjumlah lebih dari 14.000
pesantren. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen, pesantren berada dalam
afiliasi Nahdlatul Ulama (NU) yang mayoritas masih berupa pesantren
tradisional, yaitu pesantren dengan karakternya yang mandiri, otonom, sederhana
dan penuh keihlasan. Pesantren tradisional yang jumlahnya sangat besar itu,
sudah barang tentu, telah mendidik jutaan anak bangsa. Sebagian dari alumni
pesantren bahkan telah berhasil menjadi pemimpin bangsa. Peran pesantren telah
melengkapi kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh negara dalam
mencerdaskan kehidupan warganya.Akan tetapi, dalam menghadapi perubahan
yang cepat dalam bidang sosial, politik dan ekonomi, pesantren sebagaimana
5 Ali Al-Jumbulati dan Abdul Fatuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Rineka Cipta, Jakarta,
1993. Hlm 78

institusi pendidikan lainya menghadapi tantangan yang harus di segera atasi.


Untuk mengatasi tantangan tersebut, perama-tama pesantren harus mampu
mengatasi persoalan-persoalan internal yang meliputi: persoalan kurikulum,
metode pengajaran, manajemen, dan pola kepemimpinan.[17]
Dalam sistem pendidikan pesantren, masalah metodologi belajar
mengajar, visi dan kerangka dasar kurikulum pendidikan sangat penting untuk
dikaji ulang, mengingat modernisasi menawarkan metode pengajaran berbeda
dengan output yang berbeda pula. Tidak hanya itu, yang perlu mendapat
perhatian juga adalah masa belajar di pesantren yang memakan waktu yang
relatif lama. Padahal pinsip masyarakat modern kini cenderung praktispragmatis.6
a.

Kurikulum Pesantren
Dalam kaitannya dengan

kurikulum,

masih

banyak

pesantren

yang

mempertahankan pola shalafiyah secara kaku (rigid). Para pemimpin pesantren


menganggap pola ini masih canggih (sophisticated) dalam menghadapi berbagai
persoalan.[18] Padahal, kurikulum tersebut lebih bersifat parsial, subject matters
oriented, dan teacher oriented, tidak child oriented dan integral. Ditambah lagi,
proses penyususnan kurikulum di pesantren, biasanya, sangat sarat dengan
subyektifitas

kiai/pengasuh. Implikasinya, kurikulum pesantren menjadi

terparsialisasi oleh sempitnya aliran dan wawasan pemahaman sang kiai. Materimateri keilmuan di pesantren cenderung berafiliasi hanya pada satu madzhab
atau aliran pemikiran.[19]
Sehingga atmosfir ilmiah di dalamnya berlangsung sangat monoton. Lebih dari
itu, dominasi mereka yang cukup luas berorientasi pada terorientasikannya
kurikulum pada apa yang diinginkan kiai, pengasuh, dan guru, bukan untuk
menfasilitasi segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memberdayakan
potensi dan kompetensi santri.[20]
Keinginan untuk membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah
dicernakan dan dikuasai oleh anak didik masih belum mendapatkan perhatian.
b.

Metode Pengajaran Pesantren


Hingga saat ini, doktrin-doktrin dalam kitab kuning, yang senantiasa merujuk alQuran dan Sunah Nabi sebagai sumber utama, merupakan salah satu ruh yang
menjiwai kehidupan pesantren. Seluruh sisi kehidupan pesantren bersifat

6 Saeful Huda, Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakara: Qirtas, 20003), hal. 67.
7

religius-teosentris, sehingga semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai


ibadah kepada Tuhan. Aktivitas belajar, misalnya, bukan hanya diposisikan
sebagai media (alat), tetapi sekaligus sebagai tujuan. Karena itu, proses belajar
mengajar di pesantren sering kali tidak mengalami dinamika dan tidak
memperhatikan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan
perkembangan zaman.[21]
Selama ini, metode pengajaran pesantren masih menekankan pada what to learn
melalui hafalan, bukan how to learn sebagaimana dituntut oleh masyarakat
modern.
Metodologi hafalan memang merupakan metode utama dalam penyelenggaraan
pendidikan pesantren. Bahkan, hafalan dijadikan sebagai standar kualitas
keilmuan seorang santri. Semakin hebat hafalan santri, maka semakin tinggi
tingkat status sosialnya di lingkungn pesantren. Sekalipun cukup ampuh dalam
melatih kedisipinan dan daya hafalan santri, metode ini justru akan mengkebiri
kreatifitas dan daya kritis mereka. Sebab keterfokusan mereka pada hafalan
menjadikan mereka belajar secara tekstual dan menerima segala apa yang
dikemukakan sang kiai/pengasuh secara taken for granted, tanpa ada proses
filterasi yang didasarkan pada semangat kritis dan kreatif. Oleh karena itu, di
samping karena minimnya media dan wawasan pembelajaran, hal ini juga
disebabkan karena besarnya dominasi guru, kiai atau pengasuh dalam kegiatan
belajar-mengajar. Berkembangnya paradigma ini juga tidak bisa dilepaskan dari
tradisi turun menurun yang selama ini dikembangkan oleh para kiai/pengasuh
pesantren. Sebuah tradisi yang lebih berorientasi pada hasil sehingga seringkali
menganggap bahwa apa yang telah tertulis merupakan sesuatu yang sudah final,
tingal dihafal. Akibatnya, proses sebagai orientasi pokok tergeser dan bahkan
terlupakan.
[22]Metodologi pengajaran di pesantren juga masih bersifat klasik, seperti sistem
bandongan, pasaran, sorogan, dan sejenisnya. Di mana seorang santri diajari
membaca kitab (teks) kata demi kata dan memahami kalimat yang tersusun
secara harfiyah. Pesantren ternyata tidak mampu meninjau apakah seorang santri
tidak membutuhkan pendekatan lain. Pokoknya kitab wajib ditelaah, dibacakan,
dan diterangkan sesuai dengan kemampuan guru/kiai dan terserah kepada santi
untuk menguasainya atau tidak.[23] Evaluasi atas kemampuan anak didik dengan
demikian tidak memperoleh tempat yang sesuai dengan kepentingannya dalam
8

sistem pendidikan tradisional. Sistem pendidikan yang tidak dinamis dan sulit
melakukan perubahan, serta hanya mengandalkan tradisi hafalan dan
membaca, tanpa mengiringinya dengan budaya menulis tersebut, berakibat
pesantren jarang menghasilkan penulis-penulis yang handal, kendati jumlah
lulusannya besar.[24] Walaupun, saat ini, sudah ada beberapa lulusan pesantren
yang menulis, akan tetapi prosentasinya masih sangat kecil dibandingkan dengan
jumlah lulusan yang ada.
c.

Manajemen dan Pola Kepemimpinan


Permasalahan lain yang secara spesifik dihadapi pesantren berkaitan dengan
manajemen dan pola kepemimpinannya. Dalam penyelenggaraan manajemen
pendidikan pesantren sarat dengan dominasi otoritas administrasi birokrasi
kekuasan, yakni bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiai. Hal ini
menjadi pas dengan pendapat Zamakhsyari Dhofir bahwa pesantren ibarat suatu
kerajaan kecil yang bertradisi unik, di mana kiai merupakan pemimpin mutlak
dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) di dalamnya.[25]
Pola kepemimpinan seperti ini menyebabkan sirkulasi keilmuan di pesantren
cederung berjalan sepihak. Kiai yang memiliki otoritas mutlak mempunyai
wewenang penuh untuk menentukan corak keilmuan di pesantren yang
dipimpinnya. Panorama ini tentu tidak terlepas dari kekuatan sistem pengajaran,
maupun pola pergaulan yang patronal di pesantren tesebut.[26]
Selain itu, budaya keilmuan yang berkembang di kalangan pesantren
lebih menitik beratkan pada ruhul inqiyad, yakni semangat untuk patuh atau
menurut (saman wa thatan). Implikasinya semangat atau tingkat kekritisan
(ruhul intiqad) santri menjadi lemah. Lebih dari itu, menurut dan tadzim yang
mewarnai kehidupan kalangan santri juga berdampak pada penghormatan yang
membabi buta.[Akibatnya, santri atau komunitas pesantren yang notabinenya
menjadi pengagum berat Khulafaur Rasyidin tidak mampu mewarisi budaya
kritis yang diterapkan oleh sahabat Umar bin Khatab ra. setiap kali berdikusi
dengan

Rasulullah

saw.

3. Solusi problem dan tantangan pengembangan pesantren


Memandang masalah-masalah berat yang dihadapi dunia pendidikan
pesantren, maka membenahi sistem pendidikan pesantren jelas tidak bisa lagi
dilakukan secara parsial. Artinya, pembenahan pendidikan harus bersifat
komprehensif

dan

menyeluruh,
9

baik

pada

tingkat

konsep

maupun

penyelenggaraan. Dari permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan di


atas, setidaknya dapat menjadi pijakan untuk melakukan pembenahan sistem
pendidikan pesantren yang di antaranya adalah:
a.

Membenahi Kurikulum
Dalam upaya membenahi kurikulum pendidikannya, seperti yang telah
dijelaskan di atas, pesantren menghadapi ujian yang sangat dilematis. Dialektika
yang serius antara mempertahankan watak tradisionalisme dan rayuan
modernisme sungguh dialami oleh banyak pesantren. Dari dialektika tersebut
telah menyebabkan pesantren terbelah menjadi dua, yaitu pesantren yang
menerima sepenuhnya sistem pendidikan formal (memasukkan kurikulum nonagama) dan pondok pesantren yang menolak sepenuhnya pendidikan formal.
Pesantren tipe pertama pesantren berkeinginan menjadi institusi pendidikan yang
bisa menyusuaikan diri dengan perubahan zaman. Pesantren juga menginginkan
agar lulusannya, selain menguasai ilmu agama (Islam) juga mampu bersaing di
masyarakat dalam memperebutkan peluang-peluang yang diberikan oleh
perubahan yang terjadi, seperti lapangan kerja dan posisi-posisi sosial politik.
Sementara tipe kedua berangkat dari ketidakpercayaan terhadap sistem
pendidikan formal di Indonesia yang dianggap tidak mendorong pada
penguasaan terhadap ajaran Islam.[28]
Berdasarkan analisa Nur Kholis Majid, pesantren telah mengalami
anacaman ditinggalkan umat Islam. Karena pesantren di Indonesia saat ini
sedang mengalami krisis dalam menghasilkan ulama-ulama yang berkualitas.
[29] Krisis ulama merupakan akibat dari menurutnya tingkat pendalaman agama
(tafaqquh fi al-din) yang biasa diperankan oleh pesantren. Jadi, praktis pesantren
harus menanggung dua beban berat ini. Merespon beban berat tersebut,
belakangan ini, muncul beberapa pesantren yang mencoba menerima sebagian
sistem pendidikan formal dan menolak sebagian yang lain. Artinya, ia menerima
system pendidikan formal berikut tawaran legalitasnya, tetapi menolak sebagian
kurikulum dan berbagai atribut yang menempel padanya.[30]
Tipe pesantren melihat perlunya penambahan dan pengembangan ilmu terapan
di samping ilmu agama. Di tengah tantangan globalisasi, pendidikan pesantren
tidak cukup hanya mendalami ilmu agama dan bersikap eksklusif terhadap ilmuilmu terapan demi tuntutan pekembangan zaman. Untuk itu, kurikulum pesantren
harus tetap melakukan penekanan pada tafaqquh fi al-din guna menjaga
10

keberlangsungan estafet keulamaan. Pengajaran kitab-kiab klasik (kitab kuning)


harus tetap diutamakan. Sementara pesantren juga harus menerima kurikulum
ilmu-ilmu terapan yang menjadi tuntutan di era modern, dengan tidak
mengurangi tingkat tafaqquh fi al-din. Perubahan kurikulum seperti inilah yang
akan membangun orientasi perkembangan pesantren ke depan.
b.

Membenahi Metode Pengajaran


Tak dapat dipungkiri bahwa pengembangan pesantren tidak cukup dilakukan
dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif
dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih
baru dan modern. Artinya, pembenahan kurikulum harus disertai dengan
pembenahan metode pengajaran. Metode-metode klasik seperti hafalan harus
dibatasi sesuai dengan porsinya. Metode hafalan memang masih perlu dipakai
untuk bidang studi tertentu yang memang perlu untuk dihafal. Tetapi, saat ini,
pesantren harus lebih menekankan pada pendalaman pemahaman materi yang
dikajinya, bukan hafalan. Sementara itu, metode bandongan, pasaran, sorogan,
dan sebagainya adalah metode pengajaran yang bersifat monologis. Tidak ada
tradisi berdiskusi atau menyanggah terhadap guru/kiai, komunikasi berjalan
searah, tidak ada materi tambahan selain materi dari kitab-kitab yang dikaji.
Untuk itu, metode semacam itu harus dirombak dan metodologi
pemikiran harus menjadi fokus utama. Santri harus dikembalikan kepada literatur
(literature as central of science). Personifikasi keilmuan pada kiai harus
dikurangi.[31] Pesantren harus muai mengadopsi metodologi ilmiah modern
yang bersifat dialogis-emansipatoris. Sistem pengajaran yang terbuka untuk
melakukan dialog, diskusi, dan bahkan dialog-kritis (menyanggah) akan lebih
memperkaya khazanah keilmuan yang dipelajari di pesantren. Justru metode
seperti inilah yang harus diterapkan di pesantren.

c.

Membenahi Manajemen dan Pola Kepemimpinan


Upaya untuk membenahi manajemen dan pola kepemimpinan
pesantren memang terasa sulit. Karena penyelenggaraan manajemen dan
administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiai
sebagai pemiliknya. Manajemen seperti ini tentu tidak memiliki jaminan
kelangsungan dan mutu. Karena sudah menjadi kebiasaan dunia pesantren,
setalah ditinggal oleh kiainya banyak yang mengalami penurunan, baik secara
kuantitas maupun kualitas.
11

Selain itu, secara psikologis, kiai merasa sebagai pemilik dan


pengelola sejak awal, maka tidak mudah menerima perubahan dari luar,
termasuk dari pemerintah. Untuk itu, sudah saatnya pesantren harus melepaskan
diri dari citra kerajaan kecil agar tumbuh nilai-nilai keterbukaaan, kebebasan
berfikir dan berpendapat, kemandirian, kolektifitas dan menerima secara opensif.
[32]
Karena hambatan untuk menciptakan nilai-nilai ini biasanya bersumber
dari kepemimpinan pesantren yang sentralistik dan terpusat pada seorang kiai.
Perubahan penyelenggaraan pendidikan pesanten dapat dilakukan dengan
merubah otorita kekuasaan menuju otorita akademik, dari sisem pendidikan
sentralistik menuju paradigma pendidikan otonom, di mana masyarakat
mempunyai peran evaluatif dan kontroling yang signifikan. Artinya, sudah
saatnya kiai/pengasuh pesantren untuk melaksanakan program pendidikannya
secara profesional dengan senantiasa membuka kran musyawarah egaliter yang
demokratis.[33]
Demikianlah beberapa usulan perubahan untuk membenahi system pendidikan
pesantren dalam rangka mengahadapi tantangan modernisasi. Dalam hal ini,
harus kita sadari bersama bahwa ada baiknya pesantren tetap mempertahankan
tradisionalisme

dan

fungsi

pokoknya

semula,

yaitu

sebagai

tempat

penyelenggaraan pendidikan dan pendalaman ilmu agama (tafaqquh fi al-din).


Disamping itu, pesantren juga wajib memenuhi tuntutan hidup santrinya dalam
kaitannya dengan perkembangan zaman, yaitu membekali mereka dengan
kemampuan-kemampuan nyata melalui pendidikan ilmu terapan secara
memadahi. Sehingga, pesantren diharapkan dapat melahirkan ulama yang tidak
saja menguasai ilmu keagamaan, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan
zamannya untuk memecahkan persoalan kemasyarakatan.7

7 Ainul Huda Afandi, Menata Kembali Pesantren, Mencari Bentuk Ideal, dalam Menggagas
Pesantren Masa

Depan, (Yogyakarta: Qirtas, , 2003) hal. 113


12

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi
Islam yang dikembangkan ulama (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada
periode tertentu dalam sejarah Islam. Secara umum tujuan pendidikan pondok
pesantren adalah membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang
berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi muballigh
Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. dalam menghadapi
perubahan yang cepat dalam bidang sosial, politik dan ekonomi, pesantren
sebagaimana institusi pendidikan lainya menghadapi tantangan yang harus di
segera atasi. Untuk mengatasi tantangan tersebut, perama-tama pesantren harus
mampu mengatasi persoalan-persoalan internal yang meliputi: persoalan
kurikulum, metode pengajaran, manajemen, dan pola kepemimpinan.[ mengatasi
persoalan-persoalan tersebut adalah dengan membenehi sistem pendidikan
pesantren.

Dengan demikian pesantren mampu menjawab tantangan dalam

pengembengannya.
B. SARAN
Dengan adanya makalah ini disarankan kepada pembaca untuk memahami isi
makalah dengan baik, demi menambah wawasan kita. Serta dapat mengkritik
demi perbaikan makalah selanjutnya.

13

DAFTAR PUSTAKA
Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Fatuh At-Tuwaanisi. 1993. Perbandingan Pendidikan Islam, ,
Jakarta : Rineka Cipta
Arifin, M. 1995. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta : Bumi Aksara
Cholis Madjid,

Nur. 1997. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta :

Paramadina.
Huda Afandi, Ainul. 2003. Menata Kembali Pesantren, Mencari Bentuk Ideal, dalam
Menggagas Pesantren Masa Depan. Yogyakarta: Qirtas
Huda, Saeful. 2003. Menggagas Pesantren Masa Depan. Yogyakara: Qirtas
Reaktualisasi Nilai Kepesantrenan. http://www.ginandjar.com/public, diakses tanggal 27
november 2015
Wahjoetomo. 1997. Perguruan Tinggi Pesantren. Jakarta : Gema Insani Press.

14

Anda mungkin juga menyukai